• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Kompos Bungkil Jarak Pagar untuk Mereduksi Emisi Gas Rumah Kaca Karbondioksida (CO2), Metana (CH4) dan Dinitro-Oksida (N2O) dari Perkebunan Jarak Pagar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi Kompos Bungkil Jarak Pagar untuk Mereduksi Emisi Gas Rumah Kaca Karbondioksida (CO2), Metana (CH4) dan Dinitro-Oksida (N2O) dari Perkebunan Jarak Pagar"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI KOMPOS BUNGKIL JARAK PAGAR

MEREDUKSI EMIS

(CO

2

), METAN

DARI PERKEBUNAN JARAK PAGAR

FAKULTA

INSTITUT

KOMPOS BUNGKIL JARAK PAGAR UNTUK

MEREDUKSI EMISI GAS RUMAH KACA KARBON DIOKSIDA

METANA (CH

4

) DAN DINITRO OKSIDA (N

2

O)

DARI PERKEBUNAN JARAK PAGAR

SKRIPSI

NELI MUNA

F34062405

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

UNTUK

I GAS RUMAH KACA KARBON DIOKSIDA

(2)

JATROPHA CURCAS CAKE COMPOST APPLICATION

TO REDUCE GREENHOUSE GAS CARBON DIOXIDE (CO

2

),

METHANE (CH

4

) AND DINITRO-OXIDE (N

2

O) EMISSION

FROM JATROPHA CURCAS PLANTATION

Endang Warsiki, Moh. Yani and Neli Muna

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agriculture Technology,

Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone 62 251 8624622, email : muna_ipb@yahoo.co.id

ABSTRACT

Jatropha curcas cake compost application in agricultural practiced can increase soil organic carbon and improve amonification, nitrification and nitrogen fixation which good for plant. On the other hand, compost had potentially increase greenhouse gas (GHG) emission especially CO2, CH4

and N2O. This research was conducted to measure the GHG of this compost application and have

been done in two steps. Firstly, clear the diurnal change in the GHG emission to determine the time of maximum GHG emitted to the air. It showed that the average concentration of CO2 and CH4 was

higher during nighttime while N2O was higher during daytime. The maximum concentration of CO2,

CH4 and N2O appears at 06:00 p.m. (354 ppm), 05:00 a.m. (5.4 ppm) and 04:00 p.m. (5.5 ppm).

Secondly, identification of CO2, CH4 and N2O emission from compost application and compared to

an-organic fertilizer (urea and slow release urea). The result showed that concentration of CH4 from

Jatropha curcas cake compost was lower than urea at 3, 5 and 7 day after fertilization while N2O

from compost was higher at 3 and 14 day after fertilization. Urea application enhances CH4 emission

by increasing metanogen activity. Meanwhile, addition of organic matter into soil caused oxygen deficiency and increase nitrate denitrification to N2O. Compared to slow release urea, CH4

concentration from compost was higher at 3, 5 and 14 day after fertilization. N2O from compost was

lower at 5 and 14 day after fertilization. Calculation of total CH4 and N2O during 14 day showed that

CH4 from compost was lower (621 mgC/m2) than urea (630 mgC/m2) and slow released urea (638

mgC/m2) while N2O from compost was highest (455 mgN/m2).

(3)

NELI MUNA. F34062405. Aplikasi Kompos Bungkil Jarak Pagar untuk Mereduksi Emisi Gas Rumah Kaca Karbondioksida (CO2), Metana (CH4) dan Dinitro-Oksida (N2O) dari Perkebunan

Jarak Pagar. Di bawah bimbingan Endang Warsiki dan Moh. Yani. 2011

RINGKASAN

Kompos merupakan bahan organik berupa limbah hasil pertanian yang telah mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah. Pemberian kompos akan menambah sumber karbon organik dalam tanah sehingga dapat meningkatkan amonifikasi, nitrifikasi dan fiksasi nitrogen yang bermanfaat bagi tumbuhan. Di sisi lain, aplikasi kompos pada lahan pertanian juga dapat memberikan dampak negatif pada lingkungan berupa emisi gas rumah kaca. Tingginya ketersediaan bahan organik dalam tanah berpotensi meningkatkan emisi gas metan (CH4). Nitrifikasi menghasilkan produk samping berupa nitrous oksida (N2O) yang merupakan salah satu gas rumah kaca yang penting. Pemberian kompos juga berpeluang meningkatkan emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dari respirasi mikroorganisme. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana pengaruh dari aplikasi kompos terhadap emisi dari ketiga jenis gas rumah kaca tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur perubahan diurnal emisi CO2, CH4 dan N2O pada siang dan malam hari sehingga dapat diketahui waktu emisi mencapai maksimum serta mengukur emisi gas rumah kaca meliputi CO2, CH4 dan N2O dari aplikasi kompos di lahan perkebunan yang kemudian dibandingkan dengan emisi gas serupa pada urea dan slow release urea. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan meliputi penentuan posisi tabung penangkap gas (clearing) serta pengukuran diurnal change dan penelitian utama.

Pada penelitian pendahuluan, pengambilan sampel gas untuk clearing dilakukan pada pukul 08.00, 12.00, 16.00 dan 24.00 WIB dengan menggunakan 8 tabung yang diletakkan pada posisi berbeda dalam satu plot percobaan. Pengambilan sampel gas untuk diurnal change dilakukan tiap jam dalam sehari. Pada penelitian utama, emisi gas rumah kaca diukur pada 3, 5, 7 dan 14 hari setelah pupuk kompos dan pupuk lain diaplikasikan di lahan. Sebagai kontrol diambil sampel dimana tidak ada perlakuan pemupukan. Pengambilan gas dilakukan secara triplo.

Hasil pengukuran clearing menunjukkan posisi tabung tidak memberikan pengaruh nyata terhadap emisi CO2, CH4 dan N2O yang dihasilkan. Hal ini dapat disebabkan kondisi lahan yang relatif seragam. Dengan demikian untuk penelitian pendahuluan dan penelitian utama, tabung penangkap gas diletakkan pada tiga posisi yaitu di dekat tanaman, diantara dua tanaman dan diantara empat tanaman. Hasil pengukuran perubahan diurnal menunjukkan waktu dimana konsentrasi CO2, CH4 dan N2O mencapai maksimum berturut-turut adalah pada pukul 18.00 WIB (354 ppm), pukul 05.00 WIB (5.4 ppm) dan pukul 16.00 WIB (5.5 ppm).

Hasil penelitian utama menunjukkan konsentrasi CH4 dari kompos lebih rendah dibandingkan pupuk an-organik (urea) kecuali pada 14 hari setelah aplikasi pupuk (HSAP). Sebaliknya, konsentrasi CH4 dari kompos lebih tinggi dibandingkan dengan slow release urea kecuali pada 7 HSAP dimana CH4 dari kompos konsentrasinya lebih rendah. Pemberian pupuk an-organik seperti urea dapat memacu aktivitas mikroorganisme sehingga emisi CH4 yang dihasilkan lebih tinggi. Berbeda dengan CH4, kompos menghasilkan N2O dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan urea pada 3 dan 14 HSAP. Hal ini terjadi karena penambahan bahan organik dapat menyebabkan defisiensi oksigen di dalam tanah sehingga meningkatkan aktivitas denitrifikasi nitrat menjadi N2O. Dibandingkan dengan

(4)

APLIKASI KOMPOS BUNGKIL JARAK PAGAR UNTUK

MEREDUKSI EMISI GAS RUMAH KACA KARBON DIOKSIDA

(CO

2

), METANA (CH

4

) DAN DINITRO OKSIDA (N

2

O)

DARI PERKEBUNAN JARAK PAGAR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

NELI MUNA

F34062405

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Aplikasi Kompos Bungkil Jarak Pagar untuk Mereduksi Emisi Gas Rumah Kaca Karbondioksida (CO2), Metana (CH4) dan Dinitro-Oksida (N2O) dari Perkebunan Jarak Pagar

Nama : Neli Muna

NIM : F34062405

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Endang Warsiki, S.TP, M.T Dr. Ir. Moh. Yani, M.Eng NIP. 19710305 199702 2 001 NIP. 19630805 199002 1 001

Mengetahui : Ketua Departemen,

Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti NIP. 19621009 198903 2 001

(6)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Aplikasi Kompos Bungkil Jarak Pagar untuk Mereduksi Emisi Gas Rumah Kaca Karbondioksida (CO2), Metana

(CH4) dan Dinitro-Oksida (N2O) dari Perkebunan Jarak Pagar adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

Yang membuat pernyataan

(7)

© Hak cipta milik Neli Muna, tahun 2011

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian

Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy,

(8)

BIODATA PENULIS

Neli Muna. Lahir di Kudus, 3 September 1988 dari ayah Fathoni dan ibu Khalimah Sa’diyah, sebagai putri pertama dari enam bersaudara. Tahun 2000 penulis lulus dari SD Negeri Pati Lor 01, kemudian pada tahun 2003 menyelesaikan studi di SLTP Negeri 01 Pati. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2006 dari SMA Negeri 1 Pati dan pada tahun yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) pada tahun 2007-2008, Forum Bina Islami Fakultas Teknologi Pertanian (FBI Fateta) tahun 2007-2010 dan Ikatan Keluarga Mahasiswa Pati (IKMP) tahun 2006-2010. Beberapa kegiatan yang diikuti antara lain The Earth Day Celebration, Engineering Science Competition dan

(9)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat, hidayah serta karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penelitian dengan judul APLIKASI KOMPOS BUNGKIL JARAK PAGAR UNTUK MEREDUKSI EMISI GAS RUMAH KACA KARBONDIOKSIDA (CO2), METANA (CH4) DAN DINITRO-OKSIDA (N2O) DARI PERKEBUNAN JARAK PAGAR ini dilaksanakan di Lembaga Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) IPB dan Laboratorium Instrumen Departemen Teknologi Industri Pertanian dari bulan Mei 2010 sampai Februari 2011.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Endang Warsiki, S.TP, M.T sebagai dosen pembimbing utama atas bimbingan dan dukungan yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Moh. Yani, M.Eng atas saran yang diberikan sebagai dosen pembimbing pendamping. 3. Prof. Dr. -Ing Ir. Suprihatin sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan. 4. Prof. Dr. Erliza Hambali sebagai direktur Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) IPB

yang telah memberikan izin pada penulis untuk melaksanakan penelitian di SBRC IPB.

5. Bapak Fathoni, Ibu Khalimah Sa’diyah, Mas Fery Eka Pawitra dan adik-adik (Ulin Niam, Fahmi Yahya, A. Zulfa, A. Arman Arrajab, Rika R.) untuk cinta, kasing sayang, semangat dan do’a yang tidak pernah berhenti.

6. Kak Misnen, Mbak Mercy, Kamal dan Heru untuk kerja sama dan bantuan yang diberikan selama penelitian.

7. Kak Syaeful, Mbak Fifin dan seluruh karyawan SBRC.

8. Ibu Sri, Pak Dicky dan seluruh laboran Departemen Teknologi Industri Pertanian.

9. Jaelani, Randi dan semua teman-teman TIN 43 untuk semangat dan kebersamaan selama kuliah dan penelitian.

10. Chacha, Iin, Fani dan semua anggota Wisma Nurul Fitri.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang lingkungan.

Bogor, Juni 2011

(10)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 BUNGKIL JARAK PAGAR ... 3

2.2 KOMPOS ... 4

2.3 GAS RUMAH KACA ... 5

2.4 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EMISI GAS RUMAH KACA ... 10

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 16

3.1 WAKTU DAN TEMPAT ... 16

3.2 BAHAN DAN ALAT ... 16

3.3 METODE PENELITIAN ... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1 KARAKTERISTIK KOMPOS BUNGKIL JARAK PAGAR ... 20

4.2 KARAKTERISTIK LAHAN PERCOBAAN ... 22

4.3 PENENTUAN POSISI TABUNG PENANGKAP GAS (CLEARING) ... 23

4.4 DIURNAL CHANGE ... 28

4.5 EMISI CH4 DAN N2O DARI APLIKASI KOMPOS BUNGKIL JARAK PAGAR ... 32

4.6 MANFAAT PENELITIAN BAGI AGROINDUSTRI ... 37

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 38

5.1 KESIMPULAN ... 38

5.2 SARAN ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(11)

v

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kandungan kimia bungkil biji jarak pagar ... 3

Tabel 2. Faktor kunci yang mempengaruhi emisi N2O dari tanah ... 13

Tabel 3. Jarak tabung penangkap gas dari tanaman ... 17

Tabel 4. Kondisi GC saat analisis gas CO2, CH4 dan N2O ... 17

Tabel 5. Kandungan unsur hara kompos bungkil jarak pagar ... 20

Tabel 6. Karakteristik lahan kebun percobaan jarak pagar ... 22

Tabel 7. Emisi CO2, CH4 dan N2O berdasarkan waktu pengambilan sampel pada penentuan posisi tabung penangkap gas (clearing) ... 23

(12)

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bungkil jarak pagar ... 3

Gambar 2. Diagram alir pengomposan bungkil jarak menjadi pupuk organik ... 4

Gambar 3. Bagan konsep produksi, oksidasi dan emisi metana, dari sawah ... 8

Gambar 4. Penempatan tabung penangkap gas di dalam setiap plot perlakuan pada penelitian pendahuluan ... 17

Gambar 5. Penempatan tabung penangkap gas di dalam setiap plot perlakuan pada penelitian utama ... 18

Gambar 6. Diagram alir pengukuran emisi gas rumah kaca (GRK) ... 19

Gambar 7. Emisi (a) Karbon dioksida (CO2), (b) Metana (CH4) dan (c) Dinitro oksida (N2O) berdasarkan posisi tabung pada penentuan posisi tabung panangkap gas (clearing) ... 24

Gambar 8. Pola perubahan diurnal emisi CO2 selama 24 jam ... 28

Gambar 9. Pola perubahan diurnal emisi CH4 selama 24 jam ... 29

Gambar 10. Pola perubahan diurnal emisi N2O selama 24 jam ... 30

Gambar 11. Nilai GWP pada saat diurnal change ... 31

Gambar 12. Perubahan emisi CH4 sesaat dari setiap perlakuan selama pengamatan pada pukul 07.00-09.00 WIB ... 32

Gambar 13. Emisi CH4 selama 24 jam dari setiap perlakuan pada 3, 5, 7 dan 14 HSAP ... 34

Gambar 14. Total emisi CH4 selama 14 hari dari setiap jenis pupuk... 34

Gambar 15. Perubahan emisi N2O sesaat dari setiap perlakuan pengamatan pada pukul 07.00-09.00 WIB ... 35

Gambar 16. Emisi N2O selama 24 jam dari setiap perlakuan pada 3, 5, 7 dan 14 HSAP ... 36

(13)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Peralatan penelitian ... 43

Lampiran 2a. Emisi CO2, CH4 dan N2O berdasarkan posisi tabung pada tahap clearing ... 44

Lampiran 2b. Emisi CO2, CH4 dan N2O berdasarkan jam pengambilan sampel gas pada tahap clearing ... 44

Lampiran 3. Emisi CO2, CH4 dan N2O dan nilai GWP pada diurnal change ... 45

Lampiran 4. Kondisi temperatur tanah, udara, radiasi matahari, kandungan air tanah dan curah hujan pada saat penelitian pendahuluan ... 46

Lampiran 5a. Emisi CH4 pada 3 HSAP ... 47

Lampiran 5b. Emisi CH4 pada 5 HSAP ... 47

Lampiran 5c. Emisi CH4 pada 7 HSAP ... 48

Lampiran 5d. Emisi CH4 pada 14 HSAP ... 48

Lampiran 6a. Emisi N2O pada 3 HSAP ... 49

Lampiran 6b. Emisi N2O pada 5 HSAP ... 49

Lampiran 6c. Emisi N2O pada 7 HSAP ... 50

Lampiran 6d. Emisi N2O pada 14 HSAP ... 50

Lampiran 7. Kondisi temperatur tanah, udara, radiasi matahari, kandungan air tanah, dan curah hujan saat penelitian utama ... 51

Lampiran 8a. Analisis ragam emisi CO2, CH4 dan N2O berdasarkan posisi tabung pada tahap clearing ... 52

Lampiran 8b. Analisis ragam emisi CO2, CH4 dan N2O berdasarkan jam pengambilan sampel pada tahap clearing ... 53

Lampiran 9. Analisis ragam emisi CO2, CH4 dan N2O pada diurnal change ... 54

Lampiran 10a. Analisis ragam emisi CH4 dan N2O pada 3 HSAP ... 55

Lampiran 10b. Analisis ragam emisi CH4 dan N2O pada 5 HSAP ... 55

Lampiran 10c. Analisis ragam emisi CH4 dan N2O pada 7 HSAP ... 56

Lampiran 10d. Analisis ragam emisi CH4 dan N2O pada 14 HSAP ... 56

Lampiran 11a. Koefisien korelasi dan peluang nyata emisi CO2, CH4 dan N2O dengan parameter lingkungan pada penelitian pendahuluan ... 57

Lampiran 11b. Koefisien korelasi dan peluang nyata emisi CH4 dan N2O dengan parameter lingkungan saat penelitian utama ... 58

Lampiran 12. Contoh penentuan emisi total CO2 selama 24 jam pada saat clearing ... 59

(14)

1

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Salah satu limbah organik yang dihasilkan dari pengolahan biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) adalah bungkil. Bungkil merupakan sisa pengepresan kernel/daging biji jarak pagar yang masih mengandung minyak dan memiliki kandungan protein dan serat yang cukup tinggi. Menurut Makkar

et al. (2008), bungkil sisa proses ekstraksi minyak mencapai 500–600 g per kg kernel. Dengan demikian, produksi minyak dari 1 ton biji jarak pagar akan menghasilkan 500-600 kg bungkil jarak pagar. Banyaknya limbah bungkil sisa pengepresan akan menimbulkan permasalahan bagi lingkungan jika tidak ditangani dengan tepat. Salah satu solusi dari masalah limbah tersebut adalah dengan memanfaatkan bungkil jarak pagar sebagai kompos.

Kompos merupakan bahan organik berupa limbah hasil pertanian yang telah mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah. Pemberian kompos akan menambah sumber karbon organik dalam tanah sehingga dapat meningkatkan amonifikasi, nitrifikasi dan fiksasi nitrogen yang bermanfaat bagi tumbuhan. Bungkil jarak pagar merupakan salah satu bahan organik yang sangat baik digunakan sebagai kompos. Menurut Nurcholis dan Sumarsih (2007), bungkil daging biji jarak pagar memiliki kandungan unsur hara yang tinggi diantaranya C organik (55.2%), N (4.1%), P (0.5%), dan K (1.2%) sehingga cocok digunakan sebagai pupuk organik. Penggunaan bungkil jarak pagar sebagai kompos selain mengatasi permasalahan limbah yang dihasilkan dari pengolahan biji jarak juga meningkatkan nilai tambah dari pemanfaatan jarak pagar itu sendiri.

Di sisi lain, aplikasi kompos bungkil jarak pagar pada lahan pertanian juga dapat memberikan dampak negatif pada lingkungan berupa peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK). Peningkatan konsentrasi GRK seperti CO2, CO, N2O, CH4, NOx, SOx dan CFxCy di atmosfer menyebabkan suhu di permukaan bumi semakin meningkat atau yang biasa dikenal dengan pemanasan global (global warming). Fenomena tersebut terjadi karena GRK menahan radiasi panas matahari lebih banyak daripada yang dibutuhkan bumi. Adanya peningkatan suhu permukaan bumi ini juga diikuti oleh perubahan alam yang lain seperti naiknya suhu dan ketinggian permukaan air laut serta perubahan pola iklim. Perubahan-perubahan alam tersebut tentunya membawa kerugian yang sangat besar bagi kehidupan manusia.

Diantara beberapa jenis GRK yang disebutkan sebelumnya, menurut Irmansyah (2004) kontribusi terbesar GRK di Indonesia berasal dari karbon dioksida (CO2), metan (CH4) dan dinitro oksida (N2O). Sektor energi dan kehutanan merupakan penghasil emisi GRK terbesar. Pada tahun 1990 kehutanan dan tata guna lahan menghasilkan 42.5% dari total emisi GRK, sementara dari sektor energi menghasilkan 40.9%, kemudian diikuti oleh emisi sektor pertanian (13.4%), industri (2.4%) dan limbah (0.8%). Data dari World Meteorological Organization (2007) menunjukkan rata-rata konsentrasi gas CO2, N2Odan CH4 di atmosfer bumi pada tahun 2006 masing-masing mencapai 381.2 ppm, 320.1 ppb dan 1782 ppb. Angka tersebut apabila dibandingkan dengan kondisi pada masa pra-industri mengalami peningkatan masing-masing sebesar 36%, 19% dan 155%.

(15)

2 pemberian kompos juga berpeluang meningkatkan emisi karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan dari respirasi mikroorganisme. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam penelitian ini akan diukur emisi gas CO2, CH4 dan N2O dari aplikasi kompos bungkil jarak pagar pada lahan perkebunan dan membandingkannya dengan emisi gas serupa dari aplikasi urea dan slow release urea.

1.2

Tujuan

1) Mengukur perubahan diurnal emisi CO2, CH4 dan N2O pada siang dan malam hari sehingga dapat diketahui waktu emisi mencapai maksimum

(16)

3

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Bungkil Jarak Pagar

Biji jarak pagar mempunyai kulit keras dan berwarna hitam dan di dalamnya terdapat kernel atau daging biji yang berwarna putih. Proporsi kulit dan kernel antara 350 sampai 400 g per kg biji dan 600 sampai 650 g per kg biji. Bungkil biji merupakan produk samping dari ekstraksi minyak dengan proporsi 500-600 g per kg kernel (Makkar et al, 2008).

Selain menghasilkan minyak sebagai produk utamanya, pengolahan biji jarak pagar juga menghasilkan bungkil biji. Bungkil biji merupakan sisa daging biji setelah diambil minyaknya (straight jatropha oil). Bungkil ini mengandung protein hingga 60%. Apabila detoksifikasi pada bungkil jarak sudah bisa diterapkan, bungkil biji jarak sangat potensial sebagai sumber protein, terutama untuk pakan ternak (Priyanto, 2007). Selain itu, menurut Makkar dan Becker (1997), bungkil jarak pagar yang bersifat toksik juga dapat digunakan sebagai pupuk dan pestisida, substrat untuk produksi biogas dan sumber bahan bakar untuk generator. Bungkil jarak pagar juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan briket pengganti bahan bakar minyak tanah (Hambali dan Mujdalipah, 2006).

Di lahan yang sudah berproduksi, bungkil sisa pengepresan daging biji jarak setelah diambil minyaknya sangat baik digunakan untuk kompos. Bungkil daging biji banyak mengandung N (nitrogen), P (fosfor), dan K (kalium) (Nurcholis dan Sumarsih, 2007). Kandungan kimia bungkil biji jarak sisa pengepresan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan kimia bungkil biji jarak pagar Jenis Unsur Hara Kandungan (%)

C organik 55.2

N 4.1

C/N Ratio 13.5

P 0.5

K 1.2

Ca 0.3

Mg 0.4

Na 0.1

Sumber : Hening (2005) dalam Nurcholis dan Sumarsih (2007)

(17)

4

2.2

Kompos

Limbah tanaman jarak yang belum termanfaatkan berupa daun, dahan, ranting, kulit buah jarak, dan bungkil dapat diolah menjadi kompos. Kompos adalah pupuk organik yang dibuat melalui proses pengomposan. Pengomposan didefinisikan sebagai penguraian dan pemantapan bahan-bahan organik secara biologis. Hasil akhirnya berupa produk yang stabil sehingga sangat baik digunakan untuk menggemburkan tanah, baik sebagai pupuk maupun conditioner tanah tanpa merugikan lingkungan (Hambali et al., 2007). Diagram alir pengomposan bungkil jarak pagar menjadi pupuk organik dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram alir pengomposan bungkil jarak menjadi pupuk organik (Hambali dan Mujdalipah, 2006)

Ketika dicampur dengan tanah, kompos meningkatkan kandungan bahan organik, memperbaiki sifat fisik tanah, menyediakan nutrisi essensial, dan meningkatkan kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Kompos juga dapat diaplikasikan ke permukaan tanah untuk mempertahankan kelembaban, mengendalikan pertumbuhan gulma, mengurangi erosi, memperbaiki tampilan tanah, dan menjaga tanah dari peningkatan atau kehilangan panas yang terlalu cepat (Bass et al., 1992).

Bungkil Pencampuran Limbah jarak

Fermentasi

Pengaturan aerasi dan kadar air Kotoran

ternak

Decomposer

Kompos matang

Pengeringan

Penambahan beneficial soil mikroba/aditif

Pengayakan

Pembentukan

Pengemasan

(18)

5 Faktor-faktor yang dapat mempercepat proses pengomposan adalah nilai C/N bahan, ukuran bahan, kontak dengan bakteri, waktu pengomposan, jumlah mikroba dekomposer, kelembaban (kadar air), aerasi, suhu dan keasaman (pH) yang optimum (Hambali dan Mujdalipah, 2006). Menurut Bass

et al. (1992) dekomposisi material organik di dalam gundukan kompos bergantung pada aktivitas mikroorganisme dekomposer. Setiap faktor yang menghambat atau menghentikan pertumbuhan mikroorganisme ini juga akan menghambat proses dekomposisi. Dekomposisi yang efisien terjadi ketika aerasi dan kelembaban cukup, partikel atau material limbah berukuran kecil, dan ketika pupuk dan perekat ditambahkan dalam jumlah yang cukup.

Terkait dengan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kompos bungkil jarak pagar, keberadaan bungkil di udara terbuka dapat meningkatkan konsentrasi gas CH4, N2O, H2S, NH3, CO2 dan komponen organik yang bersifat volatil (VOCs) melalui proses dekomposisi biomassa oleh berbagai jenis mikroorganisme. Strategi terbaik untuk permasalahan ini adalah dengan menjadikan bungkil sebagai sumber “biomassa”, tidak hanya membuangnya sebagai “limbah”. Dekomposisi bungkil secara anaerobik menghasilkan emisi gas (CH4, VOCs, H2S) yang lebih rendah (Chandra et

al, 2006).

Batjes dan Bridges (1992) dalam reviewnya menyatakan beberapa hasil penelitian menunjukkan penambahan bahan organik pada lahan sawah dapat meningkatkan emisi CH4. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Dubey (2005) bahwa penambahan bahan organik pada lahan sawah dapat meningkatkan fluks CH4 dengan menurunkan Eh tanah dan menyediakan karbon untuk metanogen. Bahan organik dapat merubah karakteristik tanah baik secara kualitatif maupun kuantitatif sehingga dapat mempengaruhi pembentukan CH4.

Terkait dengan emisi N2O, menurut Pathak (1999) denitrifier sama halnya dengan nitrifier menggunakan C organik sebagai elektron donor untuk mendapatkan energi dan sintesis konstituen selnya sehingga penambahan bahan organik dapat meningkatkan emisi N2O. Rastogi et al. (2002) menyatakan aplikasi bahan organik ke dalam tanah dapat meningkatkan emisi CO2.

2.3

Gas Rumah Kaca

Rataan suhu permukaan bumi sekitar 288°K (15°C). Suhu tersebut dapat dipertahankan karena keberadaan sejumlah gas yang berkonsentrasi di atmosfer bumi. Sejumlah gas tersebut berperan seperti atap dan dinding kaca pada rumah kaca (“green house”) sehingga disebut gas rumah kaca (GRK). Dengan adanya GRK ini, memungkinkan cahaya matahari menembus “kaca” dan menghangatkan suhu bumi, inilah yang disebut dengan efek gas rumah kaca (efek GRK). Tanpa efek GRK suhu bumi akan sangat rendah sehingga tidak mampu mendukung kehidupan organisme secara normal (Suprihati, 2005).

Bertambahnya GRK di atmosfer akan menahan lebih banyak radiasi daripada yang dibutuhkan bumi sehingga akan ada kelebihan panas. Sebagai akibat kelebihan panas ini terjadilah gejala pemanasan global (global warming) yaitu naiknya suhu permukaan bumi. Gejala ini juga diikuti naiknya suhu air laut, perubahan pola iklim seperti naiknya curah hujan dan perubahan frekuensi dan intensitas badai, dan naiknya permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub. Perubahan iklim yang terjadi akan menyebabkan kerugian yang besar bagi kehidupan manusia (Irmansyah, 2004).

(19)

6

Potential / GWP) yang diukur secara relatif berdasarkan emisi CO2 dengan nilai 1. Makin besar nilai GWP makin bersifat merusak (Sugiyono, 2006).

Menurut Irmansyah (2004), di Indonesia kontribusi terbesar GRK berasal dari karbon dioksida, metana dan dinitrogen oksida. Karbon dioksida (CO2) yang merupakan bagian terbesar dari emisi GRK ini dihasilkan oleh sektor kehutanan dan energi. Gas kedua terbesar dalam mempengaruhi pemanasan global adalah gas metana. Emisi metana terbesar berasal dari sektor pertanian (termasuk di dalamnya sektor peternakan). Pada tahun 1990 sektor kehutanan dan tata guna lahan menghasilkan 42.5% dari total emisi GRK, sementara dari sektor energi menghasilkan 40.9%, kemudian diikuti oleh emisi dari sektor pertanian (13.4%), industri (2.4%) dan limbah (0.8%).

Emisi GRK dari sektor pertanian sebagian besar dihasilkan dari proses respirasi yang terjadi di dalam tanah. Mosier et al. (2004) juga menyatakan lahan pertanian merupakan sumber utama emisi gas yang berasal dari kegiatan antropogenik. Gas rumah kaca yang dihasilkan di dalam tanah akan ditransportasikan ke atmosfer melalui lintasan difusi gas dan sebagian lain terlarut dalam air dan bergerak ke atmosfer melalui evapotranspirasi. Produksi dan transportasi GRK tersebut berkaitan erat dengan potensial redoks, pH, porositas serta aerasi yang secara praktikal dapat didekati dengan pengelolaan air (Suprihati, 2005). Berikut ini adalah penjelasan mengenai beberapa gas rumah kaca yang utama.

2.3.1

Karbondioksida (CO

2

)

Karbondioksida merupakan jenis emisi gas yang memiliki konsentrasi paling tinggi di udara jika dibandingkan dengan emisi gas yang lain. Menurut informasi dari World Meteorogical Organization/WMO (2007), CO2 merupakan gas penyerap sinar inframerah yang utama, dihasilkan dari aktivitas antropogenik dan bertanggungjawab terhadap 63% dari total radiasi yang diterima bumi. CO2 juga berkontribusi dalam meningkatkan radiasi sebanyak 87% selama dekade terakhir dan 91% selama lima tahun terakhir. Sebelum masa revolusi industri, kelimpahan CO2 di atmosfer mendekati konstan pada angka ~280 ppm. Sejak akhir tahun 1700-an, konsentrasi CO2 di amosfer meningkat sebanyak 36%. Peningkatan tersebut sebagian besar berasal dari emisi hasil pembakaran bahan bakar fosil (sekitar 8.4 Gt karbon per tahun) kemudian diikuti oleh adanya deforestasi (~1.5 Gt karbon per tahun). Secara keseluruhan, rata-rata kelimpahan CO2 di atmosfer tahun 2006 mencapai 381.2 ppm.

Emisi CO2 dapat berasal dari penggunaan bahan bakar fosil, seperti: batubara, minyak bumi dan gas bumi, serta dari industri semen dan konversi lahan. Penggunaan bahan bakar fosil merupakan sumber utama emisi CO2 di dunia dan mencapai 74% dari total emisi. Konversi lahan mempunyai kontribusi sebesar 24% dan industri semen sebesar 3% (Sugiyono, 2006).

Terkait dengan emisi CO2 yang berasal dari lahan pertanian, Setyanto (2008) menyatakan karbondioksida merupakan komponen terbesar yang diemisikan dari lahan pertanian. Meskipun emisi CO2 sangat tinggi di lahan pertanian, tetapi gas ini akan kembali digunakan tanaman saat berlangsungnya proses fotosintesis dan akan dikonservasikan ke bentuk biomas tanaman. Produksi CO2 dari tanah berasal dari hasil dekomposisi bahan organik secara aerobik, respirasi akar tanaman dan mikroba. Praktek pengelolaan lahan yang berpengaruh terhadap penyimpanan dan pelepasan CO2 juga berkontribusi terhadap emisinya (Suprihati, 2005).

(20)

7

2.3.2

Metana (CH

4

)

Data dari World Meteorologycal Organization/WMO (2007) menunjukkan metana (CH4) berkontribusi sebanyak 18.6% dari total radiasi yang diterima bumi. Metana secara tidak langsung dapat menimbulkan efek negatif pada iklim permukaan bumi dengan cara mempengaruhi ozon pada lapisan troposfer dan uap air pada lapisan stratosfer. Metana teremisikan ke atmosfer melalui proses alami (~40%, contoh : lahan basah dan rayap) dan sumber-sumber antropogenik (~60%, contoh : eksploitasi bahan bakar fosil, lahan sawah, ruminansia, pembakaran biomassa, dan pengolahan tanah). Metana dapat dihilangkan dari atmosfer melalui reaksi dengan senyawa OH dan mampu bertahan di atmosfer selama ~9 tahun. Sebelum era industri, kelimpahan metana di atmosfer adalah ~700 ppb. Sedangkan pada tahun 2006 rata-rata secara keseluruhan kelimpahan metana di atmosfer mencapai 1782 ppb. Dengan demikian, semenjak era pra-industri sampai tahun 2006, konsentrasi metana di atmosfer meningkat sampai 155%.

Selain waktu tinggalnya yang lama, CH4 memiliki kemampuan mamancarkan panas 21 kali lebih tinggi dari CO2. Bakteri metanotrop pada lahan sawah adalah satu-satunya mikroorganisme yang dapat menggunakan CH4 sebagai bagian proses metabolismenya untuk kemudian dirubah menjadi CO2. Dengan berat molekulnya yang ringan, gas CH4 juga mampu menembus sampai lapisan ionosfir dimana terdapat senyawa radikal O3 yang berfungsi sebagai pelindung bumi dari serangan radiasi gelombang pendek ultra violet (UV-B) (Setyanto, 2008).

Produksi gas rumah kaca metana (CH4) berasal dari dekomposisi bahan organik secara anaerob (Suprihati, 2005). Menurut Mosier et al. (2004), produksi metana hanya terjadi dalam kondisi anaerobik seperti yang terjadi di daerah rawa alami dan sawah dataran rendah. Proses utama yang terjadi di lahan tergenang dan merupakan sumber CH4 adalah serangkaian reaksi reduksi-oksidasi (redoks) yang dimediasi oleh beberapa jenis mikoorganisme yang berbeda. Menurut Robertson dan Grace (2003), metana juga dikonsumsi di dalam tanah tetapi oleh bakteri dari kelas yang berbeda yaitu metanotrop. Konsumsi CH4 tersebut ada dalam jumlah yang kecil.

Proses produksi metana (metanogenesis) terjadi pada lapisan anaerobik tanah oleh bakteri pendekomposisi bahan organik. Proses tersebut terjadi setelah sejumlah ion yang berperan sebagai elektron akseptor dalam oksidasi bahan organik menjadi CO2, seperti O2, nitrat, mangan, besi dan sulfat direduksi (Dubey, 2005). Beberapa kemungkinan reaksi terbentuknya metana adalah sebagai berikut (Batjes, 1992) :

a. Reduksi H2 terhadap CO2 oleh metanogen kemoautotropik : CO2 + H2→ CH4+ 2H2O

b. Beberapa strain metanogen juga dapat menggunakan HCOOH atau CO sebagai substrat untuk memproduksi metana, CO2 dan H2 :

4HCOOH → CH4+ 3CO2+ 2H2O 4CO + 2H2O → CH4+ 3CO2

c. Metana juga bisa diproduksi oleh metilotrof metanogen dengan menggunakan substrat yang mengandung kelompok metil seperti metanol, asam asetat dan trimetilamin

4CH3OH → 3CH4+ CO2+ 2H2O

CH3COOH → CH4+ CO2

(21)

8 Menurut Dubey (2005), jumlah CH4 yang teremisi dari tanah ke atmosfer merupakan hasil keseimbangan dari dua proses yang saling berkebalikan, yaitu proses produksi dan oksidasi metana. Gas metana teremisikan dari tanah ke atmosfer melalui tiga jalur utama yaitu difusi, ebullition, dan transpor melalui tanaman (Gambar 3).

Gambar 3. Bagan konsep produksi, oksidasi dan emisi metana dari sawah (Dubey, 2005)

Proses difusi metana di dalam tanah berjalan lambat dan laju difusinya sangat rendah bila dibandingkan dengan dua jalur yang lain. Ebullition terjadi ketika CH4 teremisikan ke atmosfer dalam bentuk gelembung-gelembung gas. Gelembung metana pada umumnya terbentuk pada lapisan yang jenuh dengan air. Terbebasnya gelembung metan ke lapisan aerobik yang dekat dengan permukaan tanah menunjukkan tidak ada konsumsi metan oleh metanotrof atau ada tapi dalam jumlah yang kecil (Couwenberg, 2009). Menurut Li (2000), ebullition hanya terjadi pada lapisan permukaan dan tingkatnya dikendalikan oleh konsentrasi CH4 di dalam tanah, temperatur, porositas tanah dan aerencym tanaman.

(22)

9

2.3.3

Dinitro Oksida (N

2

O)

Dinitro oksida adalah gas rumah kaca yang berpotensi menimbulkan pemanasan global secara siginifikan dan berdampak negatif pada lingkungan. Dinitro oksida (N2O) berkontribusi sebesar 6.5% dari total radiasi yang diterima permukaan bumi. Kelimpahan N2O di atmosfer sebelum era industrialisasi adalah 270 ppb. Emisi N2O berasal dari berbagai sumber alami dan antropogenik termasuk laut, tanah, penggunaan bahan bakar, pembakaran biomassa, pemakaian pupuk, dan berbagai proses yang terjadi di industri. Dari berbagai sumber emisi tersebut, kegiatan antropogenik merupakan penyumbang emisi N2O terbesar yaitu 1/3 bagian dari total emisi N2O. N2O dapat dihilangkan dari atmosfer melalui proses fotokimia di lapisan stratosfer. Secara keseluruhan, rata-rata kelimpahan N2O selama tahun 2006 sebanyak 320.1 ppb, meningkat 0.8 ppb dari tahun sebelumnya. Jadi bila dibandingkan dengan sebelum era industrialisasi, emisi N2O di atmosfer pada tahun 2006 mengalami peningkatan sebesar 19% (World Meteorologycal Organization, 2007).

Menurut Robertson dan Grace (2004), secara umum hanya tiga GRK yang keberadaannya dipegaruhi oleh sektor pertanian : CO2, N2O dan CH4. Meskipun CH4 dan khususnya N2O konsentrasinya di atmosfer jauh lebih kecil dari CO2, nilai GWP (Global Warming Potensial) dari kedua jenis GRK tersebut cukup tinggi sehingga adanya perubahan kecil tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan terhadap radiasi yang diterima bumi. GWP dari N2O adalah 275, yang artinya satu molekul N2O yang terbebaskan ke atmosfer akan menyebabkan dampak radiasi 275 kali lebih besar dari dampak yang ditimbulkan CO2 pada saat yang sama.

Menurut Mosier et al. (2004), sebagian besar N2O diproduksi dari proses nitrifikasi dan denitrifikasi di dalam tanah. Nitrifikasi merupakan reaksi oksidasi ammonia menjadi nitrit kemudian nitrat. Nitrosomonas dan Nitrosospira merupakan bakteri utama yang berperan dalam oksidasi ammonia menjadi nitrit sedangkan Nitrobacter mengoksidasi nitrit menjadi nitrat. Denitrifikasi merupakan proses reduksi nitrat atau nitrit menjadi nitrogen (N2) dengan N2O sebagai produk antara. Bakteri yang berperan dalam denitrifikasi merupakan bakteri heterotrof fakultatif anaerob.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dinitro oksida terbentuk pada tanah melalui proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Nitirifikasi merupakan proses biologis dimana NH4

+

diubah menjadi NO3

-. Proses oksidasi ini terjadi dalam dua tahap (Batjes dan Bridges, 1992) :

a) NH4 + 3/2O2→ NO2 - + 2H+ + H2O + Energi b) NO2-+1/2 O2→NO3

-+ energi

Di dalam tanah, oksidasi ammonium menjadi nitrit (tahap a) dilakukan oleh Nitrosomonas sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat (tahap b) dilakukan oleh Nitrobacter. Hasil dari nitirifikasi berupa NO3- kemudian akan diubah menjadi N2O melalui proses denitrifikasi.

Menurut Pathak (1999), denitrifikasi terjadi ketika nitrat tersedia pada kondisi lingkungan yang anaerobik dimana kebutuhan O2 tinggi. Skema sederhana dari proses denitrifikasi adalah sebagai berikut :

Dari skema tersebut diketahui bahwa selain menghasilkan N2O, proses denitrifikasi di dalam tanah juga menggunakan N2O yaitu dalam proses reduksi N2O menjadi N2. Oleh karena itu, proses denitrifikasi dapat berperan sebagai sumber atau pengguna N2O.

reduktase

Nitrous oxyde

reduktase reduktase

reduktase

NO3- N2O

Nitric oxyde nitrat

NO nitrit

(23)

10

2.4

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emisi Gas Rumah Kaca

2.4.1

Karbondioksida (CO

2

)

Menurut Rastogi et al. (2002) beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya emisi CO2 dari tanah adalah suhu, kelembaban, variasi pola diurnal, variasi musim dan ruang gerak, tekstur tanah, pH tanah, salinitas, tekanan atmosfer, aplikasi pupuk organik dan buatan, penggunaan inhibitor nitrifikasi, jenis tanaman budidaya, dan pengolahan lahan.

1) Temperatur

Penelitian yang dilakukan di beberapa area perhutanan oleh Fang et al. (2010) mengindikasikan temperatur tanah menjadi penyebab 49-96% variasi pada fluks CO2, sedangkan kelembaban tanah sebesar 40-49%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa fluks CO2 dari tanah terutama sangat dipengaruhi oleh temperatur tanah. Yunshe et al. (2000) juga menemukan adanya korelasi yang positif antara temperatur udara atau temperatur tanah dengan fluks CO2 yang dihasilkan dari lahan padang rumput. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa temperatur merupakan faktor utama yang mengendalikan variasi fluks GRK harian dari padang rumput.

Peningkatan temperatur tanah menyebabkan fluks CO2 dari tanah juga meningkat. Peningkatan temperatur tanah dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme dan akar tanaman tumbuh dengan sangat cepat selama musim panas yang pendek. Peningkatan aktivitas mikroorganisme dan pertumbuhan akar yang sangat cepat dapat meningkatkan dekomposisi C organik tanah dan pelepasan CO2 dari tanaman yang merupakan hasil respirasi akar (Zheng et al., 2009; Fang et al., 2010). Akan tetapi, temperatur yang terlalu tinggi juga dapat menurunkan emisi CO2. Hal ini disebabkan pada temperatur tinggi terbentuk inhibitor respirasi mikroorganisme yang dapat meng-inaktivasi sistem oksidasi biologis (Rastogi, 2002).

2) Kelembaban

Menurut Rastogi et al. (2002), secara umum peningkatan kelembaban tanah dapat meningkatkan evolusi CO2 sampai pada tingkat optimum, setelah itu peningkatan kelembaban akan mengurangi evolusi CO2. Pengeringan dan penggenangan tanah secara periodik akan meningkatkan emisi CO2. Hal ini dikarenakan ketika dilakukan penggenangan kembali, aktivitas mikroorganisme yang awalnya berada dalam kondisi laten akan meningkat sehingga meningkatkan CO2 yang dihasilkan.

3) Variasi pola diurnal, musim dan ruang

Besarnya emisi CO2 dari tanah sangat bervariasi selama periode yang berbeda pada waktu siang dan malam hari. Medina dan Zelwer (1972) diacu dalam Rastogi et al. (2002) menyatakan respirasi tanah pada malam hari selalu lebih besar dibandingkan siang hari karena kelembaban relatif (Rh) pada malam hari lebih tinggi sehingga dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme pada awal malam hari, dan karena temperatur tanah yang tinggi menjelang malam.

4) Tekstur tanah

(24)

11 berdampak pada pembentukan CO2. Tingkat infiltrasi air dan difusi gas juga sangat dipengaruhi oleh tekstur tanah demikian halnya dengan produksi serta emisi CO2 (Rastogi et al., 2002).

5) pH tanah

Derajat keasaman (pH) tanah yang rendah berdampak negatif terhadap aktivitas mikroorganisme, yang menyebabkan tingkat respirasi rendah sehingga berdampak pada rendahnya CO2 yang dihasilkan (Rastogi et al., 2002). Kowalenko and Ivarson (1978) diacu dalam Rastogi et al.(2002) melaporkan adanya peningkatan CO2 seiring dengan meningkatnya pH. Akan tetapi, ketika pH tanah melebihi 7 berdampak sebaliknya pada emisi CO2. Pada pH 8.7, emisi CO2 menurun 18% dibandingkan emisi pada pH 7 dan ketika pH meningkat sampai 10, tingkat reduksi emisi CO2 mencapai 83%.

6) Salinitas

Rastogi et al. (2002) menyatakan kelebihan jumlah garam mempunyai efek negatif terhadap proses fisik, kimia dan mikrobiologi yang terjadi di dalam tanah, termasuk mineralisasi C dan N serta aktivitas enzim yang sangat penting dalam proses dekomposisi bahan organik tanah. Pathak dan Rao (1998) melaporkan terdapat penurunan CO2 seiring dengan peningkatan salinitas tanah. Penambahan pupuk organik dapat meningkatkan CO2 yang dihasilkan secara biologis, kecuali pada tanah dengan salinitas yang sangat tinggi. Pada kondisi tersebut emisi CO2 yang dihasilkan cenderung rendah.

7) Tekanan atmosfer

Beberapa hasil penelitian menunjukkan tekanan atmosfer berbanding terbalik dengan emisi CO2. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa penurunan tekanan atmosfer memicu keluarnya CO2 yang tersimpan di dalam profil tanah (Rastogi et al., 2002).

8) Aplikasi pupuk organik dan buatan

Menurut Rastogi et al. (2002), aplikasi pupuk nitrogen dapat menurunkan pembentukan CO2. Hal tersebut terjadi karena penambahan pupuk nitrogen dapat menurunan respirasi mikroorganisme melalui peningkatan keasaman (pH) tanah. Sementara itu, aplikasi pupuk organik mampu menyediakan C organik bagi mikroorganisme tanah sehingga penambahan pupuk dalam jumlah besar dapat meningkatkan emisi CO2 secara signifikan.

2.4.2

Metana (CH

4

)

Menurut Dubey (2005), emisi metana dari sawah dikendalikan oleh parameter yang kompleks dan berhubungan dengan karakteristik fisik dan biologis tanah dengan praktek budidaya yang spesifik. Besarnya produksi metana bergantung pada kandungan dan kualitas karbon organik tanah, tekstur tanah, Eh, pH, kandungan Fe, kandungan sulfat dan salinitas serta penggunaan pupuk, dsb. Berikut ini adalah beberapa faktor yang mempengaruhi emisi CH4 di persawahan.

1) pH, Eh (potensial redoks), dan tekstur tanah

(25)

12 and Bridges, 1992). pH tanah hingga < 5.75 menyebabkan bakteri metanogen tidak mampu hidup sehingga berpengaruh terhadap penurunan fluks CH4 (Isminingsih, 2009).

Potensial redoks tanah merupakan estimasi dari aktivitas elektron dan digunakan untuk memprediksi stabilitas elektrokimia dari unsur-unsur yang sensitif terhadap reaksi redoks seperti oksida Fe (Vaughan et al., 2007). Proses pembentukan metana adalah akibat dekomposisi bahan organik pada kondisi anaerob. Organisme yang berperan dalam proses dekomposisi ini terutama bakteri metanogen tidak dapat berfungsi dengan baik apabila terdapat oksidan (electron acceptor). Sebelum oksidan-oksidan tanah tereduksi, metana tidak akan terbentuk (Riza, 2008). Skema dalam review Batjes and Bridges (1992) menunjukkan pada pH 7, oksidan yang pertama kali direduksi adalah O2 pada Eh sekitar +350 mV diikuti oleh NO3

dan Mn4 +

pada 225 mV, Fe3 +

pada +125 mV dan SO42- pada -150 mV. Setelah mereduksi SO42-, pembentukan CH4 dimulai pada Eh sekitar -190 mV.

Tekstur suatu tanah dapat menjelaskan berbagai karakteristik fisik-kimia dari tanah tersebut. Oleh karena itu, tekstur dapat mempengaruhi produksi metana secara tidak langsung (Dubey, 2005). Jackel et al. (2001) diacu dalam (Dubey, 2005) menemukan bahwa produksi CH4 meningkat ketika ukuran agregat tanah juga meningkat.

2) Temperatur

Fang et al. (2010) menemukan bahwa untuk semua jenis area hutan yang diamati, fluks CH4 yang dihasilkan dari tanah berkorelasi negatif dengan temperatur tanah ketika temperatur tanah lebih rendah dari nilai optimalnya. Sedangkan korelasi positif terjadi ketika temperatur tanah di atas nilai optimal. Temperatur optimum tersebut bervariasi untuk setiap lokasi.

3) Periode Pertumbuhan

Isminingsih (2009) mengamati pada awal pertumbuhan tanaman padi, fluks CH4 tidak berbeda nyata antar perlakuan. Bertambahnya jumlah anakan pada fase reproduktif mulai berpengaruh terhadap nilai fluks. Pada fase anakan maksimum (50-60 HST), fluks secara umum meningkat. Setelah memasuki fase pemasakan hingga panen, fluks cenderung menurun.

4) Variasi diurnal dan musim

Tingkat emisi CH4 secara umum meningkat dengan cepat setelah matahari terbit, mencapai puncak (nilai maksimum) pada awal sore kemudian menurun dengan cepat dan mencapai titik terendah ketika malam hari (Dubey, 2005). Sebaliknya, hasil penelitian Yunshe et al. (2000) menunjukkan fluks CH4 pada malam hari lebih tinggi dibandingkan dengan siang hari. Perbedaan hasil tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan jenis lahan yang diamati dan perbedaan iklim di lokasi pengamatan (contoh : temperatur, curah hujan, dan intensitas sinar matahari).

5) Kultivar tanaman, pupuk organik dan residu tanaman

(26)

13 6) Pupuk

Dampak dari penggunaan pupuk terhadap emisi CH4 tergantung pada tingkat, tipe dan metode aplikasi (penggunaan). Penggunaan pupuk urea meningkatkan fluks CH4 selama musim pertumbuhan yang kemungkinan disebabkan oleh peningkatan pH tanah yang diikuti hidrolisis urea dan penurunan potensial redoks, yang dapat menstimulasi aktivitas metanogen Wang et al.

(1993) diacu dalam Dubey (2005). Penggunaan pupuk urea tablet sebagai pengganti urea dapat mengurangi emisi metana dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, penggunaan pupuk sulfit ammonium ([NH4]2SO4) akan mengurangi emisi metana yang lebih banyak (Irmansyah, 2004).

2.4.3

Dinitro Oksida (N

2

O)

Batjes dan Bridges (1992) dalam reviewnya menyatakan terdapat beberapa faktor lingkungan dan faktor budidaya pertanian yang mempengaruhi proses biologis pada mikroorganisme tanah penghasil emisi N2O (Tabel 2). Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi emisi N2O dari tanah meliputi : temperatur tanah, kelembaban tanah dan status aerasi tanah, struktur, tekstur, porositas dan presipitasi/irigasi, pH, kandungan bahan organik dan tipe tanah. Sedangkan faktor budidaya pertanian dan manajemen pengolahan yang dapat mempengaruhi emisi N2O dari tanah meliputi : pupuk (tipe, tingkat/dosis, teknik aplikasi, waktu), praktek penanaman/budidaya (pembajakan, irigasi, drainase) dan pemilahan tanaman. Semua faktor tersebut sangat bervariasi baik di tingkat lokal, regional maupun global karena faktor iklim dan kondisi tanah sangat bervariasi dalam waktu dan tempat.

Tabel 2. Faktor kunci yang mempengaruhi emisi N2O dari tanah Manajemen pengolahan Faktor Lingkungan

Tipe pupuk Temperatur

Tingkat aplikasi Presipitasi

Teknik aplikasi Kelembaban tanah

Waktu aplikasi Kandungan C organik

Praktek pembajakan Ketersediaan oksigen Penggunaan bahan kimia lain Porositas

Rotasi tanaman pH

Irigasi Freeze and thaw cycle

Residu N dan C dari tanaman dan pupuk Mikroorganisme Sumber : Batjes dan Bridges (1992) diadaptasi setelah Eichner (1990)

Sementara itu, menurut Pathak (1999), beberapa faktor yang mempengaruhi emisi dinitro oksida dari tanah adalah :

1) Kelembaban tanah

(27)

14 menyediakan media difusi dimana substrat dan produk dapat masuk dan keluar dari mikroorganisme tanah. (Aulakh et al., 1992 diacu dalam Pathak, 1999).

Secara umum, pembebasan N2O ke atmosfer dapat ditingkatkan melalui alternatif dry-wet

cycles. Pembasahan (wetting) meningkatkan mineralisasi bahan organik dalam proses nitrifikasi, dan membentuk kondisi anaerobik yang dibutuhkan dalam proses denitrifikasi. Di bawah kondisi tersebut, produksi N2O kemungkinan melebihi reduksi N2O menjadi N2; curah hujan yang terjadi berikutnya akan menurunkan peak N2O secara umum (Batjes dan Bridges, 1992).

2) Oksigen

Beberapa hasil penelitian menunjukkan N2O yang dihasilkan dalam proses denitrifikasi berbanding terbalik dengan konsentrasi O2 terlarut. Hal ini dikarenakan oksigen diperkirakan menjadi inhibitor dari enzim nitrat reduktase sehingga dapat menekan proses denitrifikasi oleh mikroorganisme (Batjes dan Bridges, 1992; Pathak, 1999).

3) pH tanah

pH optimum untuk emisi N2O melalui denitrifikasi bervariasi menurut spesies dan umur organisme serta konsentrasi NO3, akan tetapi sebagian besar denitrifier mempunyai pH optimum untuk pertumbuhan diantara 6 dan 8. Keasaman tanah mempunyai kemungkinan mengatur emisi N2O melalui berbagai mekanisme (Pathak, 1999);

3.1) Peningkatan keasaman tanah dapat menurunkan tingkat dekomposisi bahan organik tanah sehingga ketersediaan N sebagai substrat dalam pembentukan N2O menurun.

3.2)Keasaman tanah yang tinggi secara langsung dapat mengurangi nitrifikasi dan denitrifikasi. 3.3)Pengasaman dapat menghambat N2O reduktase sehingga dalam proses denitrifikasi akan

lebih banyak dihasilkan N2O dibandingkan N2.

3.4) Penurunan pH dapat mengurangi ketersediaan molybdenum yang dapat mengurangi sintesis NO3 reduktanse, yaitu enzim molybdo-protein.

3.5)Dengan penurunan pH, pembentukan N2O melalui reduksi NO3 akan menjadi toksik dan pelarutan alumunium atau mangan kemungkinan menyebabkan efek toksisitas.

4) Tekstur tanah

Pengaruh tekstur tanah terhadap emisi gas N2O kemungkinan merupakan hasil dari variasi fisik antara proporsi udara dan air. Chaterpaul et al. (1980) diacu dalam Pathak (1999) melaporkan bahwa tingkat emisi N2O lebih besar pada tekstur tanah yang halus.

5) Temperatur

Temperatur merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi proses emisi N2O. Hasil penelitian Yunshe et al. (2000) menunjukkan adanya peningkatan fluks N2O pada temperatur tanah yang lebih tinggi. Menurut Batjes dan Bridges (1992), pH dan aerasi tanah lebih mempengaruhi besarnya variasi emisi N2O dibandingkan temperatur.

6) Aplikasi pemupukan

(28)

15 dihasilkan. Emisi N2O lebih banyak dengan adanya aplikasi urea, kemudian diikuti dengan pupuk ammonium sulfat dan nitrat (Bremner dan Blackmer, 1978; Mosier et al., 1986 diacu dalam Pathak, 1999).

7) Pupuk organik

Denitrifier dan nitrifier menggunakan kandungan C organik sebagai elektron donor untuk energi dan sintesis dari konstituen sel. Residu tanaman, pupuk hijau dan pupuk pekarangan dilaporkan dapat meningkatkan denitrifikasi (Aulakh et al., 1992 diacu dalam Pathak, 1999).

8) Tanaman

(29)

16

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan selama 10 bulan, dimulai pada bulan Mei 2010 sampai bulan Februari 2011. Pengambilan contoh gas dilaksanakan di kebun percobaan jarak pagar milik PT. Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk. Analisis konsentrasi gas dilaksanakan di Lembaga Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) dan LaboratoriumInstrumen Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB

.

3.2

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah kompos bungkil jarak pagar, urea, dan slow release urea. Aplikasi pupuk dilakukan di perkebunan jarak pagar (Jatropha curcas L.) PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk., Cibinong. Gas standar yaitu CO2 350 ppm, CH4 50 ppm dan N2O 50 ppm disiapkan untuk menghitung konsentrasi gas-gas yang akan diidentifikasi. Peralatan yang digunakan meliputi tabung penangkap gas, stadler bag untuk menyimpan sampel gas, gas tight syringe 1 mL, vacuum syringe

100 mL, Hoboware Pro (alat pengukur temperatur tanah dan udara, radiasi matahari, kadar air tanah dan curah hujan), termometer, gas kromatografi (GC) Merk HP seri 5890 yang dilengkapi detector

tipe Thermal Conductivity Detector (TCD), Flame Ionization Detector (FID), dan Electron Capture Detector (ECD). Kolom yang digunakan adalah Agilent Technology HP Plot Q dengan pajang 30 m dan diameter 0.53 mm dengan ketebalan film 40 µm. Peralatan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

3.3

Metode Penelitian

3.3.1

Penelitian Pendahuluan (

Clearing

dan

Diurnal Change

)

Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui perbedaan emisi gas CO2, CH4 dan N2O antara siang dan malam (Diurnal Change) sehingga dapat diketahui waktu emisi mencapai maksimum. Pada penelitian ini juga dilakukan clearing untuk menentukan posisi tabung penangkap gas. Tahapan pelaksanaan penelitian pendahuluan ini adalah :

1) Aplikasi pupuk

Pemberian pupuk pada tanaman dilakukan sehari setelah pemangkasan. Jenis pupuk yang digunakan dalam penelitian pendahuluan adalah urea. Pemupukan dilakukan dengan membenamkan pupuk di sekeliling tanaman pada kedalaman ± 10 cm.

2) Pengambilan sampel gas

Pengambilan sampel gas untuk clearing dilakukan pada pukul 08.00, 12.00, 16.00 dan 24.00 WIB. Pengambilan sampel gas untuk pengukuran diurnal change dilakukan setiap jam dalam sehari (24 kali pengambilan gas). Gas yang diemisikan tanah ditangkap dengan menggunakan tabung penangkap gas yang terbuat dari bahan PVC dan tutup tabung yang dilengkapi dengan

(30)

17 Pengambilan sampel gas dilakukan dengan menggunakan 8 tabung yang ditempatkan pada 8 posisi berbeda. Tujuh tabung disusun secara diagonal dari dekat tanaman sampai titik tengah antara empat tanaman sedangkan tabung no.8 diletakkan diantara dua tanaman jarak pagar (Gambar 4).

Gambar 4. Penempatan tabung penangkap gas di dalam setiap plot perlakuan pada penelitian pendahuluan

Tabel 3. Jarak tabung penangkap gas dari tanaman No. Tabung Jarak tabung dari tanaman

(cm)

1 10

2 45

3 80

4 115

5 150

6 185

7 220

8 90

3) Analisis konsentrasi CO2, CH4 dan N2O

[image:30.595.157.516.145.242.2]

Analisis konsentrasi CO2, CH4 dan N2O dari setiap sampel gas dilakukan dengan menggunakan gas chromatography (GC) merk HP seri 5890. Kondisi GC pada saat analisis masing-masing jenis gas dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kondisi GC saat analisis gas CO2, CH4 dan N2O

Parameter analisis Kondisi

gas chromatography (GC) pada analisis gas

CO2 CH4 N2O

Detector TCD FID ECD

Carrier gas N2 N2/He He

Suhu detector (°C) 120 150 260

Suhu inlet (°C) 120 120 80

Suhu kolom (°C) 90 60 80

Jenis kolom HP Plot Q p=30m, Ø=0.53 mm, film 40 µm

HP Plot Q p=30m,

Ø=0.53 mm, film 40 µm

HP Plot Q p=30m,

Ø=0.53 mm, film 40 µm Keterangan :

= tabung gas

= pupuk

= tanaman jarak pagar

7 8

(31)

18

3.3.2

Penelitian Utama (Emisi CO

2

, CH

4

dan N

2

O dari Aplikasi Kompos

Bungkil Jarak Pagar)

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur emisi gas rumah kaca CO2, CH4 dan N2O dari aplikasi kompos bungkil jarak pagar di lahan perkebunan, kemudian dibandingkan dengan emisi gas serupa pada aplikasi urea dan slow release urea. Tahapan pelaksanaan penelitian utama ini adalah :

1) Aplikasi pupuk

Pemberian pupuk pada tanaman dilakukan sehari setelah pemangkasan. Jenis pupuk yang digunakan dalam penelitian utama adalah kompos bungkil jarak pagar, urea dan slow release urea

(SRU). Pemupukan dilakukan dengan membenamkan pupuk di sekeliling tanaman pada kedalaman ± 10 cm.

2) Pengambilan sampel gas

Pengambilan sampel gas untuk penelitian utama dilakukan pada 3, 5, 7 dan 14 hari setelah aplikasi pupuk (HSAP). Waktu sampling ditentukan berdasarkan waktu maksimum emisi CO2, CH4 dan N2O yang diperoleh dari data pengukuran diurnal change. Pengambilan sampel gas dilakukan secara triplo dengan menggunakan 3 tabung gas pada setiap ulangan (Gambar 5). Setiap plot perlakuan terdiri dari 3 ulangan. Ukuran petak untuk setiap plot perlakuan adalah 20×20 m dengan jumlah tanaman jarak pagar sebanyak 60 tanaman untuk setiap plot.

Gambar 5. Penempatan tabung penangkap gas di dalam setiap plot perlakuan pada penelitian utama

3) Analisis gas CO2,CH4 dan N2O dengan kromatografi gas (GC)

Analisis konsentrasi gas CO2,CH4 dan N2O dilakukan dengan menggunakan gas chromatography (GC). Kondisi GC saat analisis masing-masing jenis gas pada penelitian utama sama dengan yang sudah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya (Tabel 4).

Keterangan :

= tabung gas

= pupuk

= tanaman jarak pagar

A

C

[image:31.595.132.515.399.508.2]
(32)

19

3.3.3

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor dengan 4 taraf perlakuan yaitu urea, kompos bungkil jarak pagar, slow release urea dan kontrol (KO). Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 12 unit percobaan. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yik = µ + Kk + αi + εik Dengan :

Yik = hasil pengukuran pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-k. µ = nilai rata-rata umum

Kk = ulangan percobaan (k=1, 2 dan 3)

αi = pengaruh perlakuan ke-i (i = 1 untuk urea, i = 2 untuk kompos bungkil jarak pagar, i = 3 untuk slow release urea dan i = 4 untuk kontrol)

εik = galat percobaan

3.3.4

Analisis Data

[image:32.595.185.407.391.729.2]

Untuk mengetahui pengaruh dari masing-masing perlakuan, data yang diperoleh dianalisis dengan uji ANOVA (Analisys of Variance). Apabila perlakuan memberikan pengaruh yang nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan Multiple Random Test (DMRT) dengan α = 0.05.

Gambar 6. Diagram alir pengukuran emisi gas rumah kaca (GRK) mulai

Pengukuran clearing dan diurnal change

Waktu optimum emisi CO2, CH4 dan N2O

Pengambilan sampel gas CO2, CH4 dan N2O

3 kali/minggu; 1 kali/minggu

Analisis gas (Gas Chromatography)

Baca area

Data emisi gas CH4 dan N2O

(33)

20

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Karakteristik Kompos Bungkil Jarak Pagar

[image:33.595.198.429.238.586.2]

Kompos mengandung unsur makro dan mikro lengkap yang dibutuhkan oleh tanaman meskipun dalam jumlah yang sedikit. Hasil pengujian karakteristik kompos bungkil jarak pagar yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Kompos yang digunakan dalam penelitian terbuat dari 100% bungkil jarak pagar.

Tabel 5. Kandungan unsur hara kompos bungkil jarak pagar

Komponen Kandungan

Kadar air 12.07%

C-organik 48.04%

Nitrogen

Organik 1.1%

NH4+ 1.08%

NO3- 0.08%

Total 2.26%

Rasio C/N 21

Mineral

P2O5 1.69%

K2O 1.41%

CaO 1%

MgO 1%

Na 0.01%

S 0.06%

Fe 71 ppm

Mn 25 ppm

Cu 12 ppm

Zn 35 ppm

Kompos yang digunakan dalam penelitian ini memiliki kadar air sebesar 12.07%. Kadar air mempengaruhi aktivitas dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme dalam proses pengomposan. Bila terlalu kering, tumpukan kompos akan bercendawan dan memperlambat proses penguraiannya. Sebaliknya, jika kadar air terlalu tinggi kondisinya berubah menjadi anaerob dan akan menimbulkan bau busuk dari gas yang banyak mengandung belerang sehingga dapat menurunkan kualitas kompos. (Murbandono, 1999; Djuarnani et al., 2005).

(34)

21 ketersediaan C organik di dalam tanah. Di sisi lain, penambahan C organik dari kompos dapat meningkatkan produksi gas CO2, CH4 dan N2O baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kandungan N dalam kompos lebih rendah bila dibandingkan pupuk urea dan slow release urea (SRU) yang digunakan dalam penelitian. Kandungan N total dalam kompos sebesar 2.26%, sedangkan kandungan N pada urea sebesar 45% dan slow release urea sebesar 38%. Dalam hal ini, selain mempengaruhi rasio C/N, kandungan N total dalam kompos juga berpengaruh terhadap emisi NO2 yang dihasilkan. Dalam proses nitrifikasi, ammonium (NH4+) akan dioksidasi menjadi nitrit oleh Nitrosomonas kemudian nitrit dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. Melalui denitrifikasi, nitrit kemudian direduksi menjadi N2. Baik dalam proses nitrifikasi maupun denitrifikasi, dihasilkan N2O sebagai produk antara (Mosier et al., 2004). Standar kualitas kompos menurut Asosiasi Barak Kompos Jepang untuk parameter total N adalah > 1.2% (Djuarnani et al., 2005).

Rasio C/N dari kompos bungkil jarak pagar yang digunakan dalam penelitian ini adalah 21. Standar kualitas kompos menurut Asosiasi Barak Kompos Jepang untuk parameter rasio C/N adalah < 35. Menurut Sofian (2005), kompos aman bagi tanaman jika memiliki rasio C/N di bawah 30. Akan tetapi, jika rasio C/N terlalu rendah kelebihan nitrogen (N) yang tidak dipakai oleh mikroorganisme tidak dapat diasimilasi dan akan hilang melalui volatisasi sebagai ammonia atau terdenitrifikasi (Djuarnani et al., 2005).

(35)

22

4.2

Karakteristik Lahan Percobaan

[image:35.595.166.461.201.498.2]

Produksi CO2, CH4 dan N2O di dalam tanah merupakan proses mikrobiologis sehingga karakteristik lingkungan akan sangat mempengaruhi net CO2,CH4 dan N2O yang dihasilkan. Oleh karena itu, karakteristik lahan yang digunakan dalam penelitian juga perlu diketahui. Hasil pengamatan karakteristik lahan percobaan jarak pagar dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik lahan kebun percobaan jarak pagar

Parameter Jumlah

Annual air temperature 27 oC

Annual precipation 2 986 mm/tahun Annual solar radiation 179.40 W/m2 Annual water content 0.20 m3/m3

pH soil: H2O 7.7

Texture 24% sand: 46% dust: 30% clay

Organic matter 0.92% (27 600 kg C/ha)

Total N 0.08% (2 400 kg N/ha)

Ratio C/N 12%

P2O5 21 mg/100 g

K2O 8 mg/100 g

CEC 19.08 mol/kg

Air quality (ambient)

CO2 330 ppm

CH4 2.9 ppm

N2O 0.6 ppm

Kadar air tanah pada lahan percobaan cukup tinggi yaitu 0.2 m3/m3 atau 20%. Hal ini disebabkan tingginya rata-rata curah hujan di lokasi penelitian (2 986 mm/tahun). Curah hujan yang tinggi akan meningkatkan kadar air tanah. Kondisi tersebut dapat meningkatkan produksi dinitro oksida (N2O) karena kelembaban yang tinggi dapat membentuk kondisi anaerobik yang diperlukan dalam denitrifikasi. Kondisi anaerobik yang terbentuk dengan adanya curah hujan yang tinggi juga memungkinkan produksi metana (CH4) di lokasi penelitian.

(36)

23 Hasil pengukuran konsentrasi CO2 ambien di lahan percobaan menunjukkan rata-rata konsentrasi CO2 di ambien sebesar 330 ppm (Tabel 6). Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja tanggal 16 Oktober 1997, nilai ambang batas (NAB) udara ambien gas CO2 sebesar 5 000 ppm dan kadar tertinggi yang diperkenankan (KTD) sebesar 30 000 ppm (Gratimah, 2009). Berdasarkan nilai ambang batas tersebut maka konsentrasi CO2 di lokasi percobaan masih berada dalam batas aman. Meskipun demikian, keberadaan CO2 tersebut dapat menimbulkan dampak negatif berupa efek rumah kaca yang menyebabkan terjadinya pemanasan global. Gas CO2 di ambien lokasi percobaan diperkirakan berasal dari dekomposisi bahan organik, respirasi tanah dan tanaman serta pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor.

Pada Tabel 6 juga dapat dilihat rata-rata konsentrasi CH4 dan N2O di ambien lahan percobaan masing-masing sebesar 2.9 dan 0.6 ppm. Emisi CH4 di lokasi percobaan dihasilkan dari dekomposisi bahan organik secara anaerob, sedangkan N2O diproduksi oleh mikroorganisme melalui nitrifikasi dan denitrifikasi. Meskipun konsentrasi kedua gas tersebut di ambien sangat rendah, dampak radiasi yang ditimbulkan oleh CH4 dan N2O masing-masing 21 dan 275 kali lebih besar dibandingkan CO2 pada saat yang sama (Robertson dan Grace, 2004; Setyanto, 2008).

4.3

Penentuan Posisi Tabung Penangkap Gas (

Clearing

)

Emisi gas CO2, CH4 dan N2O dari lahan pertanian sangat dipengaruhi oleh sifat fisik, kimia dan mikrobiologi tanah yang bervariasi baik berdasarkan tempat maupun waktu. Oleh karena itu pengambilan sampel gas perlu dilakukan pada titik dan waktu yang tepat sehingga data yang diperoleh dapat mewakili kondisi plot percobaan secara keseluruhan. Hasil pengukuran emisi gas CO2, CH4 dan N2O berdasarkan posisi tabung dan waktu pengambilan sampel pada saat clearing disajikan dalam Tabel 7, Gambar 7 dan Lampiran 2.

Tabel 7. Emisi CO2, CH4 dan N2O berdasarkan waktu pengambilan sampel pada penentuan posisi tabung penangkap gas (clearing)

Jam CO2

ppm (mgC/m2/jam)

CH4 ppm (mgC/m2/jam)

N2O ppm (mgN/m2/jam)

8 332(315) a 5.4(5.1) a 3.1(3.5) a

12 330(313) a 4.5(4.3) b 1.8(2.0) a

16 347(329) a 4.5(4.2) b 2.9(3.3) a

24 331(314) a 4.8(4.5) b 3.6(4.0) a

Total* 8 161 129 157

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut DMRT pada α 0.05

(37)

24 Gambar 7. Emisi (a) Karbon dioksida (CO2), (b) Metana (CH4) dan (c) Dinitro oksida (N2O)

berdasarkan posisi tabung pada penentuan posisi tabung penangkap gas (clearing) 300

320 340 360 380

1 2 3 4 5 6 7 8 rata-rata

C

O

2

(p

p

m

)

Nomor Tabung

0 2 4 6 8

1 2 3 4 5 6 7 8 rata-rata

C

H

4

(p

p

m

)

Nomor Tabung

0 2 4 6 8

1 2 3 4 5 6 7 8 rata-rata

N

2

O

(p

p

m

)

Nomor Tabung (b)

[image:37.595.87.485.80.724.2]
(38)

25

4.3.1

Karbon dioksida (CO

2

)

Hasil pengukuran emisi gas CO2 pada saat clearing dapat dilihat pada Gambar 7a. Rata-rata gas CO2 yang terukur adalah 335 ppm (317 mgC/m2/jam) dengan total CO2 selama 24 jam sebesar 8 161 mgC/m2. Konsentrasi CO2 tertinggi terdapat pada tabung 5 sebesar 338 ppm (321 mgC/m2/jam), sedangkan terendah pada tabung 3 yaitu 331 ppm (314 mgC/m2/jam). Berdasarkan waktu pengambilan gas, konsentrasi CO2 tertinggi terjadi pada pukul 16.00 sebesar 347 ppm (329 mgC/m2/jam), kemudian pukul 08.00 (332 ppm, 315 mgC/m2/jam), pukul 24.00 (331 ppm, 314 mgC/m2/jam) dan terendah pukul 12.00 (330 ppm, 313 mgC/m2/jam). Total CO2 selama 24 jam pada saat clearing ditentukan berdasarkan persamaan grafik yang diperoleh melalui Interpolasi Lagrange (Lampiran 12).

Analisis ragam menunjukkan konsentrasi CO2 tidak berbeda nyata terhadap posisi tabung dengan nilai p=0.98 dan R2= 0.21(Lampiran 8). Hal ini dapat disebabkan kondisi tanah di setiap titik sampling relatif seragam sehingga perbedaan konsentrasi CO2 dari masing-masing tabung tidak signifikan. Meskipun demikian pada Gambar 7a dapat dilihat, bahwa semakin jauh posisi tabung dari sumber pupuk, konsentrasi CO2 cenderung semakin tinggi. Dalam penelitian ini semakin besar nomor tabung, semakin jauh posisinya dari area pupuk kecuali tabung 8 yang diletakkan diantara dua tanaman jarak pagar sehingga letaknya lebih dekat dengan pupuk. Konsentrasi CO2 yang lebih rendah pada tabung yang dekat dengan sumber pupuk diduga karena pemberian urea dalam penelitian ini mampu meningkatkan keasaman tanah yang dapat menghambat respirasi mikroorganisme. Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Sitaula et al.

(1995) dan Bowden et al. (2000) diacu dalamRastogi et al. (2002) yang menunjukkan adanya penurunan respirasi mikroorganisme dan emisi CO2 dengan adanya penambahan pupuk N.

Gambar

Tabel 4. Kondisi GC saat analisis gas CO2, CH4 dan N2O
Gambar 5. Penempatan tabung penangkap gas di dalam setiap plot perlakuan pada penelitian
Gambar 6. Diagram alir pengukuran emisi gas rumah kaca (GRK)
Tabel 5. Kandungan unsur hara kompos bungkil jarak pagar
+7

Referensi

Dokumen terkait

Apabila nilai yang ditawarkan suatu perusahaan relatif lebih tinggi dari pesaing akan mempengaruhi tingkat loyalitas konsumen, semakin tinggi persepsi nilai yang dirasakan

Penelitian ini berjudul “Revitalisasi Pasar Papringan Melalui Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Berbasis Kearifan Lokal (Studi Kasus di Pasar Papringan, Desa

Sementara itu, pada periode laporan terjadi penurunan pertumbuhan jumlah tenaga kerja di Sulawesi Barat, terlihat dari menurunnya jumlah angkatan kerja sebesar 0.95% dibandingkan

Penerapan Cost Volume Profit analysis Sebagai Alat Bantu Dalam Perencanaan Penjualan Atas Target Laba Yang Ditetapkan, Jurnal Ilmiah Akuntansi No.3.. Penerapan Cost Volume

Dari hasil wawancara dengan guru biologi alat peraga tersebut tidak ada dikarenakan sekolah belum menetapkan secara keseluruhan standar sarana dan prasarana yang

Hasil penelitian menunjukkan dengan intervensi terhadap anak, orang tua dan pemerintah desa serta keterlibatan dari perguruan tinggi terdapat adanya

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti merekomendasikan kepada pendidik anak usia dini supaya metode proyek dapat dijadikan sebagai salah satu metode

Tetapi pada kenyataannya ketika wanita lebih berkarier atau bekerja diluar maka wanita tersebut menjadi semakin percaya diri, sehingga berpotensi untuk melupakan perannya di