• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dua Puluh Satu

Dalam dokumen Autumn in Paris Ilana Tan (Halaman 109-112)

SEBULAN sudah berlalu sejak Tatsuya meninggalkan Paris. Walaupun tidak bisa mengembalikan hidupnya seperti sebelum ia mengenal Tatsuya, tapi Tara berusaha menjalani hari-harinya senormal mungkin. Tatsuya masih muncul dalam pikirannya setiap hari tanpa bisa dicegah, tapi Tara berusaha tidak sedih dan menangis lagi.

Tatsuya tidak pernah menghubunginya sejak meninggalkan Paris, jadi Tara tidak tahu bagaimana keadaannya. Tara tidak bisa menahan diri untuk penasaran, tetapi pada akhirnya ia meyakinkan dirinya sendiri keadaan seperti sekarang adalah yang terbaik.

Segalanya berjalan baik, setidaknya sebaik yang bisa dilakukan dalam situasi ini, sampai Tara menerima telepon yang mengabarkan berita buruk itu.

* * *

Mobil ayahnya mogok lagi sehingga Tara terpaksa harus menyetir mobil dan menjemput ayahnya karena mereka akan keluar makan bersama.

“Papa belum siap-siap?” tanya Tara begitu pintu apartemen ayahnya dibuka.

Ayahnya tersenyum meminta maaf dan berkata, “Maaf, ma chérie. Papa tadi ketiduran. Kalau

kau mau menunggu sebentar, Papa akan siap dalam beberapa menit.”

Tara melangkah masuk ke apartemen ayahnya sambil menggerutu, “Mana ada laki-laki yang meminta wanita menunggu? Biasanya Papa yang suka mewanti-wanti supaya aku tidak terlambat menjemput. Sekarang? Tapi tidak apa-apa. Aku akan menunggu dengan tenang dan sabar kalau Papa berjanji tidak akan mengomel soal mobilku. Asal tahu saja, mobilku belum sempat kucuci selama... aku lupa sudah berapa lama aku tidak mencuci mobil. Yang penting bagian dalam

mobilnya masih bersih.”

“Baiklah, Papa janji,” kata ayahnya cepat sebelum menhilang ke dalam kamar mandi.

Tara tersenyum kecut. Ia tahu ayahnya hanya berjanji agar ia berhenti menggerutu. Nanti ayahnya pasti mengomel juga begitu melihat kondisi mobilnya yang menyedihkan.

Ia menjatuhkan pantatnya ke sofa dan baru akan menyalakan televisi ketika telepon berdering. Ia menoleh sejenak ke kamar mandi, lalu ke arah telepon di meja kecil di samping televisi itu.

“Papaaaa!” panggilnya keras.

“Tolong jawab teleponnya, ma chérie,” ayahnya balik berseru dari kamar mandi.

Tara bangkit dan berjalan ke telepon. “Allô?” katanya begitu gagang telepon menempel di

telinga.

Allô?” suara seorang wanita membalas dengan nada ragu.

Tara mencibir. Pasti salah satu kekasih baru ayahnya.

“Eh... apakah... Monsieur Lemercier?” tanya wanita itu lagi. Suaranya terdengar gugup dan

jauh. Ditambah lagi ia mengucapkan kata-kata itu dalam bahasa Prancis yang payah sekali.

Tara baru akan membuka mulut, ketika ia tersentak. Lemercier? Kenapa wanita ini menyebut nama lama ayahnya? Siapa wanita ini?

“Siapa ini?” tanya Tara sambil mengerutkan kening.

Wanita itu tidak langsung menjawab. Sepertinya ia menjauhkan gagang telepon dan Tara bisa mendengar wanita itu berbicara dengan seseorang di dekatnya. Tara bisa mendengarnya, tapi tidak memahami kata-katanya, karena wanita itu berbicara dalam bahasa asing.

Allô? Siapa ini?” tanya Tara lagi.

Wanita itu kembali berbicara, “Inggris... oke?”

No problem,” kata Tara begitu menyadari wanita itu tidak bisa berbahasa Prancis.

Mendengar Tara bisa berbahasa Inggris, wanita itu mendesah lega dan kata-katanya mengalir lancar dalam bahasa Inggris berlogat asing. “I‟m calling from Japan and I‟m looking for Monsieur

Lemercier.”

Menelepon dari Jepang? Tara menahan napas dan melirik pintu kamar mandi. Ayahnya masih belum keluar.

I‟m Tara,” katanya sambil berusaha terdengar tenang. “My father cannot answer the phone right

now. Would you like to leave a message?

“Oh... Tara?” Suara wanita itu terdengar semakin jauh, tapi anehnya Tara merasa sepertinya wanita itu mengenalnya. “Tara Dupont?”

Tara mengerutkan kening. Wanita ini jelas tahu siapa dirinya. “Do I know you?”

No,” jawab wanita itu cepat. “Sorry. My name is Keiko and I‟m calling because of Tatsuya-san.

Tatsuya Fujisawa.” Nama itu...

He‟s very sick.”

Jantung Tara seakan berhenti berdetak. Apa katanya?

There‟s an accident at work. His father, Kenichi Fujisawa—he‟s standing beside me right now—he asked

me to call Monsieur Lemercier and tell him about this.”

Tara mulai panik.... Tubuhnya mendadak dingin.... Darahnya seakan terserap keluar dari tubuhnya. Kecelakaan? Kecelakaan seperti apa? Parahkah? Apa yang terjadi pada Tatsuya?

Can you come here? With Monsieur Lemercier? Come to Tokyo?”

Kenapa wanita ini meminta mereka pergi ke Tokyo? Kenapa? Jangan-jangan... Tidak, tidak. Ia tidak boleh berpikir yang tidak-tidak. Berpikir positif. Tarik napas... Jangan panik...

Why... how...,” Tara menelan ludah ketika mendengar suaranya sendiri terdengar serak dan

seperti tercekik. Banyak sekali pertanyaan yang melintas dalam benaknya, tetapi lidahnya terasa berat. Akhirnya ia hanya bisa bertanya, “How is he?... Is he okay?”

“He‟s in a coma.”

Gagang telepon itu terlepas dari tangan Tara dan jatuh dengan suara keras ke lantai.

“Ada apa? Victoria?” tanya ayahnya yang ternyata sudah keluar dari kamar mandi.

Tara tidak menjawab. Ia membiarkan ayahnya memungut gagang telepon itu. “Allô? Siapa

ini?”

Kaki Tara mendadak lemas dan tidak bisa menopang tubuhnya. Ia jatuh terduduk di lantai. Ia tidak punya tenaga untuk bicara ataupun bergerak. Napasnya terputus-putus. Sebelah tangannya menopang tubuhnya di lantai, sebelah tangan lagi memegang dada, berusaha menahan rasa sakit yang tiba-tiba menyerbu dirinya. Ia merasa dingin. Dingin sekali. Begitu dinginnya sampai

tubuhnya gemetar hebat. Pandangannya buram, pendengarannya tidak jelas, seakan telinganya disumbat, namun samar-samar ia bisa mendengar ayahnya masih berbicara di telepon.

Kepalanya berputar-putar. Ia mendongak dan melihat perabotan di sekelilingnya seakan nyaris jatuh dan menimpanya. Ia menarik napas sekali lagi. Hal terakhir yang didengarnya sebelum kesadarannya menghilang seluruhnya adalah ayahnya menyerukan namanya. Lalu segalanya menjadi gelap.

* * *

Yang pertama dilihatnya ketika ia sadarkan diri adalah langit-langit putih. Bukan langit-langit kamarnya. Tara menoleh ke samping dan mendapati ayahnya sedang duduk di dekatnya dengan raut wajah cemas. Kemudian otaknya mulai bekerja kembali dan ia ingat kejadian sebelum ia jatuh pingsan. Sekarang ia berbaring di sofa ruang tengah apartemen ayahnya. Ia bergegas bangkit, tapi gerakan tiba-tiba itu membuat kepalanya pusing.

“Kau sudah sadar, ma chérie?” tanya ayahnya sambil membantunya duduk.

“Bagaimana keadaannya?” Tara balas bertanya. Ia menatap kedua mata ayahnya dengan perasaan takut. “Ayah sudah bicara dengan wanita itu?”

Ayahnya mengangguk pelan.

“Ceritakan padaku, Papa,” desak Tara. Ia mengguncang-guncang lengan ayahnya.

“Kecelakaan itu sangat parah, ma chérie,” ayahnya memulai dengan suara serak. Itu pertanda

buruk. Sangat buruk.

Tara menggeleng-geleng, menolak untuk percaya. “Tapi dia akan baik-baik saja, kan?”

Ayahnya menarik napas. “Tatsuya masih hidup, tapi kata dokter dia tidak akan bisa bertahan lama.”

“Tidak! Itu bohong!” Tara mulai histeris. “Victoria...”

“Jangan!” Tara menutup kedua telinganya dan menahan isakan yang akan keluar dari mulutnya.

“Ktia akan meminta pendapat dokter lain,” kata ayahnya, pelan tapi pasti. “Pasti ada cara lain.”

Tara tidak menjawab. Ia sadar ayahnya juga berusaha meyakinkan diri sendiri.

“Papa harus ke Jepang,” kata ayahnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Tara.

Kemudian ia menatap Tara. “Kau ikut?”

Tara memandang ayahnya, lalu menunduk. Bagaimana kalau perkiraan dokter benar? Bagaimana kalau Tatsuya tdiak bisa... Tara menelan ludah. Biasanya ia selalu mempersiapkan dirinya untuk menghadapi yang terburuk. Tetapi kali ini ia tidak yakin ia sanggup menerima hasil terburuk itu.

Selama sebulan sejak Tatsuya meninggalkan Paris, Tara selalu berpikir suatu hari nanti ia akan bisa bertemu dengan Tatsuya lagi. Entah bagaimana perasaannya nanti, tetapi ia yakin mereka akan bertemu lagi. Walaupun hatinya akan sakit, walaupun ia akan menangis, tetapi setidaknya ia tahu ia akan melihat Tatsuya lagi. Bila ia melihat Tatsuya baik-baik saja, ia sendiri juga akan baik- baik saja. Itulah yang dipercayainya selama ini.

Tetapi sekarang? Kemungkinan ia takkan pernah bisa melihat Tatsuya lagi membuatnya merinding. Ia bahkan tidak berani berpikir apa yang akan terjadi pada dirinya bila ia dipaksa menghadapi kenyataan terburuk itu.

Dalam dokumen Autumn in Paris Ilana Tan (Halaman 109-112)

Dokumen terkait