IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.4 DIURNAL CHANGE
4.4.1 Karbon Dioksida (CO
2)
Pola perubahan diurnal CO2 selama 24 jam dapat dilihat pada Gambar 8. Rata-rata gas CO2 yang terukur adalah 336 ppm (319 mgC/m2/jam) dengan total emisi selama 24 jam sebesar 48 380 ppm (7 649 mgC/m2). Konsentrasi CO2 tertinggi terjadi pada pukul 18.00 sebesar 354 ppm (335 mgC/m2/jam) sedangkan terendah terjadi pada pukul 10.00 sebesar 314 ppm (298 mgC/m2/jam). Rata-rata CO2 yang terukur pada siang hari sebesar 333 ppm (316 mgC/m2/jam) sedangkan pada malam hari sebesar 339 ppm (321 mgC/m2/jam). Analisis ragam menunjukkan jam pengambilan berpengaruh nyata terhadap konsentrasi CO2 dengan nilai p=0.0002 dan R2=0.63 (Lampiran 9).
Gambar 8. Pola perubahan diurnal emisi CO2 selama 24 jam
Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi CO2 yang terukur cenderung meningkat saat siang, mencapai maksimum menjelang malam, relatif stabil pada malam hari kemudian menurun hingga mencapai konsentrasi terendah pada pagi hari dengan rata-rata CO2 yang terukur pada siang hari lebih rendah dibandingkan malam hari. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Yunshe et al. (2000) yang menunjukkan emisi CO2 justru lebih besar pada siang hari dibandingkan malam hari dengan emisi maksimum terjadi pada pukul 12.00. Rata-rata konsentrasi CO2 pada malam hari yang lebih tinggi dibandingkan siang hari disebabkan oleh peningkatan respirasi mikroorganisme dan respirasi akar pada malam hari. Medina dan Zelwer (1972) diacu dalam Rastogi et al. (2002) menyatakan respirasi tanah pada malam hari selalu lebih tinggi dibandingkan siang hari karena kelembaban relatif (Rh) dan temperatur tanah yang tinggi menjelang malam.
Rastogi et al. (2002) menyatakan beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan emisi CO2 pada temperatur antara 20-40°C. Sedangkan di atas 50°C evolusi CO2 menurun dengan cepat karena respirasi mikroorganisme terhambat. Selain itu, peningkatan temperatur juga dapat meningkatkan respirasi akar dan dekomposisi bahan organik sehingga emisi CO2 dari tanah meningkat. Dalam penelitian ini konsentrasi CO2 mencapai maksimum pada saat temperatur tanah 30°C.
Variasi emisi CO2 dari lahan pertanian dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan budidaya seperti temperatur, pH dan aplikasi pupuk. Menurut Rastogi et al. (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi emisi CO2 dari tanah meliputi temperatur, kelembaban, variasi diurnal, musim dan tempat, tekstur tanah, pH tanah, salinitas, tekanan atmosfer, aplikasi pupuk organik dan anorganik, penggunaan inhibitor nitrifikasi, tanaman dan pengolahan tanah. Dalam penelitian ini, parameter lingkungan yang diamati meliputi temperatur tanah, temperatur udara, kadar air tanah, radiasi
300 320 340 360 380 400 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 1 2 3 4 5 C O 2 ( p p m ) waktu (pukul) Rata-rata CO2 = 336 ppm (319 mgC/m2/jam) Total emisi CO2 = 48 380 ppm (7 649 mgC/m2)
29 matahari dan curah hujan (Lampiran 4). Konsentrasi CO2 hanya berkorelasi nyata dan negatif dengan radiasi matahari (p=0.0017, r=-0.61) (Lampiran 11). Selama pengambilan sampel gas untuk diurnal change, radiasi matahari di lokasi penelitian sangat berfluktuasi dengan nilai maksimum 842.5 w/m2 dan minimum 0.6 w/m2.
4.4.2 Metana (CH
4)
Perubahan diurnal selama 24 jam untuk gas CH4 disajikan pada Gambar 9. Konsentrasi CH4 mencapai nilai tertinggi pada pukul 05.00 sebesar 5.4 ppm (5.2 mgC/m2/jam) dan terendah pada pukul 15.00 sebesar 4.4 ppm (4.1 mgC/m2/jam). Konsentrasi CH4 yang terukur relatif stabil dengan rata-rata 4.9 ppm (4.6 mgC/m2/jam) dan total emisi selama 24 jam sebesar 701 ppm (111 mgC/m2). Rata-rata konsentrasi CH4 pada siang hari 4.8 ppm (4.5 mgC/m2/jam) sedangkan rata-rata pada malam hari 5.0 ppm (4.7 mgC/m2/jam). Hasil analisis ragam menunjukkan jam pengambilan gas tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi CH4 yang terukur (p=0.10, R2=0.45) (Lampiran 9).
Gambar 9. Pola perubahan diurnal emisi CH4 selama 24 jam
Emisi metana juga dikendalikan oleh berbagai faktor lingkungan seperti kandungan bahan organik, kadar air, tekstur, temperatur, dan pH. Dari parameter temperatur tanah, temperatur udara, radiasi matahari, kadar air tanah dan curah hujan yang diamati, hasil analisis statistik menunjukkan konsentrasi CH4 berkorelasi kuat dan negatif dengan temperatur tanah (p<0.0001, r=-0.72) dan temperatur udara (p=0.0030, r=-0.58) (Lampiran 11). Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Yunshe et al. (2000) yang menyatakan temperatur menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi variasi harian emisi gas rumah kaca.
Hasil penelitian menunjukkan konsentrasi CH4 meningkat pada malam hari, mencapai maksimum pada pagi hari, menurun saat siang hingga minimum pada sore hari dengan rata-rata pada malam hari lebih tinggi dibandingkan siang hari. Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan konsentrasi CH4 pada malam hari lebih tinggi dibandingkan siang hari. Pada malam hari supply oksigen ke dalam tanah berkurang sehingga lingkungan lebih bersifat anaerobik. Kondisi lingkungan yang anaerob dapat meningkatkan produksi CH4 oleh mikroorganisme.
Konsentrasi CH4 pada malam hari relatif lebih tinggi dibandingkan siang hari mengindikasikan bahwa temperatur sangat mempengaruhi besarnya emisi CH4 ke atmosfer. Konsentrasi CH4 yang lebih rendah pada siang hari dapat disebabkan oleh peningkatan temperatur saat siang hari menyebabkan terhambatnya aktivitas mikroorganisme penghasil CH4. Menurut Couwenberg (2009), mikroorganisme yang berperan penting dalam menghasilkan metana adalah
2 3 4 5 6 7 8 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 1 2 3 4 5 C H 4 ( p p m ) waktu (pukul) Rata-rata CH4 = 4.9 ppm (4.6 mgC/m2/jam) Total emisi CH4 = 701 ppm (111 mgC/m2)
30 bakteri metanogenik Archaea yang bersifat anaerob. Aktivitas dari bakteri metanogen tersebut sangat dipengaruhi oleh temperatur. Peningkatan temperatur dapat meningkatkan produksi CH4 sampai pada temperatur optimum. Setelah itu, peningkatan temperatur di atas temperatur optimum dapat menyebabkan penurunan produksi CH4. Hasil penelitian Juottonen (2008) menunjukkan produksi CH4 rendah pada temperatur 5°C dan 14°C, lebih tinggi pada 25-35°C dengan nilai optimum pada ~30°C dan menurun pada suhu di atas 35°C. Dalam penelitian ini, konsentrasi CH4 yang dihasilkan lebih tinggi pada temperatur tanah 26-27°C dengan rata-rata CH4 sebesar 5.2 ppm sedangkan pada temperatur antara 28-32°C rata-rata CH4 yang terukur adalah 4.7 ppm.
Konsentrasi CH4 pada malam hari yang cenderung lebih tinggi juga dapat disebabkan oleh menurunnya aktivitas oksidasi metan. Emisi metan ke atmosfer merupakan hasil interaksi antara tiga proses yaitu produksi metan (methanogenesis) di dalam tanah oleh metanogen, oksidasi metan oleh metanotrop dan distribusi metan melalui transpor tanaman, difusi atau ebullition (Dubey, 2005). Aktivitas oksidasi metan membutuhkan supply oksigen. Sementara itu menurut Raskin dan Kende (1985) diacu dalam Batjes dan Bridges (1992), pada malam hari hanya sebagian kecil dari O2 yang di transportasikan ke sistem perakaran tanaman sehingga oksidasi metan berkurang. Kondisi tersebut menghasilkan net emisi CH4 yang lebih besar pada malam hari.
Rata-rata konsentrasi CH4 yang terukur dalam penelitian ini adalah 4.9 ppm (4.6 mgC/m2/jam atau 111 mgC/m2/hari). Sementara itu, hasil penelitian Isminingsih (2009) di lahan sawah menunjukkan lahan yang diberi perlakuan pengairan berselang dan diberi tambahan pupuk anorganik mempunyai fluks CH4 sebesar 268 mgC/m2/hari. Fluks CH4 di lahan sawah lebih besar disebabkan oleh kondisi lahan sawah yang selalu tergenang air sehingga lebih bersifat anaerob. Kondisi tersebut dapat meningkatkan aktivitas metanogen dalam menghasilkan metan sehingga emisi CH4 di lahan sawah menjadi lebih besar.
4.1.2 Diniro-Oksida (N
2O)
Lahan pertanian merupakan salah satu sumber emisi N2O terbesar. Perubahan diurnal untuk gas N2O pada kebun jarak pagar dapat dilihat pada Gambar 10. Bila dibandingkan dengan CO2 dan CH4, konsentrasi dinitro-oksida (N2O) yang terukur selama 24 jam lebih fluktuatif, berkisar antara 1.9-5.5 ppm dengan rata-rata 3.9 ppm (4.3 mgN/m2/jam) dan total emisi selama 24 jam sebesar 565 ppm (104 mgN/m2). Konsentrasi N2O mencapai nilai tertinggi pada pukul 16.00 (5.5 ppm, 6.1 mgN/m2/jam) dan terendah pada pukul 06.00 (1.9 ppm, 2.1 mgN/m2/jam). Rata-rata konsentrasi N2O pada siang hari 4.0 ppm (4.4 mgN/m2/jam) sedangkan pada malam hari 3.9 ppm (4.3 mgN/m2/jam).
Gambar 10. Pola perubahan diurnal emisi N2O selama 24 jam 0 1 2 3 4 5 6 7 8 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 1 2 3 4 5 N 2 O ( p p m ) waktu (pukul) Rata-rata N2O = 3.9 ppm (4.3 mgN/m2/jam) Total emisi N2O = 565 ppm (104 mgN/m2)
31 Pola perubahan diurnal N2O yang lebih fluktuatif menunjukkan emisi N2O lebih responsif terhadap perubahan kondisi lingkungan. Sementara itu, menurut Batjes dan Bridges (1992), iklim dan kondisi tanah sangat bervariasi berdasarkan waktu dan tempat. Variasi dari faktor lingkungan tersebut kemudian mempengaruhi aktivitas mikroorganisme penghasil N2O dan menyebabkan tingginya variasi N2O yang dihasilkan. Analisis ragam menunjukkan konsentrasi N2O tidak berkorelasi nyata dengan temperatur tanah, temperatur udara, radiasi matahari, kadar air tanah, maupun curah hujan (Lampiran 11). Selain itu, jam pengambilan gas juga tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi N2O yang dihasilkan (p=0.14, R2=0.44) (Lampiran 9).
Pola perubahan diurnal gas N2O menunjukkan konsentrasi N2O meningkat saat siang hari, maksimum pada sore hari, kemudian menurun saat malam hari hingga mencapai nilai minimum pada pagi hari dengan rata-rata konsentrasi N2O pada siang hari lebih tinggi dibandingkan malam hari. Pola perubahan diurnal tersebut mengindikasikan N2O lebih banyak dihasilkan pada kondisi aerob melalui proses nitrifikasi. Selain itu, peningkatan aktivitas mikroorganisme penghasil N2O dengan adanya peningkatan temperatur juga dapat menjadi penyebab emisi N2O lebih tinggi pada siang hari. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Yunshe et al. (2000) yang menunjukkan emisi N2O lebih tinggi pada siang hari dibandingkan malam hari dengan adanya korelasi positif antara emisi N2O yang dihasilkan dengan temperatur tanah dan udara. Dengan demikian, temperatur merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi perubahan diurnal fluks N2O dari tanah.
Pemberian pupuk urea pada penelitian pendahuluan menyebabkan tingginya konsentrasi N2O yang terukur. Urea merupakan salah satu pupuk nitrogen dengan sifat higroskopis yang tinggi sehingga mudah terdegradasi ketika diaplikasikan ke tanah. Menurut Jones et al. (2007), urea berpotensi besar mengalami kehilangan N melalui penguapan ammonia (NH4+). Ammonia merupakan substrat awal yang digunakan dalam proses nitrifikasi yang menghasilkan N2O sebagai produk sampingnya. Hasil penelitian Isminingsih (2009) juga menunjukkan aplikasi pupuk urea menyebabkan fluks kumulatif N2O meningkat.
Sama halnya dengan clearing, hasil pengukuran emisi dari setiap jenis gas pada saat diurnal change kemudian dikonversi ke CO2 (CO2 equivalent) untuk mengetahui nilai GWP. Nilai GWP (kgCO2 eq/ha/jam) pada saat diurnal change dapat dilihat pada Gambar 11 dan Lampiran 3. Nilai GWP tertinggi terjadi pada pukul 15.00 WIB sebesar 54 kgCO2 eq/ha/jam sedangkan terendah pada pukul 06.00 WIB sebesar 19 kgCO2 eq/ha/jam dengan total GWP selama 24 jam sebesar 957 kgCO2 eq/ha. Hasil analisis ragam menujukkan nilai GWP tidak berbeda nyata berdasarkan jam pengambilan sampel gas (p=0.1 R2=0.43).
Gambar 11. Nilai GWP pada saat diurnal change
0 20 40 60 80 100 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 1 2 3 4 5 G W P ( k g C O 2 e q /h a/ ja m ) waktu (pukul) Total GWP = 957 kgCO2 eq/ha/hari
32