• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2 (Dahuri et al, 2001), sedangkan Kabupaten Kutai Timur sendiri memiliki garis pantai sepanjang 152 km (Bappeda Kutim, 2004). Dengan kekayaan laut sebesar ini selayaknya Indonesia menjadikan bidang kelautan sebagai tumpuan dalam pembangunan ekonomi nasional. Namun kenyataannya selama ini pembangunan perikanan dan kelautan, termasuk pemberdayaan masyarakat pesisir, selalu diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sectoral) dalam pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi masih dititikberatkan pada pembangunan di daratan (up land) yang terkadang melupakan dampaknya bagi wilayah pesisir. Kondisi ini masih ditambah lagi dengan karakteristik pesisir yang multiganda (multi use) dalam penggunaannya, sehingga konflik kepentingan menjadi tidak dapat dihindarkan. Kabupaten Kutai Timur sebagaimana umumnya daerah pesisir yang lain tidak terlepas dari kondisi tersebut.

Kabupaten Kutai Timur merupakan salah satu wilayah hasil pemekaran dari Kabupaten Kutai berdasarkan UU no. 47 tahun 1999, tentang pemekaran wilayah propinsi dan kabupaten, dan diresmikan oleh Mendagri pada tanggal 28 Oktober 1999. Sebagai kabupaten yang baru terbentuk, Kabupaten Kutai Timur memiliki banyak sumberdaya alam yang belum dimanfaatkan baik di darat maupun di laut. Sumberdaya yang terdapat di daratan antara lain pertambangan batu bara dan minyak bumi, hutan hujan tropis, termasuk hutan lindung Taman Nasional Kutai.

Sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir dan laut Kabupaten Kutai Timur antara lain ekosistem mangrove, ekosistem estuaria, ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem pantai berpasir. Ekosistem-ekosistem tersebut masing-masing memiliki fungsi ekologis yang sangat penting, serta kekayaan biota yang tinggi dan produktif. Garis pantai Kabupaten Kutai Timur sepanjang 152 km, dan berdasarkan pada UU No 22

Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Pasal 3 dan 10, maka sejauh 4 mil dari garis pantai tersebut pengelolaannya merupakan kewenangan Pemda Kutai Timur. Perubahan status dari kecamatan menjadi kabupaten menyebabkan perkembangan penduduk sangat pesat di daerah ini. Perkembangan penduduk ini pada akhirnya mendorong pembangunan wilayah yang juga semakin pesat. Pembangunan wilayah yang pesat ini, bila tidak didukung dengan perencanaan yang tepat, dikhawatirkan akan merusak kelestarian sumberdaya alam.

Sektor budidaya perikanan pesisir, saat ini merupakan sektor yang belum berkembang di Kabupaten Kutai Timur. Namun hal ini bukan berarti kawasan pesisir dan laut Kabupaten Kutai Timur tidak memiliki potensi yang dapat mendukung pengembangan budidaya perikanan pesisir. Garis pantai sepanjang ± 152 km dengan ekosistem pesisir yang kaya merupakan modal yang besar untuk budidaya perikanan pesisir.

Berdasarkan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Kutai Timur atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha Tahun 2000- 2005 (Lampiran 4), struktur ekonomi di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur saat ini didominasi oleh sektor pertambangan batu bara, yakni adanya PT Kaltim Prima Coal dan pertambangan minyak bumi oleh PT Pertamina, dengan angka PDRB sebesar Rp. 10.157.143.080.000,00 (82,36 % dari total PDRB tahun 2005). Sementara itu sektor perikanan mempunyai nilai PDRB hanya sebesar Rp. 89.747.690.000,00 (0,73 % dari total PDRB tahun 2005).

Permasalahan umum yang merupakan kendala dalam berkembangnya perikanan budidaya tersebut antara lain karena kebijakan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur dalam bentuk arahan tata ruang untuk pengembangan budidaya perikanan pesisir yang belum partisipatif. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) posisi Kabupaten Kutai Timur dalam pengembangannya termasuk dalam Kawasan Andalan Laut (KADAL) Bontang dan sekitarnya dengan sektor unggulan perikanan, pertambangan, dan pariwisata. Namun pembangunan daerah selama ini masih dititikberatkan pada sektor pertambangan.

Pemanfaatan sumberdaya perairan laut di kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur selama ini dilakukan tanpa perencanaan dan pengawasan yang baik,

seperti aktivitas tangkap lebih pada beberapa kawasan, penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan bahan kimia, konversi hutan mangrove menjadi tambak dan lain-lain. Salah satu bukti lain pengelolaan dan pengaturan pemanfaatan perairan laut di kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur belum dilakukan secara baik dan benar yaitu timbulnya berbagai konflik pemanfaatan ruang seperti antara kapal-kapal pengangkut batubara dengan petani budidaya karamba tancap, antara kegiatan budidaya rumput laut dengan aktivitas lalu lintas kapal-kapal nelayan, serta antara pemanfaatan hutan mangrove untuk tambak oleh penduduk dengan pengelola Taman Nasional Kutai (TNK). Untuk mengatasi konflik pemanfaatan ruang tersebut perlu disusun suatu rencana tata ruang yang menyeluruh dan terpadu bagi semua sektor yang terkait dengan wilayah pesisir. Dengan adanya penataan ruang ini diharapkan setiap sektor yang ada akan lebih terjamin keberlanjutan usahanya, termasuk sektor perikanan budidaya.

Perikanan budidaya, terutama budidaya yang berbasis pada perairan (water-based aquaculture), merupakan sistem yang terbuka, dimana interaksi antara unit budidaya dengan lingkungan perairan berlangsung hampir tanpa pembatasan. Selain itu sistem water-based aquaculture umumnya dilakukan di perairan umum (open acces) yang bersifat multi fungsi, sehingga bisa terkena dampak pencemaran atau menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan (agen pencemar). Keberhasilan perikanan budidaya sangat tergantung pada kondisi kualitas air, sedangkan air merupakan media yang sangat dinamis dan mudah terpengaruh dampak pencemaran dari lingkungan di sekitarnya, baik eksternal maupun internal. Oleh karena itu penzonasian wilayah perikanan budidaya dalam penataan ruang diharapkan dapat menghindarkan sektor budidaya dari sektor lain yang tidak berkesesuaian, sehingga pengembangan budidaya dapat menguntungkan dan berkelanjutan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka hal penting yang diperlukan adalah adanya identifikasi potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang mendukung kegiatan budidaya perikanan. Selain itu diperlukan suatu pengelolaan pesisir secara menyeluruh yang mencakup penyusunan zonasi dan arahan pengembangan kegiatan budidaya perikanan pesisir berdasarkan dengan kesesuaian lahannya dalam rencana tata ruang, sehingga diharapkan dapat

terlaksana pembangunan wilayah pesisir yang menguntungkan dan berkelanjutan, dengan memperhatikan fungsi preservasi, konservasi dan fungsi pemanfaatannya. Identifikasi dan Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam pengembangan perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan di Kabupaten Kutai Timur yang dapat mendukung kegiatan perikanan budidaya belum diidentifikasi. 2. Belum ada zonasi untuk perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten

Kutai Timur.

3. Faktor-faktor strategis yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur untuk kegiatan perikanan budidaya belum diidentifikasi.

4. Kebijakan yang dilakukan untuk mengarahkan pengembangan perikanan budidaya di kawasan pesisir Kabupaten Kutai Timur belum disusun secara terpadu dan berkelanjutan sesuai dengan peruntukan lahan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis kesesuaian lahan wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur untuk budidaya tambak, budidaya karamba, dan budidaya rumput laut. 2. Menilai kelayakan finansial pengembangan perikanan budidaya.

3. Mengidentifikasi faktor kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang mempengaruhi pengembangan kawasan perikanan budidaya.

4. Merumuskan strategi pengembangan kawasan perikanan budidaya di wilayah pesisir Kabupaten Kutai Timur.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Pemerintah Daerah, sebagai masukan dalam perencanaan dan pengembangan pesisir Kabupaten Kutai Timur untuk kegiatan budidaya, berdasarkan pada kondisi fisik dan sosial ekonomi yang ada sehingga dapat dilakukan perencanaan secara terpadu sesuai dengan peruntukannya.

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Ruang, Wilayah, dan Kawasan

Undang-undang Nomor 24/1992 tentang Penataan Ruang mendefinisikan ruang sebagai wadah kehidupan yang meliputi ruang daratan, laut, dan udara, termasuk di dalamnya tanah, air, udara, dan benda lainnya sebagai satu kesatuan kawasan tempat manusia dan mahkluk hidup lainnya melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya.

Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu: (i) jarak, (ii) lokasi, (iii) bentuk, dan (iv) ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah (Budiharsono, 2001).

Wilayah didefinisikan Budiharsono (2001) sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal dalam dimensi ruang yang merupakan wadah bagi kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak sama.

Definisi konsep kawasan menurut Rustiadi et al. (2006) adalah adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional.

Pengembangan Kawasan

Istilah pembangunan dan pengembangan digunakan dalam banyak hal yang sama, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah development, sehingga untuk berbagai hal, istilah pembangunan dan pengembangan dapat saling dipertukarkan.

Secara umum pembedaan istilah ”pembangunan” dan ”pengembangan” di Indonesia memang sengaja dibedakan karena istilah pengembangan dianggap mengandung konotasi ”pemberdayaan”, ”kedaerahan” atau ”kewilayahan”, dan ”lokalitas”. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ”pengembangan” lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam pengertian bahwa

pengembangan adalah melakukan sesuatu yang tidak dari ”nol’, atau tidak membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada tapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas (Rustiadi et al., 2006).

Secara filosofis, proses pembangunan dapat diartikan sebagai ”upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik” (Rustiadi et al., 2006).

Menurut Todaro (2000) yang diacu dalam Rustiadi et al. (2006), pembangunan harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahami pembangunan yang paling hakiki, yaitu kecukupan (sustenance) memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jatidiri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses dimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.

Terjadinya perubahan baik secara incremental maupun paradigma, menurut Anwar (2001) yang diacu dalam Rustiadi et al. (2006), mengarahkan pembangunan wilayah/kawasan kepada terjadinya pemerataan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (efficiency), dan keberlanjutan (sustainability).

Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu

Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang sangat kaya akan sumberdaya alam dan jasa lingkungan. Sumberdaya pesisir terdiri dari sumberdaya hayati dan nir-hayati, dimana unsur hayati terdiri atas ikan, mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan biota laut lain beserta ekosistemnya, sedangkan unsur non-hayati terdiri dari sumberdaya mineral dan abiotik lain di lahan pesisir, permukaan air, kolom air, dan dasar laut (Djais et al., 2002).

Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (Integrated Coastal Zone Management/ICZM) adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental service) yang terdapat di kawasan pesisir dengan cara melakukan penilaian menyeluruh (comprehensive assesment) tentang kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan pemanfataan guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaan ini dilakukan secara kontinyu dan dinamis, dengan mempertimbangkan segala aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspirasi masyarakat pengguna (stakeholders), serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir yang mungkin ada (Sorensen dan Mc Creary, 1990; IPPC, 1994 dalam Dahuri et al., 2001).

Lebih lanjut, Dahuri et al. (2001) mengatakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (ICZM) adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan (sustainable development). Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mencakup tiga dimensi: sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.

Sedangkan menurut Cicin-Sain (1998) pengelolaan pesisir diinter-pretasikan dalam dimensi keterpaduan kebijakan yang menekankan pada beberapa isu penting, yaitu: 1) keterpaduan antar sektor di dalam wilayah pesisir atau dengan wilayah lain, 2) keterpaduan antara wilayah darat dan laut dalam zona pesisir, 3) keterpaduan antar level pemerintahan (nasional dan lokal), 4) keterpaduan antar negara, 5) keterpaduan antar disiplin ilmu (ilmu alam, sosial, dan teknik).

Dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu, mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat, perencanaan vertikal dan horisontal, ekosistem darat dan lalut, sains dan manajemen, merupakan proses pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang mengacu pada pengelolaan yang berkelanjutan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut. Oleh karenanya pengelolaan dan pemanfaatan ruang wilayah

pesisir Kabupaten Kutai Timur harus terintegrasi dan harus melibatkan semua sektor serta stakeholders yang ada, sehingga dapat mencapai pembangunan yang berkelanjutan serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Penataan Ruang Pesisir

Dalam pengembangan lautan salah satu kegiatannya yang penting adalah menata ruang lautan untuk penggunaan multiganda (multiple use of ocean space) untuk: (i) menghindari konflik penggunaan ruang lautan, dan (ii) menjaga kelestarian sumberdaya yang terkandung di dalamnya (Rais et al., 2004).

Menurut Rustiadi et al. (2006) penataan ruang adalah upaya aktif manusia untuk mengubah pola dan struktur pemanfaatan ruang dari satu keseimbangan ke keseimbangan yang baru, yang ”lebih baik”. Penataan ruang pada dasarnya merupakan perubahan yang disengaja. Dengan memahaminya sebagai proses pembangunan melalui upaya-upaya perubahan ke arah kehidupan yang lebih baik, maka penataan ruang secara hakiki harus dipandang sebagai bagian dari proses pembangunan khususnya menyangkut aspek-aspek spasial dari proses pembangunan.

Penataan ruang dilakukan sebagai upaya: (1) optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya): prinsip efisiensi dan produktivitas, (2) alat dan wujud distribusi sumberdaya

Tata ruang wilayah pesisir merupakan pengaturan penggunaan lahan wilayah pesisir ke dalam unit-unit yang homogen ditinjau dari keseragaman fisik, non-fisik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, keamanan. Pengaturan penggunaan lahan diperlukan karena wilayah pesisir merupakan kawasan di permukaan bumi yang paling padat dihuni oleh umat manusia (Dahuri et al., 2001).

Tiga alasan ekonomis terkonsentrasi pembangunan di wilayah pesisir menurut Bengen (1999) adalah: (a) wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologis sangat produktif, (b) wilayah pesisir menyediakan berbagai kemudahan praktis dan relatif lebih mudah bagi kegiatan industri dan pemukiman dan kegiatan lainnya, dibandingkan dengan yang dapat disediakan daratan lahan

atas, (c) wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama yang menarik dan menguntungkan.

Sistem Teknologi Akuakultur

Sistem teknologi akuakultur didefinisikan sebagai wadah produksi beserta komponen lainnya dan teknologi yang diterapkan pada wadah tersebut serta bekerja secara sinergis dalam rangka mencapai tujuan akuakultur. Tujuan akuakultur adalah memproduksi ikan dan akhirnya memperoleh keuntungan. Memproduksi ikan berarti mempertahankan ikan bisa dan tetap hidup, tumbuh dan berkembang biak dalam waktu sesingkat mungkin hingga mencapai ukuran pasar dan bisa dijual. Komponen di dalam sistem teknologi akuakultru bekerja sinergis sehingga tercipta lingkungan terkontrol dan optimal bagi upaya mempertahankan kelangsungan hidup ikan serta memacu pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan (Effendi, 2004).

Menurut Effendi (2004), sistem akuakultur bisa dikelompokkan menjadi 2, yaitu sistem akuakultur berbasiskan daratan (land-based aquaculture) dan sistem akuakultur berbasiskan air (water-based aquaculture). Sistem budidaya yang termasuk dalam land-based aquaculture antara lain terdiri dari kolam air tenang, kolam air deras, tambak, bak, akuarium, dan tangki. Sedangkan sistem budidaya yang termasuk dalam water-based aquaculture antara lain jaring apung, jaring tancap, karamba, kombongan, long line, rakit, pen culture, dan enclosure.

Dalam sistem land-based aquaculture, unit budidaya berlokasi didaratan dan mengambil air dari perairan di dekatnya. Terdapat pembatas antara unit budidaya dengan perairan sebagai sumber air, minimal oleh pematang sehingga land-based aquaculture merupakan sistem tertutup (closed system). Faktor lingkungan eksternal yang mempengaruhi sistem produksi, seperti pencemaran, dapat direduksi dengan cara menutup aliran air masuk ke dalam sistem atau men-treatment air terlebih dahulu sebelum digunakan.

Berbeda dengan land-based aquaculture, unit budidaya water-based aquaculture ditempatkan di badan perairan (sungai, saluran irigasi, danau, waduk, dan laut) sehingga merupakan suatu sistem yang terbuka (open system), dimana interaksi antara ikan (unit budidaya) dengan lingkungan perairan berlangsung

hampir tanpa pembatasan. Selain itu sistem water-based aquaculture umumnya dilakukan di perairan umum (open acces) yang bersifat multi fungsi, sehingga bisa terkena dampak pencemaran atau menjadi salah satu sumber pencemaran lingkungan (agen pencemar). Konflik kepentingan dan isu lingkungan pada water-based aquaculture lebih sering muncul dan lebih rumit dibandingkan pada land-based aquaculture (Effendi, 2004).

Budidaya Perikanan di Wilayah Pesisir dan Laut

Budidaya laut atau marikultur adalah suatu kegiatan pemeliharaan organisme akuatik laut dalam wadah dan perairan terkontrol dalam rangka mendapatkan keuntungan. Budidaya laut merupakan bagian dari kegiatan budidaya perikanan (akuakultur) yang didefinisikan sebagai intervensi yang terencana dan sengaja oleh manusia dalam proses produksi organisme akuatik (Shell & Lowell, 1993) untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan sosial. Berdasarkan kepada habitat sumber air yang dimanfaatkan, budidaya perikanan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu budidaya air tawar (freshwater culture), budidaya air payau (brackishwater culture) dan budidaya laut (mariculture) (Pillay, 1990)

Tujuan budidaya laut adalah memproduksi makanan, meningkatkan stok ikan di laut (stock enhancement), memproduksi umpan untuk kegiatan penangkapan atau menghasilkan ikan hias (Tucker, 1998). Kegiatan budidaya laut untuk tujuan memproduksi makanan manusia sesungguhnya memiliki sejarah yang panjang terutama di Cina, Mesir, Romawi dan Eropa (Effendi, 2004), namun berkembang dengan cepat beberapa puluh tahun belakangan ini saja (Beveridge, 1996). Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain menurunnya produksi perikanan tangkap, sedangkan populasi manusia cenderung bertambah dengan. Budidaya perikanan diharapkan mengisi kekurangan kebutuhan protein akibat stagnasi dan menurunnya produksi perikanan sementara populasi manusia bertambah dengan cepat (Muir dan Roberts, 1985).

Kegiatan budidaya perikanan di wilayah pesisir dan laut sebagian besar adalah kegiatan usaha perikanan tambak, baik tambak udang, ikan bandeng, atau campuran keduanya. Selain itu, terdapat pula beberapa jenis kegiatan budidaya yang lain, seperti budidaya rumput laut, tiram dan budidaya ikan dalam keramba

(net impondment) (Bardach et al., 1972). Air merupakan media utama dalam kegiatan budidaya perikanan, oleh karena itu pengelolaan terhadap sumber-sumber air alami maupun non alami (tambak, kolam, dan lain-lain) harus menjadi perhatian utama dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut.

Dalam kegiatan budidaya perikanan laut terdapat beberapa tipe pembudidayaan yaitu:

1) Sea Ranching dan Restocking

Sistem terbuka terdiri atas kegiatan sea ranching dan restocking. Sea ranching adalah pemeliharaan ikan dalam suatu kawasan perairan laut yang terisolasi geografis secara alamiah. Kawasan karang dalam adalah suatu kawasan yang secara geografis dan alamiah mengisolasi ikan-ikan karang (demersal species), teripang, moluska dan krustasea (udang dan lobster). Secara reguler hatchery swasta melakukan kegiatan restocking beberapa benih ikan potensial kedalam kawasan sea ranching (Nurhakim, 2001).

2) Eclosure

Enclosure adalah sistem budidaya yang dilakukan di perairan laut dimana sebagian besar dinding wadah dari sistem tersebut merupakan dinding alam (teluk, perairan diantara beberapa pulau) dan sebagian kecil berupa dinding buatan manusia (man made) berupa jaring, pagar kayu atau batu (Beveridge, 1996; Pillay, 1990). Kepadatan organisme budidaya bergantung kepada jenis komoditas yang diusahakan dan daya dukung sistem. Prakteknya, budidaya dalam sistem enclosure ini tidak dilakukan pemberian pakan (no feeding), dan hanya mengandalkan kepada ketersediaan pakan alami. Kegiatan ini mengandalkan benih dari hatchery yang berlokasi di dekatnya. Output dari kegiatan ini adalah ikan ukuran konsumsi (5-12 bulan pemeliharaan) dan ikan ukuran bibit (2-3 bulan pemeliharaan) untuk keperluan pembesaran (fatening) di sistem cage culture atau pen culture. Sistem ini dilakukan oleh SDM dengan kemampuan pembudidayaan yang rendah.

3) Pen Culture

Pen culture adalah sistem budidaya menggunakan wadah dengan dinding buatan manusia yang terbuat dari jaring atau kayu, sementara dasar wadah berupa dinding alam (Beveridge, 1996; Pillay, 1990). Kepadatan

organisme budidaya bergantung kepada jenis komoditas yang diusahakan dan daya dukung sistem. Beberapa komoditas yang potensial dipeliharan dalam sistem ini adalah abalon, teripang dan ikan kerapu.

Prakteknya, budidaya dalam sistem pen culture ini bisa dilakukan pemberian pakan atau tanpa pemberian pakan (no feeding), dan hanya mengandalkan kepada ketersediaan pakan alami. Output dari kegiatan ini adalah ikan ukuran konsumsi (5-12 bulan pemeliharaan) dan ikan ukuran bibit (2-3 bulan pemeliharaan) untuk keperluan pembesaran (fatening) di sistem cage culture. Sistem ini dilakukan oleh SDM dengan kemampuan pembudidayaan menengah.

4) Cage culture

Cage culture adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring, baik mengapung (floating net cage) maupun menancap (fixed net cage) (Beveridge, 1996; Pillay, 1990). Semua dinding adalah buatan manusia. Sistem ini menggunakan padat penebaran ikan yang relatif tinggi, sehingga tergolong berteknologi intensif. Mengingat kepadatan ikan tinggi, maka dibutuhkan lokasi dengan sirkulasi air yang baik sehingga mampu mensuplai oksigen yang cukup bagi organisme budidaya dan ketersediaan pakan yang cukup. Sistem budidaya ini seyogyanya dilakukan oleh SDM dengan kemampuan pembudidayaan yang relatif tinggi. Sistem budidaya cage culture tergolong sistem budidaya intensif, sehingga dituntut pula pemberian pakan yang intensif dan pengguna benih yang bermutu (Gjedrem, 1988; Cowey &. Cho, 1991 dalam Soebagio, 2004).

Jaring apung adalah sistem budidaya dalam wadah berupa jaring yang mengapung (floating net cage) dengan bantuan pelampung dan ditempatkan di perairan seperti danau, waduk, laguna, selat, dan teluk. Sistem tersebut dewasa ini lebih dikenal dengan dengan nama karamba jaring apung (KJA). Komoditas akuakultur yang sudah lazim dibudidayakan dalam KJA di perairan laut antara lain kerapu, kakap, udang windu, bandeng, samadar dan ikan hias laut (Effendi, 2004).

Jaring tancap (fixed net cage) adalah sistem teknologi budidaya dalam wadah berupa jaring yang diikatkan pada patok yang menancap ke dasar peraiaran. Sistem ini ditempatkan di pantai perairan danau, waduk, laut, dan

sungai yang tenang yang memiliki kedalaman sekitar 3-7 m. Pada kedalaman perairan >7 m sulit untuk mencari patok dengan panjang >10 m. Penempatan sistem ini di perairan laut harus memperhatikan kisaran pasang surut pada saat pasang kantong jaring yang terendam bisa mengakibatkan ikan lepas keluar,

Dokumen terkait