• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRO-OTONOMI DI TIMOR TIMUR Kelompok-kelompok Pro-Kemerdekaan

KONTEKS HISTORIS, SOSIAL DAN POLITIK

PRO-OTONOMI DI TIMOR TIMUR Kelompok-kelompok Pro-Kemerdekaan

Organisasi pro-kemerdekaan terdiri dari organisasi politik maupun militer. Pada masa awal kehadiran militer Indonesia di Timor Timur, Fretilin merupakan satu-satunya organisasi politik pro-kemerdekaan. Melalui sayap militernya, Falintil (Forças Armadas de Libertação Nacional de Timor Leste), Fretilin menjalankan perlawanan bersenjata melawan kehadiran Indonesia di Timor Timur. Setelah kematian pemimpin Fretilin dan panglima tertinggi Falintil tahun 1978, serta pemimpin-pemimpin lainnya, pada tahun 1981 Xanana Gusmão mengambil alih kepemimpinan Fretilin. Tanpa

33 Hanoin Lorosae I (Mei 1999), No. Pol: R/Ren Ops/03/V/1999, Dili, 8 Mei 1999, Lampiran “Rencana Administrasi Logistik

Pada Rencana Operaasi Hanoin Lorosae 1999,” h.2.

34 Zacky Anwar Makarim, Hari-hari Terakhir Timor Timur: Sebuah Kesaksian, (Jakarta: Sportif Media Informasindo, 2003),

h.150.

35 Ibid

menghentikan perlawanan bersenjata Xanana mulai meningkatkan intensitas upaya perlawanan politik dan diplomatik serta menggabungkan semua kelompok-kelompok politik pro-kemerdekaan di Timor Timur.

Pergeseran kepemimpinan tahun 1981 ini juga menghasilkan strategi perang gerilya baru yang dilancarkan oleh unit-unit kecil yang tersebar di seluruh wilayah tanpa basis permanen. Fretilin berusaha membangun sebuah front bersatu dengan merangkul partai-partai di luar Fretilin atas dasar umum kemerdekaan. Conselho Revolucionário da Resistência Nacional (CRRN – Dewan Revolusioner Perlawanan Nasional) dibentuk untuk tujuan dimaksud dan pada tahun 1988 mengubah namanya menjadi Conselho Nacional da Resistência Maubere (CNRM – Dewan Perlawanan Nasional Maubere). Dengan membentuk front bersatu ini, perlawanan tidak lagi dipimpin oleh Fretilin melainkan CRRN kemudian oleh CNRM, dengan Kayrala Xanana Gusmão sebagai pemimpin. Fretilin hanya menjadi salah satu unsur dalam CNRM. Untuk memastikan bahwa perlawanan bersifat non-partai dan dapat mencakup seluruh orang Timor Timur, pada tahun 1987 Falintil memutus hubungan partai politiknya dengan Fretilin, dan Panglima Tertinggi Falintil Kayrala Xanana Gusmão keluar dari Fretilin. Dengan demikian, Falintil tanpa afiliasi dengan partai politik manapun menjadi sayap militer dari CNRM.

Pada pertemuan di Peniche, Portugal bulan April 1998, semua faksi pro-kemerdekaan Timor Timur sepakat untuk mengubah CNRM menjadi CNRT (Conselho Nacional da Resistência Timorense, Dewan Nasional Perlawanan Timor). Istilah ”Maubere” diganti menjadi ”Timorense” karena ada keberatan beberapa unsur non-Fretilin, khususnya UDT dengan penggunaan istilah Maubere yang terlalu identik dengan Fretilin.

Perubahan-perubahan struktural dalam organisasi kelompok pro-kemerdekaan juga berhubungan dengan perubahan umum dalam strategi politik mereka. Para pemimpin perlawanan mencapai kesimpulan bahwa kemerdekaan hanya dapat dicapai melalui suatu referendum yang disponsori oleh PBB. Di dalam PBB, Timor Timur masih diklasifikasi sebagai wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri, oleh karenanya masih tercantum dalam agenda dekolonisasi PBB. Para pemimpin perlawanan mengalihkan fokus mereka kepada PBB dan negara-negara anggota PBB yang berpengaruh dengan tujuan utama suatu solusi yang disponsori PBB bagi persoalan Timor Timur melalui pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri.

Strategi yang oleh pihak perlawanan disebut “solusi damai” dibahas pertama kalinya tahun 1983 pada masa “Kontak Damai” antara pemimpin perlawanan Timor Timur dengan Komandan Korem 164 Timor Timur.37 Pokok terpenting pendekatan ini adalah penarikan mundur pasukan Indonesia, pembentukan pemerintahan transisi dan sebuah referendum yang disponsori PBB.38 Dalam bentuknya yang lebih rinci, rekomendasi untuk solusi damai ini dipaparkan dalam dua dokumen CNRM tahun 1989 dan 1993.39

37 Saksi C, Dengar Pendapat Tertutup, September 2007

38 Jill Jolliffe, Timor, Terra Sangrenta (Lisboa: O Jornal, 1989), h.137.

39 “Readjustamento Estrutural da Resistência e Proposta da Paz” (1989). Xanana Gusmão, Timor Leste: Um Povo, Uma Pátria

(Lisboa: Editora Colibri, 1994), h.106-107, dan “Peace Plan” (1993) disampaikan oleh wakil khusus CNRM José Ramos-Horta kepada Uni Eropa dan PBB (James Dunn, East Timor: A Rough Passage to Independence [Loungeville: 2003], h. 338-339).

Kelompok-kelompok di bawah organisasi payung CNRT mengadopsi suatu strategi tiga front untuk mencapai tujuan mereka, yakni militer, diplomatik dan klandestin (perlawanan bawah tanah).

Melalui strategi militer, Falintil sebagai sayap militer organisasi pro-kemerdekaan, secara aktif melaksanakan aksi-aksi perlawanan bersenjata melawan pemerintah Indonesia di Timor Timur. Falintil membagi Timor Timur dalam empat wilayah (região) perlawanan. Região I meliputi seluruh distrik Lautém dan seluruh wilayah timur distrik Baucau. Região II meliputi distrik Viqueque, bagian barat distrik

Baucau, wilayah timor dan barat distrik Manatuto. Região III meliputi seluruh distrik Dili, Aileu, Same, Manatuto Utara, Ainaro Timur, Ermera Timur dan Liquiça Timur. Região IV mencakup distrik Bobonaro, Covalima, Ermera Barat, Liquiça Barat dan Ainaro Barat.40

Strategi diplomatik dilaksanakan antara lain oleh wakil-wakil gerakan Perlawanan di luar negeri. Mereka aktif dalam diplomasi internasional untuk mendukung kemerdekaan Timor Timur. Salah satu bidang diplomasi mereka paling signifikan adalah melalui Komisi HAM PBB.

Strategi Klandestin bergantung pada kegiatan kelompok-kelompok bawah tanah (klandestin) yang dibentuk oleh warga sipil di desa-desa dan kota-kota. Kelompok-kelompok ini bekerja secara mandiri satu sama lain namun berhubungan dengan unit-unit Falintil serta menyediakan dukungan logistik dan informasi. Selain itu, kelompok-kelompok klandestin terlibat dalam kancah politik dengan menyelenggarakan demonstrasi dan mengumpulkan informasi mengenai situasi politik dan pelanggaran HAM di Timor Timur untuk menyalurkannya ke organ-organ perlawanan Timor Timur di luar negeri. Selama dekade 1980 sebuah Komisi internal dibentuk untuk mengkoordinasi kegiatan kelompok-kelompok Klandestin tersebut, karena perannya dalam gerakan perlawanan menjadi semakin penting.41

Kelompok klandestin ini sebagian memiliki struktur “resmi” meskipun beroperasi secara bawah tanah, misalnya OJECTIL (Organização Juventude e Estudante Católica de Timor-Leste – Organisasi Pemuda dan Pelajar Katolik Timor Leste) yang bergerak di Timor Timur dan RENETIL (Resistência Nacional dos Estudantes de Timor-Leste – Perlawanan Nasional Mahasiswa Timor-Leste) yang bergerak di kalangan mahasiswa Timor Timur di kota-kota Indonesia di luar Timor Timur. Kelompok-kelompok ini dikoordinasikan oleh CE dan kemudian oleh CEL/FC (Comité Executivo da Luta/ Frente Clandestina – Komite Pelaksana Perjuangan/Front Bawah Tanah) yang setelah pembentukan CNRT diubah namanya menjadi FPI (Frente Política Interna – Front Politik Dalam Negeri). 42 Selain itu, juga terdapat kelompok-kelompok tidak resmi yang dibentuk oleh perorangan, mantan aktivis Fretilin atau gerilyawan Falintil, estafetas, yang masing-masing memiliki hubungan mereka sendiri dengan unit-unit gerilyawan Falintil di hutan.

Organisasi tertinggi perlawanan Timor Timur tahun 1999 adalah CNRT sebagai

40 Makarim, Hari-hari, h.80.

41 Comité Executivo de CNRM na Frente Clandestina (CNRM Executive Committee of Underground Front) atau lebih dikenal

sebagai CE. Sesudah peristiwa Santa Cruz bulan November 1991, CE digantikan oleh Comité Executivo da Luta/Frente Clandestina (CEL-FC).

organisasi payung bagi seluruh kekuatan pro-kemerdekaan. Pada tingkat pusat, CNRT dibentuk oleh empat badan, yakni, Komisi Politik Nasional, Komisi

Eksekutif, Komando Falintil dan Komisi Yurisdiksi dan Pengawasan.43 Komisi Politik Nasional merupakan badan dengan kekuasaan untuk membuat keputusan mengenai strategi dan untuk memimpin pelaksanaannya. Badan ini beranggotakan wakil-wakil dari partai-partai politik (Fretilin, UDT, Apodeti Pro-Referendum, KOTA, Partido Trabalhista) serta wakil-wakil dari organisasi-organisasi non-partai. Ketua Komisi Politik Nasional juga bertindak dalam kapasitas sebagai Ketua Komisi Eksekutif dan Panglima Falintil.

Komisi Eksekutif merupakan organ CNRT dengan wewenang melaksanakan keputusan-keputusan Komisi Politik Nasional. Di dalam Komisi ini terdapat Departemen Luar Negeri, Departemen Administrasi dan Sumber Daya, dan Departemen Pemuda. Jabatan-jabatan dalam Komisi Eksekutif diisi oleh individu-individu dari anggota CNRT, anggota partai-partai politik dan organisasi-organisasi non-partai. Tugas-tugas dari Komando Falintil adalah untuk mempercepat perjuangan bersenjata. Akan tetapi otoritas operasional pada saat itu dipegang oleh Kepala Staf di hutan Timor Timur, mengingat Panglima Tertinggi berada di penjara di Indonesia. Sejak pemisahan dengan Fretilin tahun 1987 Falintil terdiri dari orang-orang tanpa afiliasi partai politik resmi. Komisi Yurisdiksi dan Pengawasan bertugas mengawasi tiga organ lainnya, karena itu mereka berada dalam posisi yang independen terhadap ketiga organ lainnya.

Dalam melaksanakan kegiatannya, CNRT membagi Timor Timur menjadi lima wilayah (regiões), yakni Região 1 (Lautém dan sebagian besar Baucau), Região 2 (sebagian Baucau, seluruh Viqueque, dan sebagian Manatuto), Região 3 (Aileu, sebagian Manatuto, dan Ainaro), Região 4 (Ermera, Liquiça, Covalima, dan Bobonaro), dan Região Autonom (Dili dan Oecussi). Masing-masing região berada di bawah Comando Região (Komando Wilayah), yang selanjutnya dipimpin oleh seorang Comandante da Região (Komandan Wilayah) dan Secretário da Região (Sekretaris Wilayah), kecuali Região Autonom Dili dan Oecussi yang hanya dipimpin oleh Secretário da Região. Comandante Região bertanggung jawab atas perjuangan bersenjata dan memberi komando kepada unit-unit pasukan Falintil yang jumlahnya bervariasi antara região berbeda. Secretário da Região bertanggung jawab untuk perlawanan sipil dan memimpin organ-organ yang diorganisasi sesuai wilayah kerja masing-masing.

Setiap região dibagi lebih lanjut menjadi sub-região yang masing-masing mencakup satu distrik (kabupaten). Setiap sub-região dipimpin oleh seorang Secretário de Sub-Região. Sub-região ini lebih lanjut dibagi menjadi sejumlah zona yang masing-masing mencakup sebuah sub-distrik (kecamatan). Organ di tingkat zona disebut CEZO (Comité Executiva da Zona, Komite Eksekutif Zona) yang dipimpin oleh seorang Secretário da Zona. Di bawah zona, organisasi perlawanan dibagi lebih lanjut menjadi sejumlah Nurep (Núcleo da Resistência Popular – Inti Perlawanan Rakyat) yang masing-masing mencakup satu desa. Masing-masing Nurep menjadi tanggung

43 “Conselho Nacional da Resistência Timorense: Estatutos” (anggaran dasar CNRT, disusun dan disahkan pada Konvensi

jawab Secretário da Nurep. Organ terkecil perlawanan disebut Celcom (Célula da Comunidade – Sel Komunitas) dan satu sel dibentuk di tiap-tiap aldeia (dusun). Setiap Celcom dipimpin oleh seorang Secretário de Celcom.

CNRT membentuk struktur ini mulai sel terkecil (Celcom) sampai ke tingkat zona sekitar awal tahun 1999, pada prinsipnya untuk meneruskan struktur CNRM yang sudah ada sebelumnya. Inovasinya adalah organisasi CNRT yang dibentuk di tingkat distrik, sub-região. Jika pada masa CNRM organ-organ ini bergerak di bawah tanah, maka di bawah CNRT organ-organ ini bergerak secara terbuka.

Falintil masuk kantonisasi pada bulan Agustus 1999. Satuan-satuan gerilya di Região I dikantonisasi di Atelari, di Região II dan III dikantonisasi di Waimori, sementara Região IV dikantonisasi di Poetete (Ermera) dan Odelgomo, desa Aiasa, (Bobonaro). Pada tahun 1999 kegiatan perjuangan di medan politik tidak diarahkan oleh satu organ tunggal dalam CNRT. Terdapat tiga jalur pengarahan. Pertama, pengarahan oleh struktur kewilayahan CNRT (Região, Sub-Região, Zona, Nurep, dan Celcom). Kedua, pengarahan oleh Departemen Pemuda dalam Komisi Eksekutif CNRT yang dilakukan terhadap organisasi-organisasi pemuda (RENETIL, OJECTIL, dan sebagainya) yang berada di bawah CNRT. Ketiga, pengarahan FPI (Frente Política Interna – Front Politik Dalam Negeri) yang dilakukan terhadap kelompok-kelompok yang di masa CNRM adalah sel-sel bawah tanah perlawanan. FPI dibentuk sekitar bulan Januari 1999 untuk menggantikan CEL/FC dalam rangka menghadapi

perkembangan politik baru setelah munculnya tawaran otonomi khusus dari Presiden Habibie. Organ ini berada di bawah pimpinan seorang Sekretaris dan dua orang Wakil Sekretaris.

Setelah pengunduran diri Presiden Soeharto, kegiatan politik di kota-kota di Timor Timur meningkat tajam dan dilakukan secara terbuka, peran Deputi Sekretaris menjadi lebih menonjol dibandingkan peran Sekretaris. FPI berada di bawah Komisi Politik Nasional CNRT dan Deputi Sekretaris menjadi anggota komisi ini.

Setelah penandatanganan Kesepakatan 5 Mei 1999, demonstrasi-demonstrasi digantikan oleh propaganda politik untuk menolak opsi pertama otonomi luas yang ditawarkan pemerintah Indonesia. Kegiatan penggalangan dana yang di masa lalu dilaksanakan secara tertutup untuk membantu kebutuhan logistik Falintil, kini berlangsung secara terbuka di mana-mana untuk mendukung kegiatan propaganda menentang opsi otonomi luas. Terjadi beberapa bentrokan antara

kelompok-kelompok pemuda pro-kemerdekaan dan pendukung pro-otonomi pada tahun 1999. Beberapa dari kelompok-kelompok pemuda ini mungkin memiliki afiliasi dengan CNRT. Namun demikian, bentrokan-bentrokan tersebut tampaknya bertentangan dengan kebijakan umum CNRT agar menahan diri.

Kelompok-kelompok Pro-otonomi

Secara umum, kelompok-kelompok pro-otonomi terdiri dari dua komponen.

Komponen pertama adalah kelompok sipil yang menjalankan aspirasi mereka melalui jalur-jalur politik. Komponen kedua terdiri dari kelompok sipil yang bertekad untuk menerima opsi status khusus dengan otonomi luas di Timor Timur. Kedua kelompok

ini sering tumpang tindih.

Kelompok-kelompok sipil yang memfokuskan kegiatannya melalui jalur-jalur politik dalam melaksanakan aspirasinya adalah mereka yang sudah aktif dalam sistem politik Timor Timur sejak wilayah ini menjadi bagian dari Indonesia. Kelompok-kelompok pro-otonomi ini merupakan pendukung integrasi yang juga mencakup beberapa mantan anggota Fretilin yang telah mengubah pandangan politik mereka serta mengakui integrasi Timor Timur dengan Indonesia.

Ada dua kelompok pro-otonomi yang beroperasi melalui jalur politik, yakni Front Persatuan Demokrasi dan Keadilan (FPDK) didirikan 27 Januari 1999, dan Barisan Rakyat Timor Timur (BRTT) didirikan 20 Mei 1999. FPDK dibentuk dengan tujuan untuk meyakinkan orang Timor Timur untuk menerima opsi otonomi, sementara BRTT menjadi organisasi payung bagi semua kelompok pro-otonomi, seperti

CNRT, yang menjadi organisasi payung bagi kelompok-kelompok pro-kemerdekaan. Beberapa bupati, camat dan kepala desa menjadi pemimpin FPDK atau BRTT di wilayah mereka masing-masing.

Dalam sebuah surat dari Menteri Pertahanan keamanan/Panglima TNI kepada Menkopolkam, dinyatakan bahwa kelompok-kelompok pro-integrasi perlu

memperoleh dukungan dari berbagai departemen atau institusi terkait untuk menjaga agar mereka tetap bersatu. Surat tersebut juga menyatakan bahwa

kelompok-kelompok pro-integrasi harus memprioritaskan dialog dan menghindari kekerasan yang dapat menjadi kontra-produktif dalam mencapai aspirasi mereka. Berkenaan hal ini BRTT dan FPDK kemudian bergabung dalam Front Bersama Pro-Otonomi Timor Timur (FBPOTT).44 Kelompok ini juga dikenal dengan nama United Front for East Timor (UNIF).

Selain kelompok-kelompok yang aktif terutama dalam kancah politik, juga terdapat perlawanan oleh kelompok-kelompok pro-otonomi bersenjata langsung di lapangan. Mereka membentuk kelompok-kelompok yang beranggotakan warga sipil untuk melawan kelompok pro-kemerdekaan. Sejumlah anggota Pamswakarsa, Wanra, dan Kamra yang sudah ada sebelumnya sebagai bagian dari Sishankamrata juga bergabung dalam kelompok perlawanan tersebut.

Kelompok-kelompok Wanra yang pernah aktif sebelumnya, dan juga ada pada tahun 1999, antara lain termasuk Halilintar (dibentuk tahun 1978) di Bobonaro; Makikit (dibentuk tahun 1986) di Viqueque; dan Tim Saka (dibentuk tahun 1986); Tim Alfa (dibentuk tahun 1986); dan Tim Sera (dibentuk tahun 1990-an).45 Kelompok-kelompok ini secara aktif membantu ABRI dalam melacak Kelompok-kelompok-Kelompok-kelompok pro-kemerdekaan yang ketika itu disebut oleh pemerintah Indonesia sebagai Gerakan Pengacau Keamanan, atau GPK. ABRI melatih dan melengkapi mereka dengan senjata. Tahun 1994, sebuah organisasi yang disebut Gadapaksi (Garda Muda Penegak Integrasi) juga dibentuk sebagai organisasi keamanan yang dilatih di bawah ABRI dan mendukung integrasi dengan Indonesia.

44 Menhankam/Panglima TNI, No.K/362/P/VI/1999 (15 Juni 1999) h. 4. 45 “Antara Timor Timur dan Timor Leste”, Kompas, 23 Agustus 1999.

Setelah pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberikan opsi otonomi luas kepada Timor Timur bulan Juni 1998, beberapa kelompok yang aktif dalam gerakan pro-otonomi tingkat lapangan dibentuk di beberapa kabupaten. Para pemimpin otonomi menganggap perkembangan ini sebagai tanggapan atas meningkatnya kegiatan kelompok-kelompok pro-kemerdekaan. Kelompok-kelompok bersenjata pro-otonomi tersebut adalah AHI di Aileu, Mahidi di Ainaro, Laksaur di Covalima, Aitarak di Dili, Darah Merah Integrasi di Ermera, Tim Alfa/Jati Merah Putih di Lautém, BMP di Liquiça, Mahadomi di Manatuto, ABLAI di Manufahi, Sakunar di Oecussi; juga termasuk beberapa kelompok Wanra yang dibentuk sebelum tahun 1999 dan mengaktifkan diri kembali pada tahun 1999. Semua kelompok-kelompok pro-otonomi ini kemudian membentuk organisasi payung yang disebut Pasukan Pejuang Integrasi (PPI). 46

4.4 TRANSISI POLITIK DI INDONESIA

Pada bulan Mei 1998 berlangsung serangkaian peristiwa politik bersejarah di Indonesia. Gerakan demonstrasi yang menuntut reformasi pada tahun 1998 dan memaksa presiden Soeharto mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa. Sesuai konstitusi, Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto. Peristiwa ini menandai permulaan transisi politik dari sistem politik otoriter menjadi demokratis.

Sejalan dengan proses demokratisasi, Indonesia memasuki era baru dalam kehidupan masyarakat dan berbangsa. UUD 1945 yang di masa lalu dianggap sakral,

diamandemen oleh MPR. Sistem pemerintahan sentralistis mulai bertransformasi menuju desentralisasi dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Rakyat bebas untuk menyuarakan pendapatnya dengan berbagai cara, termasuk dengan berdemonstrasi. Kontrol ketat yang sebelumnya diterapkan terhadap media dihilangkan. LSM-LSM yang dikekang di bawah Soeharto diberikan kebebasan untuk melaksanakan kegiatannya secara terbuka.

Pada saat itu ABRI mulai menjadi sasaran kritik tajam terkait tuduhan-tuduhan pelanggaran HAM di masa lalu. Berbagai tuduhan mulai dilontarkan berkenaan ekses-ekses operasi militer di daerah konflik seperti Aceh, Papua dan Timor Timur. Hal ini menimbulkan ketidakpastian di kalangan militer mengenai peran mereka dalam konteks yang berubah secara cepat.47 Di Aceh, pemerintahan Habibie menghapus kebijakan yang dikenal dengan istilah Daerah Operasi Militer dan Panglima Angkatan Bersenjata secara terbuka meminta maaf kepada rakyat Aceh

46 Lihat makalah untuk KPP HAM berjudul ”Profil dan Tantangan Pasukan Pejuangan Timor Timur” oleh João Tavares tanggal 18

Desember 1999, h. 2, yang antara lain mengatakan PPI mempunyai ciri sebagai suatu kumpulan dengan sifat organisatoris yang longgar, yang tidak mempunyai AD/ART, tidak mempunyai susunan dan struktur organisasi, tidak mempunyai satu kesatuan komando dan tidak mempunyai gaji. Hubungan antara anggota bersifat pribadi atas dasar senasib dan seperjuangan.

atas segala kesalahan prajurit-prajuritnya.48 Pada saat yang sama muncul tuntutan penghapusan doktrin dwifungsi ABRI yang telah memberi ABRI kekuasaan tanpa batas atas kehidupan sosial dan politik Indonesia. Dengan jatuhnya pemerintah Orde Baru, ABRI mengalami transisi besar sebagai militer yang berperan dominan dalam politik menuju militer di bawah supremasi sipil.

Pemerintah Habibie mengambil beberapa langkah penting untuk membatasi peran militer, seperti:49

a. Mengurangi jumlah wakil-wakil militer dalam lembaga legislatif. Bulan Januari 1999, pemerintah dan parlemen mengeluarkan undang-undang untuk mengurangi jumlah wakil militer di DPR dari 100 menjadi 38 dan menurunkan proporsi wakil militer di DPRD dari 20 menjadi 10 persen.

b. Penarikan pejabat militer aktif dari jabatan sipil. Sebagai bagian dari reformasi militer, Panglima ABRI mengeluarkan kebijakan bahwa sejak 1 April 1999, perwira aktif TNI yang memegang jabatan sipil harus mengundurkan diri dari dinas aktif militer atau menanggalkan jabatan sipil mereka.

c. Netralitas politik dalam pemilihan umum.50 Jika di masa lalu militer telah mendukung partai Golkar, tahun 1999 Panglima TNI menginstruksikan militer untuk menjaga netralitas dalam pemilihan umum.

d. Pemisahan Polri dari TNI, tanggal 1 April 1999, Presiden Habibie mengeluarkan kebijakan yang memisahkan Polri dari TNI sesuai Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999. Kebijakan pemisahan tersebut merupakan rangkaian kebijakan untuk meletakkan tanggung jawab keamanan di bawah Polri dan tanggung jawab pertahanan di bawah TNI, walaupun Polri masih tetap berada di bawah Departemen Pertahanan Keamanan.51

Semua perubahan tersebut memiliki dua tujuan perubahan mendasar dalam tubuh TNI, yakni: (1) untuk memusatkan peran TNI pada peran pertahanan nasional, dan (2) menghapus peran sosial politik TNI. Dua perubahan esensial ini dimaksudkan untuk mereposisi TNI dari perannya sebelum ketika itu, di mana TNI memandang dirinya sebagai pelindung bangsa dan negara. Pada praktiknya hal ini telah membuat TNI menjadi pilihan pertama dalam menghadapi segala persepsi ancaman, termasuk ancaman dalam negeri. Perubahan ini bermaksud membentuk suatu kekuatan militer profesional dengan peran tunggal pertahanan nasional (yakni terhadap ancaman dari luar), dan bekerja di bawah supremasi sipil.

Di Timor Timur, pergantian pemerintah Indonesia memungkinkan pengungkapan secara terbuka tuntutan untuk menyelenggarakan referendum dan kemerdekaan. Kelompok-kelompok yang sebelumnya bergerak di bawah tanah menentang kehadiran pemerintah Indonesia, kini melakukan kegiatan-kegiatannya secara terbuka. CNRT organisasi payung gerakan kemerdekaan, mendirikan kantor-kantornya di kabupaten-kabupaten dan melakukan kegiatannya secara terbuka. Ini

48 Human Rights Watch, “Aceh di Bawah Darurat Militer: Di Dalam Perang Rahasia,” Desember 2003, Vol. 15 (10 ), 9, http://

www.hrw.org/indonesian/reports/2003/12/aceh1203.pdf (diakses 9 April 2008).

49 International Crisis Group, Indonesia: Keeping the Military Under Control, ICG Asia Report No.9, 5 September 2000. 50 Pada tahun 1999, Pemilu diselenggarakan di seluruh Indonesia, termasuk di Timor Timur.

51 Pada hari ulang tahun Bhayangkara 1 Juli 2000, Presiden RI mengeluarkan keputusan No. 89/2000 yang melepaskan Polri

dari Departemen Pertahanan dan Keamanan dan menempatkannya langsung di bawah Presiden. Lihat “Sejarah Polisi,” http:// tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/04/21/nrs.20040421-01.id.html, (diakses 25 November 2007).

terjadi sejak sebelum keluarnya tawaran “otonomi luas” pada bulan Juni 1999 dan “dua opsi” pada bulan Januari 1999.

Berkenaan transisi politik internal dan keluarnya dua opsi yang menjadi kesepakatan internasional dengan ditandatanganinya Kesepakatan 5 Mei 1999, TNI harus mengubah sikapnya terhadap gerakan kemerdekaan yang selama ini dipandang