• Tidak ada hasil yang ditemukan

DWI KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA DAN PERJUANGANNYA

Dalam dokumen HUKUM DWI KEWARGANEGARAAN DI UNI EROPA (Halaman 59-62)

TASK FORCE IMIGRASI DAN KEWARGANEGARAAN IDN-EU

1.

Dwi Kewarganegaraan di Indonesia

Indonesia saat ini telah menerapkan UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 yang mengakui Dwi Kewarganegaraan (DK) sekalipun bersifat terbatas. Dalam UU tersebut DK diperbolehkan untuk anak- anak pasangan perkawinan campuran hingga mereka berusia 18 tahun, pada saat mana mereka harus memilih salah satu dari dua kewarganegaraan yang mereka miliki.

UU No. 12 Tahun 2006 memiliki semangat yang berbeda dengan UU Kewarganegaraan Indonesia sebelumnya yaitu UU No. 62 Tahun 1958 yang anti bipatride. Dalam UU No. 12 Tahun 2006 tersebut, semangat yang mempengaruhi adalah semangat reformasi, yang tumbuh di Indonesia sejak tahun 1997, saat Indonesia mulai memberikan perhatian, penghormatan dan perlindungan yang lebih besar terhadap HAM.

Sebelum UU No. 62 Tahun 1958 dibuat, Indonesia pernah menghadapi masalah kewarganegaraan, yaitu ketika warga negara Indonesia dari kalangan Tionghoa, berdasarkan hukum kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), otomatis memiliki Kewarganegaraan RRT. Padahal pada saat yang bersamaan mereka secara resmi adalah warga negara Indonesia. Indonesia yang tidak mengakui dwi kewarganegaraan memecahkan masalah dwi kewarganegaraan dengan RRT ini melalui UU No. 2 Tahun 1958, yang

mewajibkan masyarakat Tionghoa memilih salah satu dari dua kewarganegaraan yang dapat mereka miliki yaitu Indonesia atau Tiongkok.

UU No. 2 Tahun 1958 tersebut disebutkan oleh para ahli sebagai sangat mempengaruhi isi UU Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958 yang memiliki semangat anti bipatrida tersebut.

Dengan berlakunya UU No. 12 Tahun 2006 sebuah perubahan luar biasa dalam hukum kewarganegaraan Indonesia telah terjadi. Mungkin hanya tinggal selangkah lagi untuk menuju pada penerapan DK yang lebih luas dan berlaku seumur hidup. Tidak perlu sampai harus menunggu terjadinya pelanggaran- pelanggaran HAM berat seperti yang telah dialami oleh Uni Eropa.

2.

Sejarah perjuangan Dwi Kewarganegaraan di Indonesia

Aspirasi akan DK telah muncul sejak lebih dari 10 tahun silam. Berdasarkan catatan yang ada, aspirasi ini muncul di Prancis dari sekelompok Diaspora Indonesia di Prancis yang dimotori oleh Anneke

Monscavoir. Anneke memperjuangkan DK karena melihat adanya keinginan Diaspora Indonesia di Prancis untuk terlibat aktif dalam kehidupan politik lokal dan membaur dengan masyarakat setempat. Kenyataan di Prancis menunjukkan bahwa kaum imigran di Prancis akan lebih dapat diterima sebagai bagian dari masyarakat Prancis apabila mereka telah menjadi warga negara Prancis. Jika ingin terjun ke dunia politik maka menjadi warganegara Prancis justru menjadi salah satu syaratnya.

Keadaan ini mengakibatkan Anneke dkk memperjuangkan DK dan berhasil membuat petisi yang didukung oleh 2000 orang. Sayang petisi ini kandas sebelum mencapai tujuan.

Melalui jaringan masyarakat perkawinan campuran di seluruh dunia, aspirasi DK ini berlanjut ke Indonesia. Dengan dimotori oleh antara lain Julie Ghinami, Eva Reinhard, Nuning Hallet, Alida Guyer,

DWI KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA DAN PERJUANGANNYA Hal 60 dari 64

Galih Permata dan Irina Shaw, berbagai kelompok masyarakat perkawinan campuran ini memperjuangkan agar DK diberlakukan di Indonesia. Setelah melalui perdebatan yang panjang dan alot dalam pembahasan UU kewarganegaraan yang baru, akhirnya UU yang memuat DK terbatas bagi anak-anak pelaku

perkawinan campuran berhasil diloloskan pada tahun 2006. DK terbatas ini hanya diperuntukkan bagi anak-anak pasangan perkawinan campuran saja dan hanya diperbolehkan sampai sang anak berusia 18 tahun, yaitu pada saat mana mereka harus memilih salah satu dari 2 kewarganegaraan yang mereka miliki. Ketika masyarakat perkawinan campuran di Indonesia sedang berjuang untuk mendapatkan DK, di milis Paguyuban Aerospace Indonesia yang beranggotakan sekitar 700 orang, dan yang tersebar di seluruh pelosok dunia, berlangsung diskusi mengenai DK yang diyakini dapat memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para professional Indonesia di luar negeri. Diskusi yang panjang di milis tersebut akhirnya membuahkan petisi online mengenai DK yang dibuat oleh Abdi Soeherman dan Herman Syah pada akhir tahun 2005. Sama dengan petisi Anneke Monscavoir, petisi yang didukung oleh 2055 orang itu juga hanya berhenti sampai di situ saja.

Pada tahun 2010, Dutamardin Umar, seorang Diaspora Indonesia di Virginia, Amerika Serikat yang sudah menjadi warga negara AS mengirimkan sebuah surat terbuka kepada parlemen Indonesia yang memohon pemberian DK kepada orang-orang Indonesia yang berada di luar negeri. Surat terbuka inipun tidak mendapat sambutan yang diharapkan.

Pada bulan Juli 2012 dalam Kongres Diaspora Indonesia (KDI) yang pertama di Los Angeles, Amerika Serikat, Indah Morgan, Nuning Hallet dan Renny Mallon menyerahkan petisi yang ditandatangani oleh 5500 Diaspora Indonesia kepada wakil parlemen dan pemerintah Indonesia yang hadir di kongres tersebut. Baru pada usaha kali inilah perjuangan DK mulai mendapat perhatian dari pemerintah dan parlemen Indonesia.

Sejak KDI pertama tersebut, perjuangan DK dilakukan secara terkoordinasi oleh Task Force Imigrasi dan Kewarganegaraan (TFIK) IDN-Global yang dipimpin oleh Indah Morgan.

Dalam kurun waktu dari bulan November 2014 s/d Februari 2015 TFIK IDN-Global dengan dukungan Diaspora Indonesia di Amerika Serikat, Uni Eropa (Belanda, Belgia, Jerman, Italia, Prancis, Polandia) dan Australia, maupun para pendukung DK dari dalam negeri, telah berhasil diselenggarakan serangkaian seminar di 6 Universitas di Indonesia, yaitu Universitas Sam Ratulangi, Universitas Udayana, Universitas Indonesia, Universitas Negeri Medan, Universitas Brawijaya dan Universitas Pajajaran.

Tujuan penyelenggaraan seminar-seminar ilmiah tersebut adalah dalam rangka mengumpulkan bahan- bahan guna mempersiapkan Naskah Akademik yang merupakan syarat pembuatan suatu Undang-Undang, yang dalam hal ini adalah Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia yang baru, yang mengakomodasi aspirasi Diaspora Indonesia akan dwi kewarganegaraan.

Bagaikan gayung bersambut, pada bulan Februari 2015 Badan Legislasi DPR RI menyetujui pembahasan RUU perbaikan UU no. 12 Tahun 2006 masuk kedalam Program Legislasi Nasional (ProLegNas) 2015- 2019.

Namun belum lagi Naskah Akademik disiapkan, Indah Morgan mengundurkan diri sebagai Koordinator TFIK IDN-Global karena ingin melanjutkan perjuangan DK bersama-sama dengan para pendukung DK dari tanah air, khususnya masyarakat perkawinan campuran yang pada tahun 2006 telah berhasil

memperjuangkan DK terbatas. Koordinator TFIK IDN-Global dilanjutkan oleh Presiden IDN-Global Moh. Al Arief, dengan koordinator harian dilimpahkan kepada Nuning Hallet sebagai kepala sekretariat IDN-Global yang berkedudukan di Jakarta.

DWI KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA DAN PERJUANGANNYA Hal 61 dari 64

Dari uraian diatas, terlihatlah bahwa aspirasi dan perjuangan DK telah berlangsung secara terus menerus selama 13 tahun, sejak tahun 2002 hingga sekarang, dan dilakukan oleh berbagai macam kelompok maupun perseorangan, baik dalam maupun luar negeri.

Apakah perjuangan ini akan berhasil?

Hanya Tuhanlah yang dapat mengetahuinya dan hanya kearifan penguasa dan wakil rakyat Indonesialah yang dapat mengabulkannya.

3.

Daftar Pustaka

1. Dwi Haryanti, Susi, et al, Politik Hukum Kewarganegaraan Indonesia, Laporan Penelitian Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Universitas Padjadjaran, Bandung, Juli 2007.

2. Team Petisi Dwi Kewarganegaraan (Task Force Imigrasi dan Kewarganegaraan),

Dalam dokumen HUKUM DWI KEWARGANEGARAAN DI UNI EROPA (Halaman 59-62)

Dokumen terkait