• Tidak ada hasil yang ditemukan

C : caprine (susu kambing) B : bovine (susu sapi) ↓ : posisi titik potong

22

Hasil pemotongan protein laktoferin berupa asam amino, dipeptida, tripeptida, dan polipeptida dari pemotongan diatas dilaporkan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Hasil hidrolisis laktoferin oleh enzim papain

Jumlah sekuen asam amino Jumlah titik potong Hasil Pemotongan Asam

amino Dipeptida Tripeptida Polipeptida Total

Laktoferin susu

kambing 708 195 56 37 33 70 196

susu

sapi 708 193 55 41 31 67 194

Perbandingan hasil pemotongan substrat laktoferin susu kambing dan susu sapi oleh enzim papain menunjukkan jumlah titik potong dan hasil pemotongan pada susu kambing hampir sama dengan susu sapi (Tabel 6). Hal ini juga ditunjukan pada profil SDS-PAGE, baik pita laktoferin susu kambing maupun susu sapi keduanya hilang secara sempurna dan pita dengan berat molekul rendah menjadi lebih tebal setelah waktu hidrolisis 30 menit yang menunjukkan protein laktoferin terdegradasi menjadi peptida dan asam amino dengan ukuran lebih kecil (Gambar 7).

Sifat Antibakteri Protein Susu Kambing

Aktivitas antibakteri dengan metode cakram

Screening aktivitas antibakteri protein kasein dan whey serta peptida hasil hidrolisisnya dilalukan dengan metode cakram terhadap bakteri uji Escherichia coli

ATCC 25922 dan Staphylococcus aureus ATCC 25923. Kontrol positif yang digunakan adalah Amoxilin 1mg/ml dan kontrol negatif buffer fosfat. Zona hambat dihitung berdasarkan besarnya diameter zona bening termasuk diameter cakram

disk (6 mm). Konsentrasi bakteri uji yang digunakan adalah 107 cfu/ml dengan volume sampel dalam cakram disk masing-masing sekitar 40 μL.

Gambar 14. Zona hambat kasein dan peptida kasein terhadap E. coli. (A) kasein utuh, (B-D) kasein hidrolisis: 15 menit (B), 30 menit (C), 45 menit (D).

Gambar 14 merupakan hasil penghambatan kasein utuh dan peptida kasein hasil hidrolisis terhadap E. coli. Dapat dilihat pada gambar bahwa terdapat zona

23 bening yang cukup jelas yang menunjukkan pertumbuhan E. coli disekitar cakram

disk terhambat, dengan ukuran diameter ditampilkan pada Tabel 7. Tabel 7. Diameter zona hambat kasein utuh dan peptida kasein

Protein dan peptida kasein Diameter zona hambat

E.coli (mm) S.aureus (mm)

Kasein utuh 7,70 ± 0,35* 6,00 ± 0,00

Kasein hidrolisis 15 menit 7,77 ± 0,17* 6,38 ± 0,33

Kasein hidrolisis 30 menit 7,60 ± 0,48* 6,42 ± 0,37

Kasein hidrolisis 45 menit 7,69 ± 0,60* 6,32 ± 0,30

Kontrol negatif 6,00 ± 0,00 6,00 ± 0,00

p-value 0,007 0,076

*) uji beda Duncan pada selang kepercayaan 95% terhadap kontrol negatif

Tabel 7 menunjukkan bahwa kasein utuh dan peptida hasil hidrolisis kasein memiliki penghambatan yang lebih besar terhadap E. coli dibandingkan terhadap

S. aureus. Penghambatan yang signifikan (p=0,007) terjadi terhadap bakteri uji E. coli. Hal ini ditunjunkan baik oleh protein kasein utuh maupun kasein hidrolisis 15, 30, dan 45 menit dengan nilai rata-rata diameter 7,60 – 7,77 mm. Sedangkan zona hambat protein kasein dan peptida hasil hidrolisis terhadap bakteri uji S. aureus

menunjukkan nilai yang sangat kecil, bahkan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0,05) terhadap kontrol negatif.

Whey dan peptida hasil hidrolisisnya juga menunjukkan adanya zona hambat terhadap bakteri uji E. coli dan S. aureus, namun zona hambat yang dihasilkan lebih kecil jika dibandingkan dengan protein kasein dan peptida hasil hidrolisisnya. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 15 dan Tabel 8.

Gambar 15. Zona hambat whey dan peptida whey terhadap E. coli. (A) whey utuh, (B-D) whey hidrolisis: 15 menit (B), 30 menit (C), 45 menit (D).

Berdasarkan Gambar 15 dan Tabel 8 dapat dilihat bahwa hambatan terbesar terhadap bakteri uji E. coli dihasilkan oleh whey hidrolisis 15 menit dengan diameter 6,78±0,46, namun nilai ini tidak jauh berbeda dengan whey utuh dan peptida whey lainnya (whey hidrolisis 30 dan 45 menit). Meskipun nilai diameter zona hambat yang lebih kecil dibandingkan dengan protein kasein dan peptida hasil hidrolisisnya, secara statistik protein whey dan peptida hasil hidrolisis memiliki diameter zona hambat yang signifikan (p=0,013) dibandingkan dengan kontrol negatif. Sedangkan pengujian terhadap bakteri uji S. aureus menunjukan protein

whey dan peptidanya memiliki nilai rata-rata diameter zona hambat yang sangat

24

kecil dan secara statistik diameter zona hambat tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0,05) terhadap kontrol negatif.

Tabel 8. Diameter zona hambat peptida whey

Protein dan peptida whey Diameter zona hambat

E.coli (mm) S.aureus (mm)

whey utuh 6,45 ± 0,29* 6,39 ± 0,37

whey hidrolisis 15 menit 6,78 ± 0,46* 6,41 ± 0,38

whey hidrolisis 30 menit 6,61 ± 0,39* 6,55 ± 0,12

whey hidrolisis 45 menit 6,51 ± 0,37* 6,54 ± 0,32

Kontrol negatif 6,00 ± 0,00 6,00 ± 0,00

p-value 0,013 0,398

*) berbeda nyata terhadap kontrol pada selang kepercayaan 95%

Peptida antibakteri bekerja dengan cara berinteraksi pada membran bakteri yang kemudian diikuti dengan kerusakan membran (Fjell et al. 2012). Perbedaan efek penghambatan yang dihasilkan oleh protein kasein dan whey terhadap bakteri uji E. coli dan S. aureus dapat disebabkan oleh perbedaan struktur dinding sel kedua bakteri tersebut. Dimana E. coli termasuk kedalam kelompok bakteri gram negatif yang memiliki dua lapis membran sel namun memiliki lapisan peptidoglikan yang tipis sedangkan S. aureus merupakan kelompok bakteri gram positif yang hanya memiliki satu lapis membran sel namun memiliki lapisan peptidoglikan yang tebal (Gambar 16). Efek perusakan dinding sel oleh sampel protein yang diujikan dalam penelitian ini kemungkinan besar dapat diredam oleh lapisan peptidoglikan sehingga jenis bakteri gram posititf bersifat lebih tahan dibandingkan bakteri gram negatif.

Gambar 16. Perbedaan struktur dinding sel bakteri gram positif dan gram negatif (Madigan et al. 2012)

25 Aktivitas antibakteri dengan metode kontak

Pengujian lebih lanjut terhadap kemampuan antibakteri dilakukan dengan metode kontak. Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dari metode cakram, metode kontak hanya dilakukan terhadap bakteri uji E. coli. Prinsip dari metode ini adalah menumbuhkan bakteri uji dalam media pertumbuhan dengan penambahan senyawa antibakteri (kasein dan whey serta peptida hasil hidrolisisnya). Dengan metode ini diharapkan penghambatan senyawa antibakteri terhadap bakteri uji dapat diamati berdasarkan waktu kontak. Berikut ini merupakan data pertumbuhan E. coli dalam media dengan penambahan kasein utuh dan peptida hasil hidrolisisnya.

Tabel 9. Pertumbuhan E. coli dalam media dengan penambahan kasein utuh dan peptida kasein

Jam ke 0 (log cfu/ml) Jam ke 2 (log cfu/ml) Jam ke 4 (log cfu/ml) Jam ke 6 (log cfu/ml) kontrol 3,83 ± 0,19 4,43 ± 0,49 7,85 ± 0,05 8,77 ± 0,06 kasein utuh 3,28 ± 0,49 1,67 ± 1,47* 1,06 ± 1,51* 0,95 ± 1,64* hidrolisis 15 menit 3,63 ± 0,07 6,16 ± 0,49 7,35 ± 0,65 8,50 ± 0,26 hidrolisis 30 menit 3,69 ± 0,07 4,61 ± 0,00 6,59 ± 1,68 8,50 ± 0,32 hidrolisis 45 menit 3,67 ± 0,11 5,53 ± 1,43 7,15 ± 0,94 8,47 ± 0,10 p-value 0,225 0,038 0,034 0,003

*) berbeda nyata terhadap kontrol pada selang kepercayaan 95%

Berdasarkan data pada Tabel 9, dapat dibuat kurva seperti yang ditampilkan pada Gambar 17. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan E. coli dalam media dengan penambahan kasein utuh secara statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0,05) dibandingkan dengan kontrol pada jam ke 2. Penurunan jumlah bakteri tersebut yaitu sebanyak ± 2,8 log cfu/ml jika dibandingkan dengan kontrol (jam ke 2) dan sebanyak 1,6 log cfu/ml jika dibandingkan dengan jumlah bakteri awal (jam ke 0). Nilai tersebut terus menurun dengan bertambahnya waktu, sehingga menunjukkan kasein utuh dapat bersifat sebagai bakterisidal. Sedangkan pada media dengan penambahan kasein yang telah dihidrolisis (kasein hidrolisis 15, 30, dan 45 menit) pertumbuhan E. coli yang terjadi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap kontrol. Hal ini mungkin disebabkan oleh prehidrolisis yang terjadi selama pemisahan kasein dan whey oleh HCl yang menyebabkan terhidrolisisnya sebagian protein kasein, dimana proses hidrolisis ini tidak dapat dihindari. Peptida yang dihasilkan dari proses prehidrolisis tersebut kemungkinan besar memiliki sifat bioaktif sebagai antibakteri sehingga dapat menghambat pertumbuhan E.coli.

26

Gambar 17.Penghambatan kasein utuh dan peptida kasein terhadap pertumbuhan E. coli

Meskipun tidak berbeda signifikan secara statistik, namun dapat dilihat pada jam ke-4, peptida kasein 15, 30, dan 45 menit mengalami pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan dengan kontrol dengan nilai 0,5 – 1,3 log cfu/ml lebih rendah dibanding kontrol. Hal ini menunjukkan adanya sifat penghambatan yang dihasilkan oleh peptida-peptida kasein tersebut meskipun dalam batas tertentu. Hal ini mungkin disebabkan enzim papain tidak memotong ikatan peptida pada posisi yang tepat untuk menghasilkan peptida bioaktif sehingga dengan dilakukan hidrolisis menggunakan enzim papain sifat antibakteri dari kasein utuh yang diperoleh dari proses prehidroisis cendurung berkurang.

Hasil hidrolisis kasein susu domba (dengan enzim porcine pepsin A) kemudian dilakukan pemurnian menunjukkan (s2-ovine f(165-181)) memberikan penghambatan terhadap pertumbuhan Escherichia coli, Listeria innocua,

Staphylococcus epidermidis, Enterococcus faecalis, Serratia marcescens, dan St. Carnosus (Lo´pez-Expo´sito et al. 2006).

Tabel 10. Pertumbuhan E. coli dalam media dengan penambahan whey utuh dan peptida whey Jam ke 0 (log cfu/ml) Jam ke 2 (log cfu/ml) Jam ke 4 (log cfu/ml) Jam ke 6 (log cfu/ml) kontrol 4,97 ± 1,82 5,37 ± 1,73 7,17 ± 1,50 8,26 ± 0,47 whey utuh 5,21± 1,12 4,37 ± 1,68 6,26 ± 1,50 7,50 ± 1,47 hidrolisis 15 menit 4,81 ± 1,80 4,95 ± 1,73 6,67 ± 1,33 7,30 ± 1,63 hidrolisis 30 menit 4,90 ± 1,62 3,98 ± 0,19 6,37 ± 1,21 7,77 ± 1,47 hidrolisis 45 menit 5,03 ± 1,77 3,99 ± 0,18 6,11 ± 0,59 7,66 ± 1,48 p-value 0,725 0,630 0,197 0,443

*) uji beda Duncan pada selang kepercayaan 95% terhadap kontrol negatif

-2 0 2 4 6 8 10

jam ke-0 jam ke-2 jam ke-4 jam ke-6

log cf

u

/m

l

kontrol hidrolisis 15 menit hidrolisis 30 menit

27 Pertumbuhan E. coli dalam media dengan penambahan Whey ditunjukkan pada Tabel 10 dan Gambar 18. Baik whey utuh maupun whey hasil hidrolisis tidak menunjukkan perbedaan pertumbuhan E. coli yang signifikan dibandingkan dengan kontrol. Meskipun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik, namun pada jam ke-2 baik whey utuh maupun yang sudah dihidrolisis menunjukan pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan dengan kontrol dengan nilai 0,4 - 1,4 log cfu/ml. Penghambatan tertinggi ditunjukkan oleh whey hidrolisis 30 dan 45 menit pada jam ke-2 dengan nilai 1,4 log cfu/ml lebih lambat, dan pada jam ke-4 dengan nilai 0,8 - 1 log cfu/ml lebih rendah daripada kontrol. Hal ini mengindikasikan adanya sifat penghambatan yang dihasilkan oleh whey utuh dan peptida whey dalam batas tertentu.

Penghambatan yang tidak signifikan oleh whey utuh dan peptida hasil hidrolisisnya selain karena terhidrolisisnya protein laktoferin oleh enzim papain, faktor lainnya juga dapat dikarenakan oleh belum murninya peptida hasil hidrolisis yang diujikan, sehingga konsentrasi senyawa antibakteri yang terkandung didalamnya masih rendah sehingga tidak cukup untuk menghasilkan penghambatan yang signifikan.

Gambar 18. Penghambatan whey utuh dan peptida whey terhadap pertumbuhan E. coli Penelitian lain menunjukkan hidrolisis protein whey susu kambing oleh enzim proteolitik manusia (asam lambung dan enzim duodenum) menghasilkan peptida antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan Listeria monocytogenes,

sedangkan hidrolisis menggunakan enzim pencernaan hewan (pepsin dan enzim corolase PP dari porcin pankreas) tidak menunjukkan adanya penghambatan (Almaas et al. 2008). Hal ini menunjukkan terdapat fragmen peptida spesifik dalam susu kambing yang berpotensi sebagai antibakteri.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

jam ke-0 jam ke-2 jam ke-4 jam ke-6

Lo

g cf

u

/m

l

kontrol hidrolisis 15 menit hidrolisis 30 menit

28

A B

Gambar 19. Perbandingan hasil SDS PAGE hidrolisis whey oleh enzim A. Papain (1-2. whey utuh, 3-5. hidrolisis 15, 30, 45 menit) B. Enzim pencernaan (1. whey utuh, 2. whey+asam lambung, 3. whey+asam lambung+enzim duodenum, 4. Whey+porcin pepsin 5. Whey+porcin pepsin+porcin pankreas)

Baik kasein susu domba maupun whey susu kambing telah dilaporkan sebagai prekursor peptida yang memiliki aktivitas sebagai antibakteri (Lo´pez- Expo’sitoet al. 2006; Almaas et al. 2008), namun pada penelitian ini peptida yang dihasilkan baik dari kasein maupun whey belum menunjukkan adanya aktivitas antibakteri yang signifikan. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan enzim protease yang digunakan. Walaupun sama-sama memiliki aktivitas proteolitik, enzim protease yang berbeda akan memutus ikatan peptida pada posisis asam amino yang berbeda yang dikenal dengan spesifisitas enzim. Dapat dilihat pada Gambar 12, perbedaan enzim yang digunakan yaitu Papain (Gambar 19A) dan enzim pencernaan (Gambar 19B) menghasilkan pola SDS PAGE yang berbeda sehingga memungkinkan menghasilkan sifat bioaktif yang berbeda.

Tabel 11. Jenis dan spesifisitas enzim

Enzim Jenis Enzim Spesifisitas

Asam Amino Sumber

Papain Protease sulfidril

arginin, lisin, glutamin, histidin, glisin, dan tirosin

Leung (1996)

Muchtadi et al (1992) Pepsin Endoprotease asam alanin, glisin dan valin Adjonu et al. (2013) Tripsin Endoprotease Basa arginin dan lisin Adjonu et al. (2013) Kimotripsin Endoprotease Basa triptofan, tirosin, dan

fenilalanin

Adjonu et al. (2013)

Enzim papain memiliki gugus fungsional sulfhidril dan mampu menghidrolisis ikatan peptida pada asam amino arginin, lisin, glutamin, histidin, glisin, dan tirosin (Leung 1996; Muchtadi et al 1992). Perbedaan efek penghambatan yang dihasilkan mungkin disebabkan oleh perbedaan sisi ikatan peptida yang β-Laktoglobulin β-Laktalbumin Komponen peptida lebih kecil A B C B* C* Laktoferin 1 2 3 4 5 Immunoglobulin Serum albumin

29 dihidrolisis, dimana enzim papain memutuskan ikatan peptida pada asam amino pada spektrum yang cukup luas seperti yang telah disebutkan sebelumya sedangkan enzim pencernaan memotong pada asam amino yang lebih spesifik seperti tripsin memotong pada asam amino arginin dan lisin, serta pepsin pada asam amino alanin, glisin dan valin.

Pada substrat yang sama perbedaan tersebut akan menghasilkan peptida dengan urutan asam amino yang berbeda. Sehingga hidrolisis kasein dan whey menggunakan enzim papain yang dilakukan pada penelitian ini belum menghasilkan peptida yang memiliki sifat antibakteri yang signifikan seperti yang dihasilkan oleh enzim pencernaan. Selain itu, belum murninya peptida hasil hidrolisis yang diujikan dapat menyebabkan konsentrasi senyawa antibakteri yang terkandung didalamnya masih rendah sehingga tidak cukup untuk menghasilkan penghambatan yang signifikan.

30

5.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan analisis SDS PAGE, susu kambing memiliki 10 pita protein. Setelah dilakukan pemisahan kasein dan whey terjadi pemisahan protein dimana ke 10 pita protein tersebut muncul pada kasein dengan penambahan satu pita protein dengan BM 12 kDa, sedangkan whey hanya memiliki 6 pita protein.

Hidrolisis kasein susu kambing menggunakan enzim papain (4.000-6.000 unit/g) menyebabkan α-kasein dan β-kasein terhidrolisis dan menyisakan κ-kasein dan satu peptida dengan berat molekul sekitar 10 kDa. Hidrolisis pada whey

menyebabkan protein laktoferin terhidrolisis sehingga dapat menjadi faktor yang menurunkan aktivitas antibakteri pada whey. Baik kasein dan whey utuh maupun yang sudah terhidrolisis sama-sama menghasilkan zona hambat yang signifikan terhadap E. coli, namun tidak menunjukkan penghambatan yang signifikan terhadap S. aureus. Pengujian lanjut dengan metode kontak menunjukkan kasein utuh dapat menghambat pertumbuhan E. coli secara signifikan sejak jam ke 2 bahkan menunjukkan penurunan jumlah bakteri sebanyak 2,8 log dibandingkan dengan kontrol yang mengindikasikan sifat baterisidal kasein susu kambing. Sedangkan peptida hasil hidrolisis baik dari kasein maupun whey memiliki sifat antibakteri yang tidak signifikan.

Saran

Enzim papain cukup kuat dalam menghidrolisis substrat kasein dan whey

susu kambing, oleh karena itu variasi konsentrasi enzim perlu diperkecil dan waktu hidrolisis dapat dipersingkat agar lebih terlihat degradasi protein yang dihasilkan. Selain itu dapat pula menggunakan variasi pH dan jenis enzim yang berbeda seperti tripsin, pepsin, atau enzim pencernaan lainnya untuk menghasilkan peptida spesifik dengan penghambatan yang lebih baik. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan terkait efektifitas aplikasi protein dan peptida bioaktif dalam pengembangan pangan fungsional dan penyerapannya dalam tubuh.

31

Dokumen terkait