BAB II
SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
A. Ruang Lingkup Kejahatan Korporasi
1. Defenisi Kejahatan Korporasi
Istilah kejahatan korporasi digunakan dalam berbagai konteks maupun
penamaan. J.E. Sahetapy memberikan catatan penting bahwa istilah kejahatan
korporasi (corporate crime) seringkali digunakan untuk menggambarkan konsep
white-collar crime, organizational crime, organized crime, georganiseerde
misdaad, groepscriminaliteit, misdaad onderneming, crimes of bussiness
(bussiness crime), syndicate crime.84
David O. Friedrichs sebagaimana dikutip dalam Mahrus Ali
mendefenisikan kejahatan korporasi85 sebagai: offences committed by corporate
officials for their corporation or offences of the corporation itself, yang berarti:
tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi untuk kepentingan
korporasi atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi itu sendiri.86
84
J. E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Cetakan Kedua, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2002), hlm. 1. Menurut Sahetapy, berbagai nama, makna dan ruang lingkup apa pun yang hendak diberikan bertalian dengan corporate crime atau kejahatan korporasi, pada dasar dan sifat, kejahatan korporasi bukanlah suatu barang baru; yang baru adalah kemasan, bentuk, serta perwujudannya.
85
Bandingkan dengan Gary Slapper dan Steve Tombs, Corporate Crime, (London, Great Britain: Longman, 1999), hlm. 16. Mengenai defenisi kejahatan korporasi itu sendiri Friedrichs menyatakan bahwa mengenai defenisi kejahatan korporasi yang tidak dapat diterima oleh semua orang, melahirkan suatu kewajiban bagi para sarjana menentukan bagaimana mereka berniat menggunakan defenisi-defenisi yang ada, sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan dan dengan penyajian yang diharapkan.
86
Marshaal B. Clinaard dan Peter C. Yeager sebagaimana dikutip dalam
Setiyono memberikan pengertian kejahatan korporasi sebagai: any act committed
by corporation that is punished by the state, regardless of whether it is punished
under administrative, civil, or criminal law, yang artinya: setiap tindakan yang
dilakukan oleh korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, entah di bawah
hukum administrasi negara, hukum perdata maupun hukum pidana.87
Gary Slapper dan Steve Tombs merangkum pendapat beberapa ahli seperti
Kramer, Box, Schrager and Short, serta Clinard dan Yeager, kemudian
mendefenisikan kejahatan korporasi (corporate crime) sebagai:
criminal acts (of omission or comission) which are the result of deliberate decision making (or culpable negligence) of those who occupy structural positions within the organization as corporate executives or managers. These decisionas are organizationally based – made in accordance with the normative goals (primarily corporate profit), standard operating procedures, cultural norms of organizations – and are intended to benefit the corporation itself. 88
(perbuatan pidana, baik yang berbentuk delik omisi maupun delik komisi, yang merupakan hasil dari keputusan yang disengaja atau kelalaian dari orang-orang yang menempati jabatan struktural dalam organisasi sebagai pihak eksekutif atau manajer dari perusahaan. Keputusan ini dibuat secara terorganisir berdasarkan tujuan normatif organisasi yakni keuntungan korporasi itu sendiri)
Terlihat melalui berbagai pengertian di atas bahwa ciri khas yang dapat
ditemui dari kejahatan korporasi adalah bahwa ia dilakukan oleh korporasi atau
pengurusnya (baik pemilik, manager, atau karyawan) untuk kepentingan korporasi
itu sendiri, dan secara langsung maupun tidak langsung telah mendatangkan
87
Setiyono, Kejahatan Korporasi, Cetakan Ketiga, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 20.
88
kerugian terhadap para stakeholder, yang menurut Etty Utju R.K. dengan
mengutip pendapat Muladi, terdiri atas:89
a. Negara (state), sebagai akibat kejahatan korporasi, seperti informasi palsu
terhadap instansi pemerintah, korupsi, tindak pidana ekonomi, tindak pidana
subversi, dan lain-lain.
b. Masyarakat (public), sebagai akibat pencemaran dan perusakan lingkungan
hidup, penggelapan, penghindaran pajak, dan lain-lain.
c. Konsumen (consumers), sebagai akibat advertensi yang menyesatkan,
menciptakan hasil produksi yang beracun dan berbahaya, dan lain-lain.
d. Karyawan (employees), sebagai akibat kejahatan korporasi berupa lingkungan
kerja yang tidak sehat dan tidak aman, pengekangan hak untuk membentuk
organisasi buruh, tidak dipenuhinya upah minimum dan lain-lain.
e. Pemegang saham (shareholders/investor), sebagai akibat penipuan dan
pemalsuan akuntansi, dan lain-lain.
f. Perusahaan saingan (competitors), sebagai akibat kejahatan spionase industri
yang melanggar.
Konsepsi ini membuat istilah kejahatan korporasi (corporate crime) sama
sekali berbeda dengan crime against corporation dan criminal corporation.
Konsep crime against corporation atau yang biasa disebut kejahatan jabatan atau
kejahatan terhadap korporasi, merupakan kejahatan di mana pelaku kejahatan
tersebut melakukan kejahatan yang ditujukan kepada korporasi.90
Pelaku
89
Etty Utju R. Koesoemahatmadja, Hukum Korporasi Penegakan Hukum terhadap Pelaku Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 6.
90
kejahatan ini tak hanya terbatas karyawan dari badan hukum atau korporasi yang
bersangkutan, tapi juga masyarakat secara luas bisa menjadi pelaku kejahatan
korporasi jenis ini. Sedangkan criminal corporation merupakan padanan lain
kejahatan sindikat. Ia diartikan sebagai korporasi yang sengaja dibentuk dan
dikendalikan untuk melakukan kejahatan, dengan kata lain kedudukan korporasi
hanyalah sebagai sarana melakukan kejahatan.91
2. Karakteristik Kejahatan Korporasi
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa kejahatan korporasi
menimbulkan kerugian lebih besar jika dibandingkan dengan kejahatan individual
atau sering disebut juga sebagai kejahatan konvensional/tradisional. Hal ini
diakibatkan oleh karakteristik kejahatan korporasi itu sendiri, antara lain:92
a. Kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh
kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian profesional
dan sistem organisasi yang kompleks;
b. Kejahatan tersebut sangat kompleks (complexity) karena selalu berkaitan
dengan kebohongan, penipuan dan pencurian serta seringkali berkaitan dengan
sebuah yang ilmiah, teknologis, finansial, legal, terorganisasikan, dan
melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun-tahun;
c. Terjadinya penyebaran tanggung jawab (diffusion of resposibility), yang
semakin luas akibat kompleksitas organisasi;
91
Ibid., hlm 13.
92
d. Penyebaran korban yang sangat luas (diffusionofvictimization), seperti polusi
dan penipuan;
e. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and prosecution),
sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak
hukum dengan pelaku kejahatan.
f. Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law) yang sering menimbulkan
kerugian dalam penegakan hukum; dan
g. Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Dalam hal perbuatannya tidak
melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi apa yang dilakukan memang
merupakan perbuatan yang ilegal.
Dalam konteks tindak pidana pembakaran lahan perkebunan, karakteristik
ini cenderung lebih relevan jika meninjau konsep kejahatan korporasi sebagai
white collar crime atau kejahatan kerah putih.93 Istilah kejahatan kerah putih itu
sendiri telah dikenalkan sejak puluhan tahun yang lalu oleh Edwin Sutherland.
Sutherland mengemukakan kejahatan korporasi sebagai: “...any person of higher
socioeconomics status who commits a legal violation in the course of his or her
occupation”94, yang dapat diartikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang yang memiliki kehormatan dan status sosial yang tinggi dalam
93
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 26 & 36. Selain sebagai white collar crime, kejahatan korporasi juga identik dengan transnational crime dan organized crime. Transnational crime menggambarkan kejahatan yang tidak hanya terjadi di internasional dan kejahatan lintas negara yang mencakup dua saja, tetapi juga kejahatan yang memiliki sifat harus melintasi perbatasan sebagai sebuah bagian dari tindak kejahatan. Sedangkan organized crime lebih merujuk pada adanya kejahatan terorganisir dan aktivisnya seperti perdagangan narkoba, pencucian uang, perdagangan senjata ilegal, penipuan, dan kegiatan ilegal lainnyayang memberi ancaman terhadap stabilitas global.
94
menjalankan jabatannya. Artinya, defenisi ini mengambil fokus pada dua hal,
yakni pelaku kejahatan dan status sosial tinggi yang dimilikinya.
Kekhususan kejahatan kerah putih adalah pada wilayah kerjanya yang
meliputi bidang keuangan dan industri, di mana kerugian yang ditimbulkan dari
kejahatan tersebut tidak begitu nyata, kesalahan pelaku tidak begitu jelas, dan
perbuatan pelaku tidak bertentangan dengan moral. Hal ini tentu bertentangan
dengan konsep kejahatan jalanan (street crimes) yang dengan mudah dapat
diidentifikasi, seperti pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, perampokan,
atau pencurian. Kejahatan jalanan umumnya juga melibatkan penggunaan
ancaman dan penggunaan kekerasan secara fisik terhadap korban atau pencurian
dengan menggunakan kekerasan serta kejahatan-kejahatan lain yang berhubungan
dengan hal itu.95
Lebih lanjut Simpson mengemukakan ada tiga hal yang patut dicermati
dalam kejahatan korporasi. Pertama, bahwa perbuatan ilegal yang dilakukan
korporasi dan agennya berbeda dengan yang dilakukan mereka yang memiliki
status ekonomi yang lebih rendah, yang semakin menunjukkan perbedaan
kejahatan korporasi dengan kejahatan konvensional lainnya. Kedua, baik
korporasi dan representasinya dikenali sebagai pelaku. Ketiga, motivasi utama
dari suatu kejahatan korporasi adalah bukan untuk kepentingan individu, namun
untuk kepentingan korporasi. Oleh karena itu untuk menjaga keuntungan,
mengatur suatu pasar, menurunkan biaya perusahaan, atau untuk menyingkirkan
95
saingan dalam dunia usaha, korporasi mungkin saja mencemari lingkungan,
melakukan penipuan dan manipulasi, menciptakan kondisi kerja yang berbahaya
dan lainnya. Kebijakan managerial untuk melakukan tindakan terlarang tersebut
dapat dibantu dengan norma dalam korporasi dan subkultur korporasi.96
3. Dimensi Kejahatan Korporasi
Dimensi kejahatan korporasi di Indonesia terus berkembang seiring
dengan perkembangan perekonomian nasional dan internasional. Berbagai jenis
kejahatan korporasi semakin menonjol sebagai dampak dari era globalisasi seperti
kecenderungan berkembangnya persaingan usaha yang tidak sehat (unfair
competition) yang mengarah pada perkembangan praktek monopoli, oligopoli,
konsentrasi industri, market limitation, misrepresenting products,97 price fixing
(memainkan harga barang secara tidak sah), false advertising (penipuan iklan)
yang sering terjadi di bidang farmasi (obat-obatan), dan enviromental crime
(kejahatan lingkungan hidup),98 serta kejahatan perbankan seperti: cyber crime
dan money laundering.99
Dimensi-dimensi tersebut perlu diklasifikasi menjadi
beberapa bentuk, Dimensi ini terpolakan dalam bentuk-bentuk seperti:100
a. Defrauding stockholders
96
Sally S. Simpson, Corporate Crime, Law, and Social Control, (United Kingdom: Cambridge University Press, 2002), http://catdir.loc.gov/catdir/samples/cam031/2001025804.pdf, diakses pada tanggal 6 April 2016, hlm. 7.
97
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 16.
98
Soedjono Dirdjosisworo, Respons Terhadap Kejahatan: Introduksi Hukum Penanggulangan Kejahatan (Introduction to The Law of Crime Prevention), (Bandung: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Bandung Press, 2002), hlm. 65.
99
Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 5.
100
Dimaksudkan tidak melaporkan dengan sebenarnya keuntungan yang
diperoleh sehingga menimbulkan penipuan terhadap para pemegang saham.
Dimensi ini terkait erat dengan pemegang saham perusahaan yang diberi
informasi secara tidak benar tentang berapa besar jumlah keuntungan yang
diperoleh dari hasil usaha perusahaan.101
b. Defrauding the public
Dapat diartikan sebagai penipuan terhadap masyarakat terjelma dalam
bentuk persekongkolan penentuan harga dan produk yang tidak representatif.
Wujud lainnya juga dapat dilihat dalam penipuan informasi layanan (iklan)
tentang suatu produk dari perusahaan tertentu.
c. Defrauding the government
Merupakan tindakan penipuan oleh suatu korporasi yang ditujukan
langsung kepada pemerintah. Tindakan ini dilakukan untuk menghindari
kewajiban membayar pajak sesuai dengan pendapatan atau keuntungan korporasi
yang sesungguhnya. Tidak sedikit perusahaan-perusahaan besar yang bergerak
dalam bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak mempunyai daftar
pembukuan lebih dari satu. Hal ini dimaksudkan untuk mengelabuhi pemerintah
agar tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk membayar pajak.102
d. Endangering the public welfare
Adalah dimensi kejahatan korporasi yang mengarah pada membahayakan
kesejahteraan umum. Misalnya, korporasi menimbulkan polusi industri yang
membahayakan lingkungan di sekitarnya.
101
Hanafi, op.cit, hlm.5.
102
e. Endangering employees
Yaitu tidak memedulikan keselamatan kerja. Tindakan semacam ini sering
dilakukan oleh beberapa perusahaan dengan cara mengeksploitasi tenaga kerja
tanpa diiringi dengan perhatian yang cukup besar terhadap keselamatan mereka,
sehingga banyak dari mereka yang mengalami kecelakaan karena sarana dan
prasarana produksi perusahaan tidak memenuhi standar keselamatan kerja.
f. Illegal intervention in the public process
Melakukan intervensi yang melanggar hukun terhadap proses politik,
terutama dalam konteks pengambilan kebijakan publik oleh pemerintah.
Praktiknya sering berupa sumbangan dana politik kampanye partai dalam proses
pemilihan umum yang tujuannya paling tidak keinginan-keinginan atau tendensi
tertentu dari korporasi bersangkutan bisa tercapai melalui munculnya sebuah
kebijakan pemerintah hasil pemilu tersebut.103
Niall F. Coburn secara lebih luas mengklasifikasikan dimensi kejahatan
korporasi dapat berbentuk sebagai berikut:104
a. Penggelapan dana perusahaan
b. Penipuan terhadap hasil audit internal dan pelanggaran terhadap kepatuhan kerja
c. Pelanggaran surat berharga termasuk perusahaan yang tidak menerapkan prinsip keterbukaan kepada publik
d. Penyuapan
e. Penjualan aset perusahaan yang melibatkan orang dalam f. Manipulasi pasar
g. Korupsi
h. Menghindarkan kewajiban membayar pajak i. Praktik-praktik perdagangan dan perbuatan pasar. j. Bisnis perusahaan yang pailit
103
Ibid., hlm. 7.
104
k. Penghitungan laba perusahaan yang disamarkan atau dipalsukan l. Bisnis perusahaan yang pailit.
m. Penghitungan laba perusahaan yang disamarkan atau dipalsukan n. Pembukuan keuangan perusahaan yang tiak jujur
o. Penyelenggaraan perusahaan terkait dengan transaksi partai politik dan kewajiban direktor
p. Regulasi yang bersifat rahasia q. Standar makanan
r. Standar jalan raya dan kereta api
s. Tindak pidana ekonomi terhadap dan oleh pekerja
t. Praktik-praktik diskriminatif pada saat bekerja dan di tempat kerja u. Pelanggaran terhadap aturan di bidang lingkungan hidup.
v. Keamanan dan kesehatan kerja.
Sementara itu, untuk kejahatan korporasi yang menyangkut masyarakat
luas, menurut Setiyono, antara lain dapat berbentuk:105
1. Kejahatan terhadap Lingkungan Hidup;
2. Kejahatan terhadap Konsumen
3. Kejahatan terhadap Pemegang Saham (Investor)
Berdasarkan klasifikasi dimensi ini, tindak pidana pembakaran lahan
perkebunan sejatinya merupakan sebuah bentuk kejahatan korporasi dari dimensi
“endangering the public welfare” dalam bentuk kejahatan lingkungan hidup.
Dikatakan demikian karena tindak pidana pembakaran lahan perkebunan yang
dilakukan korporasi ini berdampak pada tereganggunya aspek-aspek
kesejahteraan masyarakat, seperti lingkungan hidup, ekonomi, yang berdampak
pula pada aktivitas sosial masyarakat secara luas.
105
B. Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana
1. Sejarah dan Latar Belakang Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana
Asal mula korporasi sampai sekarang masih menjadi persoalan. Pada
masyarakat yang primitif dengan karakteristik hidup dalam suatu kelompok
(group), sebenarnya sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu
kelompok masyarakat. Pada zaman dahulu perkembangan korporasi berupa
pembentukan kelompok yang terjadi seperti dalam masyarakat Asia Kecil,
Yunani, dan masyarakat Romawi. Perkembangan kelompok-kelompok tersebut di
Romawi terlihat dengan dibentuknya suatu organisasi yang dalam banyak hal
memiliki fungsi yang mirip seperti korporasi yang sudah kita kenal sekarang.
Kelompok tersebut bergerak di bidang penyelenggaraan kepentingan umum,
keagamaan, militer, dan perdagangan. Organisasi ini memiliki kekayaan yang
terpisah dari anggotanya. Pada masa ancient time ini mulai dikenal perbedaan
kedudukan individu dalam organisasi dan kedudukan individu yang terlepas dari
organisasi.
Pada Abad Pertengahan dengan ditandai mulai menurunnya kekuasaan
Romawi, dan perdagangan pun mulai suram karena pada masa itu orang tidak
mungkin melakukan suatu usaha/perdagangan tanpa didukung oleh perlindungan
militer dan tertib sosial. Pada masa itu dengan terbentuk Dewan Gereja yang
dipengaruhi oleh hukum Romawi, Dewan Gereja ini memiliki kekayaan yang
terpisah dengan kekayaan para anggotanya dan berbeda dengan subjek hukum
manusia. Gereja sebagai kemudian dikenal sebagai suatu prototype korporasi
Gereja sebagai suatu korporasi memberikan suatu sumbangan yang sangat besar
terhadap the concept of corporate personality, yaitu dalam bentuk kota praja yang
dapat menyelenggarakan pemerintahan secara umum. Pada abad ini (Abad XIV)
mulai dikenal apa yang disebut quasi corporate character dengan adanya bentuk
kota praja.106
Pada permulaan zaman modern, sifat bisnis perdagangan yang semakin
kompleks sangat mempengaruhi perkembangan korporasi. Pada zaman Raja
James I (1566-1625) di Inggris mulai dikenal korporasi sebagai subjek hukum
(legal person), yang berbeda dengan manusia.107
Korporasi yang bersifat modern
di Inggris dikenal dengan nama Hudson‟s Bay Company yang diresmikan oleh
Raja Inggris pada tahun 1670, beroperasi di Kanada dan mempunyai hak
monopoli di bidang perdagangan sebagai salah satu sumber dana dari pemerintah
kolonial Inggris.
Terjadinya Revolusi Industri di Inggris, yang ditandai dengan
perkembangan di bidang teknologi industri pemintalan benang dan revolusi di
bidang tenaga dengan ditemukannya mesin uap, menimbulkan kebutuhan akan
modal yang besar dengan organisasi yang mapan serta perangkat hukum yang
memadai, maka pada tahun 1855 mulai dikenal adanya pembatasan terhadap
pertanggungjawaban korporasi. Pada tahun 1862, korporasi memakai nama untuk
asosiasinya dan di belakang nama tersebut sebagai tanda adanya pembatasan
terhadap pertanggungjawaban korporasi dicantumkan kata “limited”.108
106
Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 35.
107
Ibid, hlm. 36.
108
Sedangkan di Amerika, pada tahun 1795, tepatnya di North Carolina
didirikan korporasi yang pendiriannya didasarkan kepada prinsip hukum yang
berlaku pada waktu itu, yang bergerak di bidang penyelenggaraan kepentingan
umum. Seperti di Massachusetts pada tahun 1799, berbentuk korporasi di bidang
penyediaan air bersih. Kemudian pada Tahun 1811, New York menjadi negara
bagian yang pertama kali memperkenalkan korporasi bersifat umum yang
bergerak di bidang Manufaktur.109
Perancis baru memasukkan korporasi dalam kodifikasi Code de Commerce
Perancis yang dibuat pada tahun 1807. Bagaimanapun juga, karena Perancis
pernah menjajah Belanda, maka terdapat hubungan antara pembuatan rancangan
Wetboek van Koophandel (W.v.K) Nederland yang dibuat pada tahun 1809 dan
kodifikasi Code de Commerce Perancis yang dibuat pada tahun 1808. Tampaklah
waktunya sangat berdekatan dan dalam hubungan sebagai suatu negara yang
dikuasai Perancis akan tercermin dalam W.v.K tersebut, yang mana sistem dan isi
W.v.K Nederland ternyata mengacu pada Code de Commerce dan Code de La
Marine.110
Dengan asas konkordansi maka setiap perkembangan W.v.K Nederland
memiliki pengaruh di Nederlandsch Indie seperti halnya tentang ketentuan
maatschap, kata maatschap sejenis pula dengan kata “societas” dari Romawi,
yang terkenal dalam sejarah hukum Romawi Lama dengan Romainse Societas.
Pada abad XIII dan XIV pada kota-kota di bagian utara Italia terdapat dua bentuk
kontrak kerja sama (samenwerkingcontracten), yang agak berbeda dengan dengan
109
M. Natsir Said, Hukum Perusahaan di Indonesia (Perorangan), (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 3.
110
societas, disebut “Commanditaire Vennotschap” dan “Vennotschap onder Firma”,
yang di Belanda sampai sekarang ini diatur dalam W.v.K, sedangkan di Indonesia
diatur dalam pasal 16 sampai dengan pasal 35 Kitab Undang-undang Hukum
Dagang (KUHD).
Pada permulaan abad XVII terjadi perkembangan atas pengaruh semakin
meluasnya perdagangan pelayanan ke Indonesia di mana banyak yang
menanamkan modalnya pada perusahaan pelayanan dengan cara meminjamkan
uang (geldschieters) dengan sistem kepercayaan (toevertrouwen). Pada tahun
1602, terbentuknya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang terdiri
antara pengusaha-pengusaha (voorcompagnieen), dan menandai terbentuknya
suatu “Societe Anonyme” seperti yang diatur di dalam Pasal 36 sampai dengan
Pasal 56 KUH Dagang.111
Sesudah tahun 1838, bentuk badan usaha CV maupun Firma dan NV
masing-masing diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 35 dan Pasal 36
sampai dengan Pasal 56 KUH Dagang secara berturut-turut karena perkembangan
perekonomian mengalami banyak perubahan kecuali bentuk CV. Di samping itu,
berkembang pula perusahaan pemerintah sejak tahun 1925 yang didirikan
berdasarkan Indische Comptabiliteitswet (I.C.W) Stb. 1927 Nomor 419.
Perusahaan pemerintah yang modalnya sebagian ikut serta dalam suatu
perusahaan tersebut terdapat pula dalam bentuk perseroan terbatas atau NV yang
tunduk pada hukum perdata dan dagang.
111
Sesudah perusahaan-perusahaan milik Belanda dikenakan nasionalisasi
dengan Undang-Undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958, maka berkembanglah
perusahaan-perusahaan pemerintah dalam bentuk perseroan terbatas swasta yang
tunduk pada KUH Perdata dan KUH Dagang, namun kemudian dengan
Undang-Undang No. 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, maka bentuk
perusahaan negara dengan bentuk perseroan terbatas negara maupun yang tunduk
pada I.C.W dan I.B.W (Indische Bedrijvenwet) kesemuanya diatur menurut
Undang-Undang ini.
Akan tetapi, perkembangan perseroan terbatas negara ini sangat
menyedihkan dengan banyak mengalami kerugian, sehingga perlu dilakukan
reorganisasi perusahaan negara dengan dikeluarkannya UU. No. 1 Prp Tahun
1969 Tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara, yang ditetapkan dengan
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969. Pasal 1 Undang-Undang tersebut menetapkan
adanya tiga macam bentuk usaha negara, yaitu:112
a. Perusahaan Jawatan (Perja);
b. Perusahaan Umum (Perum);
c. Perusahaan Perseroan (Persero).
Demikianlah sejarah korporasi yang akhirnya menjadi subjek hukum di
samping subjek hukum manusia. Dalam perkembangannya korporasi ternyata
tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja akan tetapi sekarang ini
ruang lingkupnya sudah mulai luas karena dapat mencakup bidang pendidikan,
kesehatan, riset, pemerintahan, sosial, budaya, dan agama. Perkembangan itu
112
sendiri tidak dapat terlepas dari perkembangan teknologi dan era globalisasi itu
sendiri. Dengan demikian sejak Revolusi Industri di Inggris, peranan teknologi
dalam sejarah perkembangan korporasi merupakan pengaruh yang sangat
fundamental (fundamental influence) dalam rangka pertumbuhan korporasi itu
sendiri. Dalam sejarah perkembangan itu pula, korporasi pada akhirnya
digolongkan ke dalam jenis-jenis tertentu dengan berdasarkan berbagai
pandangan.
Ronald A. Anderson et. al., menggolongkan korporasi berdasarkan
hubungannya dengan publik, sumber kekuasaan dan sifat aktivitas dari korporasi
itu sendiri. Jenis-jenis korporasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:113
1) Korporasi Publik, adalah sebuah korporasi yang didirikan oleh pemerintah
yang mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas administrasi di bidang urusan
publik, contohnya pemerintahan Kabupaten atau Kota;
2) Korporasi Privat, yaitu korporasi yang didirikan untuk kepentingan pribadi
yang dapat bergerak di bidang industri dan perdagangan, contohnya PT.
Garuda Tbk;
3) Korporasi Publik Quasi, atau yang lebih dikenal dengan korporasi yang
melayani kepentingan umum (public service), contohnya PT. Kereta Api
Indonesia, Perusahaan Air Minum dan Perusahaan Listrik Negara.
Di Indonesia, secara umum korporasi diartikan secara luas, sehingga
terbagi menjadi 2, yakni yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum:
113
a. Badan hukum
Pengertian badan hukum itu sendiri awalnya lahir sebagai akibat dari
perkembangan masyarakat menuju modernisasi. Dahulu di alam yang masih
primitif ataupun didalam kehidupan yang masih sederhana, kegiatan-kegiatan
usaha dijalankan secara perorangan. Perkembangannya, tumbuh kebutuhan untuk
menjalankan usaha secara bekerja sama dengan beberapa orang yang mungkin
atas dasar pertimbangan agar dapat menghimpun modal yang lebih berhasil
daripada dilaksanakan sendiri. Beranjak dari itu kemudian timbul keinginan untuk
membuat suatu wadah seperti badan hukum agar kepentingan-kepentingan
masing-masing lebih mudah dijalankan dan untuk membagi resiko yang mungkin
timbul dari bentuk kerjasama yang dijalankan.114
Ada beberapa teori yang sering digunakan dalam rangka mengetahui
hakekat badan hukum yaitu antara lain:
1) Teori Fictie Dari Von Savigny
Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan
hukum itu hanyalah fiksi, yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada tetapi orang
menghidupkannya dalam bayangan sebagai subyek hukum yang dapat melakukan
perbuatan hukum seperti manusia.
2) Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel Vermogens Theorie)
Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum,
namun ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang,
114
tetapi kekayaan itu terikat dengan tujuan tertentu. Kekayaan inilah yang disebut
badan hukum.
3) Teori Organ dari Otto Van Gierke
Badan hukum menurut teori ini bukan sesuatu yang abstrak (fiksi) dan
bukan merupakan kekayaan (hak) yang tidak bersubyek, tetapi badan hukum
merupakan organism yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan
hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantara alat-alat yang
ada padanya (pengurus dan anggota-anggotanya), seperti manusia biasa yang
mempunyai panca indera.
4) Teori Propriete Collective
Teori ini diajarkan oleh Planiol dan Molengraff yang mengatakan bahwa
hak dan kewajiban badan hukum pada hakekatnya adalah hak dan kewajiban para
anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama
semua anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu
kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum.oleh karena
itu badan hukum adalah konstruksi yuridis saja.
5) Teori Kenyataan Yuridis
Badan hukum merupakan suatu reliteit, konkrit, rill, walaupun tidak bisa
diraba, bukan khayal tetapi kenyataan yuridis. Teori yang dikemukan oleh Mayers
ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan
Menurut Rudhy Prasetya, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Mulyadi,
badan hukum itu dapat mengambil berbagai bentuk, yaitu antara lain:115
1) Ada yang berbentuk perseroan terbatas seperti yang diatur dalam Bab III Buku
I KUHP Pasal 36-57;
2) Berbentuk perkumpulan sebagaiamana diatur dalam Titel IX Buku III KUHP;
3) Dapat berbentuk koperasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor
17 tahun 2012. Dalam undang-undang tersebut yang dimaksud dengan
koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau
badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai
modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan
bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip
Koperasi;
4) Berbentuk BUMN sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 19
tahun 2003 berupa perusahaan perseroan, perusahaan jawatan, perusahaan
jawatan;
5) Yayasan (Stichting) merupakan badan hukum berdasarkan Undang-undang
Nomor 16 tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.
Penggolongan badan hukum jika dilihat dari jenisnya dapat pula
dibedakan menjadi dua yakni badan hukum publik dan badan hukum privat.
Badan hukum publik misalnya Negara Republik Indonesia, Pemerintah
Kota/Kabupaten dan sebagainya, sedangkan badan hukum privat misalnya
115
Perseroan Terbatas, Yayasan dan lain sebagainya. Kriteria untuk menentukan
suatu badan hukum dikatakan badan hukum publik atau badan hukum privat ada
dua yaitu:116
1) Dilihat dari pengelolaannya, badan hukum publik didirikan oelh
Pemerintah/Negara, sedangkan badan hukum privat didirikan
orang-perseorangan;
2) Dilihat dari kepentingannya, pada prinsipnya didirikannya badan hukum
tersebut apakah bertujuan untuk kepentingan umum atau tidak; artinya jika
lapangan pekerjaannya bertujuan untuk kepentingan umum, maka badan
hukum tersebut merupakan badan hukum publik, akan tetapi jika tujuannya
untuk kepentingan perseorangan maka badan hukum itu merupakan badan
hukum privat.
Berkaitan dengan badan hukum (korporasi) sebagai subyek hukum,
menurut Sudikno Mertokusumo subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat
memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Hak dan kewajiban dari hukum itu
hanyalah manusia.117
Kenyataan dewasa ini, dalam lapangan masyarakat bukan
saja manusia yang oleh hukum diakui sebagai subyek hukum tetapi juga diberikan
kepada subyek hukum yang bukan manusia yaitu badan hukum.
Menurut Alvi Syahrin, suatu badan hukum merupakan suatu badan (entity)
yang keberadaannya terjadi karena hukum atau undang-undang, dan sebagai
116
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, op.cit, hlm. 14
117
subyek hukum secara materil ia (badan hukum) mencakup hal-hal sebagai
berikut:118
1) Kumpulan atau asosiasi modal (yang ditujukan untuk menggerakkan kegiatan
perekonomian dan atau tujuan khusus lainnya).
2) Kumpulan modal ini dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling)
dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking), dan ini menjadi tujuan
dari sifat dan keberadaan badan hukum, sehingga ia dapat digugat atau
menggugat di depan pengadilan.
3) Modal yang dikumpulkan ini selalu diperuntukkan bagi kepentingan tertentu,
berdasarkan pada ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya. Sebagai suatu perkumpulan modal, maka kumpulan modal
tersebut harus dipergunakan untuk dan sesuai dengan maksud dan tujuan yang
sepenuhnya diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya, yang menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4) Kumpulan modal ini mempunyai pengurus yang akan bertindak untuk
mewakili kepentingan badan hukum ini, yang berarti adanya pemisahan antara
keberadaan harta kekayaan yang tercatat atas nama kumpulan modal ini
dengan pengurusan harta kekayaan tersebut oleh pengurus.
5) Keberadaan modal badan hukum ini tidak dikaitkan dengan keanggotaan
tertentu. Setiap orang yang memenuhi syarat dan persyaratan yang diatur
dalam statuta atau anggaran dasarnya dapat menjadi anggota badan hukum ini
dengan segala hak dan kewajibannya.
118
6) Sifat keanggotaannya tidak permanen dan dapat dialihkan atau beralih kepada
siapapun juga, meskipun keberadaan badan hukum ini sendiri adalah
permanen atau tidak dibatasi jangka waktu berdirinya.
7) Tanggungjawab badan hukum dibedakan dari tanggungjawab pendiri,
anggota, maupun pengurus badan hukum tersebut.
b. Bukan Badan Hukum
Adapun badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum dapat
dikategorikan menjadi tiga bentuk yaitu: persekutuan perdata,
persekutuan/perusahaan firma (fa) persekutuan/perusahaan komanditer (CV).
Perbedaan antara badan hukum yang berbentuk badan hukum dan bukan badan
hukum terlihat dari perbedaan prosedur pendirian badan usaha tersebut. Untuk
pendirian badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum, maka syarat adanya
pengesahan akta pendirian dari pemerintah tidak diperlukan.119Sedangkan menurut
Abdul Kadir Muhammad, badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum dapat
dikategorikan sebagai:
a) Perusahaan perseorangan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan
dimiliki oleh pengusaha perseorangan, misalnya: perusahaan industri,
perusahaan dagang dan perusahaan jasa.
b) Perusahaan persekutuan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan
dimiliki oleh beberapa orang pengusaha secara bekerjasama. Perusahaan ini
dapat menjalankan usaha dalam semua bidang perekonomian, yaitu bidang
119
industri, dagang dan jasa yang dapat berbentuk perusahaan Firma (fa) dan
persekutuan komanditer (CV).120
Menurut Loebby Loqman, dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana
tentang apa yang dimaksud dengan korporasi sebenarnya terdapat dua pendapat.
Pendapat pertama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah
suatu kumpulan dagang yang berbadan hukum. Jadi dibatasi bahwa korporasi
yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang sudah
berbadan hukum. Alasannya adalah bahwa dengan sudah berbadan hukum, telah
jelas susunan pengurus serta sejauh mana hak dan kewajiban dalam korporasi
tersebut. Pendapat lain adalah yang bersifat luas; dimana dikatakan bahwa
korporasi tidak perlu harus berbadan hukum. Setiap kumpulan manusia, baik
dalam hubungan suatu dagang ataupun usaha lainnya, dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana. Selanjutnya menurut Sutan Remy
Sjahdeini, dalam hukum pidana, pengertian korporasi tidak hanya badan hukum,
melainkan meliputi badan hukum maupun bukan badan hukum., bukan saja
badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau
perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum, tetapi juga firma, CV,
dan persekutuan yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukanlah
suatu badan hukum.121 Adapun menurut penulis, pada hakikatnya apabila
korporasi hanya dimaknai secara sempit sebagai badan hukum, tidaklah dapat
memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Karena dalam perkembangan
kehidupan perekonomian global yang semakin kompleks, sesungguhnya pelaku
120
Ibid., hal. 210
121
usaha, yang dalam tulisan ini adalah pelaku usaha perkebunan nyatanya bukan
hanya berasal dari sebuah korporasi berbadan hukum, tetapi juga korporasi tidak
berbadan hukum. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya pengaturan korporasi
sebagai subjek tindak pidana dalam arti yang luas.
2. Tahap-Tahap Pengakuan Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana
Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana sudah
dimulai sejak tahun 1635, ketika itu sistem hukum Inggris mengakui bahwa
korporasi dapat bertanggung jawab secara pidana terhadap tindak pidana ringan.122
Adapun pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana sesungguhnya tidak
muncul melalui penelitian yang mendalam dari para ahli, tapi justru merupakan
akibat dari formalisme hukum (legal formalism). Doktrin pertanggungjawaban
pidana korporasi telah berkembang tanpa adanya teori yang membenarkannya.
Penerimaan korporasi sebagai subjek hukum layaknya manusia tidak dapat
dilepaskan dari peran pengadilan. Adalah hakim dalam sistem common law yang
melakukan suatu analogi atas subjek hukum manusia, sehingga korporasi juga
memiliki identitas hukum dan penguasaan kekayaan dari pengurus yang
menciptakannya.123
Yedidia Z. Stern sebagaimana dikutip dalam Mahrus Ali menyatakan
bahwa para hakim yang ada pada waktu itu tidak memiliki banyak teori untuk
membebankan tindakan para agen kepada korporasi, berusaha mempertanyakan
122
Andrew Weissmann dan David Newman, “Rethinking Criminal Corporate Liability”, Indiana Law Journal, 2007, http://www.corporatecrimereporter.com/wp-content/uploads/ 2013/07/weissmann.pdf, diakses pada tanggal 7 April 2016, hlm. 419.
123
apakah suatu korporasi, dengan entitas hukum tanpa memiliki bentuk psikis yang
jelas dapat juga dipersyaratkan memiliki kondisi/keadaan psikologis untuk adanya
suatu penuntutan sebagaimana halnya kejahatan-kejahatan lain yang
mensyaratkan adanya hal itu.124
Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana penuh
dengan hambatan-hambatan teoritis, tidak seperti pengakuan subjek hukum
pidana manusia. Hambatan-hambatan teoritis tersebut dapat didasarkan pada dua
hal, yakni: Pertama, begitu kuatnya teori fiksi (fiction theory) yang dicetuskan
Carl Von Savigny125
, dan Kedua, masih dominannya asas universitas delinguere
non potest yang berarti bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak
pidana.126
Dominasi asas ini dapat dilihat dalam KUHP Indonesia yang memang
tidak mencantumkan pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Dapat
disimpulkan, bahwa KUHP Indonesia masih menganut bahwa suatu delik hanya
dapat dilakukan oleh manusia sedangkan badan hukum tidak diakui dalam hukum
pidana.127
Dalam perkembangannya, dua alasan di atas lama kelamaan mulai
melemah pengaruhnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh dua hal: Pertama, korporasi
merupakan aktor utama perekonomian dunia, sehingga kehadiran hukum pidana
dianggap sebagai metode paling efektif untuk memengaruhi tindakan-tindakan
124
Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 99.
125
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (Strict Liability dan Vicarious Liability), (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), hlm. 30.
126
Bandingkan dengan Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: Utomo, 2004), hlm. 25. Pada tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah manusia alamiah semata. Pandangan ini dianut KUHP melalui Pasal 59, yang dipengaruhi asas “societas delinquere non
potest”, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan delik.
127
aktor rasional korporasi.128
Kedua, keuntungan yang diperoleh korporasi dan
kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya sehingga tidak akan
mungkin seimbang apabila korporasi hanya dijaruhi sanksi keperdataan. Dalam
kedua konteks inilah sanksi pidana diperlukan.129
Dikarenakan anggapan bahwa
tidak adil bila korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti halnya
manusia, maka muncullah tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek
hukum dalam hukum pidana. Tahap tersebut antara lain:
a. Perkembangan Tahap Pertama
Pada tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah
manusia alamiah semata, tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik
yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon).130
Akibatnya, ketika suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, karena
telah dibebankan “tugas mengurus” (zorgplicht), maka tindak pidana tersebut dianggap dapat dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.131 Perkembangan
tahap ini telah terlihat sejak KUHP tahun 1886 dibentuk, di mana pembentuk
undang-undang telah mulai memasukkan larangan-larangan dan perintah-perintah
terhadap pengurus yang bertanggung jawab, berupa kewajiban-kewajiban dalam
beberapa peraturan dan undang-undang khusus tertentu, dengan maksud supaya
128
Beth Stephens, “The Amorality of Profit: Transnasional Corporation and Human
Rights”, Berkeley Journal of International Law, 2002, http://scholarship.law.berkeley.edu /cgi/viewcontent.cgi?article=1207&context=bjil, diakses pada tanggal 7 April 2016, hlm. 46.
129
Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 27-28.
130
Mahrus Ali, op.cit, hlm. 66
131
mereka bertanggung jawab dalam pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut
terhadap badan atau perusahaan yang dipimpinnya.132
Alasan tidak dapatnya korporasi dipidana, antar lain: Pertama, asas hukum
pidana yang ada di KUHP berlandaskan pada ajaran kesalahan pribadi dan hanya
ditujukan kepada orang alamiah.133 Kedua, hukuman-hukuman pokok yang ada di
KUHP mempunyai sifat kepribadian. Ketiga, hukuman yang menyangkut
kemerdekaan tidak dapat dilaksanakan oleh korporasi. Keempat, meski hukuman
denda dapat dijatuhkan kepada korporasi, yang dijatuhi hukuman denda itu dapat
memilih untuk membayar denda atau menjalani hukuman kurungan sebagai
penggantinya.134 Pandangan ini dianut KUHP Indonesia melalui Pasal 59, yang
berbunyi:
“Dalam hal-hal di mana ditentukan pidana karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur
melakukan pelanggaran, tidak pidana.”
Melalui bunyi pasal tersebut, telah terlihat bahwa secara implisit pidana
ditentukan hanya kepada pengurus, pasal ini masih dipengaruhi asas “societas
delinquere non potest”135, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan delik.136 Oleh
132
Schaffmeister, Nico Keijzer dan Sutorius, Hukum Pidana, diterjemahkan pleh J. E. Sahetapy, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm. 274.
133
sebab itu apabila suatu korporasi melakukan delik, itu dianggap dilakukan oleh
pengurusnya, karena melakukan delik pada waktu itu diartikan sebagai sesuatu
perbuatan fisik dari si pembuat.137
Dalam perkembangannya pada tahap pertama ini tantangan besar muncul
berkenaan dengan tertutupnya kemungkinan menerapkan pertanggungjawaban
pidana terhadap korporasi. Dalam hal pemilik atau pengusahanya adalah
korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa pengurusnya bertanggung
jawab, maka bagimana memutuskan tentang pembuat dan
pertanggungjawabannya? Kesulitan inilah yang akan dijawab pada perkembangan
tahap kedua.
b. Perkembangan Tahap Kedua
Ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang Dunia I dalam
perumusan undang-undang, bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh
korporasi. Namun, tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari pengurus
korporasi. Perumusan yang khusus ini, yaitu apabila suatu tindak pidana
dilakukan oleh suatu pimpinan atau karena suatu korporasi. Tuntutan pidana dan
pidana harus dijatuhkan terhadap anggota pimpinan. Perumusan ini dilandasi
pemikiran bahwa sering terjadi kedudukan dalam korporasi itu yang memberi
kesempatan untuk melakukan delik.138 Secara perlahan-lahan tanggung jawab
pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau
136
Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 25.
137
Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 277.
138
kepada mereka yang secara nyata memimpin dan melakukan perbuatan yang
dilarang tersebut.139
Meskipun demikian, Hasbullah F. Sjawie berpendapat bahwa
perkembangan yang terjadi ini belum dapat dikategorikan suatu perubahan
tahapan karena meski di sini sudah ada pengakuan bahwa subjek hukum pidana
meliputi juga korporasi, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dibebankan
kepada pengurusnya. Oleh sebab itu, pada hakikatnya perkembangan ini tidak
dapat dijadikan sebagai tahapan tersendiri karena Pasal 59 KUHP itu juga secara
tidak langsung mengakui adanya korporasi walau tidak disebut bahwa korporasi
adalah juga subjek hukum pidana, yang dipertanggungjawabkan adalah
pengurusnya.140
c. Perkembangan Tahap Ketiga
Merupakan permulaan adanya tanggung jawab langsung korporasi. Dalam
tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta
pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasannya sebagaimana telah
diungkapkan sebelumnya adalah karena dalam delik-delik ekonomi dan fiskal
keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat
dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana
pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan
bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan
bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan memidana
korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu,
139
Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 26.
140
diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati peraturan yang
bersangkutan.141
Berkaitan dengan hal di atas, merujuk pada ketentuan dan Memorie van
Toelichting (MvT) Pasal 59 KUHP, bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh
seseorang dan keberadaan badan hukum tidak berlaku dalam hukum pidana.
Oemar Seno Adji berpendapat bahwa mungkin pembuat undang-undang pada
saat itu tidak voorzien (menduga) bahwa hukum pidana ekonomi, fiskal, dan
bahkan hukum pidana politik akan mengandung ketentuan yang meninggalkan
asas bahwa hanya orang yang dapat melakukan sesuatu tindak pidana dan fiksi
mengenai badan hukum itu tidak berlaku dalam hukum pidana. Teori fiksi
sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, menyediakan tempat bagi suatu
pandangan yang sebelumnya dikemukakan oleh von Gierke, yang melihat badan
hukum itu sebagai suatu realitas dan bukan fiksi lagi, yang terpisah dari orang
perorangannya. Karena, jika hukum pidana ekonomi, fiskal, dan hukum pidana
politik menerima adanya pemidanaan terhadap korporasi, itu didasarkan tidak saja
pada pertimbangan-pertimbangan utilitis, tetapi juga atas dasar-dasar teoritis yang
dapat dibenarkan. Hal ini merupakan penyimpangan Pasal 59 KUHP.142
Berkenaan dengan tahapan ini, Oemar Seno Adji berpendapat bahwa, baik
perundang-undangan maupun ilmu hukum telah mematahkan persoalan mengenai
tanggung jawab pidana dari korporasi dan telah mengesampingkan pikiran dalam
KUHP bahwa hanya peroranganlah yang dapat dipandang sebagai subjek dari
suatu tindak pidana. Ia berpandangan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana
141
Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 27-28.
142
Ekonomi, demikian pula Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Subversi, undang-undang dan praktik hukum di luar negeri, ajaran-ajaran yang
digariskan oleh von Gierke, adalah petunjuk-petunjuk bahwa harus ditempuh jalan
baru mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana karena dalam zaman
modern ini korporasi tersebut merupakan faktor yang cukup dominan yang
bergerak dalam perekonomian dan perdagangan, maka tentu akan meletakkan
jejaknya pula terhadap hukum pidana.143
3. Korporasi sebagai Subjek Hukum dalam Perundang-undangan di Indonesia
Tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum di Indonesia tidak
mengikuti perkembangan di Belanda, yang dewasa ini perkembangannya telah
sampai pada tahap di mana ketentuan mengenai korporasi sebagai subjek hukum
pidana tidak lagi tersebar di luar Wetboek van Strafrecht (WvS). Sejak lahirnya
Undang-undang tanggal 23 Juni 1976 Staatsblad 377 yang disahkan pada tanggal
1 September 1976, mengenai subjek hukum korporasi selain manusia telah
ditempatkan dalam ketentuan umum Pasal 51 WvS (Strafbarefeiten kunnen worde
begaan door natuurlijke personen en rechtspersonen).144 Sejak itulah korporasi
diperlakukan sebagai subjek hukum pidana di Belanda secara keseluruhan.
Pasal 51 WvS Belanda tidaklah menggunakan istilah corporatie, tetapi
istilah rechtspersoon atau badan hukum, selengkapnya berbunyi:145
(1) Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;
143
Ibid., hlm. 280.
144
Lihat Loebby Loqman, Delik Politik di Indonesia, (Jakarta: Ind.Hill-Co., 1993), hlm. 100.
145
(2) Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap:
a. Badan hukum, atau;
b. Terhadap mereka yang memerintah melakukan perbuatan itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan tindakan yang dilarang itu;
c. Terhadap yang disebutkan dalam a dan b bersama-sama.
(3) Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum perseroan tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan.
Dengan lahirnya undang-undang ini, maka di Belanda badan hukum
sebagai subjek hukum pidana bukan lagi merupakan penyimpangan asas, karena
telah diatur dalam KUHP mereka, karena semua ketentuan perundang-undangan
pidana khusus yang tersebar di luar WvS Belanda yang mengatur tentang
pertanggungjawaban pidana korporasi dicabut karena dipandang tidak perlu lagi
sebab dengan diaturnya pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal 51 WvS
Belanda, maka sebagai ketentuan umum berdasar Pasal 91 WvS Belanda (Pasal
103 KUHP Indonesia), ketentuan ini berlaku untuk semua peraturan di luar
kodifikasi sepanjang tidak disimpangi.146
Perkembangan yang tidak diikuti oleh KUHP Indonesia ini147 dapat
disebabkan oleh dua kemungkinan. Pertama, memang perubahan tersebut telah
diterima, akan tetapi karena sulitnya melakukan perubahan KUHP sehingga
146
Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 284.
147
Andi Hamzah, Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hlm. 9. Aturan mengenai korporasi justru terpencar pada perundang-undangan di luar KUHP. Hal tersebut disebabkan oleh:147
1. Adanya perubahan sosial secara cepat sehingga perubahan-perubahan itu perlu disertai dan diikuti dengan peraturan-peraturan hukum dengan sanksi pidananya. Hukum di sini telah berfungsi, baik sebagai social engineering maupun social control;
perubahan hanya dilakukan dalam perundang-undangan pidana khusus. Kedua,
adalah mungkin memang secara umum belum dapat diterima di Indonesia badan
hukum dianggap sebagai subjek hukum pidana dan atas hal-hal tertentu saja
dimungkinkan penyimpangan itu.148
Di Indonesia dewasa ini pertanggungjawaban pidana korporasi secara
langsung memang hanya terdapat dan berlaku terhadap beberapa
perundang-undangan khusus di luar KUHP,149 yang pada tulisan ini diambil beberapa contoh
perundang-undangan yang erat kaitannya dengan bidang perkebunan, antara lain:
1. Undang-Undang Penataan Ruang
Ketentuan pasal 1 angka 33 UU No. 26 Tahun 2007150 telah menyebutkan
bahwa “orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi”. Pengaturan ini selanjutnya diikuti dengan pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana
yang dapat dilakukan korporasi dalam pasal 74 yang berbunyi:
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72.
Pengaturan mengenai korporasi dalam UU No. 26 Tahun 2007 telah
menunjukkan bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana, namun pengaturan
ini belum secara eksplisit menjelaskan korporasi manakah yang dirujuknya
148
Loebby Loqman, op.cit, hlm 109.
149
Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 60. Perundang-undangan di luar KUHP itu dinamakan perundang-undangan pidana khusus, yaitu semua perundang-undangan di luar KUHP yang mengandung ketentuan pidana. Sedangkan perundang-undangan pidana umum adalah KUHP dan semua perundang-undangan yang mengubah atau menambah KUHP. Lihat juga Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 5.
150
sebagai subjek dalam Undang-Undang ini, apakah korporasi berbadan hukum atau
bukan berbadan hukum.
2. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 1 angka 33 UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa “setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum.” Selanjutnya pengaturan bahwa korporasi dapat dipidana diatur dalam pasal 116 ayat (1):
Pasal 116
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
Istilah korporasi tidak secara eksplisit digunakan dalam UU No. 32 Tahun
2009, istilah yang dipergunakan adalah badan usaha, yang sesungguhnya
mengacu pada istilah korporasi, sebagai suatu subjek yang dapat bertindak dan
dapat mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang dilakukannya.
Korporasi atau dalam hal ini badan usaha pun dimaknai secara luas, yaitu
berbadan hukum dan bukan berbadan hukum.
3. Undang-Undang Kehutanan
Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan menyebutkan bahwa: “setiap
orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan
berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia”. Selanjutnya korporasi sebagai subjek tindak pidana juga dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 119 ayat (1) dan
(2), yang berbunyi:
Pasal 109
(1) Dalam hal perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan/atau penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang perorangan, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik secara sendiri maupun bersama-sama.
UU No. 18 Tahun 2013 telah secara eksplisit menegaskan bahwa
korporasi merupakan suatu entitas yang dapat melakukan tindak pidana, dan dapat
melakukan pertanggungjawaban pidana. Korporasi yang dimaksud dalam
Undang-Undang ini adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 22, yakni
korporasi berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum.
4. Undang-Undang Tentang Perkebunan
Sejalan dengan ketiga Undang-Undang yang telah diuraikan sebelumnya,
UU No. 39 Tahun 2014 juga menyebutkan secara eksplisit bahwa: “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum.” Aturan yang telah mengartikan korporasi dalam pemaknaannya secara luas ini, juga diikuti aturan tentang pertanggungjawaban
pidana korporasi yang tercantum dalam Pasal 113 ayat (1), yang berbunyi:
Pasal 113
Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda dari masing-masing tersebut.
Pengaturan ini berbeda dengan Undang-Undang Perkebunan sebelumnya,
yakni UU No. 18 Tahun 2004 yang telah dicabut. UU No. 18 Tahun 2004 sama
sekali tidak menyebutkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya secara langsung. Pada Pasal 1 Angka 4
memang telah dijelaskan bahwa “pelaku usaha perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan.” Kemudian yang dimaksud dengan perusahaan perkebunan dijelaskan pada Pasal 1 Angka 6 yang
berbunyi: “Perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala
tertentu.” Kedua pasal dalam UU 18 Tahun 2004 ini sebenarnya telah menerangkan bahwa sesungguhnya perusahaan atau yang dalam peraturan lain
lazim disebut sebagai badan usaha merupakan subjek hukum di bidang
perkebunan. Akan tetapi timbul kerancuan ketika bab mengenai ketentuan pidana
justru memakai frasa “setiap orang”151
yang mana tidak dijelaskan sama sekali
dalam bab ketentuan umum tersebut mengenai siapakah yang dimaksud dengan
“setiap orang” tersebut. Kemudian, apabila mencermati bab ketentuan pidana
dalam UU No. 18 Tahun 2004, memang tidak ada menyebutkan sama sekali
mengenai pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, sehingga dapatlah
151
disimpulkan bahwa UU No. 18 Tahun 2004 belum mengklasifikasikan korporasi
sebagai subjek hukum pidana.
Melalui perbandingan beberapa undang-undang khusus di atas, terlihat
bahwa pengaturan tentang korporasi belum seragam. Nampaknya pembentuk
Undang-Undang belum dapat menentukan sebuah defenisi konkrit mengenai
korporasi sehingga dapat dijadikan acuan bagi aturan perundang-undangan secara
umum.
Perkembangan pengakuan terhadap korporasi sebagai subjek hukum
pidana tampak sudah mendunia dan telah dibuktikan, antara lain, dengan
diselenggarakannya konferensi internasional ke-14 mengenai Criminal Liability of
Corporation di Athena pada tanggal 31 Juli - 6 Agustus 1994. Pada konferensi
tersebut, misalnya Finlandia yang semula tidak megatur korporasi sebagai subjek
hukum pidana tetapi dalam perkembangannya telah mengakui korporasi sebagai
subjek hukum pidana, dan dapat dipertanggungjawabkan.152
Semakin kuatnya pendirian banyak negara untuk menetapkan korporasi
sebagai subjek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana dan
kedudukannya yang tidak hanya di dalam hukum pidana khusus, membuat
Indonesia mulai menerima pendirian demikian. Melalui Rancangan
Undang-Undang KUHP 2012, Indonesia telah mengatur tentang pengertian korporasi
dalam ketentuan umum Buku I. Adapun pasal-pasal yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
152
Paragraf 6 Korporasi Pasal 47 Korporasi merupakan subjek tindak pidana.
Pasal 48
Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Pasal 49
Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
Pasal 50
Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.
Pasal 51
Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.
Pasal 52
(1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim.
Pasal 53
Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.
Perubahan aturan-aturan hukum pidana nasional yang terlihat dalam RUU
KUHP, dilakukan dalam rangka pembaharuan sistem hukum pidana nasional.153
153
Rancangan KUHP tahun 2012 ini menghapus keragu-raguan dan sekaligus
menegaskan kedudukan subjek hukum korporasi dalam hukum pidana Indonesia.
C. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Dalam usaha untuk mencapai keuntungannya, sebagaimana telah
dipaparkan sebelumnya, korporasi melakukan segala kegiatan usahanya dengan
menganut hirarki organisasi. Perbuatan yang memang ditujukan untuk
memberikan keuntungan dilakukan oleh mereka yang menduduki posisi tertentu.
Inilah yang menjadi salah satu alasan munculnya perkembangan doktrin
pertanggungjawaban pidana oleh korporasi. Doktrin ini digunakan untuk mencari
cara bagaimana korporasi dapat dimintai pertanggungjawabannya melalui
perbuatan pribadi atau pihak tertentu yang mempunyai hubungan dengan
korporasi.
Langkah pertama untuk menerapkan pertanggungjawaban pidana
korporasi diambil oleh negara-negara Common Law seperti Inggris, Amerika
Serikat dan Kanada, dikarenakan revolusi industri terlebih dahulu terjadi pada
negara-negara ini. Tanpa mengingat keengganan semula untuk menghukum
korporasi,154 pengakuan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi oleh
(criminal responsibility) baik dari pelaku berupa manusia alamiah (natural person) maupun korporasi (corporate criminal responsibility) dan pidana serta tindakan yang dapat diterapkan.
154
pengadilan Inggris dimulai pada tahun 1842, saat korporasi didenda karena gagal
dalam menjalankan tugasnya menurut peraturan perundang-undangan.155
Beberapa kurun waktu, pengadilan Inggris memakai doktrin respondeat
superior atau vicarious liability, dimana tindakan bawahan/subordinat
dilimpahkan kepada korporasi. Meskipun demikian, tanggung jawab eksplisit
hanya digunakan dalam kasus-kasus pelanggaran tertentu, dan kemudian
digantikan oleh teori identifikasi (identification theory).156
Sistem hukum Anglo-Saxon telah menciptakan dua bentuk dasar untuk
meminta pertanggungjawaban korporasi, yaitu vicarious liability dan
identification doctrine. Kedua bentuk ini berasal dari ranah hukum perdata yang
diserap dalam hukum pidana, walaupun identification doctrine dibentuk melalui
pemikiran hukum pidana. Walapun terdapat perbedaan yang mendasar dari
keduanya, dalam hal esensi, struktur, dan untuk sebagian besar jangkauannya,
kedua bentuk pertanggungjawaban ini ingin mengadaptasi dan mengimitasi
bagaimana pertanggungjawaban pidana yang dikenakan pada manusia kodrati.
Akan tetapi perkembangan pemikiran manusia menimbulkan berbagai doktrin
baru mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut, yang dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Vicarious Liability
Lazim disebut dengan pertanggungjawaban pengganti, diartikan sebagai
pertanggungjawaban menurut hukum seorang atas perbuatan salah yang dilakukan
oleh orang lain. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa vicarious liability adalah
155
Ibid.
156