• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Pembakaran Lahan Perkebunan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Pembakaran Lahan Perkebunan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

A. Ruang Lingkup Kejahatan Korporasi

1. Defenisi Kejahatan Korporasi

Istilah kejahatan korporasi digunakan dalam berbagai konteks maupun

penamaan. J.E. Sahetapy memberikan catatan penting bahwa istilah kejahatan

korporasi (corporate crime) seringkali digunakan untuk menggambarkan konsep

white-collar crime, organizational crime, organized crime, georganiseerde

misdaad, groepscriminaliteit, misdaad onderneming, crimes of bussiness

(bussiness crime), syndicate crime.84

David O. Friedrichs sebagaimana dikutip dalam Mahrus Ali

mendefenisikan kejahatan korporasi85 sebagai: offences committed by corporate

officials for their corporation or offences of the corporation itself, yang berarti:

tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi untuk kepentingan

korporasi atau tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi itu sendiri.86

84

J. E. Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Cetakan Kedua, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2002), hlm. 1. Menurut Sahetapy, berbagai nama, makna dan ruang lingkup apa pun yang hendak diberikan bertalian dengan corporate crime atau kejahatan korporasi, pada dasar dan sifat, kejahatan korporasi bukanlah suatu barang baru; yang baru adalah kemasan, bentuk, serta perwujudannya.

85

Bandingkan dengan Gary Slapper dan Steve Tombs, Corporate Crime, (London, Great Britain: Longman, 1999), hlm. 16. Mengenai defenisi kejahatan korporasi itu sendiri Friedrichs menyatakan bahwa mengenai defenisi kejahatan korporasi yang tidak dapat diterima oleh semua orang, melahirkan suatu kewajiban bagi para sarjana menentukan bagaimana mereka berniat menggunakan defenisi-defenisi yang ada, sesuai dengan tujuan yang dimaksudkan dan dengan penyajian yang diharapkan.

86

(2)

Marshaal B. Clinaard dan Peter C. Yeager sebagaimana dikutip dalam

Setiyono memberikan pengertian kejahatan korporasi sebagai: any act committed

by corporation that is punished by the state, regardless of whether it is punished

under administrative, civil, or criminal law, yang artinya: setiap tindakan yang

dilakukan oleh korporasi yang bisa diberi hukuman oleh negara, entah di bawah

hukum administrasi negara, hukum perdata maupun hukum pidana.87

Gary Slapper dan Steve Tombs merangkum pendapat beberapa ahli seperti

Kramer, Box, Schrager and Short, serta Clinard dan Yeager, kemudian

mendefenisikan kejahatan korporasi (corporate crime) sebagai:

criminal acts (of omission or comission) which are the result of deliberate decision making (or culpable negligence) of those who occupy structural positions within the organization as corporate executives or managers. These decisionas are organizationally based – made in accordance with the normative goals (primarily corporate profit), standard operating procedures, cultural norms of organizations – and are intended to benefit the corporation itself. 88

(perbuatan pidana, baik yang berbentuk delik omisi maupun delik komisi, yang merupakan hasil dari keputusan yang disengaja atau kelalaian dari orang-orang yang menempati jabatan struktural dalam organisasi sebagai pihak eksekutif atau manajer dari perusahaan. Keputusan ini dibuat secara terorganisir berdasarkan tujuan normatif organisasi yakni keuntungan korporasi itu sendiri)

Terlihat melalui berbagai pengertian di atas bahwa ciri khas yang dapat

ditemui dari kejahatan korporasi adalah bahwa ia dilakukan oleh korporasi atau

pengurusnya (baik pemilik, manager, atau karyawan) untuk kepentingan korporasi

itu sendiri, dan secara langsung maupun tidak langsung telah mendatangkan

87

Setiyono, Kejahatan Korporasi, Cetakan Ketiga, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 20.

88

(3)

kerugian terhadap para stakeholder, yang menurut Etty Utju R.K. dengan

mengutip pendapat Muladi, terdiri atas:89

a. Negara (state), sebagai akibat kejahatan korporasi, seperti informasi palsu

terhadap instansi pemerintah, korupsi, tindak pidana ekonomi, tindak pidana

subversi, dan lain-lain.

b. Masyarakat (public), sebagai akibat pencemaran dan perusakan lingkungan

hidup, penggelapan, penghindaran pajak, dan lain-lain.

c. Konsumen (consumers), sebagai akibat advertensi yang menyesatkan,

menciptakan hasil produksi yang beracun dan berbahaya, dan lain-lain.

d. Karyawan (employees), sebagai akibat kejahatan korporasi berupa lingkungan

kerja yang tidak sehat dan tidak aman, pengekangan hak untuk membentuk

organisasi buruh, tidak dipenuhinya upah minimum dan lain-lain.

e. Pemegang saham (shareholders/investor), sebagai akibat penipuan dan

pemalsuan akuntansi, dan lain-lain.

f. Perusahaan saingan (competitors), sebagai akibat kejahatan spionase industri

yang melanggar.

Konsepsi ini membuat istilah kejahatan korporasi (corporate crime) sama

sekali berbeda dengan crime against corporation dan criminal corporation.

Konsep crime against corporation atau yang biasa disebut kejahatan jabatan atau

kejahatan terhadap korporasi, merupakan kejahatan di mana pelaku kejahatan

tersebut melakukan kejahatan yang ditujukan kepada korporasi.90

Pelaku

89

Etty Utju R. Koesoemahatmadja, Hukum Korporasi Penegakan Hukum terhadap Pelaku Economic Crimes dan Perlindungan Abuse of Power, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 6.

90

(4)

kejahatan ini tak hanya terbatas karyawan dari badan hukum atau korporasi yang

bersangkutan, tapi juga masyarakat secara luas bisa menjadi pelaku kejahatan

korporasi jenis ini. Sedangkan criminal corporation merupakan padanan lain

kejahatan sindikat. Ia diartikan sebagai korporasi yang sengaja dibentuk dan

dikendalikan untuk melakukan kejahatan, dengan kata lain kedudukan korporasi

hanyalah sebagai sarana melakukan kejahatan.91

2. Karakteristik Kejahatan Korporasi

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa kejahatan korporasi

menimbulkan kerugian lebih besar jika dibandingkan dengan kejahatan individual

atau sering disebut juga sebagai kejahatan konvensional/tradisional. Hal ini

diakibatkan oleh karakteristik kejahatan korporasi itu sendiri, antara lain:92

a. Kejahatan tersebut sulit dilihat (low visibility), karena biasanya tertutup oleh

kegiatan pekerjaan yang normal dan rutin, melibatkan keahlian profesional

dan sistem organisasi yang kompleks;

b. Kejahatan tersebut sangat kompleks (complexity) karena selalu berkaitan

dengan kebohongan, penipuan dan pencurian serta seringkali berkaitan dengan

sebuah yang ilmiah, teknologis, finansial, legal, terorganisasikan, dan

melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun-tahun;

c. Terjadinya penyebaran tanggung jawab (diffusion of resposibility), yang

semakin luas akibat kompleksitas organisasi;

91

Ibid., hlm 13.

92

(5)

d. Penyebaran korban yang sangat luas (diffusionofvictimization), seperti polusi

dan penipuan;

e. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and prosecution),

sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak

hukum dengan pelaku kejahatan.

f. Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law) yang sering menimbulkan

kerugian dalam penegakan hukum; dan

g. Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Dalam hal perbuatannya tidak

melanggar peraturan perundang-undangan, tetapi apa yang dilakukan memang

merupakan perbuatan yang ilegal.

Dalam konteks tindak pidana pembakaran lahan perkebunan, karakteristik

ini cenderung lebih relevan jika meninjau konsep kejahatan korporasi sebagai

white collar crime atau kejahatan kerah putih.93 Istilah kejahatan kerah putih itu

sendiri telah dikenalkan sejak puluhan tahun yang lalu oleh Edwin Sutherland.

Sutherland mengemukakan kejahatan korporasi sebagai: “...any person of higher

socioeconomics status who commits a legal violation in the course of his or her

occupation”94, yang dapat diartikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh

seseorang yang memiliki kehormatan dan status sosial yang tinggi dalam

93

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 26 & 36. Selain sebagai white collar crime, kejahatan korporasi juga identik dengan transnational crime dan organized crime. Transnational crime menggambarkan kejahatan yang tidak hanya terjadi di internasional dan kejahatan lintas negara yang mencakup dua saja, tetapi juga kejahatan yang memiliki sifat harus melintasi perbatasan sebagai sebuah bagian dari tindak kejahatan. Sedangkan organized crime lebih merujuk pada adanya kejahatan terorganisir dan aktivisnya seperti perdagangan narkoba, pencucian uang, perdagangan senjata ilegal, penipuan, dan kegiatan ilegal lainnyayang memberi ancaman terhadap stabilitas global.

94

(6)

menjalankan jabatannya. Artinya, defenisi ini mengambil fokus pada dua hal,

yakni pelaku kejahatan dan status sosial tinggi yang dimilikinya.

Kekhususan kejahatan kerah putih adalah pada wilayah kerjanya yang

meliputi bidang keuangan dan industri, di mana kerugian yang ditimbulkan dari

kejahatan tersebut tidak begitu nyata, kesalahan pelaku tidak begitu jelas, dan

perbuatan pelaku tidak bertentangan dengan moral. Hal ini tentu bertentangan

dengan konsep kejahatan jalanan (street crimes) yang dengan mudah dapat

diidentifikasi, seperti pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, perampokan,

atau pencurian. Kejahatan jalanan umumnya juga melibatkan penggunaan

ancaman dan penggunaan kekerasan secara fisik terhadap korban atau pencurian

dengan menggunakan kekerasan serta kejahatan-kejahatan lain yang berhubungan

dengan hal itu.95

Lebih lanjut Simpson mengemukakan ada tiga hal yang patut dicermati

dalam kejahatan korporasi. Pertama, bahwa perbuatan ilegal yang dilakukan

korporasi dan agennya berbeda dengan yang dilakukan mereka yang memiliki

status ekonomi yang lebih rendah, yang semakin menunjukkan perbedaan

kejahatan korporasi dengan kejahatan konvensional lainnya. Kedua, baik

korporasi dan representasinya dikenali sebagai pelaku. Ketiga, motivasi utama

dari suatu kejahatan korporasi adalah bukan untuk kepentingan individu, namun

untuk kepentingan korporasi. Oleh karena itu untuk menjaga keuntungan,

mengatur suatu pasar, menurunkan biaya perusahaan, atau untuk menyingkirkan

95

(7)

saingan dalam dunia usaha, korporasi mungkin saja mencemari lingkungan,

melakukan penipuan dan manipulasi, menciptakan kondisi kerja yang berbahaya

dan lainnya. Kebijakan managerial untuk melakukan tindakan terlarang tersebut

dapat dibantu dengan norma dalam korporasi dan subkultur korporasi.96

3. Dimensi Kejahatan Korporasi

Dimensi kejahatan korporasi di Indonesia terus berkembang seiring

dengan perkembangan perekonomian nasional dan internasional. Berbagai jenis

kejahatan korporasi semakin menonjol sebagai dampak dari era globalisasi seperti

kecenderungan berkembangnya persaingan usaha yang tidak sehat (unfair

competition) yang mengarah pada perkembangan praktek monopoli, oligopoli,

konsentrasi industri, market limitation, misrepresenting products,97 price fixing

(memainkan harga barang secara tidak sah), false advertising (penipuan iklan)

yang sering terjadi di bidang farmasi (obat-obatan), dan enviromental crime

(kejahatan lingkungan hidup),98 serta kejahatan perbankan seperti: cyber crime

dan money laundering.99

Dimensi-dimensi tersebut perlu diklasifikasi menjadi

beberapa bentuk, Dimensi ini terpolakan dalam bentuk-bentuk seperti:100

a. Defrauding stockholders

96

Sally S. Simpson, Corporate Crime, Law, and Social Control, (United Kingdom: Cambridge University Press, 2002), http://catdir.loc.gov/catdir/samples/cam031/2001025804.pdf, diakses pada tanggal 6 April 2016, hlm. 7.

97

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 16.

98

Soedjono Dirdjosisworo, Respons Terhadap Kejahatan: Introduksi Hukum Penanggulangan Kejahatan (Introduction to The Law of Crime Prevention), (Bandung: Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Bandung Press, 2002), hlm. 65.

99

Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 5.

100

(8)

Dimaksudkan tidak melaporkan dengan sebenarnya keuntungan yang

diperoleh sehingga menimbulkan penipuan terhadap para pemegang saham.

Dimensi ini terkait erat dengan pemegang saham perusahaan yang diberi

informasi secara tidak benar tentang berapa besar jumlah keuntungan yang

diperoleh dari hasil usaha perusahaan.101

b. Defrauding the public

Dapat diartikan sebagai penipuan terhadap masyarakat terjelma dalam

bentuk persekongkolan penentuan harga dan produk yang tidak representatif.

Wujud lainnya juga dapat dilihat dalam penipuan informasi layanan (iklan)

tentang suatu produk dari perusahaan tertentu.

c. Defrauding the government

Merupakan tindakan penipuan oleh suatu korporasi yang ditujukan

langsung kepada pemerintah. Tindakan ini dilakukan untuk menghindari

kewajiban membayar pajak sesuai dengan pendapatan atau keuntungan korporasi

yang sesungguhnya. Tidak sedikit perusahaan-perusahaan besar yang bergerak

dalam bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak mempunyai daftar

pembukuan lebih dari satu. Hal ini dimaksudkan untuk mengelabuhi pemerintah

agar tidak terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk membayar pajak.102

d. Endangering the public welfare

Adalah dimensi kejahatan korporasi yang mengarah pada membahayakan

kesejahteraan umum. Misalnya, korporasi menimbulkan polusi industri yang

membahayakan lingkungan di sekitarnya.

101

Hanafi, op.cit, hlm.5.

102

(9)

e. Endangering employees

Yaitu tidak memedulikan keselamatan kerja. Tindakan semacam ini sering

dilakukan oleh beberapa perusahaan dengan cara mengeksploitasi tenaga kerja

tanpa diiringi dengan perhatian yang cukup besar terhadap keselamatan mereka,

sehingga banyak dari mereka yang mengalami kecelakaan karena sarana dan

prasarana produksi perusahaan tidak memenuhi standar keselamatan kerja.

f. Illegal intervention in the public process

Melakukan intervensi yang melanggar hukun terhadap proses politik,

terutama dalam konteks pengambilan kebijakan publik oleh pemerintah.

Praktiknya sering berupa sumbangan dana politik kampanye partai dalam proses

pemilihan umum yang tujuannya paling tidak keinginan-keinginan atau tendensi

tertentu dari korporasi bersangkutan bisa tercapai melalui munculnya sebuah

kebijakan pemerintah hasil pemilu tersebut.103

Niall F. Coburn secara lebih luas mengklasifikasikan dimensi kejahatan

korporasi dapat berbentuk sebagai berikut:104

a. Penggelapan dana perusahaan

b. Penipuan terhadap hasil audit internal dan pelanggaran terhadap kepatuhan kerja

c. Pelanggaran surat berharga termasuk perusahaan yang tidak menerapkan prinsip keterbukaan kepada publik

d. Penyuapan

e. Penjualan aset perusahaan yang melibatkan orang dalam f. Manipulasi pasar

g. Korupsi

h. Menghindarkan kewajiban membayar pajak i. Praktik-praktik perdagangan dan perbuatan pasar. j. Bisnis perusahaan yang pailit

103

Ibid., hlm. 7.

104

(10)

k. Penghitungan laba perusahaan yang disamarkan atau dipalsukan l. Bisnis perusahaan yang pailit.

m. Penghitungan laba perusahaan yang disamarkan atau dipalsukan n. Pembukuan keuangan perusahaan yang tiak jujur

o. Penyelenggaraan perusahaan terkait dengan transaksi partai politik dan kewajiban direktor

p. Regulasi yang bersifat rahasia q. Standar makanan

r. Standar jalan raya dan kereta api

s. Tindak pidana ekonomi terhadap dan oleh pekerja

t. Praktik-praktik diskriminatif pada saat bekerja dan di tempat kerja u. Pelanggaran terhadap aturan di bidang lingkungan hidup.

v. Keamanan dan kesehatan kerja.

Sementara itu, untuk kejahatan korporasi yang menyangkut masyarakat

luas, menurut Setiyono, antara lain dapat berbentuk:105

1. Kejahatan terhadap Lingkungan Hidup;

2. Kejahatan terhadap Konsumen

3. Kejahatan terhadap Pemegang Saham (Investor)

Berdasarkan klasifikasi dimensi ini, tindak pidana pembakaran lahan

perkebunan sejatinya merupakan sebuah bentuk kejahatan korporasi dari dimensi

“endangering the public welfare” dalam bentuk kejahatan lingkungan hidup.

Dikatakan demikian karena tindak pidana pembakaran lahan perkebunan yang

dilakukan korporasi ini berdampak pada tereganggunya aspek-aspek

kesejahteraan masyarakat, seperti lingkungan hidup, ekonomi, yang berdampak

pula pada aktivitas sosial masyarakat secara luas.

105

(11)

B. Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana

1. Sejarah dan Latar Belakang Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana

Asal mula korporasi sampai sekarang masih menjadi persoalan. Pada

masyarakat yang primitif dengan karakteristik hidup dalam suatu kelompok

(group), sebenarnya sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu

kelompok masyarakat. Pada zaman dahulu perkembangan korporasi berupa

pembentukan kelompok yang terjadi seperti dalam masyarakat Asia Kecil,

Yunani, dan masyarakat Romawi. Perkembangan kelompok-kelompok tersebut di

Romawi terlihat dengan dibentuknya suatu organisasi yang dalam banyak hal

memiliki fungsi yang mirip seperti korporasi yang sudah kita kenal sekarang.

Kelompok tersebut bergerak di bidang penyelenggaraan kepentingan umum,

keagamaan, militer, dan perdagangan. Organisasi ini memiliki kekayaan yang

terpisah dari anggotanya. Pada masa ancient time ini mulai dikenal perbedaan

kedudukan individu dalam organisasi dan kedudukan individu yang terlepas dari

organisasi.

Pada Abad Pertengahan dengan ditandai mulai menurunnya kekuasaan

Romawi, dan perdagangan pun mulai suram karena pada masa itu orang tidak

mungkin melakukan suatu usaha/perdagangan tanpa didukung oleh perlindungan

militer dan tertib sosial. Pada masa itu dengan terbentuk Dewan Gereja yang

dipengaruhi oleh hukum Romawi, Dewan Gereja ini memiliki kekayaan yang

terpisah dengan kekayaan para anggotanya dan berbeda dengan subjek hukum

manusia. Gereja sebagai kemudian dikenal sebagai suatu prototype korporasi

(12)

Gereja sebagai suatu korporasi memberikan suatu sumbangan yang sangat besar

terhadap the concept of corporate personality, yaitu dalam bentuk kota praja yang

dapat menyelenggarakan pemerintahan secara umum. Pada abad ini (Abad XIV)

mulai dikenal apa yang disebut quasi corporate character dengan adanya bentuk

kota praja.106

Pada permulaan zaman modern, sifat bisnis perdagangan yang semakin

kompleks sangat mempengaruhi perkembangan korporasi. Pada zaman Raja

James I (1566-1625) di Inggris mulai dikenal korporasi sebagai subjek hukum

(legal person), yang berbeda dengan manusia.107

Korporasi yang bersifat modern

di Inggris dikenal dengan nama Hudson‟s Bay Company yang diresmikan oleh

Raja Inggris pada tahun 1670, beroperasi di Kanada dan mempunyai hak

monopoli di bidang perdagangan sebagai salah satu sumber dana dari pemerintah

kolonial Inggris.

Terjadinya Revolusi Industri di Inggris, yang ditandai dengan

perkembangan di bidang teknologi industri pemintalan benang dan revolusi di

bidang tenaga dengan ditemukannya mesin uap, menimbulkan kebutuhan akan

modal yang besar dengan organisasi yang mapan serta perangkat hukum yang

memadai, maka pada tahun 1855 mulai dikenal adanya pembatasan terhadap

pertanggungjawaban korporasi. Pada tahun 1862, korporasi memakai nama untuk

asosiasinya dan di belakang nama tersebut sebagai tanda adanya pembatasan

terhadap pertanggungjawaban korporasi dicantumkan kata “limited”.108

106

Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 35.

107

Ibid, hlm. 36.

108

(13)

Sedangkan di Amerika, pada tahun 1795, tepatnya di North Carolina

didirikan korporasi yang pendiriannya didasarkan kepada prinsip hukum yang

berlaku pada waktu itu, yang bergerak di bidang penyelenggaraan kepentingan

umum. Seperti di Massachusetts pada tahun 1799, berbentuk korporasi di bidang

penyediaan air bersih. Kemudian pada Tahun 1811, New York menjadi negara

bagian yang pertama kali memperkenalkan korporasi bersifat umum yang

bergerak di bidang Manufaktur.109

Perancis baru memasukkan korporasi dalam kodifikasi Code de Commerce

Perancis yang dibuat pada tahun 1807. Bagaimanapun juga, karena Perancis

pernah menjajah Belanda, maka terdapat hubungan antara pembuatan rancangan

Wetboek van Koophandel (W.v.K) Nederland yang dibuat pada tahun 1809 dan

kodifikasi Code de Commerce Perancis yang dibuat pada tahun 1808. Tampaklah

waktunya sangat berdekatan dan dalam hubungan sebagai suatu negara yang

dikuasai Perancis akan tercermin dalam W.v.K tersebut, yang mana sistem dan isi

W.v.K Nederland ternyata mengacu pada Code de Commerce dan Code de La

Marine.110

Dengan asas konkordansi maka setiap perkembangan W.v.K Nederland

memiliki pengaruh di Nederlandsch Indie seperti halnya tentang ketentuan

maatschap, kata maatschap sejenis pula dengan kata “societas” dari Romawi,

yang terkenal dalam sejarah hukum Romawi Lama dengan Romainse Societas.

Pada abad XIII dan XIV pada kota-kota di bagian utara Italia terdapat dua bentuk

kontrak kerja sama (samenwerkingcontracten), yang agak berbeda dengan dengan

109

M. Natsir Said, Hukum Perusahaan di Indonesia (Perorangan), (Bandung: Alumni, 1987), hlm. 3.

110

(14)

societas, disebut “Commanditaire Vennotschap” dan “Vennotschap onder Firma”,

yang di Belanda sampai sekarang ini diatur dalam W.v.K, sedangkan di Indonesia

diatur dalam pasal 16 sampai dengan pasal 35 Kitab Undang-undang Hukum

Dagang (KUHD).

Pada permulaan abad XVII terjadi perkembangan atas pengaruh semakin

meluasnya perdagangan pelayanan ke Indonesia di mana banyak yang

menanamkan modalnya pada perusahaan pelayanan dengan cara meminjamkan

uang (geldschieters) dengan sistem kepercayaan (toevertrouwen). Pada tahun

1602, terbentuknya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang terdiri

antara pengusaha-pengusaha (voorcompagnieen), dan menandai terbentuknya

suatu “Societe Anonyme” seperti yang diatur di dalam Pasal 36 sampai dengan

Pasal 56 KUH Dagang.111

Sesudah tahun 1838, bentuk badan usaha CV maupun Firma dan NV

masing-masing diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 35 dan Pasal 36

sampai dengan Pasal 56 KUH Dagang secara berturut-turut karena perkembangan

perekonomian mengalami banyak perubahan kecuali bentuk CV. Di samping itu,

berkembang pula perusahaan pemerintah sejak tahun 1925 yang didirikan

berdasarkan Indische Comptabiliteitswet (I.C.W) Stb. 1927 Nomor 419.

Perusahaan pemerintah yang modalnya sebagian ikut serta dalam suatu

perusahaan tersebut terdapat pula dalam bentuk perseroan terbatas atau NV yang

tunduk pada hukum perdata dan dagang.

111

(15)

Sesudah perusahaan-perusahaan milik Belanda dikenakan nasionalisasi

dengan Undang-Undang Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958, maka berkembanglah

perusahaan-perusahaan pemerintah dalam bentuk perseroan terbatas swasta yang

tunduk pada KUH Perdata dan KUH Dagang, namun kemudian dengan

Undang-Undang No. 19 Prp Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, maka bentuk

perusahaan negara dengan bentuk perseroan terbatas negara maupun yang tunduk

pada I.C.W dan I.B.W (Indische Bedrijvenwet) kesemuanya diatur menurut

Undang-Undang ini.

Akan tetapi, perkembangan perseroan terbatas negara ini sangat

menyedihkan dengan banyak mengalami kerugian, sehingga perlu dilakukan

reorganisasi perusahaan negara dengan dikeluarkannya UU. No. 1 Prp Tahun

1969 Tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara, yang ditetapkan dengan

Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969. Pasal 1 Undang-Undang tersebut menetapkan

adanya tiga macam bentuk usaha negara, yaitu:112

a. Perusahaan Jawatan (Perja);

b. Perusahaan Umum (Perum);

c. Perusahaan Perseroan (Persero).

Demikianlah sejarah korporasi yang akhirnya menjadi subjek hukum di

samping subjek hukum manusia. Dalam perkembangannya korporasi ternyata

tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja akan tetapi sekarang ini

ruang lingkupnya sudah mulai luas karena dapat mencakup bidang pendidikan,

kesehatan, riset, pemerintahan, sosial, budaya, dan agama. Perkembangan itu

112

(16)

sendiri tidak dapat terlepas dari perkembangan teknologi dan era globalisasi itu

sendiri. Dengan demikian sejak Revolusi Industri di Inggris, peranan teknologi

dalam sejarah perkembangan korporasi merupakan pengaruh yang sangat

fundamental (fundamental influence) dalam rangka pertumbuhan korporasi itu

sendiri. Dalam sejarah perkembangan itu pula, korporasi pada akhirnya

digolongkan ke dalam jenis-jenis tertentu dengan berdasarkan berbagai

pandangan.

Ronald A. Anderson et. al., menggolongkan korporasi berdasarkan

hubungannya dengan publik, sumber kekuasaan dan sifat aktivitas dari korporasi

itu sendiri. Jenis-jenis korporasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:113

1) Korporasi Publik, adalah sebuah korporasi yang didirikan oleh pemerintah

yang mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas administrasi di bidang urusan

publik, contohnya pemerintahan Kabupaten atau Kota;

2) Korporasi Privat, yaitu korporasi yang didirikan untuk kepentingan pribadi

yang dapat bergerak di bidang industri dan perdagangan, contohnya PT.

Garuda Tbk;

3) Korporasi Publik Quasi, atau yang lebih dikenal dengan korporasi yang

melayani kepentingan umum (public service), contohnya PT. Kereta Api

Indonesia, Perusahaan Air Minum dan Perusahaan Listrik Negara.

Di Indonesia, secara umum korporasi diartikan secara luas, sehingga

terbagi menjadi 2, yakni yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan

hukum:

113

(17)

a. Badan hukum

Pengertian badan hukum itu sendiri awalnya lahir sebagai akibat dari

perkembangan masyarakat menuju modernisasi. Dahulu di alam yang masih

primitif ataupun didalam kehidupan yang masih sederhana, kegiatan-kegiatan

usaha dijalankan secara perorangan. Perkembangannya, tumbuh kebutuhan untuk

menjalankan usaha secara bekerja sama dengan beberapa orang yang mungkin

atas dasar pertimbangan agar dapat menghimpun modal yang lebih berhasil

daripada dilaksanakan sendiri. Beranjak dari itu kemudian timbul keinginan untuk

membuat suatu wadah seperti badan hukum agar kepentingan-kepentingan

masing-masing lebih mudah dijalankan dan untuk membagi resiko yang mungkin

timbul dari bentuk kerjasama yang dijalankan.114

Ada beberapa teori yang sering digunakan dalam rangka mengetahui

hakekat badan hukum yaitu antara lain:

1) Teori Fictie Dari Von Savigny

Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan

hukum itu hanyalah fiksi, yaitu sesuatu yang sesungguhnya tidak ada tetapi orang

menghidupkannya dalam bayangan sebagai subyek hukum yang dapat melakukan

perbuatan hukum seperti manusia.

2) Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel Vermogens Theorie)

Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subyek hukum,

namun ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang,

114

(18)

tetapi kekayaan itu terikat dengan tujuan tertentu. Kekayaan inilah yang disebut

badan hukum.

3) Teori Organ dari Otto Van Gierke

Badan hukum menurut teori ini bukan sesuatu yang abstrak (fiksi) dan

bukan merupakan kekayaan (hak) yang tidak bersubyek, tetapi badan hukum

merupakan organism yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan

hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantara alat-alat yang

ada padanya (pengurus dan anggota-anggotanya), seperti manusia biasa yang

mempunyai panca indera.

4) Teori Propriete Collective

Teori ini diajarkan oleh Planiol dan Molengraff yang mengatakan bahwa

hak dan kewajiban badan hukum pada hakekatnya adalah hak dan kewajiban para

anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama

semua anggotanya. Orang-orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu

kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum.oleh karena

itu badan hukum adalah konstruksi yuridis saja.

5) Teori Kenyataan Yuridis

Badan hukum merupakan suatu reliteit, konkrit, rill, walaupun tidak bisa

diraba, bukan khayal tetapi kenyataan yuridis. Teori yang dikemukan oleh Mayers

ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan

(19)

Menurut Rudhy Prasetya, sebagaimana dikutip oleh Mahmud Mulyadi,

badan hukum itu dapat mengambil berbagai bentuk, yaitu antara lain:115

1) Ada yang berbentuk perseroan terbatas seperti yang diatur dalam Bab III Buku

I KUHP Pasal 36-57;

2) Berbentuk perkumpulan sebagaiamana diatur dalam Titel IX Buku III KUHP;

3) Dapat berbentuk koperasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor

17 tahun 2012. Dalam undang-undang tersebut yang dimaksud dengan

koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau

badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai

modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan

bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip

Koperasi;

4) Berbentuk BUMN sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 19

tahun 2003 berupa perusahaan perseroan, perusahaan jawatan, perusahaan

jawatan;

5) Yayasan (Stichting) merupakan badan hukum berdasarkan Undang-undang

Nomor 16 tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 28 tahun 2004 tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.

Penggolongan badan hukum jika dilihat dari jenisnya dapat pula

dibedakan menjadi dua yakni badan hukum publik dan badan hukum privat.

Badan hukum publik misalnya Negara Republik Indonesia, Pemerintah

Kota/Kabupaten dan sebagainya, sedangkan badan hukum privat misalnya

115

(20)

Perseroan Terbatas, Yayasan dan lain sebagainya. Kriteria untuk menentukan

suatu badan hukum dikatakan badan hukum publik atau badan hukum privat ada

dua yaitu:116

1) Dilihat dari pengelolaannya, badan hukum publik didirikan oelh

Pemerintah/Negara, sedangkan badan hukum privat didirikan

orang-perseorangan;

2) Dilihat dari kepentingannya, pada prinsipnya didirikannya badan hukum

tersebut apakah bertujuan untuk kepentingan umum atau tidak; artinya jika

lapangan pekerjaannya bertujuan untuk kepentingan umum, maka badan

hukum tersebut merupakan badan hukum publik, akan tetapi jika tujuannya

untuk kepentingan perseorangan maka badan hukum itu merupakan badan

hukum privat.

Berkaitan dengan badan hukum (korporasi) sebagai subyek hukum,

menurut Sudikno Mertokusumo subyek hukum adalah segala sesuatu yang dapat

memperoleh hak dan kewajiban dari hukum. Hak dan kewajiban dari hukum itu

hanyalah manusia.117

Kenyataan dewasa ini, dalam lapangan masyarakat bukan

saja manusia yang oleh hukum diakui sebagai subyek hukum tetapi juga diberikan

kepada subyek hukum yang bukan manusia yaitu badan hukum.

Menurut Alvi Syahrin, suatu badan hukum merupakan suatu badan (entity)

yang keberadaannya terjadi karena hukum atau undang-undang, dan sebagai

116

Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, op.cit, hlm. 14

117

(21)

subyek hukum secara materil ia (badan hukum) mencakup hal-hal sebagai

berikut:118

1) Kumpulan atau asosiasi modal (yang ditujukan untuk menggerakkan kegiatan

perekonomian dan atau tujuan khusus lainnya).

2) Kumpulan modal ini dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling)

dalam hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking), dan ini menjadi tujuan

dari sifat dan keberadaan badan hukum, sehingga ia dapat digugat atau

menggugat di depan pengadilan.

3) Modal yang dikumpulkan ini selalu diperuntukkan bagi kepentingan tertentu,

berdasarkan pada ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang

mengaturnya. Sebagai suatu perkumpulan modal, maka kumpulan modal

tersebut harus dipergunakan untuk dan sesuai dengan maksud dan tujuan yang

sepenuhnya diatur dalam statuta atau anggaran dasarnya, yang menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Kumpulan modal ini mempunyai pengurus yang akan bertindak untuk

mewakili kepentingan badan hukum ini, yang berarti adanya pemisahan antara

keberadaan harta kekayaan yang tercatat atas nama kumpulan modal ini

dengan pengurusan harta kekayaan tersebut oleh pengurus.

5) Keberadaan modal badan hukum ini tidak dikaitkan dengan keanggotaan

tertentu. Setiap orang yang memenuhi syarat dan persyaratan yang diatur

dalam statuta atau anggaran dasarnya dapat menjadi anggota badan hukum ini

dengan segala hak dan kewajibannya.

118

(22)

6) Sifat keanggotaannya tidak permanen dan dapat dialihkan atau beralih kepada

siapapun juga, meskipun keberadaan badan hukum ini sendiri adalah

permanen atau tidak dibatasi jangka waktu berdirinya.

7) Tanggungjawab badan hukum dibedakan dari tanggungjawab pendiri,

anggota, maupun pengurus badan hukum tersebut.

b. Bukan Badan Hukum

Adapun badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum dapat

dikategorikan menjadi tiga bentuk yaitu: persekutuan perdata,

persekutuan/perusahaan firma (fa) persekutuan/perusahaan komanditer (CV).

Perbedaan antara badan hukum yang berbentuk badan hukum dan bukan badan

hukum terlihat dari perbedaan prosedur pendirian badan usaha tersebut. Untuk

pendirian badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum, maka syarat adanya

pengesahan akta pendirian dari pemerintah tidak diperlukan.119Sedangkan menurut

Abdul Kadir Muhammad, badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum dapat

dikategorikan sebagai:

a) Perusahaan perseorangan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan

dimiliki oleh pengusaha perseorangan, misalnya: perusahaan industri,

perusahaan dagang dan perusahaan jasa.

b) Perusahaan persekutuan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan

dimiliki oleh beberapa orang pengusaha secara bekerjasama. Perusahaan ini

dapat menjalankan usaha dalam semua bidang perekonomian, yaitu bidang

119

(23)

industri, dagang dan jasa yang dapat berbentuk perusahaan Firma (fa) dan

persekutuan komanditer (CV).120

Menurut Loebby Loqman, dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana

tentang apa yang dimaksud dengan korporasi sebenarnya terdapat dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah

suatu kumpulan dagang yang berbadan hukum. Jadi dibatasi bahwa korporasi

yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang sudah

berbadan hukum. Alasannya adalah bahwa dengan sudah berbadan hukum, telah

jelas susunan pengurus serta sejauh mana hak dan kewajiban dalam korporasi

tersebut. Pendapat lain adalah yang bersifat luas; dimana dikatakan bahwa

korporasi tidak perlu harus berbadan hukum. Setiap kumpulan manusia, baik

dalam hubungan suatu dagang ataupun usaha lainnya, dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana. Selanjutnya menurut Sutan Remy

Sjahdeini, dalam hukum pidana, pengertian korporasi tidak hanya badan hukum,

melainkan meliputi badan hukum maupun bukan badan hukum., bukan saja

badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau

perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum, tetapi juga firma, CV,

dan persekutuan yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukanlah

suatu badan hukum.121 Adapun menurut penulis, pada hakikatnya apabila

korporasi hanya dimaknai secara sempit sebagai badan hukum, tidaklah dapat

memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Karena dalam perkembangan

kehidupan perekonomian global yang semakin kompleks, sesungguhnya pelaku

120

Ibid., hal. 210

121

(24)

usaha, yang dalam tulisan ini adalah pelaku usaha perkebunan nyatanya bukan

hanya berasal dari sebuah korporasi berbadan hukum, tetapi juga korporasi tidak

berbadan hukum. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya pengaturan korporasi

sebagai subjek tindak pidana dalam arti yang luas.

2. Tahap-Tahap Pengakuan Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana

Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana sudah

dimulai sejak tahun 1635, ketika itu sistem hukum Inggris mengakui bahwa

korporasi dapat bertanggung jawab secara pidana terhadap tindak pidana ringan.122

Adapun pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana sesungguhnya tidak

muncul melalui penelitian yang mendalam dari para ahli, tapi justru merupakan

akibat dari formalisme hukum (legal formalism). Doktrin pertanggungjawaban

pidana korporasi telah berkembang tanpa adanya teori yang membenarkannya.

Penerimaan korporasi sebagai subjek hukum layaknya manusia tidak dapat

dilepaskan dari peran pengadilan. Adalah hakim dalam sistem common law yang

melakukan suatu analogi atas subjek hukum manusia, sehingga korporasi juga

memiliki identitas hukum dan penguasaan kekayaan dari pengurus yang

menciptakannya.123

Yedidia Z. Stern sebagaimana dikutip dalam Mahrus Ali menyatakan

bahwa para hakim yang ada pada waktu itu tidak memiliki banyak teori untuk

membebankan tindakan para agen kepada korporasi, berusaha mempertanyakan

122

Andrew Weissmann dan David Newman, “Rethinking Criminal Corporate Liability”, Indiana Law Journal, 2007, http://www.corporatecrimereporter.com/wp-content/uploads/ 2013/07/weissmann.pdf, diakses pada tanggal 7 April 2016, hlm. 419.

123

(25)

apakah suatu korporasi, dengan entitas hukum tanpa memiliki bentuk psikis yang

jelas dapat juga dipersyaratkan memiliki kondisi/keadaan psikologis untuk adanya

suatu penuntutan sebagaimana halnya kejahatan-kejahatan lain yang

mensyaratkan adanya hal itu.124

Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana penuh

dengan hambatan-hambatan teoritis, tidak seperti pengakuan subjek hukum

pidana manusia. Hambatan-hambatan teoritis tersebut dapat didasarkan pada dua

hal, yakni: Pertama, begitu kuatnya teori fiksi (fiction theory) yang dicetuskan

Carl Von Savigny125

, dan Kedua, masih dominannya asas universitas delinguere

non potest yang berarti bahwa badan-badan hukum tidak dapat melakukan tindak

pidana.126

Dominasi asas ini dapat dilihat dalam KUHP Indonesia yang memang

tidak mencantumkan pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Dapat

disimpulkan, bahwa KUHP Indonesia masih menganut bahwa suatu delik hanya

dapat dilakukan oleh manusia sedangkan badan hukum tidak diakui dalam hukum

pidana.127

Dalam perkembangannya, dua alasan di atas lama kelamaan mulai

melemah pengaruhnya. Hal ini dilatarbelakangi oleh dua hal: Pertama, korporasi

merupakan aktor utama perekonomian dunia, sehingga kehadiran hukum pidana

dianggap sebagai metode paling efektif untuk memengaruhi tindakan-tindakan

124

Yedidia Z. Stern dalam Mahrus Ali, op.cit, hlm. 99.

125

Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (Strict Liability dan Vicarious Liability), (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), hlm. 30.

126

Bandingkan dengan Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, (Bandung: Utomo, 2004), hlm. 25. Pada tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah manusia alamiah semata. Pandangan ini dianut KUHP melalui Pasal 59, yang dipengaruhi asas “societas delinquere non

potest”, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan delik.

127

(26)

aktor rasional korporasi.128

Kedua, keuntungan yang diperoleh korporasi dan

kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya sehingga tidak akan

mungkin seimbang apabila korporasi hanya dijaruhi sanksi keperdataan. Dalam

kedua konteks inilah sanksi pidana diperlukan.129

Dikarenakan anggapan bahwa

tidak adil bila korporasi tidak dikenakan hak dan kewajiban seperti halnya

manusia, maka muncullah tahap-tahap perkembangan korporasi sebagai subjek

hukum dalam hukum pidana. Tahap tersebut antara lain:

a. Perkembangan Tahap Pertama

Pada tahap ini yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah

manusia alamiah semata, tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat delik

yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk persoon).130

Akibatnya, ketika suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, karena

telah dibebankan “tugas mengurus” (zorgplicht), maka tindak pidana tersebut dianggap dapat dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.131 Perkembangan

tahap ini telah terlihat sejak KUHP tahun 1886 dibentuk, di mana pembentuk

undang-undang telah mulai memasukkan larangan-larangan dan perintah-perintah

terhadap pengurus yang bertanggung jawab, berupa kewajiban-kewajiban dalam

beberapa peraturan dan undang-undang khusus tertentu, dengan maksud supaya

128

Beth Stephens, “The Amorality of Profit: Transnasional Corporation and Human

Rights”, Berkeley Journal of International Law, 2002, http://scholarship.law.berkeley.edu /cgi/viewcontent.cgi?article=1207&context=bjil, diakses pada tanggal 7 April 2016, hlm. 46.

129

Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 27-28.

130

Mahrus Ali, op.cit, hlm. 66

131

(27)

mereka bertanggung jawab dalam pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut

terhadap badan atau perusahaan yang dipimpinnya.132

Alasan tidak dapatnya korporasi dipidana, antar lain: Pertama, asas hukum

pidana yang ada di KUHP berlandaskan pada ajaran kesalahan pribadi dan hanya

ditujukan kepada orang alamiah.133 Kedua, hukuman-hukuman pokok yang ada di

KUHP mempunyai sifat kepribadian. Ketiga, hukuman yang menyangkut

kemerdekaan tidak dapat dilaksanakan oleh korporasi. Keempat, meski hukuman

denda dapat dijatuhkan kepada korporasi, yang dijatuhi hukuman denda itu dapat

memilih untuk membayar denda atau menjalani hukuman kurungan sebagai

penggantinya.134 Pandangan ini dianut KUHP Indonesia melalui Pasal 59, yang

berbunyi:

“Dalam hal-hal di mana ditentukan pidana karena pelanggaran terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur

melakukan pelanggaran, tidak pidana.”

Melalui bunyi pasal tersebut, telah terlihat bahwa secara implisit pidana

ditentukan hanya kepada pengurus, pasal ini masih dipengaruhi asas “societas

delinquere non potest”135, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan delik.136 Oleh

132

Schaffmeister, Nico Keijzer dan Sutorius, Hukum Pidana, diterjemahkan pleh J. E. Sahetapy, (Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm. 274.

133

(28)

sebab itu apabila suatu korporasi melakukan delik, itu dianggap dilakukan oleh

pengurusnya, karena melakukan delik pada waktu itu diartikan sebagai sesuatu

perbuatan fisik dari si pembuat.137

Dalam perkembangannya pada tahap pertama ini tantangan besar muncul

berkenaan dengan tertutupnya kemungkinan menerapkan pertanggungjawaban

pidana terhadap korporasi. Dalam hal pemilik atau pengusahanya adalah

korporasi, sedangkan tidak ada pengaturan bahwa pengurusnya bertanggung

jawab, maka bagimana memutuskan tentang pembuat dan

pertanggungjawabannya? Kesulitan inilah yang akan dijawab pada perkembangan

tahap kedua.

b. Perkembangan Tahap Kedua

Ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang Dunia I dalam

perumusan undang-undang, bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh

korporasi. Namun, tanggung jawab untuk itu menjadi beban dari pengurus

korporasi. Perumusan yang khusus ini, yaitu apabila suatu tindak pidana

dilakukan oleh suatu pimpinan atau karena suatu korporasi. Tuntutan pidana dan

pidana harus dijatuhkan terhadap anggota pimpinan. Perumusan ini dilandasi

pemikiran bahwa sering terjadi kedudukan dalam korporasi itu yang memberi

kesempatan untuk melakukan delik.138 Secara perlahan-lahan tanggung jawab

pidana beralih dari anggota pengurus kepada mereka yang memerintahkan, atau

136

Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 25.

137

Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas serta Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 277.

138

(29)

kepada mereka yang secara nyata memimpin dan melakukan perbuatan yang

dilarang tersebut.139

Meskipun demikian, Hasbullah F. Sjawie berpendapat bahwa

perkembangan yang terjadi ini belum dapat dikategorikan suatu perubahan

tahapan karena meski di sini sudah ada pengakuan bahwa subjek hukum pidana

meliputi juga korporasi, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dibebankan

kepada pengurusnya. Oleh sebab itu, pada hakikatnya perkembangan ini tidak

dapat dijadikan sebagai tahapan tersendiri karena Pasal 59 KUHP itu juga secara

tidak langsung mengakui adanya korporasi walau tidak disebut bahwa korporasi

adalah juga subjek hukum pidana, yang dipertanggungjawabkan adalah

pengurusnya.140

c. Perkembangan Tahap Ketiga

Merupakan permulaan adanya tanggung jawab langsung korporasi. Dalam

tahap ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta

pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Alasannya sebagaimana telah

diungkapkan sebelumnya adalah karena dalam delik-delik ekonomi dan fiskal

keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat

dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana

pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Juga diajukan alasan

bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan

bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan memidana

korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu,

139

Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 26.

140

(30)

diharapkan dapat memaksa korporasi untuk menaati peraturan yang

bersangkutan.141

Berkaitan dengan hal di atas, merujuk pada ketentuan dan Memorie van

Toelichting (MvT) Pasal 59 KUHP, bahwa suatu delik hanya dapat dilakukan oleh

seseorang dan keberadaan badan hukum tidak berlaku dalam hukum pidana.

Oemar Seno Adji berpendapat bahwa mungkin pembuat undang-undang pada

saat itu tidak voorzien (menduga) bahwa hukum pidana ekonomi, fiskal, dan

bahkan hukum pidana politik akan mengandung ketentuan yang meninggalkan

asas bahwa hanya orang yang dapat melakukan sesuatu tindak pidana dan fiksi

mengenai badan hukum itu tidak berlaku dalam hukum pidana. Teori fiksi

sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, menyediakan tempat bagi suatu

pandangan yang sebelumnya dikemukakan oleh von Gierke, yang melihat badan

hukum itu sebagai suatu realitas dan bukan fiksi lagi, yang terpisah dari orang

perorangannya. Karena, jika hukum pidana ekonomi, fiskal, dan hukum pidana

politik menerima adanya pemidanaan terhadap korporasi, itu didasarkan tidak saja

pada pertimbangan-pertimbangan utilitis, tetapi juga atas dasar-dasar teoritis yang

dapat dibenarkan. Hal ini merupakan penyimpangan Pasal 59 KUHP.142

Berkenaan dengan tahapan ini, Oemar Seno Adji berpendapat bahwa, baik

perundang-undangan maupun ilmu hukum telah mematahkan persoalan mengenai

tanggung jawab pidana dari korporasi dan telah mengesampingkan pikiran dalam

KUHP bahwa hanya peroranganlah yang dapat dipandang sebagai subjek dari

suatu tindak pidana. Ia berpandangan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana

141

Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 27-28.

142

(31)

Ekonomi, demikian pula Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Subversi, undang-undang dan praktik hukum di luar negeri, ajaran-ajaran yang

digariskan oleh von Gierke, adalah petunjuk-petunjuk bahwa harus ditempuh jalan

baru mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana karena dalam zaman

modern ini korporasi tersebut merupakan faktor yang cukup dominan yang

bergerak dalam perekonomian dan perdagangan, maka tentu akan meletakkan

jejaknya pula terhadap hukum pidana.143

3. Korporasi sebagai Subjek Hukum dalam Perundang-undangan di Indonesia

Tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum di Indonesia tidak

mengikuti perkembangan di Belanda, yang dewasa ini perkembangannya telah

sampai pada tahap di mana ketentuan mengenai korporasi sebagai subjek hukum

pidana tidak lagi tersebar di luar Wetboek van Strafrecht (WvS). Sejak lahirnya

Undang-undang tanggal 23 Juni 1976 Staatsblad 377 yang disahkan pada tanggal

1 September 1976, mengenai subjek hukum korporasi selain manusia telah

ditempatkan dalam ketentuan umum Pasal 51 WvS (Strafbarefeiten kunnen worde

begaan door natuurlijke personen en rechtspersonen).144 Sejak itulah korporasi

diperlakukan sebagai subjek hukum pidana di Belanda secara keseluruhan.

Pasal 51 WvS Belanda tidaklah menggunakan istilah corporatie, tetapi

istilah rechtspersoon atau badan hukum, selengkapnya berbunyi:145

(1) Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;

143

Ibid., hlm. 280.

144

Lihat Loebby Loqman, Delik Politik di Indonesia, (Jakarta: Ind.Hill-Co., 1993), hlm. 100.

145

(32)

(2) Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan tuntutan pidana, dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap:

a. Badan hukum, atau;

b. Terhadap mereka yang memerintah melakukan perbuatan itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan tindakan yang dilarang itu;

c. Terhadap yang disebutkan dalam a dan b bersama-sama.

(3) Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum perseroan tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan.

Dengan lahirnya undang-undang ini, maka di Belanda badan hukum

sebagai subjek hukum pidana bukan lagi merupakan penyimpangan asas, karena

telah diatur dalam KUHP mereka, karena semua ketentuan perundang-undangan

pidana khusus yang tersebar di luar WvS Belanda yang mengatur tentang

pertanggungjawaban pidana korporasi dicabut karena dipandang tidak perlu lagi

sebab dengan diaturnya pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal 51 WvS

Belanda, maka sebagai ketentuan umum berdasar Pasal 91 WvS Belanda (Pasal

103 KUHP Indonesia), ketentuan ini berlaku untuk semua peraturan di luar

kodifikasi sepanjang tidak disimpangi.146

Perkembangan yang tidak diikuti oleh KUHP Indonesia ini147 dapat

disebabkan oleh dua kemungkinan. Pertama, memang perubahan tersebut telah

diterima, akan tetapi karena sulitnya melakukan perubahan KUHP sehingga

146

Hasbullah F. Sjawie, op.cit, hlm. 284.

147

Andi Hamzah, Delik-Delik Tersebar di Luar KUHP, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hlm. 9. Aturan mengenai korporasi justru terpencar pada perundang-undangan di luar KUHP. Hal tersebut disebabkan oleh:147

1. Adanya perubahan sosial secara cepat sehingga perubahan-perubahan itu perlu disertai dan diikuti dengan peraturan-peraturan hukum dengan sanksi pidananya. Hukum di sini telah berfungsi, baik sebagai social engineering maupun social control;

(33)

perubahan hanya dilakukan dalam perundang-undangan pidana khusus. Kedua,

adalah mungkin memang secara umum belum dapat diterima di Indonesia badan

hukum dianggap sebagai subjek hukum pidana dan atas hal-hal tertentu saja

dimungkinkan penyimpangan itu.148

Di Indonesia dewasa ini pertanggungjawaban pidana korporasi secara

langsung memang hanya terdapat dan berlaku terhadap beberapa

perundang-undangan khusus di luar KUHP,149 yang pada tulisan ini diambil beberapa contoh

perundang-undangan yang erat kaitannya dengan bidang perkebunan, antara lain:

1. Undang-Undang Penataan Ruang

Ketentuan pasal 1 angka 33 UU No. 26 Tahun 2007150 telah menyebutkan

bahwa “orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi”. Pengaturan ini selanjutnya diikuti dengan pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana

yang dapat dilakukan korporasi dalam pasal 74 yang berbunyi:

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72.

Pengaturan mengenai korporasi dalam UU No. 26 Tahun 2007 telah

menunjukkan bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana, namun pengaturan

ini belum secara eksplisit menjelaskan korporasi manakah yang dirujuknya

148

Loebby Loqman, op.cit, hlm 109.

149

Muladi dan Dwidja Priyatno, op.cit, hlm. 60. Perundang-undangan di luar KUHP itu dinamakan perundang-undangan pidana khusus, yaitu semua perundang-undangan di luar KUHP yang mengandung ketentuan pidana. Sedangkan perundang-undangan pidana umum adalah KUHP dan semua perundang-undangan yang mengubah atau menambah KUHP. Lihat juga Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 5.

150

(34)

sebagai subjek dalam Undang-Undang ini, apakah korporasi berbadan hukum atau

bukan berbadan hukum.

2. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 1 angka 33 UU No. 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa “setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum

maupun yang tidak berbadan hukum.” Selanjutnya pengaturan bahwa korporasi dapat dipidana diatur dalam pasal 116 ayat (1):

Pasal 116

(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

a. badan usaha; dan/atau

b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

Istilah korporasi tidak secara eksplisit digunakan dalam UU No. 32 Tahun

2009, istilah yang dipergunakan adalah badan usaha, yang sesungguhnya

mengacu pada istilah korporasi, sebagai suatu subjek yang dapat bertindak dan

dapat mempertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang dilakukannya.

Korporasi atau dalam hal ini badan usaha pun dimaknai secara luas, yaitu

berbadan hukum dan bukan berbadan hukum.

3. Undang-Undang Kehutanan

Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan menyebutkan bahwa: “setiap

orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan

(35)

berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia”. Selanjutnya korporasi sebagai subjek tindak pidana juga dapat dilihat dalam pengaturan Pasal 119 ayat (1) dan

(2), yang berbunyi:

Pasal 109

(1) Dalam hal perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan/atau penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

(2) Perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang perorangan, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik secara sendiri maupun bersama-sama.

UU No. 18 Tahun 2013 telah secara eksplisit menegaskan bahwa

korporasi merupakan suatu entitas yang dapat melakukan tindak pidana, dan dapat

melakukan pertanggungjawaban pidana. Korporasi yang dimaksud dalam

Undang-Undang ini adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 22, yakni

korporasi berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum.

4. Undang-Undang Tentang Perkebunan

Sejalan dengan ketiga Undang-Undang yang telah diuraikan sebelumnya,

UU No. 39 Tahun 2014 juga menyebutkan secara eksplisit bahwa: “Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun

yang tidak berbadan hukum.” Aturan yang telah mengartikan korporasi dalam pemaknaannya secara luas ini, juga diikuti aturan tentang pertanggungjawaban

pidana korporasi yang tercantum dalam Pasal 113 ayat (1), yang berbunyi:

Pasal 113

(36)

Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda dari masing-masing tersebut.

Pengaturan ini berbeda dengan Undang-Undang Perkebunan sebelumnya,

yakni UU No. 18 Tahun 2004 yang telah dicabut. UU No. 18 Tahun 2004 sama

sekali tidak menyebutkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat

mempertanggungjawabkan perbuatannya secara langsung. Pada Pasal 1 Angka 4

memang telah dijelaskan bahwa “pelaku usaha perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan.” Kemudian yang dimaksud dengan perusahaan perkebunan dijelaskan pada Pasal 1 Angka 6 yang

berbunyi: “Perusahaan perkebunan adalah pelaku usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan skala

tertentu.” Kedua pasal dalam UU 18 Tahun 2004 ini sebenarnya telah menerangkan bahwa sesungguhnya perusahaan atau yang dalam peraturan lain

lazim disebut sebagai badan usaha merupakan subjek hukum di bidang

perkebunan. Akan tetapi timbul kerancuan ketika bab mengenai ketentuan pidana

justru memakai frasa “setiap orang”151

yang mana tidak dijelaskan sama sekali

dalam bab ketentuan umum tersebut mengenai siapakah yang dimaksud dengan

“setiap orang” tersebut. Kemudian, apabila mencermati bab ketentuan pidana

dalam UU No. 18 Tahun 2004, memang tidak ada menyebutkan sama sekali

mengenai pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, sehingga dapatlah

151

(37)

disimpulkan bahwa UU No. 18 Tahun 2004 belum mengklasifikasikan korporasi

sebagai subjek hukum pidana.

Melalui perbandingan beberapa undang-undang khusus di atas, terlihat

bahwa pengaturan tentang korporasi belum seragam. Nampaknya pembentuk

Undang-Undang belum dapat menentukan sebuah defenisi konkrit mengenai

korporasi sehingga dapat dijadikan acuan bagi aturan perundang-undangan secara

umum.

Perkembangan pengakuan terhadap korporasi sebagai subjek hukum

pidana tampak sudah mendunia dan telah dibuktikan, antara lain, dengan

diselenggarakannya konferensi internasional ke-14 mengenai Criminal Liability of

Corporation di Athena pada tanggal 31 Juli - 6 Agustus 1994. Pada konferensi

tersebut, misalnya Finlandia yang semula tidak megatur korporasi sebagai subjek

hukum pidana tetapi dalam perkembangannya telah mengakui korporasi sebagai

subjek hukum pidana, dan dapat dipertanggungjawabkan.152

Semakin kuatnya pendirian banyak negara untuk menetapkan korporasi

sebagai subjek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana dan

kedudukannya yang tidak hanya di dalam hukum pidana khusus, membuat

Indonesia mulai menerima pendirian demikian. Melalui Rancangan

Undang-Undang KUHP 2012, Indonesia telah mengatur tentang pengertian korporasi

dalam ketentuan umum Buku I. Adapun pasal-pasal yang dimaksud adalah

sebagai berikut:

152

(38)

Paragraf 6 Korporasi Pasal 47 Korporasi merupakan subjek tindak pidana.

Pasal 48

Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Pasal 49

Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

Pasal 50

Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu perbuatan yang dilakukan untuk dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang bersangkutan.

Pasal 51

Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.

Pasal 52

(1) Dalam mempertimbangkan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.

(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dalam putusan hakim.

Pasal 53

Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan kepada korporasi.

Perubahan aturan-aturan hukum pidana nasional yang terlihat dalam RUU

KUHP, dilakukan dalam rangka pembaharuan sistem hukum pidana nasional.153

153

(39)

Rancangan KUHP tahun 2012 ini menghapus keragu-raguan dan sekaligus

menegaskan kedudukan subjek hukum korporasi dalam hukum pidana Indonesia.

C. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Dalam usaha untuk mencapai keuntungannya, sebagaimana telah

dipaparkan sebelumnya, korporasi melakukan segala kegiatan usahanya dengan

menganut hirarki organisasi. Perbuatan yang memang ditujukan untuk

memberikan keuntungan dilakukan oleh mereka yang menduduki posisi tertentu.

Inilah yang menjadi salah satu alasan munculnya perkembangan doktrin

pertanggungjawaban pidana oleh korporasi. Doktrin ini digunakan untuk mencari

cara bagaimana korporasi dapat dimintai pertanggungjawabannya melalui

perbuatan pribadi atau pihak tertentu yang mempunyai hubungan dengan

korporasi.

Langkah pertama untuk menerapkan pertanggungjawaban pidana

korporasi diambil oleh negara-negara Common Law seperti Inggris, Amerika

Serikat dan Kanada, dikarenakan revolusi industri terlebih dahulu terjadi pada

negara-negara ini. Tanpa mengingat keengganan semula untuk menghukum

korporasi,154 pengakuan terhadap pertanggungjawaban pidana korporasi oleh

(criminal responsibility) baik dari pelaku berupa manusia alamiah (natural person) maupun korporasi (corporate criminal responsibility) dan pidana serta tindakan yang dapat diterapkan.

154

(40)

pengadilan Inggris dimulai pada tahun 1842, saat korporasi didenda karena gagal

dalam menjalankan tugasnya menurut peraturan perundang-undangan.155

Beberapa kurun waktu, pengadilan Inggris memakai doktrin respondeat

superior atau vicarious liability, dimana tindakan bawahan/subordinat

dilimpahkan kepada korporasi. Meskipun demikian, tanggung jawab eksplisit

hanya digunakan dalam kasus-kasus pelanggaran tertentu, dan kemudian

digantikan oleh teori identifikasi (identification theory).156

Sistem hukum Anglo-Saxon telah menciptakan dua bentuk dasar untuk

meminta pertanggungjawaban korporasi, yaitu vicarious liability dan

identification doctrine. Kedua bentuk ini berasal dari ranah hukum perdata yang

diserap dalam hukum pidana, walaupun identification doctrine dibentuk melalui

pemikiran hukum pidana. Walapun terdapat perbedaan yang mendasar dari

keduanya, dalam hal esensi, struktur, dan untuk sebagian besar jangkauannya,

kedua bentuk pertanggungjawaban ini ingin mengadaptasi dan mengimitasi

bagaimana pertanggungjawaban pidana yang dikenakan pada manusia kodrati.

Akan tetapi perkembangan pemikiran manusia menimbulkan berbagai doktrin

baru mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi tersebut, yang dapat

diuraikan sebagai berikut:

1. Vicarious Liability

Lazim disebut dengan pertanggungjawaban pengganti, diartikan sebagai

pertanggungjawaban menurut hukum seorang atas perbuatan salah yang dilakukan

oleh orang lain. Barda Nawawi Arief berpendapat bahwa vicarious liability adalah

155

Ibid.

156

Referensi

Dokumen terkait

Proses pengambilan data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode geolistrik tahanan jenis dengan menginjeksikan arus listrik di permukaan bumi melalui

Variabel Usia Kawin Pertama (X1) memiliki pengaruh positif dan tidak signifikan terhadap fertilitas. (Y) pada wanita pekerja di kota Palangka Raya dalam hal

Histon adalah protein yang mempunyai sifat basa dan dapat larut

28,29 Data from experimental models of chancroid suggest that these lesions should be responsive to azithromycin, 31 and therefore, that mass distribution of azithromycin for yaws

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tarif Layanan Badan

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud lalam huruf a sampai lengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tarif Layanan Balan

PENENTUAN HARGA POKOK PRODUK YANG MEMPERHITUNGKAN PRODUK DALAM PROSES (PDP) AWAL DI DEPARTEMEN PERTAMA DAN DEPARTEMEN

Dalam melakukan analisis pemeringkatan website PT Lion Air, PT Garuda Indonesia dan PT Sriwijaya Air, penulis menggunakan tools pemeringkatan web yaitu Alexa Rank untuk