• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam usaha untuk mencapai keuntungannya, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, korporasi melakukan segala kegiatan usahanya dengan menganut hirarki organisasi. Perbuatan yang memang ditujukan untuk memberikan keuntungan dilakukan oleh mereka yang menduduki posisi tertentu. Inilah yang menjadi salah satu alasan munculnya perkembangan doktrin pertanggungjawaban pidana oleh korporasi. Doktrin ini digunakan untuk mencari cara bagaimana korporasi dapat dimintai pertanggungjawabannya melalui perbuatan pribadi atau pihak tertentu yang mempunyai hubungan dengan korporasi.

Langkah pertama untuk menerapkan pertanggungjawaban pidana korporasi diambil oleh negara-negara Common Law seperti Inggris, Amerika Serikat dan Kanada, dikarenakan revolusi industri terlebih dahulu terjadi pada negara-negara ini. Tanpa mengingat keengganan semula untuk menghukum korporasi,154 pengakuan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi oleh

(criminal responsibility) baik dari pelaku berupa manusia alamiah (natural person) maupun korporasi (corporate criminal responsibility) dan pidana serta tindakan yang dapat diterapkan.

154

Alvi Syahrin, Beberapa Isu..., op.cit, hlm. 24. Beberapa alasan keengganan tersebut yaitu: korporasi merupakan subjek hukum fiksi, dan menurut paham ultra vires (bersalah karena bertindak melewati kewenangan) kesalahan yang dapat dihukum apabila melanggar Anggaran Dasar Perusahaan, terdapat hambatan-hambatan lain seperti kurangnya mens rea serta siapa yang harus dihadirkan ke persidangan secara pribadi.

pengadilan Inggris dimulai pada tahun 1842, saat korporasi didenda karena gagal dalam menjalankan tugasnya menurut peraturan perundang-undangan.155

Beberapa kurun waktu, pengadilan Inggris memakai doktrin respondeat superior atau vicarious liability, dimana tindakan bawahan/subordinat dilimpahkan kepada korporasi. Meskipun demikian, tanggung jawab eksplisit hanya digunakan dalam kasus-kasus pelanggaran tertentu, dan kemudian digantikan oleh teori identifikasi (identification theory).156

Sistem hukum Anglo-Saxon telah menciptakan dua bentuk dasar untuk meminta pertanggungjawaban korporasi, yaitu vicarious liability dan

identification doctrine. Kedua bentuk ini berasal dari ranah hukum perdata yang diserap dalam hukum pidana, walaupun identification doctrine dibentuk melalui pemikiran hukum pidana. Walapun terdapat perbedaan yang mendasar dari keduanya, dalam hal esensi, struktur, dan untuk sebagian besar jangkauannya, kedua bentuk pertanggungjawaban ini ingin mengadaptasi dan mengimitasi bagaimana pertanggungjawaban pidana yang dikenakan pada manusia kodrati. Akan tetapi perkembangan pemikiran manusia menimbulkan berbagai doktrin baru mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut, yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Vicarious Liability

Lazim disebut dengan pertanggungjawaban pengganti, diartikan sebagai pertanggungjawaban menurut hukum seorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa vicarious liability adalah

155

Ibid.

156

suatu konsep pertanggungjawaban seorang atas kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih berada dalam ruang lingkup pekerjaannya. (the legal responsibility of one person for wrongful acts of another, as for example, when the acts are done within scope of employment).157

Black‟s Law Dictionary mendefenisikan vicarious liability sebagai berikut:

“Liability that a supervisor party (such as an employer) bear for the action are

conduct of sub-ordinate or associate (such as an employee) because of the

relationship between the two parties.”158

Dengan pengertian tersebut, doktrin ini pada dasarnya adalah untuk menjawab pertanyaan, apakah terhadap seseorang dapat dikenakan pertanggungjawaban secara pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.159 Pertanggungjawaban pidana yang umumnya hanya dapat terjadi jika pada diri pembuatnya terdapat unsur kesalahan, dengan vicarious liability diberikan pengecualian, di mana seorang lain bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.160 Pengecualian ini terjadi apabila ada hubungan kerja, sebagaimana dalam asas respondeat superior,161 dijelaskan sebagai bentuk adanya hubungan antara master dan servant atau antara principal dan agent, dimana

157

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 33.

158Black‟s Law Dictionary, dikutip dari Mahrus Ali, op.cit, hlm. 119.

159

Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 301. Menurut Hasbullah, secara umum tidak dimungkinkan adanya permintaan pertanggungjawaban secara pidana kepada seseorang atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain karena sifatnya yang personal dan seseorang itu dipidana akibat dari kesalahannya sendiri dan bukan akibat kesalahan orang lain.

160

M. Arief Amrullah, op.cit, hlm. 18.

161

Lihat Barda Nawawi Arief, op.cit, hlm. 37. Respondeat superior sebenarnya merupakan hasil pengadopsian dari prinsip yang ada dalam hukum perdata, yaitu perbuatan melawan hukum, di mana dikenal suatu prinsip bahwa majikan akan bertanggung jawab atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan karyawannya.

berlaku adagium yang berbunyi qui facit per alium facit per se (seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu).

Dalam perbuatan-perbuatan perdata, seorang pemberi kerja bertanggungjawab atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya sepanjang hal itu terjadi dalam rangka pekerjaannya.162 Hal ini memberikan kemungkinan kepada pihak yang dirugikan karena perbuatan-perbuatan melawan hukum mereka untuk menggugat pemberi kerjanya agar membayar ganti rugi sepanjang dapat dibuktikan pertanggungjawabannya.163 Rasionalitas penerapan doktrin ini adalah karena majikan (korporasi) memiliki kontrol dan kekuasaan atas mereka dan keuntungan yang mereka peroleh secara langsung dimiliki oleh majikan (korporasi).

Prinsip hubungan kerja yang dikenal dalam doktrin vicarious liability,

disebut juga dengan prinsip delegasi.164 Prinsip delegasi terkait dengan mendelegasikan wewenang seseorang (korporasi) kepada bawahannya atau kuasanya yang bertindak untuk dan atas namanya, tetapi pemberi kuasa harus bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan penerima wewenang apabila ia melakukan tindak pidana, sekalipun dia tidak mengetahui apa yang telah dilakukan oleh bawahannya itu. Hal ini patut untuk ditekankan bagi korporasi, sebagaimana pendapat Scalan dan Ryan menyatakan bahwa kebijakan hukum telah menentukan bahwa suatu pendelegasian tidak dapat menjadi alasan pemaaf bagi seorang pemberi kerja untuk tidak memikul pertanggungjawaban pidana

162

C. M. V. Clarkson dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 119. Vicarious liability hanya dibatasi pada keadaan tertentu di mana majikan (korporasi) hanya bertanggung jawab atas perbuatan salah pekerja yang masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

163

Sutan Remy Sjahdeini, op.cit,, hlm. 84.

164

semata-mata karena tindak pidana tersebut telah dilakukan oleh bawahannya yang telah menerima pelimpahan wewenang darinya.165 Salah satu contoh penerapan teori vicarious liability adalah kasus Allen vs Whitehead:166

X adalah pemilik rumah makan yang pengelolaannya diserahkan kepada Y (sebagai manager). Berdasarkan peringatan polisi, X telah menginstruksikan dan melarang Y untuk mengizinkan pelacuran di rumah makan itu, yang ternyata dilanggar Y. Dalam kasus itu, X dipertanggungjawabkan berdasarkan Metropolitan Police Act, 1839, Pasal 44. Konstruksi hukumnya adalah bahwa X telah mendelegasikan kewajibannya kepada Y (manager rumah makan). Dengan telah dilimpahkannya kebijaksanaan usaha rumah makan itu pada manager, maka pengetahuan si manager merupakan pengetahuan dari si pemilik rumah makan.

Terdapat beberapa alasan mengapa doktrin vicarious liability dibutuhkan dimana pertanggungjawaban pidana secara individual tidak dapat digunakan sehingga terdapat tempat bagi korporasi untuk bertanggung jawab, antara lain:167 a. Penerima kuasa seringkali tidak mempunyai aset yang mencukupi untuk

membayar kerugian yang timbul akibat suatu kesalahan dan pertanggungjawaban pidana korporasi dapat membantu mengurangi masalah yang timbul dari kesalahannya.

b. Pertanggungjawaban korporasi meningkatkan pencegahan jika penerima kuasa terbukti menempatkan aset korporasi dalam bahaya dan memaksa korporasi

untuk menginternalisasi “biaya” sosial yang timbul akibat kesalahan tersebut.

Jika korporasi yang menanggung biaya tersebut, maka korporasi telah

165

Lihat Mahrus Ali., op.cit, hlm. 120

166

Hamzah Hatrik, op.cit, hlm. 116-117.

167

V.S Khanna, “Corporate Liability Standards: When Should Corporations Be Held Criminally Liable?”, American Criminal Law Review, http://crawl.prod.proquest.com.s3. amazonaws.com/fpcache/c32f92d88d0cedd33b2058d54439f274.pdf?AWSAccessKeyId=AKIAJF 7V7KNV2KKY2NUQ&Expires=1464668037&Signature=drsWw3axPSjQgJB3D7mYeM0RTSU %3D, diakses pada tanggal 15 April 2016, hlm. 3

meningkatkan motivasi untuk memonitor para penerima kuasa, mencegah mereka melakukan kesalahan.

c. Jika penerima kuasa tidak terbukti melakukan kesalahan, maka mereka tidak dapat dikenai pertanggungjawaban lewat identification doctrine karena para penerima kuasa tidak dapat merespon pertanggungjawaban yang dibebankan kepadanya.

Jika doktrin ini diterapkan pada korporasi, berarti korporasi dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapapun yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. Namun dapat disimpulkan berdasarkan uraian di atas, setidaknya terdapat dua syarat penting untuk menerapkan doktrin vicarious liability, yaitu: harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara majikan dan pekerja, serta tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus berkaitan atau massih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

2. Identification doctrine

Teori ini juga dikenal dengan istilah direct corporate criminal liability168

pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari agen tertentu dari korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri.169 Sehingga apabila perbuatan tersebut mengakibatkan terjadinya tindak pidana atau kerugian, sesungguhnya perbuatan tersebut merupakan tindak pidana

168

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 80 & 105. Mahrus Ali dalam bukunya membedakan penjelasan mengenai identification doctrine dengan direct corporate criminal liability. Meskipun dalam penjelasannya, Mahrus Ali menyatakan bahwa corporate criminal liability berhubungan erat dengan doktrin identifikasi, yang menyatakan bahwa tindakan agen tertentu dalam suatu korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri. Lihat hlm. 106.

169

yang dilakukan korporasi. Identification doctrine adalah doktrin yang menyatakan bahwa perusahaan dapat melakukan sejumlah delik secara langsung lewat orang-orang yang sangat berhubungan erat dengan perusahaan dan mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu pertanggungjawaban perusahaan tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi.170

Doktrin ini juga berpandangan bahwa korporasi dianggap sebagai

“directing mind” atau “alter ego”. Artinya, perbuatan mens rea para individu itu kemudian dikaitkan dengan korporasi . jika individu diberi kewenangan untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis korporasi, mens rea para individu itu merupakan mens rea korporasi.171 Munculnya doktrin ini dilatarbelakangi oleh teori organ172, dikarenakan orang-orang yang identik dengan korporasi sangat bergantung kepada jenis dan struktur organisasi. Organisasi dalam banyak hal disamakan dengan tubuh manusia. Korporasi sebagai sebuah organisasi memiliki otak dan pusat syaraf yang mengendalikan apa yang dilakukannya. Ia memiliki tangan yang memegang alat dan bertindak sesuai dengan arahan dari pusat syaraf. Beberapa orang di lingkungan korporasi itu hanyalah karyawan dan agen yang tidak lebih dari tangan dalam melakukan pekerjaannya dan tidak bisa dikatakan sikap batin atau kehendak perusahaan.173

170

Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 87.

171

Dwidja Priyatno, op.cit, hlm 89.

172

Lihat Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 307. Dengan menggunakan teori organ, pengadilan bisa secara bijaksana menetapkan dan memperlakukan the state of mind of the senior officers of the company as being the state of mind of the company.

173

Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 91. Bandingkan dengan tanggapan Hakim Denning sebagaimana dikutip dari Dwidja Priyatno, Ia memberi tanggapannya sebagai berikut: “A company

may in many ways be likened to a human body. It has a brain and a nerve centre which can controls what it does. It also had hands which hold the tools and act in accordance with are mere servants and agents who are nothing more that hands to do the work and cannot be said represent

Di sisi lain, direktur atau pejabat setingkatnya mewakili sikap batin yang mengarahkan, mewakili kehendak perusahaan dan mengendalikan apa yang dilakukan. Sikap batin mereka merupakan sikap batin korporasi.174 Artinya, doktrin ini diharapkan dapat mendorong pertanggungjawaban pidana dari korporasi atas actus reus dan mens rea dari pejabat berwenang (controlling officers), tapi terbatas pada pejabat tersebut.

Directing mind atau orang-orang yang identik dengan korporasi menurut Yedidia Z. Stern meliputi the general meeting, board of directors, managing directors, general manager, chief executive, and possibly individual directors,

secretaries and shop managers.175 Namun timbul pertanyaan apakah jabatan tersebut dengan sendirinya akan bertanggung jawab setiap terjadi tindak pidana dalam lingkup korporasi? Untuk itulah, pendekatan menggunakan identification doctrine dalam menentukan directing mind korporasi harus dianalisis secara kontekstual.176 Sutan Remy Sjahdeini mengutip pendapat Little dan Savoline terkait dianutnya identification doctrine dalam putusan Mahkamah Agung Kanada dalam perkara Canadian Dredge and Dock vs The Queen177, yang menyatakan

the mind or will. Others are directors and managers who represent the directing state of mind of

these managers is the state of the mind of the company and is treated by the law as such.”

174

Eric Colvin, op.cit, hlm. 8-9.

175

Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 106. Terkait dengan orang-orang yang identik dengan korporasi Yedidia Z. Stern mengungkapkan terdapat lima pendekatan untuk menentukan kapan tindakan orang-orang tertentu dalam suatu korporasi dianggap sebagai tindakan korporasi, yaitu: deskripsi yang samar, kriteria formal, pendekatan pragmatis, analisis hierarki, dan analisis fungsi.

176

Sutan Remy Sajhdeini, op.cit, hlm. 104. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, untuk menentukan directing mind dari korporasi harusalah dilihat dari formal yuris dan menurut kenyataan dalam operasionalisasi kegiatan perusahaan tersebut secara kasus demi kasus.

177

Ibid. Mahkamah Agung Kanada dalam perkara tersebut berpendapat bahwa directing mind dari suatu korporasi adalah “the ego”, “the „center‟”, dan/atau “the „vital organ‟” of

bahwa telah muncul beberapa asas terkait identification doctrine dari putusan tersebut:178

a. Directing mind dari suatu korporasi tidak terbatas pada satu orang saja. Sejumlah pejabat (officer) dan direktur dapat merupakan directing mind dari korporasi tersebut.

b. Geografi bukan merupakan faktor. Kenyataan bahwa suatu korporasi memiliki berbagai operasi (multiple operation) di berbagai lokasi geografis (memiliki berbagai kantor cabang) tidak akan mempengaruhi penentuan mengenai siapa orang yang merupakan directing mind dari perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu seseorang tidak dapat mengelak untuk bertanggung jawab hanya karena dia melakukan operasinya dari suatu lokasi yang terpisah dari lokasi di mana tindak pidana itu terjadi.

c. Suatu korporasi tidak dapat mengelak untuk bertanggung jawab dengan mengemukakan bahwa orang atau orang-orang yang melakukan tindak pidana itu telah melakukan tindak pidana yang bersangkutan meskipun telah ada perintah yang tegas kepada mereka agar hanya melakukan perbuatan yang tidak melanggar hukum.

d. Agar seseorang dapat dinyatakan bersalah karena telah melakukan tindak pidana, orang tersebut harus memiliki kalbu yang salah atau niat yang jahat (have a guilty mind and/or criminal intent), yaitu yang dikenal dalam hukum pidana pidana sebagai mens rea. Dalam doktrin ini, pejabat atau direktur korporasi yang merupakan directing mind dari korporasi tersebut tidak dapat dipertnaggungjawabkan atas suatu tindak pidana apabila tindak pidana itu tidak disadarinya.

e. Untuk menerapkan identification doctrine harus dapat ditunjukkan bahwa perbuatan dari personil yang menjadi directing mind korporasi itu termasuk dalam bidang kegiatan yang ditugaskan kepadanya, tindak pidana tersebut bukan merupakan kecurangan terhadap korporasi yang bersangkutan, dan tindak pidana itu dimaksudkan untuk memperoleh atau menghasilkan manfaat bagi korporasi.

f. Pertanggungjawaban pidana korporasi mensyaratkan adanya analisis kontekstual (contextual analysis). Dengan kata lain, penentuannya harus dilakukan kasus per kasus (on a case by a case basis). Jabatan seseorang dalam perusahaan tidak dengan sendirinya membuat dia bertanggung jawab. Penilaian terhadap kewenangan seseorang untuk dapat menentukan kebijakan korporasi atau untuk dapat membuat keputusan-keputusan penting harus dilengkapi dengan melakukan analisis kontekstual tersebut.

3. Strict Liability

178

Doktrin strict liability mengemukakan bahwa pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) pada pelakunya.

Strict liability ini merupakan konsep pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Dengan kata lain, konsep strict liability dirumuskan sebagai “that they are crimes which do not require any mens rea with regard to at

least one element of their actus reus” (suatu bentuk pelanggaran/kejahatan yang di dalamnya tidak mensyaratkan adanya unsur kesalahan, tetapi hanya disyaratkan adanya suatu perbuatan).179

Roeslan Saleh menambahkan, dalam tindak pidana yang bersifat strict liability yang dibutuhkan hanyalah dugaan atau pengetahuan dari pelaku (terdakwa), dan hal itu sudah cukup menuntut pertanggungjawaban daripadanya. Jadi, tidak dipersoalkan adanya mens rea karena unsur pokok strict liability adalah actus reus (perbuatan) sehingga yang harus dibuktikan adalah

actus reus (perbuatan) bukan mens rea (kesalahan).180

Konsep strict liability di negara-negara common law diartikan sebagai kewajiban mutlak yang dihubungkan dengan ditimbulkannya kerusakan. Salah satu ciri utama tanggung jawab mutlak, yakni tidak adanya persyaratan tentang kesalahan.181 Sejak pertengahan abad ke-19, asas tanggung jawab mutlak (strict liability) telah diperkenalkan, sekurang-kurangnya untuk beberapa kasus, yang sebagian besar berkaitan dengan resiko lingkungan182, dan keamanan/kesehatan makanan, perlindungan konsumen, di samping ketertiban umum, fitnah atau

179

Barda Nawawi Arief, op.cit, hlm. 28.

180

Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 21.

181

Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 298.

182

pencemaran nama baik, dan contempt of court, serta pelanggaran lalu lintas.183 Dengan kata lain, strict liability dimaksudkan untuk menanggulangi tindak pidana kesejahteraan (public welfare offences) yang bersifat tindak pidana ringan yang diancam tindak pidana denda. Argumen ini dikemukakan pula oleh Muladi dan Dwidja Priyatno sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini, yang menyatakan bahwa:184

“Penerapan doktrin “strict liability” dan “vicarious liability” hendaknya

hanya diberlakukan terhadap jenis perbuatan pelanggaran yang sifatnya ringan saja, seperti dalam pelanggaran lalu lintas. Doktrin tersebut dapat pula ditujukan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi, terutama yang menyangkut perundangan terhadap kepentingan umum/masyarakat, misalnya perlindungan di bidang makanan, minuman, serta kesehatan lingkungan hidup. Dengan dasar doktrin ini maka fakta yang bersifat menderitakan si korban dijadikan dasar untuk menuntut pertanggungjawaban pidana korporasi dengan adagium res ipsa loquitur

(fakta sudah berbicara sendiri).”

L. B. Curzon sebagaimana dikutip oleh Hamzah Hatrik mengatakan bahwa

strict liability dianut dalam hukum pidana didasarkan atas tiga premis, yaitu:185

Pertama, sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk mensejahterakan masyarakat. Kedua, pembuktian adanya

mens rea akan menjadi lebih sulit dalam pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan masyarakat. Ketiga, tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang dilakukan.

Doktrin strict liability ini terdapat dalam delik-delik yang diatur menurut undang-undang (statutory offences; regulatory offences, mala prohibita), yang pada umumnya merupakan delik kesejahteraan umum. Lord Pearce sebagaimana

183

Ibid.

184

Sutan Remy Sjahdeini, op.cit, hlm. 83.

185

dikutip dalam Yusuf Shofie menyatakan bahwa banyak faktor yang melatarbelakangi pembentuk undang-undang menetapkan penggunaan strict liability dalam hukum pidana, seperti: karakteristik suatu tindak pidana, pemidanaan yang diancamkan, ketiadaan sanksi sosial, kerusakan tertentu yang ditimbulkan, cakupan aktivitas yang dilakukan, dan perumusan ayat-ayat tertentu dan konteksnya dalam suatu perundang-undangan.186

Selanjutnya mengutip pendapat Romli Atmasasmita, pembentuk undang-undang telah menetapkan bila aturan tentang strict liability crimes dapat diberlakukan sebagai berikut:187

a. Kejahatan yang dilakukan bukan kejahatan berat; b. Ancaman hukumannya adalah ringan;

c. Syarat adanya mens rea akan menghambat adanya tujuan perundang-undangan;

d. Kejahatan yang dilakukan secara langsung merupakan paksaan terhadap hak-hak orang lain;

e. Menurut undang-undang yang berlaku mens rea secara kasuistik tidak diperlukan.

Contoh kasus yang menerapkan strict liability sebagaimana dikutip dalam Hanafi adalah kasus Alphaceel Ltd Vs Woodward (1972):188

Suatu perusahaan dihukum oleh pengadilan tingkat pertama dengan tuduhan sebagai penyebab terpolusinya air sungai. Terdakwa menentang tuduhan itu dengan mengatakan bahwa jaksa harus membuktikan adanya kesengajaan, kelupaan, atau kesembronoan dari terdakwa. House of Lord menolak argumen terdakwa dan tetap menjatuhkan hukuman kepada terdakwa.

186

Yusuf Shofie, Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2011), hlm. 362-363. Keenam faktor tersebut menunjukkan betapa pentingnya perhatian publik (public concern) terhadap perilaku-perilaku yang perlu dicegah dengan penerapan strict liability, agar keamanan masyarakat (public safety), lingkungan hidup (environment), dan kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat (the economic interest of the public), termasuk perlindungan konsumen tetap terjaga.

187

Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 78.

188

Hanafi, Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Islam Indonesia, 1997), hlm. 75.

4. Management Failure Model

Doktrin ini merupakan sebuah bentuk baru kejahatan pembunuhan yang dilakukan oleh korporasi (corporate manslaughter). The Law Comission Inggris189

berpendapat bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh korporasi terjadi apabila ada kesalahan oleh managemen korporasi yang menyebabkan kematian orang. Kejahatan ini diartikan sebagai suatu kesalahan dari managemen (kebalikan dari kesalahan korporasi), karena The Law Comission berpendapat bahwa orang-orang yang berada di dalam korporasilah yang melakukan kejahatan dan tindak pidana baru yang ada di Inggris, yaitu kelalaian yang menyebabkan kematian (killing by gross carelessness), tidak dapat diaplikasikan terhadap korporasi.190

Kejahatan ini sendiri tidak memperhatikan konsep mens rea yang berusahan menangkap kesalahan seseorang yang akan diartikan sebagai kesalahan korporasi. Sekilas doktrin ini mirip dengan identification doctrine, akan tetapi sesungguhnya terdapat perbedaan signifikan dari kedua teori ini. Identification doctrine sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, mencari kesalahan dari

Dokumen terkait