• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TELAAH ULANG DOKUMEN

DOKUMEN INDONESIA

Perbandingan temuan dan kesimpulan yang dicapai oleh Laporan KPP HAM, Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) dan Keputusan Pengadilan HAM Ad Hoc

mengenai terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan dan persoalan tanggung jawab institusional terkait kejahatan-kejahatan tersebut menunjukkan beberapa persamaan, yaitu:

• Ketiga dokumen menemukan bahwa dalam periode sebelum dan sesudah Jajak Pendapat tahun 1999 di Timor Timur telah terjadi pelanggaran HAM berat. • Ketiganya menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat telah dilakukan secara

meluas dalam hal cakupan geografis serta jumlah korban.

• Ketiga dokumen juga menemukan bahwa hal tersebut menjadi salah satu unsur penentu bahwa pelanggaran HAM berat berupa kejahatan kemanusiaan telah dilakukan.

• Ketiga dokumen menemukan bahwa pelanggaran HAM berat tersebut mencakup serangan langsung terhadap penduduk sipil dan hal ini menjadi unsur penentu lainnya untuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

• Dalam hal penyebab dasar kejahatan, ketiga dokumen menemukan bahwa kejahatan tersebut marupakan akibat dari tujuan politik yang saling bertentangan pada periode tersebut, yakni apakah Timor Timur akan tetap menjadi bagian dari Indonesia atau menjadi negara merdeka.

• Ketiga dokumen menemukan bahwa kejahatan-kejahatan tersebut memiliki unsur perencanaan.

• Ketiga dokumen menemukan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan secara langsung oleh milisi pro-integrasi.

• Keterlibatan unsur-unsur angkatan bersenjata Indonesia dalam penyerangan telah diakui dalam laporan KPP HAM dan Berkas Acara Penyidikan (BAP), namun terdapat perbedaan kesimpulan yang diuraikan dalam 12 Keputusan Pengadilan HAM Ad Hoc mengenai keterlibatan mereka.

• Dalam Laporan KPP HAM dan Berkas Acara Penyidikan (BAP), serta dalam beberapa Putusan, juga terdapat kesesuaian bahwa setidaknya terdapat dukungan diam-diam (tacit support) dari institusi-institusi Indonesia untuk kejahatan dengan pengabaian (by omission), yakni dengan tidak melakukan tindakan apapun guna mencegah atau menghentikan kejahatan, atau tidak mengambil tindakan apapun terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan tersebut.

Dapat disimpulkan bahwa bukti yang tersedia sudah cukup untuk mendukung temuan ketiga dokumen bahwa pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi sejak bulan Januari sampai September 1999 di Timor Timur. Selain itu, juga dapat disimpulkan bahwa dalam proses yudisial Pengadilan HAM Ad Hoc upaya untuk menemukan kebenaran serta menentukan pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan

semakin menyempit dan tidak memadai. Faktor-faktor berikut mencerminkan atau menyebabkan kecenderungan tersebut:60

1. Penyempitan tempus dan locus berarti pada setiap proses, mulai Januari sampai September 1999 terkait 16 kasus utama dalam laporan KPP HAM sampai lima insiden yang terjadi dalam periode April – September 1999 pada tahap penyidikan dan persidangan.

2. Pengurangan secara signifikan bukti yang telah disidik dan disajikan. Meskipun KPP HAM melaporkan telah mewawancarai lebih dari 130 saksi, mengumpulkan lebih dari 1000 dokumen, serta menggunakan data sekunder dan tersier, BAP

hanya menyertakan 45 dokumen, dan Penuntut Umum bahkan mengajukan jauh lebih sedikit bukti dalam persidangan. Jumlah saksi dengan kesaksian yang relevan dan kredibel selama persidangan begitu sedikit, sampai-sampai beberapa Majelis Hakim berulang kali meminta Jaksa untuk menghadirkan lebih banyak saksi dan bukti.

3. Kegagalan penyidikan, penuntutan, dan sebagian besar Majelis Hakim untuk mempertimbangkan konteks kejahatan tertentu atau untuk menganalisis hubungan antara insiden atau pihak-pihak yang terlibat. Faktor ini telah sangat berpengaruh pada kesulitan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mencapai temuan yang jelas dan kredibel serta putusan akhir berkenaan dengan tanggung jawab institusional.

Berdasarkan analisis bukti, kesaksian dan putusan hukum yang dibahas pada bab ini, bukti mendukung kesimpulan ketiga dokumen dimaksud bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi. Di luar itu, temuan dan putusan Pengadilan HAM Ad Hoc yang saling bertentangan serta putusan-putusan Pengadilan Banding dan Mahkaman Agung berikutnya telah menciptakan suatu keadaan di mana terdapat banyak perbedaan mengenai eksistensi atau lingkup dari tanggung jawab institusional. Sementara laporan KPP HAM menengarai bahwa tanggung jawab dimaksud mencapai tingkat teratas dalam otoritas militer dan politik Indonesia, laporan tersebut tidak menyebut bukti konklusif spesifik guna membuktikan kesimpulan-kesimpulan dimaksud secara meyakinkan. Tentu saja hal ini bukan merupakan tanggung jawab KPP HAM, melainkan tanggung jawab Pengadilan HAM Ad Hoc, suatu tugas yang sebagian besar gagal mereka wujudkan. Pada sisi lain, BAP juga telah gagal memanfaatkan begitu banyak bukti yang berhasil dikumpulkan oleh KPP HAM ataupun bukti-bukti dari sumber-sumber lain. Memang benar, kurangnya minat dan kerja sama KeJaksaan Agung dalam menggunakan bukti-bukti yang ada merupakan hal lain yang seharusnya dapat dihindari dengan mudah namun benar-benar telah menggagalkan proses yang berjalan. Terakhir, hal yang telah paling merusak upaya pengungkapan kebenaran adalah kegagalan Jaksa gagal mengajukan bukti dalam BAP ke hadapan Pengadilan pada sebagian besar persidangan. Kegagalan ini juga mencakup pemanggilan banyak saksi yang tidak dapat mendukung kasus mereka, atau mengajukan saksi yang justru menguntungkan pembelaan; kurangnya persiapan dan pengetahuan yang begitu mencolok mengenai bukti; kegagalan menggunakan bukti yang begitu mudah didapat, dan lain-lain. Dari sudut pandang tersebut, terlepas dari putusan yang dihasilkan, secara umum semua persidangan yang dijalankan di hadapan Pengadilan HAM Ad Hoc tidak dapat dianggap telah memberi kontribusi berarti bagi pengungkapan kebenaran mengenai tanggung jawab institusional atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di Timor Timur pada tahun 1999. Terdapat beberapa putusan pengadilan, seperti putusan dalam Kasus Adam Damiri, yang menemukan indikasi adanya tanggung jawab institusional. Meski demikian, temuan-temuan tersebut tidak menjadi fokus analisis Pengadilan mengingat tujuan mereka adalah untuk menilai tanggung jawab individual. Selain itu, beberapa putusan persidangan lain tidak membuat temuan yang menunjukkan dasar bagi tanggung jawab institusional. Oleh karena itu, kita perlu melihat bukti, temuan dan kesimpulan dalam pengadilan dan penyidikan di Díli untuk mengkaji lebih jauh mengenai tanggung jawab institusional.

Laporan Akhir CAVR bukan merupakan hasil suatu proses yudisial atau kuasi-yudisial. Batasan mandat ini perlu selalu diingat ketika membahas temuan dan kesimpulan Laporan Akhir CAVR. Karena hakikat mandatnya, CAVR tidak

melakukan penyelidikan dan pengumpulan bukti sebagaimana yang dilakukan oleh KPP HAM atau suatu Tim Jaksa Penuntut. Walau bermaksud untuk menetapkan kebenaran, karena sifat non-yudisial metodologi yang dugunakan, CAVR tidak menjalankan penyelidikannya sendiri untuk memverifikasi atau mengklarifikasi informasi dari ribuan individu yang telah memberi keterangan. Para pemberi

keterangan juga tidak diperiksa atau diuji-silang seperti layaknya suatu proses yudisial atau kuasi-yudisial. Selain itu, cakupan mandat CAVR jauh lebih luas bukan hanya tahun 1999, mencakup keseluruhan periode 1974-1999. Dokumentasi kekerasan tahun 1999 tidak menjadi tujuan utama Laporan Akhir CAVR dan pembahasan mengenai kekerasan pada periode itu hanya merupakan bagian kecil dari 2700 halaman Laporan tersebut. Selain menganalisis keterangan saksi, CAVR juga mengupayakan berbagai cara lain untuk memperdalam analisis serta mendukung temuan mereka. Misalnya, mereka mengadopsi Laporan Geoffrey Robinson (Laporan Robinson) yang, antara lain, menganalisis operasi militer Indonesia di Timor Timur, hubungan antara TNI dengan milisi pro-integrasi, kebijakan pemerintah Indonesia, serta lingkup, cakupan, dan pola kekerasan khusus untuk 1999. Selain menggunakan laporan berbagai LSM dan individu atau organisasi lain, CAVR juga memperoleh bantuan ahli dalam mengembangkan analisis statistik mengenai kekerasan tahun 1999. 63

Telaah Ulang Dokumen CAVR berjalan di bawah batasan akses tertentu. Komisi memperoleh akses terhadap Profil Komunitas dan akses juga diberikan untuk memeriksa (namun tidak untuk menyalin) transkripsi Wawancara Eksekutif dengan Xanana Gusmão dan Taur Matan Ruak untuk bagian-bagian yang relevan dengan tahun 1999. Selain itu, Telaah Ulang Dokumen juga menganalisis beberapa jilid formulir Proses Rekonsiliasi Komunitas CAVR yang terdapat pada Unit Kejahatan Berat. Dokumen-dokumen tersebut mecakup kesaksian para pelaku yang mendaftar untuk ikut dalam proses rekonsiliasi CAVR. Ketika kesaksian sudah dikumpulkan dari pendaftar, sebuah panel CAVR kemudian melakukan penilaian apakah pendaftar sudah layak untuk menjalani proses rekonsiliasi, yang juga melibatkan konsultasi formal dengan Kantor Jaksa Agung. Kesaksian-kesaksian tersebut diteruskan

kepada SCU untuk memutuskan apakah pernyataan pelaku mengandung informasi yang relevan dengan penyidikan kejahatan berat. Kantor Jaksa Agung kemudian melaporkan kembali kepada CAVR dengan membawa hasil penilaian mereka mengenai apakah tindakan para pelaku perlu diadili, ataukah tidak begitu serius dan layak untuk proses rekonsiliasi di tingkat komunitas. Namun demikian, CAVR tidak memberi akses terhadap keterangan saksi asli. Ketiadaan akses terhadap materi-materi tersebut sering tidak memungkinkan evaluasi atas dasar bukti yang melandasi beberapa temuan Laporan Akhir CAVR.

Laporan Akhir CAVR mencapai kesimpulan luas mengenai tanggung jawab individu

61 Bagian ini bersandar pada analisis lebih rinci atas Laporan Akhir CAVR dalam Laporan kepada KKP, Bagian II, Bab 7, dan

Adendum Laporan kepada KKP

dan organisasi. Salah satu kekuatan Laporan Akhir CAVR adalah banyaknya jumlah kesaksian korban dan saksi mata, dan kesaksian-kesaksian tersebut diringkas serta dikutip secara luas dalam Laporan Akhir CAVR. Hal ini sangat kontras dengan proses Pengadilan HAM Ad Hoc di mana hanya sedikit suara korban yang didengar dan sedikit sekali kesaksian dari saksi mata. Uraian kekerasan tahun 1999 yang sebagian besar didasari pernyataan-pernyataan seperti ini memberi gambaran dan sudut pandang penting yang kaya informasi dari orang-orang yang mengalami kekerasan secara langsung. Meski demikian, CAVR tidak memiliki mekanisme mandiri untuk menilai kredibilitas pernyataan saksi atau untuk memverifikasi tuduhan yang

terkandung dalam pernyataan tersebut, seperti dalam suatu proses yudisial. Selain itu, tidak seperti dalam proses yudisial, pelaku yang namanya disebut oleh para saksi tidak otomatis mendapat kesempatan untuk menyangkal tuduhan-tuduhan tersebut dan memberi sudut pandang mereka. Struktur seperti di atas jelas menunjukan bahwa hal ini memang merupakan metodologi suatu komisi kebenaran, bukan suatu pengadilan pidana. Meski demikian, kesimpulan CAVR mengenai tanggung jawab individual berada di luar dari cakupan mandat Komisi Kebenaran dan Persahabatan.

Contoh kesulitan yang dihadapi dalam mengevaluasi kesimpulan berdasarkan pernyataan saksi yang tidak diverifikasi dan dikoroborasi dapat dilihat dalam uraian CAVR mengenai pelanggaran HAM berat dalam kekerasan berbasis jender. Bagian Laporan Akhir CAVR tersebut merupakan contoh paling komprehensif mengenai upaya mendokumentasikan dan menganalisis kekerasan seksual yang dilakukan di Timor Timur pada tahun 1999.

Laporan Akhir CAVR mendokumentasi pemerkosaan berkenaan dengan penargetan perempuan yang memiliki hubungan dengan pendukung pro-kemerdekaan.

Meskipun demikian, rujukan pada pernyataan korban dan saksi acap kali begitu singkat sehingga pernyataan mereka sering tidak memberikan informasi memadai mengenai peristiwa yang terjadi. Karena selama Telaah Ulang Dokumen tidak diperoleh akses terhadap keterangan saksi asli, tidak mungkin untuk dapat

memastikan apakah pernyataan mereka mengandung rincian informasi yang tidak tercakup dalam ringkasan yang dirujuk, misalnya mengenai penargetan korban atau partisipasi aparat TNI, Polri atau Kopassus. Kesaksian mengenai kekerasan berbasis jender menggambarkan suatu penderitaan korban yang sangat mengerikan serta hubungan antara kekerasan seksual dengan bentuk pemaksaan lainnya dalam konteks konflik politik dan bersenjata. Meskipun demikian, sifat proses CAVR menghasilkan laporan di mana kesimpulan umum mengenai tanggung jawab atas kekerasan seksual didasarkan pada pernyataan korban tanpa verifikasi sebagaimana dalam suatu proses penyelidikan mendalam dan sistematis. Hal ini bukan berarti bahwa keterangan-keterangan saksi tersebut tidak benar atau tidak akurat, melainkan bahwa tidak ada proses mandiri untuk memeriksa kebenaran tuduhan-tuduhan mereka. Sebagaimana dicatat di atas, proses non-yudisial semacam ini memang sudah dimandatkan kepada CAVR, namun perlu diakui bahwa kesimplan yang dicapai melalui proses dimaksud memiliki batasan-batasan yang berbeda dibandingkan dengan yang didapat melalui suatu proses penyelidikan yudisial. Kalau CAVR menerima suatu tuduhan yang disampaikan korban sebagai sesuatu yang benar, suatu proses yudisial akan menguji kebenaran tuduhan tersebut. Akan tetapi, seperti yang akan terlihat, beberapa kesimpulan yang dicapai mengenai kekerasan berbasis jender dalam Laporan Akhir CAVR dibenarkan oleh penyidikan yang dilakukan oleh SCU.

tanggung jawab organisasi dan institusi. Meskipun demikian, kesimpulan umum ini sering kali tidak didukung oleh referensi spesifik terhadap dokumen, kesaksian, atau analisis.

Kesimpulan Laporan Akhir CAVR mengenai pelanggaran HAM berat bersandar pada analisis dasar pembuktian yang luas, didukung oleh analisis kuantitatif mengenai cakupan geografis, rentang waktu, dan demografis kekerasan. Kesimpulan bahwa berbagai macam kategori pelanggaran HAM berat telah terjadi terdokumentasi dengan sangat baik. Demikian pula dengan kesimpulan mengenai tanggung jawab institusional milisi-milisi pro-integrasi di mana terdapat sangat banyak bukti. Perihal tanggung jawab institusional Indonesia, kesimpulan Laporan Akhir CAVR sangat kuat dan hampir eksklusif melimpahkannya kepada TNI, khususnya kepada pemimpin senior tertentu. Dasar pemberian tanggung jawab kepada mereka adalah Laporan Robinson dan dakwaan-dakwaan SCU. Kelemahan kesimpulan Laporan Akhir CAVR adalah bahwa sering kali tidak ada kutipan atau rujukan pada dokumen atau bukti tertentu sebagai dasar kesimpulan. Sehingga kesahihan kesimpulan CAVR bergantung pada apakah bukti yang mereka rujuk dalam dakwaan SCU dan Laporan Robinson kemudian juga dapat dianggap sahih. Berkenaan dengan dakwaan SCU, penting untuk diketahui bahwa dakwaan merupakan tuduhan yang akan berusaha dibuktikan oleh Penuntut pada persidangan, bukan bukti itu sendiri. Sedangkan materi SCU yang mendukung dakwaan tersebut akan dipertimbangkan pada bagian berikutnya tentang SCU.

CAVR telah mengadopsi Laporan Robinson. Interpretasi laporan tersebut mengenai tanggung jawab institusional telah berpengaruh besar pada perumusan konsep CAVR mengenai peran milisi dan hubungan mereka dengan tanggung jawab institusional angkatan bersenjata Indonesia. Atas dasar alasan-alasan inilah laporan Robinson dibahas di sini, walau bukan merupakan salah satu dari empat laporan yang menjadi pokok pembahasan Telaah Ulang Dokumen. Kesimpulan Laporan Robinson yang paling berpengaruh bagi Laporan Akhir CAVR bertumpu pada argumennya bahwa;

Singkatnya, bukti-bukti ... mengajukan dukungan kuat untuk kesimpulan bahwa milisi bukanlah badan independen yang bertindak di luar jangkauan negara Indonesia, tetapi kenyataannya dibentuk, didukung, dan diarahkan oleh pihak-pihak berwewenang Indonesia.”63

Atas dasar kesimpulan ini Laporan Robinson menolak pandangan bahwa yang bertanggung jawab hanyalah “oknum-oknum” dalam angkatan bersenjata Indonesia. Kesimpulan ini didukung dengan memberi argumen bahwa hubungan erat antara TNI dan kelompok-kelompok milisi bukanlah sesuatu yang baru, melainkan

merupakan kelanjutan sistem yang sudah ada sejak 1975. Robinson juga berargumen bahwa perwira TNI telah secara aktif berperan dalam membentuk

kelompok-kelompok milisi dan bahwa milisi-milisi tersebut;

“... diberi kedudukan legal dan politik resmi baik oleh pemerintah Indonesia maupun oleh pihak berwenang militer. Pernyataan-pernyataan publik yang mendukung milisi, yang dibuat oleh sejumlah

63 CAVR Final Report, Annex 1: East Timor 1999 , Bab 6.3, h. 97. 64 Ibid.

pejabat, merupakan ungkapan tentang pengakuan dan dukungan resmi negara kepada kelompok-kelompok tersebut.”64

Dalam banyak hal, kesimpulan di atas mirip dengan kesimpulan yang dicapai KPP HAM mengenai hubungan antara milisi pro-integrasi dengan institusi militer Indonesia. Evaluasi atas kesimpulan-kesimpulan yang dicapai dalam Laporan

Robinson bergantung pada bukti yang mendasarinya. Metodologi Laporan Robinson adalah metodologi akademis serta memberi penekanan pada dokumentasi dan analisis. Laporan ini mengutip banyak bukti-bukti dokumenter dan kesaksian untuk mendukung kesimpulan, namun sulit untuk melacak keberadaan dokumen-dokumen tersebut dalam Arsip SCU atau di tempat penyimpanan lainnya. Dalam hal Arsip SCU, kesulitan ini muncul karena nomor klasifikasi dokumen yang digunakan Robinson ketika menulis laporannya sudah berubah. Juga terdapat kelemahan signifikan dalam sistem database SCU. Selain itu, Robinson memperoleh banyak dokumen dari arsip Yayasan HAK, namun Yayasan HAK tidak memberikan akses terhadap seluruh dokumen tersebut untuk diperiksa. Komisi kemudian dapat memperoleh akses kepada beberapa bukti yang digunakan dalam analisis laporan tersebut, dan dalam kasus-kasus tersebut laporan Robinson terlihat kredibel. Kekuatan laporan Robinson antara lain:

• Nuansa dan pendekatan metodologis yang saksama dan cukup berimbang. • Pembahasan mengenai sejarah dan pembentukan milisi tahun 1999

• Pembahasan singkat mengenai kekerasan struktural di Indonesia yang memberi sebuah konteks politik dan sejarah yang lebih luas untuk tahun 1999.

• Akses kepada dokumen dan analisis dokumen yang rinci.

• Keragaman dan jumlah sumber yang dikutip, diterjemahkan, dan didokomentasikan dengan baik.

• Argumentasi luas yang menawarkan teori-teori yang didukung bukti untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana pelanggaran HAM terjadi di Timor Timur pada tahun 1999.

• Pembahasan rinci mengenai bukti-bukti tentang pendanaan, serta bentuk dukungan lain yang diberikan kepada milisi, seperti pemberian status khusus. • Pembahasan rinci mengenai berbagai bentuk perbuatan dan tingkatan

akuntabilitasnya.

• Pembahasan rinci mengenai bagaimana teori tanggung jawab individual dan komando berkaitan dengan struktur komando dan struktur budaya yang relevan dengan Timor Timur.

Atas dasar kekuatan-kekuatan di atas dapat dipahami bahwa CAVR mengandalkan laporan tersebut untuk mendukung kesimpulan mereka sendiri. Namun, sebagaimana yang dicatat di bawah, CAVR seharusnya dapat melakukan lebih banyak analisis independen untuk mengkonfirmasi dan mendukung kesimpulan yang dicapai oleh Robinson.

Kelemahan Laporan Robinson antara lain:

• Laporan ini menerima tuduhan dalam dakwaan SCU tanpa dapat menguji dengan penuh nilai dari bukti dimaksud.

kadang lemah dalam merujuk keterangan saksi. Akan tetapi, banyak keterangan saksi baru tersedia setelah Laporan Robinson selesai ditulis.

• Laporan ini tidak sepenuhnya mengakui adanya batasan yang melekat dengan menggunakan kategori atau model ketat sebagai metodologi. Terkadang ada penjelasan yang tidak memadai atau mengizinkan faktor acak (randomness) atau pengecualian.

• Catatan kaki kini sulit dilacak atau diverifikasi karena perubahan-perubahan dalam sistem indeks pada SCU. Dokumen-dokumen lain tidak tersedia secara publik, seperti kutipan dokumen yang hanya dimiliki oleh penuli, atau dokumen lain yang disimpan hanya oleh Unit HAM PBB atau Yayasan HAK.

Berdasarkan Telaah Ulang Dokumen, termasuk berbagai dokumen CAVR yang dirinci di atas serta Laporan Robinson, kekuatan dan kelemahan Laporan Akhir CAVR dapat dirangkum sebagai berikut ini:

Kekuatan:

• Informasi latar belakang yang luas guna memahami pelanggaran tahun 1999 dalam suatu konteks historis dan budaya.

• Merupakan koleksi dan analisis data kualitatif yang paling menyeluruh mengenai pelanggaran HAM yang terjadi di Timor Timur pada tahun 1999.

• Membahas tanggung jawab institusional, baik institusi Indonesia maupun Timor-Leste.

• Merupakan satu-satunya pelaporan menyeluruh mengenai kejahatan seksual yang dilakukan pada tahun 1999.

• Mengetengahkan cerita-cerita korban untuk memberi nuansa kemanusiaan pelaporan pelanggaran HAM berat.

Sebagai rangkuman, Laporan Akhir CAVR merupakan sumber berharga guna

memahami berbagai peristiwa pada tahun 1999 karena dokumen ini menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif serta sudut pandang hukum dan historis dalam mencapai kesimpulannya.

Meskipun dokumen CAVR memberi dasar yang kuat bagi KKP untuk menilai “kebenaran” mengenai peristiwa tahun 1999, terdapat beberapa kelemahan dalam metode dan analisis CAVR, antara lain:

• Terlalu mengandalkan database HAM.

Meskipun database HAM merupakan alat yang secara umum memperkuat kualitas Laporan Akhir CAVR, database ini perlu digunakan dengan hati-hati. Database ini menyusun katalog ringkasan kesaksian, bukan kesaksian asli, sehingga pemahaman penuh atas suatu kejadian harus didasarkan pada kesaksian asli dan tidak hanya pada ringkasan yang ada dalam database. Melalui sejumlah kecil penelusuran database, proses Telaah Ulang Dokumen telah menemukan beberapa kesalahan, misalnya kesalahan dalam pemberian kode untuk jenis kejahatan atau hanya mencatat satu kejahatan tanpa mencatat kejahatan lain dalam sebuah kejadian. Satu-satunya cara akurat untuk mengkaji data statistik adalah dengan melihat setiap pernyataan untuk setiap kejadian, karena database akan mengembalikan semua referensi dengan menggunakan kata kunci dalam sistem penelusurannya.

Sebagai contoh, ketika memeriksa silang pernyataan Laporan Akhir CAVR bahwa tidak ada kejahatan seksual yang dilakukan oleh Falintil pada tahun 1999, penelusuran database menemukan lima kejadian kekerasan seksual yang dilakukan oleh Falintil. Hanya penelusuran rekam kejadian yang lebih saksama dalam tiap kasus yang menemukan bahwa kelima kejadian tersebut merupakan kesalahan teknis dalam pemberian kode, atau laporan yang tidak sahih. Perlu dicatat bahwa CAVR telah mengambil langkah-langkah untuk secara berkala mengevaluasi dan memperbaiki sistem database-nya selama periode mandatnya. Namun, tingkat kesalahan yang tinggi dalam contoh ini menunjukkan bahwa Database HAM harus digunakan dengan hati-hati. dengan sistem pemeriksaan silang untuk