• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dua Puluh Tiga

Dalam dokumen Ilana Tan Winter in Tokyo (Halaman 197-200)

“KENAPA Kazuto-san harus mengadakan pamerannya bertepatan dengan Hari

Valentine?” desah Haruka ketika ia dan Keiko sedang berdiri di tepi jalan, menunggu

lampu lalu lintas berubah warna. Suaranya terdengar tidak jelas karena hidung dan mulutnya dibenamkan di balik syal tebal yang melilit lehernya. Angin sore ini memang lebih dingin daripada hari-hari sebelumnya.

“Oneesan sendiri juga tidak ada acara, kan, malam ini?” Keiko balas bertanya

smabil tersenyum.

“Oh, astaga! Haruskah kau mengingatkanku soal itu?” Haruka melotot, lalu mendesah lagi. “Tapi mungkin aku bisa cuci mata sedikit di pameran itu.”

Lampu lalu lintas berubah warna dan mereka menyeberang dengan cepat, lega karena setidaknya mereka kembali bergerak. Berdiri diam begitu saja membuat mereka semakin kedinginan.

“Ngomong-ngomong, Kazuto-san benar-benar sudah tidak apa-apa?” tanya Haruka, sementara mereka berjalan cepat ke arah galeri tempat pameran Kazuto

diadakan. “Maksudku, baru beberapa hari di rumah sakit, dia sudah memaksa minta

pulang.”

“Kurasa dia masih sakit di sana-sini, tapi karena dia laki-laki, dia tidak akan

mengakuinya,” jawab Keiko. “Segala persiapan sudah dilakukan untuk pameran ini

dan para sponsor tidak akan mau menundanya. Kazuto-san sendiri juga pasti tidak

mau.”

Begitu mereka tiba di galeri dan menitipkan jaket, Haruka memandang berkeliling

dan bergumam, “Wah, banyak juga yang datang. Baiklah, Keiko, sampai juga lagi nanti. Aku harus beredar dulu.”

Haruka tersenyum. “Cuci mata,” katanya. “Cuci mata.”

Setelah ditinggal Haruka, Keiko masuk ke ruangan pameran dan mencari-cari Kazuto. Tidak ada. Kazuto tidak terlihat. Mungkin sedang sibuk. Ini kan pamerannya. Pasti banyak orang yang ingin berbicara dengannya. Sambil mendesah pelan, Keiko memutuskan untuk melihat-lihat sendiri dulu.

Tempat ini cukup ramai. Ternyata banyak orang yang tertarik dengan hasil karya Kazuto. Beberapa orang wartawan juga terlihat. Keiko jadi bertanya-tanya apakah Kazuto memang sehebat itu? Apakah Kazuto memang terkenal seperti yang pernah dikatakan Haruka?

Kalau dilihat dari foto-foto yang tergantung di dinding itu, Kazuto memang hebat. Bagaimana Kazuto bisa memotret sesuatu yang begitu biasa dan membuatnya begitu luar biasa? Misalnya foto hitam-putih yang menampilkan tangan seseorang yang terangkat ke arah matahari, seolah-olah ingin menggapai matahari. Entah bagaimana cara Kazuto memotretnya, tetapi sinar matahari yang menyelinap di antara celah jemari itu terlihat sangat indah dan berkilau.

Keiko terus bergerak dari satu foto ke foto lain, terus berhenti di setiap foto untuk memandanginya dan terus terkagum-kagum. Ia memang tidak mengerti fotografi, tetapi ia tahu foto bagus. Dan Kazuto sudah jelas memang sangat berbakat seperti yang dikatakan Haruka.

Tiba-tiba sebuah foto menarik perhatiannya. Keiko mengerjap dan menahan napas. Foto yang tergantung di depannya adalah foto seorang wanita berjaket hijau yang berdiri di tengah-tengah kerumunan orang yang berlalu-lalang di jalan raya. Wanita yang menjadi objek utama dalam foto itu berdiri membelakangi kamera. Selain warna hijau dari jaket yang dikenakan wanita itu, segala sesuatu di sekitarnya—termasuk juga kerumunan orang yang berlalu-lalang—berwarna hitam-putih dan terlihat kabur, seolah-olah dunia di sekeliling wanita itu memudar di mata sang fotografer.

“Kau sudah datang?”

Sebuah suara pelan menyentakkan Keiko dan ia langsung berputar. “Kazuto-san.” Matanya melebar dan seulas senyum tersungging di bibirnya begitu melihat Nishimura Kazuto berdiri di sampingnya.

* * *

Sebenarnya Kazuto sudah melihat Keiko sejak gadis itu memasuki ruangan pameran. Saat itu ia sedang berbicara dengan beberapa orang penting, sehingga ia tidak bisa langsung menemui gadis itu. Begitu ia bisa menyelinap keluar dari pembicaraan, ia langsung menghampiri Keiko.

“Kau sudah datang?” sapanya.

Keiko berputar dan tersenyum lebar. “Kazuto-san.”

Kazuto balas tersenyum, lalu kembali memandang foto yang tadi sedang

diperhatiakn Keiko. “Kau ingat hari itu?” tanyanya. “Apa?” Keiko tidak mengerti.

Kazuto menggerakkan dagunya ke arah foto. “Hari ketigaku di Tokyo. Kau

menemaniku ke Shibuya untuk melihat-lihat. Hari itu kau mengenakan jaket hijau.” Keiko mengerutkan kening, masih tidak mengerti. Lalu perlahan-lahan kerutan di keningnya menghilang dan ia kembali menatap foto yang tergantung di depannya.

“Perempatan Shibuya selalu ramai dan saat itu kau hampir jatuh karena ditabrak dari segala arah.” Kazuto tertawa pelan.

“Itu... Itu karena kau tiba-tiba menghilang,” protes Keiko. “Aku sedang mencarimu.

Kukira kau... Maksudku, kau bisa saja tersesat di antara begitu banyak orang.”

“Saat itu aku ada di belakangmu. Aku bisa melihatmu,” kata Kazuto. “Aku selalu melihatmu.”

Mata Keiko terpaku pada foto itu. “Jadi... itu aku?” tanyanya tidak percaya.

Kazuto mengangguk. “Aku tahu kau tidak suka difoto, tapi menurutku foto ini sangat bagus untuk pameran. Jadi...”

“Tidak apa-apa,” sahut Keiko sambil tersenyum. “Foto ini memang sangat bagus. Foto-foto yang lain juga.”

Senyum Kazuto melebar. “Terima kasih.”

Mereka masih berdiri di depan foto itu dan Kazuto teringat beberapa jam yang lalu ketika Akira datang ke sini. Akira juga berdiri di depan foto yang sama dan memandanginya sambil tersenyum kecil.

“Kukatakan padanya bahwa aku ingin melindunginya,” gumam Akira saat itu.

Alis Kazuto terangkat dan ia menoleh. “Apa?”

Akira menggerakkan kepalanya ke arah foto. “Wanita itu. Kukatakan padanya bahwa aku berharap akulah yang melindunginya saat itu.”

Kazuto langsung tahu mereka sedang membicarakan Ishida Keiko. Dan apa kata Akira tadi? Apakah Akira sudah menyatakan perasaannya? Tiba-tiba saja Kazuto merasa tegang dan ia menahan napas.

“Begitu?” gumam Kazuto, berharap Akira meneruskan kata-katanya.

Tetapi Akira menghela napas panjang dan melirik jam tangannya. “Aku harus

kembali ke rumah sakit,” gumamnya. Lalu ia berbalik dan mengulurkan tangan ke arah Kazuto. “Nah, semoga berhasil, Kazuto, walaupun aku yakin kau akan berhasil karena karyamu sangat bagus.”

Kazuto menjabat tangan yang terulur itu dan mengucapkan terima kasih. Ia sangat ingin bertanya kepada Akira tentang apa yang dikatakannya tadi, tetapi tidak tahu bagaimana harus menanyakannya. Jadi sampai sekarang Kazuto masih tidak tenang.

Ia menarik napas dalam-dalam dan menoleh ke arah Ishida Keiko yang kini berdiri di sampingnya. Akira sudah meyatakan perasaannya kepada Keiko. Apakah Kazuto sudah terlambat? Tidak mungkin. Tidak mungkin...

“Ngomong-ngomong,” kata Keiko tanpa mengalihkan matanya dari foto-foto yang

terpajang, “apakah Sensei sudah datang ke sini?”

Kenapa gadis itu tiba-tiba bertanya soal Akira? “Tadi sudah ke sini,” sahut Kazuto setengah melamun.

Keiko menatapnya dan tersenyum lebar. “Oh, ya? Bagaimana tanggapannya tentang pameran ini?”

Gadis itu masih menyukai Akira. Itulah yang dipikirkan Kazuto begitu ia melihat wajah Keiko yang berseri-seri. Saat itu juga ia mendadak merasa tidak bersemangat. Gadis itu masih menyukai Akira. Apa yang harus dilakukannya? Apa yang harus dilakukannya?

Apa yang harus kulakukan supaya kau bisa melihatku?

Ketika Keiko menoleh ke arahnya dengan tatapan heran, barulah ia menyadari ia sudah mengucapkan apa yang dipikirkannya tadi.

* * *

Keiko mengira ia salah dengar. “Apa?”

Kazuto tidak langsung menjawab. Laki-laki itu hanya menatapnya dengan ekspresi bingung dan murung. Setelah terdiam beberapa saat, Kazuto menghela napas panjang,

menjejalkan kedua tangan di saku celana, dan bertanya, “Apa yang harus kulakukan supaya kau bisa melihatku?”

Untuk sesaat Keiko tidak bisa menemukan suaranya. Ia hanya bisa menatap Kazuto tanpa berkedip. Napasnya tertahan dan jantungnya mulai berdebar keras.

“Sebenarnya aku sudah pernah bertanya kepadamu,” lanjut Kazuto sambil tersenyum kecil. “Tapi kau belum menjawabku.”

Oh, ya. Keiko ingat. Keiko mengingatnya dengan jelas, seolah-olah semuanya baru terjadi kemarin. Hari Natal. Stasiun kereta. Ia baru akan naik kereta yang akan membawanya ke Kyoto ketika Kazuto menghentikannya dan menanyakan pertanyaan itu. Apakah kau bisa melupakan Akira... dan mulai benar-benar melihatku?

“Aku tahu saat itu bukan saat yang tepat,” kata Kazuto, lalu tertawa kecil. Ia

Dalam dokumen Ilana Tan Winter in Tokyo (Halaman 197-200)

Dokumen terkait