• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lima Belas

Dalam dokumen Autumn in Paris Ilana Tan (Halaman 77-80)

“ANEH,” gumam Tara sambil menatap ponselnya.

“Kenapa?” tanya Élise tanpa mengalihkan tatapan dari layar laptop.

Tara mengerutkan kening dan menggigit-gigit bibir. “Ponselnya tidak aktif.”

“Ponsel siapa?” “Tatsuya.”

Kali ini Élise memandang Tara sekilas, lalu kembali menatap layar laptop. “Mungkin dia sibuk

dan tidak bisa menjawab telepon.”

Tara menopangkan kedua siku di meja dan memiringkan kepala. “Tadi Sebastien bilang

Tatsuya pergi ke lokasi proyek. Bisa jadi dia memang sibuk.”

“Mm.” Élise mengangguk, tidak terlalu peduli dengan pacar temannya yang tidak mau

menjawab telepon. Menurutnya itu hanya masalah biasa.

“Kau tahu....,” Tara memulai, tetapi ragu sejenak. “Apa?”

Tara kembali mengerutkan kening. “Kau selalu berkata ini perasaanku saja, tapi aku benar-

benar merasa Tatsuya berubah.”

Élise memandang temannya sekilas, lalu menutup laptop supaya bisa memusatkan perhatian

pada Tara. “Coba katakan, berubah sepertiapa?” tanyanya.

Tara mengangkat bahu. “Dia berubah pendiam,” kata Tara pelan. “Selalu melamun.

Sepertinya dia sedang ada masalah berat, tapi tidak mau menceritakannya padaku. Kalau kutanya

dia selalu bilang dia hanya capek.”

“Sejak kapan kau merasa dia berubah?”

“Hmm... Dia masih seperti biasa saat pesta ulang tahunmu,” jawab Tara sambil berpikir-pikir,

lalu ia teringat sesuatu. “Ah, ayahku juga aneh.”

Alis Élise terangkat. Kenapa tiba-tiba pembicaraan ini jadi beralih ke ayah Tara?

“Ayahmu kenapa?” tanyanya.

“Ayahku pernah bertanya padaku tentang Tatsuya.” “Lalu?”

“Biasanya dia tidak pernah mencampuri masalah pergaulanku.” “Mungkin ayahmu bisa merasakan kau suka pada Tatsuya.”

Tara terdiam sejenak. “Entahlah,” katanya. “Tapi dia memang bertanya padaku. Dan aku

menjawab aku menyukai Tatsuya.” “Bagaimana reaksinya?”

“Gelisah. Sepertinya dia tidak senang.”

Mereka berdua tidak mengatakan apa-apa. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.

Kemudian Tara menggeleng. “Tidak bisa. Aku penasaran sekali. Aku harus bertanya pada

* * *

Tara tiba di kantor ayahnya. Setelah memberi salam pada resepsionis gedung yang sudah mengenalnya, ia langsung masuk ke lift. Ruangan sekretaris kosong karena saat itu jam makan siang. Tara langsung berjalan ke kantor ayahnya. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu. Baru saja ia akan membuka mulut untuk menyapa ketika ia mendengar suara ayahnya.

“Kau belum memberitahunya?”

Tara melongok ke dalam ruangan yang tidak terlalu luas namun rapi itu. Ayahnya duduk membelakangi meja kerja, membelakangi pintu, dan ternyata sedang berbicara di telepon.

“Aku tahu ini bukan hal yang mudah,” kata ayahnya lagi. Suaranya rendah dan berat. “Tapi

bagaimanapun juga, kau tahu kita harus memberitahunya.”

Tara mengerjapkan mata. Memberitahukan apa kepada siapa?

“Tatsuya.”

Mendengar ayahnya menyebut nama Tatsuya, Tara langsung bergeming dan menahan napas. Apakah ayahnya sedang berbicara dengan Tatsuya?

“Tatsuya, aku tahu apa yang kaurasakan padanya. Dan aku yakin kau juga tahu apa yang

dirasakannya terhadapmu. Kau mau membiarkannya terus seperti ini?”

Tara tetap diamt idak bergerak. Otaknya berputar keras. Apa yang sedang dibicarakan ayahnya?

“Kau tahu ini tidak boleh.”

Apa yang tidak boleh?

“Baiklah, baiklah... Aku tidak akan memaksamu. Aku yakin kau tahu apa yang terbaik dalam situasi seperti ini. Aku hanya tidak mau Victoria terluka.”

Aku? Tara terkesiap. Mereka sedang membicarakan dirinya?

Ia masih menahan napas, masih berdiri di ambang pintu dengan sebelah tangan mencengkeram pegangan pintu, dan belum pulih dari rasa terkejutnya ketika ayahnya memutar kursi kembali menghadap meja kerja untuk mengembalikan gagang telepon ke tempatnya—dan menghadap ke pintu. Saat itulah ia melihat Tara berdiri mematung di sana.

Ma chérie?” Kekagetan ayahnya tidak sempat ditutupi. Tentu saja ia tidak pernah menyangka

putrinya akan berdiri di sana dan mendengarkan pembicaraannya.

Tara mengerutkan kening dan menatap ayahnya. Ia bisa merasakan ayahnya menyembunyikan sesuatu darinya. Dan ia ingin tahu sekarang juga.

“Papa sedang bicara dengan siapa tadi?” tuntutnya. Ia penasaran, tapi juga takut mendengar

jawaban ayahnya.

Ma chérie...” Ayahnya bangkit dari kursi dengan pelan.

“Dengan Tatsuya?” desak Tara. Ayahnya tidak langsung menjawab, berarti memang benar

ada yang disembunyikannya.

Bahu ayahnya merosot. “Apa yang kaudengar tadi?”

Tara menggeleng-geleng. “Papa membicarakan tentang aku.” Ayahnya berjalan mengelilingi meja dan menghampirinya.

“Papa menyuruhnya mengatakan sesuatu kepadaku,” kata Tara sambil menatap mata ayahnya. Ia mundur selangkah. “Apa itu?”

Ayahnya tidak membalas tatapannya dan tidak menjawab, juga tidak berusaha mendekati Tara lagi.

“Papa,” desak Tara. “Apa yang ingin Papa katakan padaku? Jangan-jangan Papa melarangku

berhubungan dengan Tatsuya?”

Kali ini ayahnya memandangnya dan Tara tercekat. Ada apa ini? Sepertinya masalah ini sangat serius. Rasa takut mulai merayapi dirinya.

“Benarkah? Papa ingin aku berhenti menemuinya?” gumam Tara kecewa. Biasanya ayahnya

tidak pernah mencampuri urusan pribadinya. Kenapa sekarang?

Ayahnya menarik napas. “Ma chérie,” kata ayahnya lirih. “Papa tidak memintamu berhenti

menemuinya.” “Lalu?”

Ayahnya menatap Tara dan berkata, “Jangan menyukainya.”

“Apa?” Tara semakin bingung. Ia mengangkat kedua tangan dengan gerakan putus asa. “aku tidak mengerti. Kenapa?”

“Pokoknya, jangan menyukainya,” kata ayahnya. Kali ini dengan suara yang sedikit keras. Ia

membalikkan badan.

Tara mendengus dan tertawa sumbang. “Aneh sekali. Ini seperti cerita opera sabun murahan

di televisi.”

Ayahnya tidak menjawab.

“Kenapa aku tidak boleh menyukainya?” desak Tara lagi. Suaranya semakin keras. Ia tak mau

menyerah sebelum tahu alasan di balik semua omong kosong ini.

“Jangan katakan itu, ma chérie,” kata ayahnya pelan.

Tara mengangkat bahu tidak peduli. Ayahnya sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Itu

membuatnya makin frustrasi. “Jangan katakan apa? Bahwa aku suka padanya? Tapi aku memang

menyukainya, Papa.”

Ayahnya menggeleng-geleng. “Jangan. Demi Tuhan! Jangan menyukainya seperti itu.”

“Kenapa? Katakan padaku kenapa tidak boleh?” seru Tara putus asa. “Papa pasti punya alasan!”

Tepat saat itu ponsel Tara berdering. Tara memejamkan mata kuat-kuat dan mengatur napas. Dengan marah ia merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel. Ia baru akan mematikan ponsel itu ketika melihat tulisan yang muncul di layar.

Sebastien.

Ia menempelkan ponsel ke telinga dan langsung berkata, “Sebastien, maaf. Nanti—Apa?”

Begitu mendengar apa yang dikatakan Sebastien, seluruh tubuh Tara seakan disiram air dingin.

“Dia terluka? Dia tidak apa-apa? Apa yang terjadi?... Ya, ya... Aku akan ke sana... Sekarang.”

Setelah menutup ponselnya, ia mendengar ayahnya bertanya, “Ada apa?”

“A-ada kecelakaan di lokasi proyek,” sahut Tara panik. Pertengkarannya dengan ayahnya

terlupakan seketika. “Tatsuya...”

Ayahnya mencengkeram lengannya. “Tatsuya kenapa?”

“Sebastien hanya bilang sekarang sedang dibawa ke... eh, rumah sakit,” kata Tara dengan

susah payah. Otaknya kacau. “Aku harus ke sana sekarang.” “Papa akan mengantarmu.”

Dalam dokumen Autumn in Paris Ilana Tan (Halaman 77-80)

Dokumen terkait