• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi yang ada menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu diikuti oleh pemerataan hasil-hasil pembangunan. Diduga bahwa hasil pembangunan hanya dinikmati oleh sebagian masyarakat. Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan “growth oriented development” diindikasikan mempunyai permasalahan yang justru dapat merugikan proses pembangunan. Permasalahan distribusi pendapatan yang tidak merata, pengangguran serta kemiskinan yang tinggi merupakan indikator bahwa masyarakat dalam kondisi tidak sejahtera. Pada sekitar tahun 1970 merupakan era baru bagi negara berkembang untuk mulai mengatur kebijakan pembangunan dalam mengurangi kemiskinan, dengan cara memadukan pertumbuhan dan pemerataan hasil pembangunan secara bersamaan (Redistribution with Growth).

Sasaran pembangunan adalah untuk meningkatkan taraf hidup (standard of living) yang layak bagi setiap individu, khususnya golongan ekonomi lemah atau kelompok miskin. Masalah pemerataan memerlukan perincian tentang distribusi

67

apa yang telah dihasilkan dari pembangunan tersebut, serta kelompok masyarakat mana yang menikmatinya atau who gets what (siapa mendapat apa).

Hubungan antara pendapatan dan pemerataan masih menjadi kontroversi. Menurut Wie (1981), banyak ekonom masih beranggapan bahwa hubungan antara pertumbuhan ekonomi yang pesat dan distribusi pendapatan adalah saling bertentangan (trade-off). Pemerataan pendapatan hanya dapat dicapai, jika laju pertumbuhan ekonomi diturunkan. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selalu akan disertai kemerosotan dalam pembagian pendapatan atau kenaikan dalam ketimpangan relatif.

Teori neo-Keynesian lebih menitikberatkan pada masalah distribusi fungsional yang dikenal tiga konsep distribusi pendapatan, yaitu distribusi fungsional, distribusi fungsional yang diperluas, dan distribusi personal. Distribusi fungsional berkaitan dengan pembagian pendapatan yang diterima oleh pemilik faktor produksi tradisional dalam suatu proses produksi (tanah, modal, dan tenaga kerja). Distribusi fungsional yang diperluas merupakan bentuk lain dari distribusi fungsional dan umumnya penggolongannya disesuaikan dengan masalah yang sedang dibahas, misalnya pembagian pendapatan menurut wilayah (desa dan kota), menurut sektor ekonomi (sektor pertanian dan non pertanian), atau menurut teknik produksi dalam sektor tertentu (industri modern dan industri tradisional). Sedangkan distribusi personal berkaitan dengan pembagian pendapatan yang diterima oleh individu atau rumahtangga. Ukuran kesejahteraan sering dikaitkan dengan distribusi personal. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah mengenai pembagian pendapatan sering ditujukan untuk memperbaiki pembagian pendapatan personal.

68

Ada beberapa alat ukur ketimpangan, yaitu: (1) kurva Lorenz, yang mengukur ketimpangan berdasarkan bentuk kurva distribusi pendapatan, dan (2) Gini ratio, mengukur ketimpangan berdasarkan luas kurva Lorenz. Kurva Lorenz dapat menjelaskan distribusi pendapatan secara grafis dan dipakai untuk menganalisis statistik pendapatan perorangan.

Kurva Lorenz menjelaskan tentang hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar diterima selama periode tertentu (misalnya satu tahun). Secara lengkap gambar tentang Kurva Lorenz adalah sebagai berikut:

Sumber: Kasliwal (1995) dan Fields (2001) Gambar 6. Kurva Lorenz

Jumlah penerima pendapatan dinyatakan dalam sumbu horisontal, tidak dalam arti absolut melainkan dalam persentase kumulatif. Sedangkan sumbu vertikal menyatakan bagian dari pendapatan total yang diterima oleh masing-masing persentase kelompok penduduk tersebut. Kedua sumbu tersebut berakhir

17% 40% 100% A B 100% Persentase Penduduk P erse ntase P end apa tan x y

69

pada titik 100 persen, hal ini berarti kedua sumbu sama panjangnya. Garis diagonal melambangkan pemerataan sempurna (perfect equality) dalam distribusi pendapatan. Semakin jauh jarak dari kurva Lorenz dari garis diagonal, maka semakin timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya.

Perangkat lain yang digunakan untuk mengukur derajat ketimpangan pendapatan relatif suatu negara/daerah adalah dengan menggunakan koefisien Gini (Gini coefficient). Koefisien Gini dihitung dengan cara menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal daerah A dibagi dengan daerah A dan B, menunjukkan hubungan antara jumlah penduduk dengan distribusi pendapatan dalam bentuk persentase kumulatif. Koefisien Gini merupakan ukuran ketimpangan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna). Dalam prakteknya, koefisien Gini untuk negara-negara yang derajat ketimpangannya tinggi berkisar antara 0.50 hingga 0.70. Untuk negara-negara yang distribusi pendapatannya relatif merata angkanya berkisar antara 0.20 hingga 0.35. Di bawah ini adalah rumus yang digunakan dalam mengukur koefisien Gini:

G = n n 1) ( + n i i x ix n2 1 2 ...(13)

dimana: xi adalah pendapatan penerima i, μx adalah rata-rata pendapatan, dan n adalah jumlah total penerima pendapatan (Fields, 2001).

Kesejahteraan masyarakat berhubungan positif dengan pendapatan per kapita namun berhubungan negatif dengan tingkat ketimpangan. Ketimpangan perlu untuk diperhatikan karena:

1. Ketimpangan pendapatan yang ekstrim menyebabkan inefisiensi ekonomi. Ketimpangan yang tinggi menyebabkan semakin kecilnya penduduk yang

70

memenuhi syarat untuk mendapatkan pinjaman atau sumber kredit yang lain. Ketika individu yang berpenghasilan rendah tidak dapat meminjam uang, pada umumnya mereka tidak dapat menyediakan pendidikan yang memadai bagi anak mereka atau memulai dan mengembangkan bisnis mereka. Pada kondisi ketimpangan yang tinggi, tingkat tabungan secara keseluruhan dalam perekonomian cenderung rendah, karena tingkat tabungan marginal tertinggi biasanya ditemukan pada kelas menengah. Meskipun orang kaya dapat menabung dalam jumlah yang lebih besar, namun mereka menabung dengan bagian yang lebih kecil lagi dari pendapatan marginal mereka. Orang kaya lebih suka membelanjakan sebagian besar dari pendapatan mereka pada barang-barang impor/mewah, bepergian ke luar negeri atau justru menyimpan kekayaannya di luar negeri dalam bentuk pelarian modal (capital flight). Tabungan dan investasi mereka tidak menambah sumberdaya produktif nasional, bahkan tabungan mereka mencerminkan kebocoran substansial sumberdaya, dalam arti bahwa pendapatan mereka berasal dari jerih payah tenaga kerja dalam negeri yang umumnya tidak terdidik dan tidak terampil. Oleh karena itu, strategi pertumbuhan yang dibarengi dengan bertambah lebarnya kesenjangan pendapatan dalam realitanya dirancang untuk melestarikan kepentingan para elit ekonomi dan politik di negara berkembang, yang seringkali mengorbankan kepentingan masyarakat yang lebih besar. 2. Ketimpangan dapat menyebabkan alokasi aset yang tidak efisien.

Ketimpangan yang tinggi menyebabkan penekanan yang terlalu tinggi pada pendidikan tinggi dengan mengorbankan kualitas universal pendidikan dasar dan pada gilirannya akan menyebabkan kesenjangan pendapatan yang

71

semakin melebar. Hasilnya adalah pendapatan rata-rata yang rendah, tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dan tingkat ketimpangan yang tinggi.

3. Ketimpangan pendapatan yang ekstrim melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas. Ketimpangan yang tinggi akan memperkuat kekuatan politis dan daya tawar golongan kaya. Biasanya, kekuatan ini akan digunakan untuk mengarahkan hasil pembangunan demi kepentingan mereka sendiri. Ketimpangan tinggi membuat kaum miskin mendukung kebijakan yang populis yang sebenarnya dapat merugikan mereka sendiri, dan akhirnya ketimpangan yang tinggi akan menumbuhkan rasa ketidakadilan (Todaro dan Smith, 2003).

Pandangan tradisional mengatakan bahwa sejumlah ketimpangan dapat mempercepat pertumbuhan, karena tabungan dari orang kaya lebih besar dari pada tabungan orang miskin. Jika tabungan untuk investasi berasal dari dalam negeri, maka derajat pemerataan yang tinggi akan membahayakan pertumbuhan. Berdasarkan penelitian terbaru dinyatakan bahwa tingkat tabungan (marginal) yang paling tinggi ternyata berasal dari kelas menengah, bahkan berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa orang miskin menabung dengan tingkat yang lebih tinggi dari pada yang diyakini sebelumnya (Todaro dan Smith, 2003). Ketimpangan pendapatan yang tinggi membuat orang miskin tidak dapat memperoleh pinjaman karena tidak mempunyai kolateral atau jaminan. Orang miskin yang tidak dapat memperoleh pinjaman untuk memulai sebuah usaha dapat terjebak dalam subsistensi atau ketergantungan.

72

Menurut Jazairy et al. (1992) yang mengkaji keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan di beberapa negara menunjukkan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi akan diikuti oleh adanya ketimpangan pendapatan (trade off) antara pertumbuhan dengan pemerataan. Perubahan pola pembagian pendapatan dengan meningkatnya pendapatan per kapita penduduk yang biasa disebut dengan hipotesis U terbalik dari Kuznets. Proses pembangunan ekonomi pada tahap awal pada umumnya disertai oleh kemerosotan yang cukup besar dalam pembagian pendapatan, yang baru berbalik menuju suatu pemerataan yang lebih besar dalam pembagian pendapatan pada tahap pembangunan lebih lanjut (Kuznets, 1955; 1966).

Analisis ekonomi pada umumnya tidak menyinggung soal kaitan antara pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan distribusi pendapatan. Menurut Galenson dan Leibenstein (1955), sebagian besar teori yang ada nampaknya memang mengisyaratkan bahwa pemerataan distribusi pendapatan yang tidak merata merupakan sesuatu yang terpaksa dikorbankan demi memacu laju pertumbuhan ekonomi secara cepat. Paradigma pertumbuhan ekonomi di masa lalu sudah menjurus kepada pemujaan terhadap keberhasilan percepatannya dan korban dari percepatan itu dianggap sebagai biaya sosial yang tak perlu dirisaukan. Todaro (1994) menyatakan bahwa ketidak-adilan pendapatan sebagai syarat yang pantas dikorbankan dalam rangka menggapai proses pertumbuhan ekonomi secara maksimum dan dianggap syarat yang diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup penduduk melalui mekanisme trickle down effect dianggap sebagai pendekatan yang gegabah.

73

Menurut Arif (1978), ada delapan proses yang menimbulkan ketimpangan pada suatu wilayah pada level provinsi ataupun negara, yaitu: (1) pertambahan penduduk yang tinggi mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita, (2) inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang, (3) ketidak-merataan pembangunan antar subwilayah, (4) investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang intensif modal, sehingga persentase pendapatan dari harta bertambah besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah, (5) rendahnya mobilitas sosial, (6) pelaksanaan kebijaksanaan substitusi-impor industri yang menyebabkan kenaikan harga barang-barang hasil industri untuk melindungi golongan kapitalis, (7) memburuknya term of trade bagi wilayah yang sedang berkembang dalam perdagangan dengan wilayah maju sebagai akibat ketidak-elastisan permintaan wilayah maju, (8) hancurnya industri-industri rakyat, seperti: pertukangan, industri rumahtangga, dan lain-lainnya.

Menurut Wie (1981), upaya dalam menanggulangi ketimpangan ini adalah dengan strategi campur tangan pemerintah. Dalam hal ini diupayakan pembagian yang merata dari sumberdaya-sumberdaya yang ada kepada golongan masyarakat termiskin, sehingga kesejahteraan mereka dapat meningkat. Menurut Todaro dan Smith (2003), terdapat lima alasan mengapa kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan, yaitu: 1. Kemiskinan menciptakan kondisi yang membuat kaum miskin tidak

mempunyai akses terhadap pinjaman kredit, tidak mampu membiayai pendidikan anaknya dan tiadanya peluang untuk berinvestasi.

74

2. Kaum kaya di negara miskin tidak dikenal karena investasi mereka hanya di dalam negara mereka sendiri.

3. Pendapatan rendah dan standar hidup buruk tercermin dari kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah dapat menurunkan produktivitas ekonomi mereka dan akibatnya perekonomian tumbuh lambat.

4. Peningkatan pendapatan golongan miskin mendorong permintaan produk lokal dalam negeri.

5. Penurunan kemiskinan secara massal dapat menstimulasi ekspansi ekonomi yang lebih sehat karena akan mendorong partisipasi publik dalam proses pembangunan.

Pemerintah dapat merubah distribusi pendapatan secara langsung dengan pajak yang progresif, yaitu beban pajak yang lebih besar bagi orang kaya dan pajak yang lebih ringan bagi bagi orang miskin, disertai subsidi bagi golongan miskin. Pemerintah juga dapat secara tidak langsung mempengaruhi distribusi pendapatan dengan kebijakan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan sebagainya.

Dokumen terkait