• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Rinosinusitis Berdasarkan Tempat dan Waktu

TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Epidemiologi Rinosinusitis

2.7.2. Distribusi Rinosinusitis Berdasarkan Tempat dan Waktu

Rinosinusitis mempengaruhi sekitar 35 juta orang per tahun di Amerika. Menurut National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), sekitar 14 % penderita dewasa mengalami rinosinusitis yang bersifat episode per tahunnya. Prevalensi rinosinusitis kronik di Kanada tahun 1997 pada perempuan yaitu 5,7% dan laki-laki 3,4%. Prevalensi rinosinusitis kronik di Skotlandia Utara dan Karibia Selatan tahun 1999 yaitu 9,6% dan 9,3% (Frisdiana, 2011).

Penelitian Staikuniene et al (2000-2005) di Lithuania, dari 121 penderita rinosinusitis kronik didapatkan 84 orang (69,4%) menderita polip hidung dan 48 orang (39,6%) menderita asma. Penelitian See Goh, et al (April 2001 – Agustus 2002) di Malaysia didapatkan 30 penderita rinosinusitis kronik dimana 8 orang (26,7%) disebabkan oleh infeksi jamur yang diagnosisnya ditegakkan dari spesimen pembedahan.

2.8. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang (Mangunkusumo, 2010). Anamnesis yaitu dengan cara menanyakan riwayat dan perjalanan penyakit apakah sudah berlangsung selama lebih dari 12 minggu serta didapatkan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dengan 2 gejala minor (Benninger, 2008). Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior

dan posterior. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sfenoid) (Mangunkusumo, 2010). Meatus medius sering dapat diinspeksi dengan baik setelah pemberian dekongestan (Shah, 2008). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis (Mangunkusumo, 2010).

Naso-endoskopi (kaku maupun fleksibel) sangat penting dalam evaluasi rinosinusitis. Pada acute bacterial rhinosinusitis (ABRS), naso-endoskopi bermanfaat untuk konfirmasi diagnosis sekaligus mendapatkan sekret dari meatus media untuk dikultur (Shah, 2008). Untuk mengurangi kontaminasi dari hidung, kultur dari meatus media dapat dilakukan melalui aspirasi sinus maksila yang merupakan gold standard untuk diagnosis ABRS (Benninger, 2008).

Pemeriksaan penunjang pilihan utama untuk menilai gambaran sinus adalah CT-scan. Kelebihannya ialah mampu memberi gambaran sinus pada rinosinusitis kronis yang gejalanya tidak sesuai dengan pemeriksaan klinis. Diagnosis dapat ditegakkan dengan atau tanpa naso-endoskopi. Namun, CT-scan memiliki keterbatasan yaitu sulit membedakan rinosinusitis dengan infeksi virus saluran pernafasan bagian atas, kecuali jika sudah timbul komplikasi. Visualisasi optimal didapatkan dengan coronal scans (Shah, 2008). Pemeriksaan penunjang yang lain adalah foto polos, yaitu dengan posisi Waters, PA dan lateral. Biasanya foto tersebut hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal (Mangunkusumo, 2010). Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior dan dengan alat endoskopi bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya. Tindakan selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi. MRI hanya dilakukan jika ada kecurigaan komplikasi pada orbita dan intrakranial (Shah, 2008).

2.9. Terapi

Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan akut menjadi kronik (Mangunkusumo, 2010). Jenis terapi dibagi menjadi 2 pilihan, yaitu secara medikamentosa dan pembedahan.

2.9.1. Medikamentosa

Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis bakterial akut. Antibiotik yang dipilih adalah yang berspektrum lebar, yaitu golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika kuman resisten terhadap amoksisilin, maka diberikan amoksisilin-klavulanat atau sefalosporin generasi ke-2. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang (Mangunkusumo, 2010). Jika penderita tidak menunjukkan perbaikan dalam 72 jam, maka dilakukan reevaluasi dan mengganti antibiotik yang sesuai.

Pengobatan secara medikamentosa menunjukkan hasil yang lebih memuaskan jika diberikan sesuai dengan hasil kultur (Busquets, 2006). Gold standard untuk kultur sinus adalah pungsi sinus maksilaris, namun hal ini harus dilakukan pada pasien tertentu dan dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan komplikasi minor seperti nyeri dan perdarahan. Kultur sinus sangat penting dalam memilih jenis obat pada rinosinusitis kronik karena organisme patogennya berbeda dengan ABRS. Antibiotik yang biasanya diberikan pada rinosinusitis kronik adalah yang sesuai untuk kuman gram negatif (S. aureus) dan anaerob (Shah, 2008).

Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik seperti guaifenesin (Shah, 2008), steroid oral/ topikal, pencucian rongga hidung (irigasi) dengan NaCl atau pemanasan (diatermi) (Mangunkusumo, 2010). Steroid hidung (spray) sering diberikan untuk terapi pemeliharaan/maintenance pada rinosinusitis kronik. Nasal saline irrigation

adalah jenis terapi yang penting dalam mengobati rinosinusitis kronik. Bilasan hidung tersebut akan mencegah akumulasi krusta-krusta di hidung dan membantu lancarnya klirens mukosiliar. Irigasi antibiotik seperti gentamisin (80 mg/L) dipertimbangkan pemberiannya pada rinosinusitis kronik yang refrakter (Shah, 2008).

Untuk pasien dengan riwayat alergi dapat ditangani dengan cara menghindarkan faktor pencetus, pemberian steroid topikal, dan imunoterapi (Shah, 2008). Antihistamin generasi ke-2 diberikan bila ada alergi berat (Mangunkusumo, 2010).

2.9.2. Pembedahan

Tatalaksana pembedahan yang dilakukan ada beberapa cara, antara lain : bedah sinus endoskopi fungsional dan operasi sinus terbuka, seperti operasi

Caldwell-Luc, etmoidektomi eksternal, trepinasi sinus frontal dan irigasi sinus.

a. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/ FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur (Mangunkusumo, 2010).

b. Operasi Caldwell-Luc

Operasi dengan metode Caldwell-Luc dilakukan pada kelainan sinus maksilaris. Indikasi operasi dengan metode ini yaitu jika terlihat manifestasi klinis seperti mukokel sinus maksilaris, polip antrokoanal, misetoma, atau benda asing yang tidak dapat dijangkau melalui endoskopi intranasal (Lund, 2008).

c. Etmoidektomi Eksternal

Etmoidektomi eksternal telah banyak digantikan oleh bedah endoskopi. Meskipun begitu, masih ada keuntungan dalam menggunakan metode operasi ini. Misalnya, biopsi dapat dilakukan secara eksternal pada lesi sinus etmoid atau frontal. Manfaat lain dari metode ini yaitu dapat memperbaiki komplikasi orbita dari sinusitis etmoid akut atau frontal dengan cepat dan aman (Lane, 2003).

d. Trepinasi Sinus Frontal

Metode operasi ini bermanfaat untuk infeksi akut ketika endoskopi nasal sulit dilakukan akibat perdarahan mukosa hidung. Operasi ini aman dan dekompresi pus pada sinus frontalis cepat dilakukan (Lane, 2003).

e. Irigasi Sinus

Irigasi sinus bermanfaat sebagai diagnostik sekaligus terapi. Irigasi sinus dilakukan pada sinusitis maksilaris akut yang tidak dapat ditangani dengan pengobatan konservatif dan juga dijadikan sebagai prosedur tambahan untuk drainase eksternal pada komplikasi orbita yang akut. Pungsi antrum biasanya dilakukan pada meatus inferior hidung (Lund, 2008).

2.10. Komplikasi

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik. Komplikasinya berupa komplikasi orbita atau intrakranial. Komplikasi lain yang dapat dijumpai pada sinusitis kronik yaitu osteomielitis, abses subperiostal serta kelainan paru (Mangunkusumo, 2010).

Dokumen terkait