• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Pengetahuan Responden tentang Penatalaksanaan Jalan Napas (Airways Management)

Distribusi pengetahuan responden tentang penatalaksanaan jalan napas (airways management) dilihat pada tabel 10. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata responden yang mengetahui tentang kedua hal tersebut sebesar 76.7% sedangkan yang tidak mengetahui lebih kecil yaitu sebesar 23.4%.

Tabel 11. Distribusi frekuensi pengetahuan responden tentang airways management.

Pengetahuan Tahu Tidak Tahu

Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%)

Obstruksi jalan napas 22 36.7% 38 63.3%

Penatalaksanaan jalan

Hasil penelitian tentang tingkat pengetahuan mahasiswa pada penanganan trauma maksilofasial oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut FKG USU pada 17 Desember 2015 menunjukkan kebanyakkan mahasiswa mempunyai pengetahuan yang cukup dalam penanganan trauma maksilofasial. Secara garis besar 56,7% responden memiliki pengetahuan kategori baik, 30% dari keseluruhan responden termasuk kategori berpengetahuan cukup dan 13.33% responden termasuk kategori berpengetahuan kurang.

Trauma pada bagian maksilofasial bisa mengakibatkan gangguan pada jalan napas disebabkan oleh pendarahan, pembengkakan jaringan dan fraktur yang mengakibatkan perubahan bentuk wajah.18 Trauma pada maksilofasial jarang menyebabkan kematian, tetapi memberikan komplikasi dan kecacatan fungsi tubuh.19 Sebagian besar pengetahuan responden mempunyai pengetahuan baik yaitu 89.2% tentang definisi trauma maksilofasial dan sebagian kecil mempunyai pengetahuan yang rendah yaitu 10.8%.

Menurut Obuekwe dkk dalam Associated injuries in patients with maxillofacial trauma. Analysis of 312 consecutive cases due to road traffic accidents, menyatakan bahwa korban kecelakaan lalu lintas biasanya mengalami cedera wajah yang serius.20 Pengetahuan responden tentang definisi anatomi maksilofasial wajah termasuk kategori berpengetahuan kurang yaitu hanya 40,9% yang mengetahui sedangkan yang tidak mengetahui adalah lebih besar yaitu sebanyak 59.2%.

Etiologi terjadinya trauma maksilofasial adalah bervariasi.3 Beberapa penyebab utama terjadinya trauma maksilofasial adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan atau

perkelahian, terjatuh, cedera saat bermain olahraga, dan trauma akibat senjata api.2 Menurut Sunita dkk dalam Incidence Of Maxillofacial Trauma In Sonepat, India, kebanyakan penelitian terkini menyatakan bahwa kecelakaan lalu

49

lintas merupakan penyebab yang paling utama terjadinya trauma maksilofasial.21 Persentase dalam pengetahuan responden yang mengetahui tentang etiologi terjadinya trauma maksilofasial adalah sebesar 60% dari jumlah keseluruhan responden yang terlibat dan termasuk kategori cukup.

Pengetahuan responden mengenai klasifikasi trauma maksilofasial adalah termasuk dalam kategori baik. Klasifikasi trauma maksilofasial terbagi dua yaitu trauma pada jaringan lunak yang meliputi luka pada kulit dan trauma pada jaringan keras yang meliputi fraktur tulang.9 Dari hasil penelitian, persentase rata-rata yang diperoleh adalah termasuk dalam kategori baik yaitu sebesar 76,7% yang mana persentase bagi pengetahuan tentang trauma pada jaringan lunak adalah sebesar 56,7% adalah termasuk kategori cukup dan 96,7% bagi pengetahuan tentang trauma pada jaringan keras adalah termasuk kategori baik.

Trauma pada sepertiga wajah (midface) akan memberikan gangguan pada nasofaring, orofaring yang diakibatkan oleh fraktur dan dislokasi tulang. Kehancuran tulang yang parah atau fraktur mandibula bilateral juga akan mengakibatkan gangguan pada jalan napas dikarenakan hilangnya struktur penahan pada faring posterior.18 Tingkat pengetahuan responden mengenai klasifikasi fraktur maksilofasial adalah lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat pengetahuan responden mengenai klasifikasi trauma maksilofasial yaitu, persentase rata-rata adalah sebesar 79,4% termasuk dalam kategori baik yang mana 75% pemahaman pada tipe fraktur, 70% pada pemahaman mengenai fraktur maksila dan 93.3% pada pemahaman mengenai fraktur mandibula.

Dari empat pertanyaan yang diajukan kepada responden tentang proses menegakkan suatu diagnosa, hanya 17% termasuk dalam kategori berpengetahuan kurang dan 83% termasuk dalam kategori baik. Proses menegakkan suatu diagnosa meliputi pemeriksaan intraoral, pemeriksaan extraoral yang mencakup pemeriksaan pada jaringan lunak, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis.2 Menurut Charles Stewart, Director of Research, Department of Emergency Medicine, University of Oklahoma dalam Maxillofacial Trauma: Challenges In ED Diagnosis And Management, tujuan dilakukan perawatan pada

cedera maksilofasial adalah untuk mengembalikan fungsi mata, hidung, pengunyahan, fungsi bicara, penyembuhan tulang dan fungsi estetik. Dengan adanya kecanggihan dalam bidang radiologi, ahli bidang akan dapat melakukan diagnosa yang cepat pada kasus fraktur wajah yang biasa terjadi. Tetapi, pada kasus yang mengalami fraktur wajah yang kompleks dengan komplikasi cerebrospinal leaks, fraktur tulang temporal dan cedera saraf kranial yang tidak terdiagnosa atau yang terlambat terdiagnosa akan menyebabkan kematian.22

Pasien dengan trauma maksilofasial harus ditangani dengan segera.3 Tujuan dilakukan penatalaksanaan awal dan tindakan resusitasi pada pasien yang mengalami trauma maksilofasial adalah untuk memperbaiki jalan napasnya agar tidak menghambat penapasan, mengontrol perdarahan dan mencegah terjadinya deformitas reduksi pada fraktur hidung dan zigoma.18 Dari tiga pertanyaan yang diajukan kepada responden, persentase rata-rata responden yang mengetahui termasuk dalam kategori cukup yaitu sebesar 66,7% dan yang tidak mengetahui sebesar 33.3%.

Hal utama yang harus diperhatikan pada saat merawat pasien yang mengalami trauma maksilofasial adalah membebaskan jalan napasnya agar tidak menghambat penapasan, mengontrol perdarahan dan mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.2 Menurut Elitsa dkk dalam Maxillofacial Trauma Management In Polytraumatized Patiens - The Use Of Advance Trauma Life Support (ATLS) Principles, Jika pasien tidak dapat mempertahankan jalan napasnya, maka hanya dalam waktu empat menit akan mengakibatkan kerusakan total pada otak yang tidak bisa disembuhkan.23 Persentase rata-rata pengetahuan responden yang mengetahui tentang penatalaksanaan jalan napas pada pasien trauma adalah paling rendah dan termasuk dalam kategori berpengetahuan kurang yaitu 23,4% sedangkan yang tidak mengetahui adalah lebih besar yaitu 76,7%. Rata-rata mahasiswa tidak mengerti tentang apa yang dimaksudkan dengan persoalan yang ditanyakan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata mahasiswa kepaniteraan klinik mempunyai pengetahuan yang sederhana tentang penanganan trauma maksilofasial. Penguasaan teori tentang anatomi, etiologi, klasifikasi dan penatalaksanaan yang

51

disebabkan karena kurangnya pengalaman mahasiswa kepaniteraan klinik kepada kasus-kasus yang melibatkan trauma pada maksilofasial dan tidak pernah menangani kasus yang berkaitan dengan kasus yang berat di Departemen Bedah Mulut FKG USU.

Akhirnya, keterbatasan pada penelitian ini, adalah tidak ditemukan perbandingan peneliti tentang pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik pada penanganan trauma maksilofasial sehingga peneliti tidak dapat membandingkan hasil penelitian di FKG USU dengan hasil penelitian yang lainnya.

6.1 Kesimpulan

1. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU tentang penanganan trauma maksilofasial secara umum termasuk kategori cukup (56,7%).

2. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU tentang definisi maksilofasial dan trauma maksilofasial termasuk kategori baik (89,2%).

3. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU tentang anatomi maksilofasial termasuk kategori kurang (40,9%).

4. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU tentang etiologi maksilofasial termasuk kategori cukup (60%).

5. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU tentang klasifikasi trauma dan fraktur maksilofasial termasuk kategori baik (76,7%)(79,4%).

6. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU tentang proses menegakkan diagnosis termasuk kategori baik (83%)

7. Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU tentang penatalaksanaan trauma maksilofasial termasuk kategori cukup (66,7%) dan pada pengetahuan tentang airways management termasuk kategori kurang (23,4%).

6.2 Saran

1. Diharapkan kepada Departemen Bedah Mulut untuk lebih menekankan teori tentang penanganan trauma maksilofasial terutama mengenai penatalaksanaan trauma maksilofasial pada bahan perkuliahan dan dibicarakan pada diskusi pemicu.

2. Diharapkan kepada Departemen Bedah Mulut untuk memberikan masukan kepada mahasiswa kepaniteraan klinik tentang pentingnya teknik ABCDE pada penatalaksanaan jalan napas pada pasien trauma maksilofasial dengan diadakan seminar, case study dan presentasi jurnal berkait dengan judul ini.

3. Diharapkan kepada mahasiswa kepaniteraan klinik agar meningkatkan pengetahuan tentang penanganan trauma maksilofasial dengan membaca jurnal-jurnal terbaru kesehatan yang berkaitan dengan trauma maksilofasial.

4. Sebagaimana hasil dari penelitian ini, masih ditemukan banyak kekurangan, sehingga dapat diperbaiki dalam penelitian selanjutnya.

BAB 2

Dokumen terkait