• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

D. Drug Related Problems (DRPs)

Penatalaksanaan pasien rawat inap di rumah sakit perlu mempertimbangkan kerasionalan penggunaan obat, dalam memberikan pengobatan harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugian bagi pasien setelah pengobatan diberikan. Keuntungan yang diterima pasien setelah pemberian terapi sebaiknya lebih besar dibandingkan kerugian yang ditimbulkan. Kerugian yang dapat muncul antara lain seperti obat salah, efek samping obat, dosis terlalu rendah, dosis terlalu tinggi, obat tidak diperlukan sedapat mungkin diihindari sehingga tidak merugikan pasien. Interaksi obat juga perlu dimonitor untuk menjaga keamanan pasien.

Pada penelitian ini, studi kasus Drug Related Problems dilakukan dengan mengevaluasi kasus dan permasalahan yang timbul berkaitan dengan penggunaan obat dalam pengobatan pasien dengan Peptic Ulcer Disease (PUD) non spesifik sekunder di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito periode Januari 2013-Desember 2013. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi permasalahan terkait dengan penggunaan obat anti peptik untuk pengobatan pasien dengan PUD. Evaluasi dilakukan dengan mengikutsertakan hasil pemeriksaan hasil laboratorium terutama dengan melihat fungsi hati dan ginjal karena pasien umumnya sudah berusia lanjut atau sakit yang parah, serta mengalami penurunan fungsi organ ginjal dan hati sehingga perlu pengawasan terhadap pemberian dosis dan kondisi pasien. Secara umum, hasil evaluasi Drug Related Problems obat anti peptik pada pasien dengan Peptic Ulcer Disease non spesifik sekunder dapat dilihat pada Tabel V.

Tabel IV. Jenis DRPs Penggunaan Obat Anti peptik pada Pasien Rawat Inap dengan Peptic Ulcer Disease Non Spesifik Sekunder di RSUP Dr. Sardjito

YogyakartaPeriode Januari 2013 – Desember 2013

No Jenis DRPs Nomor kasus Jumlah kasus (n=20)

1. Obat tanpa indikasi

(unnecessary drug therapy)

8,11a, 11b, 15, 19, 20 6 2. Indikasi tanpa obat

(needs additional drug therapy)

- 0

3. Obat salah (wrong drug) - 0

4. Dosis kurang (dosage too low) -

5. Dosis berlebih (dosage too high) - 0 6. Interaksi dan efek samping obat

(drug interaction and adverse drug reaction)

Berdasarkan tabel, diketahui bahwa dari 20 kasus yang dievaluasi diperoleh 2 kategori DRPs yaitu : 6 kasus obat tanpa indikasi (unnecessary drug therapy), dan,3 kasus interaksi dan efek samping obat (drug interaction and adverse drug reaction).

1. Obat tanpa indikasi

Obat tanpa indikasi yaitu pemberian obat yang tidak diperlukan karena tidak sesuai dengan kondisi pasien, atau karena telah ada obat lain yang juga memiliki indikasi yang sama dengan obat tersebut. Drug Related Problems untuk poin unnescessary drug ini terjadi pada kasus 8,11a, 11b, 15, 19, dan 20. Pada kasus 8 (Lampiran 1, halaman 91), pasien mengalami stress ulcer menerima terapi ranitidine, PPI dan sucralfate untuk dikombinasikan. Pada tanggal 12 dan 13 malam terlihat bahwa pasien diberikan 3 obat peptik, ranitidine, PPI, dan sucralfate (untuk nama generik dan brand name obat, lampiran 4 pada halaman 131) secara bersamaan. Penggunaan obat golongan PPI dan H2RA (dalam hal ini ranitidine) bertujuan untuk mengurangi sekresi asam lambung hanya saja melalui mekanisme obat yang berbeda, dan sucralfate bertujuan untuk melapisi daerah yang mengalami inflamasi atau ulserasi sehingga dapat mempercepat penyembuhan (Wardanaiati, 2011). Dalam pengobatan peptic ulcer biasanya menggunakan terapi tunggal, namun pada beberapa kasus ada yang menggunakan dual therapy (terapi kombinasi 2 obat) (Dipiro, 2008), pemberian terapi kombinasi 2 obat ini disesuaikan dengan derajat luka ulkus yang dialami oleh pasien. Pada kasus ini pasien menerima 3 jenis obat anti peptik bersamaan, sehingga disarankan untuk memilih salah satu obat yang akan dikombinasikan.

Menurut Dipiro (2008), dan penelitian lain dari Cook (2013) mengatakan PPI lebih unggul daripada H2RA dalam mengatasi stress ulcer, sehingga peneliti menyarankan menggunakan kombinasi sucralfate dengan PPI (disesuaikan juga dengan Standar Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito (2005), selain itu penggunaan H2RA dan PPI bersamaan dianggap tidak meningkatkan efikasi terapi (Dipiro, 2009).

Pada kasus 11 (Lampiran 1, halaman 100) pasien mengalami melena, dan stress ulcer. Untuk mengobati stress ulcer pasien diberikan terapi injeksi ranitidine, injeksi PPI, dan sucralfate. DRPs yang terjadi adalah pada tanggal 1-4 dan 11-13 pasien menerima terapi H2RA dan PPI bersama-sama (11a) Penggunaan obat golongan PPI dan H2RA bersama-sama tidak menambah efikasi pemulihan ulkus (Dipiro,2008), sehingga disarankan untuk menggunakan salah satu obat. Standar Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito merekomendasikan untuk menggunakan PPI, kemudian pada tanggal 5 pasien menerima 2 jenis PPI untuk dikombinasikan dengan mukosa protektor untuk mengobati stress ulcer(11b). Penggunaan kombinasi PPI dengan mukosa protektor sudah tepat, tetapi penggunaan 2 jenis PPI kurang tepat. Menurut Dipiro (2008) dan Standar Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito (2005) untuk terapi stress ulcer hanya digunakan 1 jenis PPI, sehingga sebaiknya dipilih salah satu jenis PPI. Penggunaan PPI ganda juga terjadi pada tanggal 12-14. Penggunaan PPI ganda ini dapat saja terjadi (mungkin) dikarenakan dokter ingin mengganti terapi, tetapi perawat masih menuliskan terapi obat sebelumnya.

Pada kasus 15 (Lampiran 1, halaman 115), pasien dengan diagnosa utama intracerebral hemoraghic dengan stress ulcer. Untuk mengobati stress ulcer pasien diberikan terapi injeksi ranitidine 1 ampul setiap 12 jam, dan injeksi omeprazole 1 ampul setiap 12 jam. Menurut Dipiro (2008), kombinasi PPI dan H2RA kurang dianjurkan karena kedua obat merupakan obat yang bekerja menghambat produksi asam lambung dengan mekanisme yang berbeda,dan bila digunakan bersama-sama kurang efisien. Menurut Standar Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito (2005) menyarankan menggunakan obat golongan PPI untuk terapi stress ulcer. Sehingga sebaiknya dipilih salah satu obat yakni omeprazole.

Pada kasus 19 (Lampiran 1, halaman 126), pasien umur 8 tahun dengan gastroduodenitis dan ulkus peptikum. Untuk mengobati gastroduodenitis, pasien diberikan obat omeprazole, ranitidine dan sucralfate. Menurut Dipiro (2008), untuk mengobati ulkus peptikum dengan penyebab non H. pylori dapat digunakan dual therapy, umumnya kombinasi sucralfate dengan PPI. Dari rekam medis, diketahui pasien menerima 3 jenis obat yakni omeprazole, ranitidine dan sucralfate, sehingga sebaiknya dipilih dari salah satu obat dari ketiga obat untuk dikombinasikan. Penggunaan 3 obat tidak terlalu efektif untuk penyebuhan ulkus tetapi menambah biaya pengobatan.

Pada kasus 20 (Lampiran 1, halaman 129), pasien dengan diagnosa utama pneumonia dan diagnosa sekunder stress ulcer. Pasien mengalami sesak nafas dan menggunakan alat bantu nafas. Untuk mengobati stress ulcer, pasien diberikan obat ranitidine dan omeprazole. Menurut Dipiro (2008) pemberian terapi untuk stress ulcer dengan kombinasi PPI dan H2RA kurang tepat diberikan,

Standar Pelayanan Medis RSUP Dr. Sardjito (2005) lebih merekomendasikan pemberian PPI dosis standar 1x40 mg. Berdasarkan assessment ini, peneliti menyarankan untuk menggunakan PPI saja.

2. Interakasi dan efek samping obat

Interaksi dan efek samping obat dalam hal tertentu dapat memberikan efek positif maupun negatif. Poin DRPs interakasi dan efek samping obat terjadi pada kasus 5 (lampiran 1, halaman 79) dan kasus 20 (lampiran 1, halaman 129). Pada kedua kasus ini terjadi interaksi antara obat antibiotik ciprofloxacin dengan omeprazole. Pada kasus 5 interaksi obat terjadi pada pemberian bersamaan ciprofloxacin dan omeprazole pada tanggal 6 pagi, sedangkan pada kasus 20 terjadi pada tanggal 22 siang. Interaksi yang terjadi adalah omeprazole menurunkan level atau efek dari ciprofloxacin, dengan mekanisme interaksi tidak diketahui (unknown mechanism) (Medscape, 2015). Penurunan level efek(Cmax dan AUC) obat ciprofloxacinkarena berinteraksi dengan omeprazole bersifat berbeda tidak signifikan (antara penggunaan ciprofloxacin saja dengan ciprofloxacin-omeprazole) (Wedemeyer dan Blume, 2014).

Pada kasus 12 (lampiran 1, halaman 105), terjadi interaksi obat antara clopidogrel dengan omeprazole. Interaksi obat yang terjadi adalah omeprazole menurunkan efek dari clopidogrel dengan mempengaruhi enzim hepatik CYP2C19. Efikasi clopidogrel mungkin dipengaruhi oleh obat-obat yang menginhibisi CYP2C19. Inhibisi agregasi platelet oleh clopidogrel biasanya dalam bentuk metabolit aktif, untuk menjadi bentuk aktifnya clopidogrel dimetabolisme oleh CYP2C19 (Medscape, 2015). Ketika omeprazole diberikan

bersamaan dengan clopidogrel terjadi penurunan sebesar 42% dan 40% pada Cmax dan AUC metabolit aktif clopidogrel, dan tidak terdapat perbedaan signifikan ketika antara clopidogrel dan omeprazole diberikan terpisah selama 12 jam. Artinya pemberian 12 jam tidak mencegah terjadinya interaksi (Medsafe dan FDA, 2015).

Dokumen terkait