• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Distribusi Penguasaan Lahan dan Pendapatan

Distribusi penguasaan lahan sebagai faktor produksi dan distribusi pendapatan merupakan salah satu indikator pemerataan. Pemerataan akan terwujud jika proporsi lahan dan pendapatan yang dikuasai oleh sekelompok masyarakat tertentu sama besarnya dengan proporsi kelompok tersebut. Umpamanya jika sekelompok

masyarakat proporsinya sebesar 40% dari total penduduk, maka seharusnya mereka juga menguasai pendapatan sebesar 40% dari total pendapatan.

Untuk mengukur distribusi atau tingkat pemerataan dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan antara lain Gini Ratio, Kuznet Index, Oshima Hidexs, Theil

Decomposition dan kriteria Bank Dunia. Dari beberapa pendekatan tersebut Gini Ratio dan kriteria Bank Dunia merupakan ukuran tingkat pemerataan yang paling

banyak digunakan oleh para peneliti. Di Indonesia kedua pendekatan tersebut telah lazim digunakan untuk mengukur berbagai bentuk pemerataan, terutama untuk mengukur pemerataan pendapatan dan penguasaan lahan.

Todaro (1985: 149) menyatakan bahwa Gini Ratio akan dapat dijelaskan dengan menggunakan Kurva Lorenz. Dengan menggunakan Kurva Lorenz tingkat pemerataan akan dapat diketahui dengan jalan membandingkan bidang yang terletak antara garis diagonal dengan Kurva Lorenz (bidang yang diarsir) dengan bidang setengah bujur sangkar (OBE0 sebagaimana terlihat pada Gambar 2.2.

Sumber: Todaro (1985).

Di pedesaan distribusi penguasaan lahan dan distribusi pendapatan merupakan dua hal yang cenderung menjadi perhatian, karena distribusi penguasaan lahan cenderung mempengaruhi distribusi pendapatan. Lahan bagi masyarakat pedesaan merupakan faktor produksi yang menentukan tinggi rendahnya pendapatan. Dengan demikian jika lahan terdistribusi dengan merata, maka pendapatan juga akan terdistribusi pula secara merata. Secara lebih luas Jhonston dan Clark (1985: 210) mengemukakan luas dan distribusi penguasaan tanah serta pilihan teknologi berpengaruh terhadap tingkat dan distribusi pendapatan masyarakat. Seterusnya tingkat dan distribusi pendapatan dan keputusan untuk menabung dan investasi berpengaruh pula terhadap tingkat dan distribusi penguasaan lahan.

Selanjutnya hasil studi Mintoro (1983: 45) menyimpulkan bahwa pada desa- desa yang kesempatan kerja di luar pertanian sangat terbatas, distribusi penguasaan lahan berpengaruh nyata terhadap distribusi pendapatan. Sedangkan bagi desa-desa yang kesempatan kerja di luar pertanian sudah terbuka, distribusi penguasaan lahan tidak berpengaruh nyata terhadap distribusi pendapatan. Terbukanya kesempatan berusaha di luar pertanian menunjukkan bahwa penghasilan petani bukan hanya berasal dari sektor pertanian tetapi juga berasal dari kegiatan lain dengan demikian penguasaan lahan bukan satu-satunya sumber penghasilan bagi petani dan yang menentukan distribusi pendapatan mereka. Berdasarkan hasil Susenas tahun 1990 dapat diketahui bahwa rata-rata penguasaan lahan per rumah tangga di Indonesia 0,38 hektar sementara sebarannya cukup merata sebagaimana ditunjukkan oleh Gini Koefisien (0,3213).

Todaro (1985: 306) menyatakan di kebanyakan negara yang struktur pemilikan tanahnya tidak merata merupakan penyebab utama ketidakmerataan pembagian pendapatan dan kesejahteraan di pedesaan. Hal yang sama juga diungkapkan Syahruddin (1980: 36) bahwa terdapat hubungan yang berarti antara distribusi pemilikan tanah dengan distribusi pendapatan di pedesaan Sumatera Barat.

Hasil studi deskriptif yang dilakukan Hayami (1981: 46) di Desa Perbaungan menyimpulkan bahwa luas pemilikan lahan yang tidak merata menyebabkan besarnya pendapatan juga tidak merata. Tidak meratanya distribusi pendapatan disebabkan kegiatan pertanian merupakan satu-satunya pendapatan bagi masyarakat.

Syukur (1988: 54) di pedesaan Sulawesi Selatan menyimpulkan terdapat hubungan searah antara distribusi penguasaan lahan dengan distribusi pendapatan. Dalam hal ini luas lahan mempunyai peranan penting dalam menciptakan arus masuk pendapatan masyarakat pedesaan. Dengan demikian distribusi pendapatan akan terefleksi oleh distribusi penguasaan lahan.

Colier dalam Hayami (1985: 280) mengemukakan bahwa pendapatan dari kegiatan di luar pertanian sangat penting sebagai tambahan pendapatan yang bersumber dari kegiatan pertanian. Selanjutnya, ia mengemukakan, pendapatan dari kegiatan non pertanian dalam perekonomian agraris secara teoritis dapat berpengaruh positif terhadap pemerataan pendapatan jika pola penguasaan lahan pertanian relatif tidak merata. Berpengaruh negatif jika pola penguasaan lahan relatif merata dan netral jika sumbangan penghasilan kegiatan luar pertanian relatif kecil terhadap pendapatan rumah tangga miskin.

Hasil studi yang dilakukan Sinaga dan White (1984: 145) di daerah aliran sungai Cimanuk memperlihatkan semakin besar proporsi pendapatan dan kegiatan non pertanian tidak memperkecil pemerataan tetapi sebaliknya memperbesar ketidakmerataan pendapatan yang berasal dari pertanian. Lebih lanjut studi tersebut menemukan golongan petani yang berlahan luas dan memperoleh pendapatan melebihi biaya hidupnya, mereka menginvestasikan surplus pendapatannya kepada usaha yang bersifat padat modal seperti alat pengolah hasil pertanian dan membuka warung. Di lain pihak petani kecil dan buruh tani yang penghasilannya tidak cukup untuk membiayai keluarganya, mereka terpaksa mencari pekerjaan yang bersifat padat tenaga kerja yang tidak membutuhkan modal besar seperti pedagang bakulan, kerajinan tangan, bidang jasa dan sektor informal lainnya.

Studi yang dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja dalam Kustiah (1983: 77) menyimpulkan bahwa semakin miskin suatu daerah maka semakin merata distribusi pendapatannya dan demikian pula sebaliknya. Terjadinya hal tersebut karena kegiatan usaha tani yang dilakukan oleh masyarakat miskin pada umumnya adalah pertanian berlahan sempit dan cenderung mengandalkan tenaga kerja ketimbang modal. Penggunaan tenaga kerja di luar keluarga pada umumnya tidak dibayar karena adanya pertukaran tenaga kerja di antara mereka secara resiprokal. Berbeda dengan petani yang berlahan luas yang pada umumnya lebih mengandalkan faktor modal dan tenaga kerja bayaran dengan berprinsip efisiensi skala usaha. Dengan kondisi demikian pembagian pendapatan pada kelompok petani miskin cenderung akan lebih merata ketimbang petani mampu. Secara konkrit hasil studi

tersebut menunjukkan bahwa besarnya koefisien Gini untuk daerah hampir miskin sebesar 0,270 daerah miskin sebesar 0,234, daerah sedikit lebih miskin 0,213 dan daerah sangat miskin 0,161.

Dokumen terkait