• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Peer Education

1. Definisi Peer Education

Secara umum, peer education didefinisikan sebagai suatu pendekatan di mana seseorang yang terlatih dan memiliki motivasi melakukan kegiatan pendidikan informal dan terorganisir dengan rekan-rekan mereka yang memiliki kesamaan dengan diri mereka dalam hal usia, status sosial ekonomi, wilayah geografis dan latar belakang lainnya (Youth Peer Education Network, 2005 dalam Qiao, 2012). Pembelajaran dengan teman sebaya pada dasarnya mengacu kepada kegiatan belajar siswa dimana antara satu siswa dengan lain bertindak sebagai sesama peserta didik (Boud, 2001dalam Gwee, 2012).

Diskusi kelompok teman sebaya (peer education) merupakan metode edukasi yang terdiri dari individu atau kelompok yang menyajikan informasi untuk teman sebaya (Gilbert, et al, 2011). Langiano (2012) menjabarkan

peer education telah menjadi salah satu metode yang paling sering digunakan untuk pelaksanaan intervensi promosi kesehatan pada remaja. Hal ini didasarkan pada program yang inovatif dalam penyebaran informasi yang ditujukan pada kelompok remaja.

Berdasarkan beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa

peer education yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan menjadi pembelajaran dengan teman sebaya atau diskusi kelompok teman sebaya merupakan salah satu metode edukasi yang terdiri dari individu atau kelompok yang saling berbagi informasi dengan rekannya yang memiliki kesamaan dalam hal usia, status sosial ekonomi, wilayah geografis dan latar belakang lainnya, dimana antara satu siswa dengan yang lain bertindak sebagai sesama peserta didik.

Fee dan Youssef (1993) dalam Qiao (2012) mengidentifikasi tiga pendekatan utama dalam peer education, yaitu:

a. Peer information, meliputi kegiatan promosional yang diatur oleh sebuah kelompok sebaya untuk khalayak luas.

b. Peer education, pendekatan yang lebih terstruktur dalam rangka membantu kelompok kecil dari masyarakat yang menjadi sasaran kegiatan dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku mereka melalui kegiatan pendidikan yang terorganisir dengan peer educator

yang terlatih.

c. Peer counseling, kegiatan ini lebih fokus dan intensif. Kegiatan ini meliputi pelatihan remaja yang mampu menjadi konselor dalam diskusi masalah pribadi, dan menerapkan strategi penyelesaian masalah dengan teman sebayanya secara individual atau perorangan.

2. Teori yang Mendasari Peer Education

Peer education sebagai sebuah strategi perubahan perilaku mengacu kepada beberapa teori perilaku yang telah ada, yaitu:

a. Social Cognitive Theory (Bandura, 1986 dalam Qiao, 2012).

Social Cognitive Theory menyatakan bahwa seseorang dapat mengubah perilakunya dengan mengamati dan meniru perilaku orang lain yang mereka identifikasi (Bandura, 1986 dalam Qiao, 2012). Dalam konteks peer education, pernyataan ini berarti bahwa peer educator dapat menjadi guru dan contoh yang mempengaruhi (Qiao, 2012).

b. Theory of Reasoned Action (Fishbein and Ajzen, 1975 dalam Qiao, 2012).

Theory of Reasoned Action menyatakan bahwa apakah seseorang mengadopsi sebuah perilaku atau tidak tergantung pada persepsi individu terhadap norma sosial atau keyakinan tentang seberapa penting orang yang melakukan perilaku tersebut bagi dirinya atau berpikir tentang perilaku tertentu (Fishbein & Ajzen, 1975; Fishbein & Middlestadt, 1989). Dalam konteks peer education, peer educator mungkin dapat mengubah norma-norma yang terdapat pada kelompok sebaya karena sasaran/peserta peer education termotivasi oleh harapan dari peer educator mereka.

c. Diffusion Inovation Theory (Rogers, 1983)

Diffusion Theory berfokus pada proses dimana informasi atau praktik dapat menyebar melalui jalur komunikasi tertentu (Rogers, 1983 dalam Qiao, 2012). Ini berpendapat bahwa opinion leaders dapat bertindak sebagai agen perubahan perilaku dengan menyebarkan informasi dan mempengaruhi norma-norma yang terdapat di kelompok (Qiao, 2012).

3. Tahapan Kegiatan Peer Education

Menurut ETR (Education and Training Resources) Associates (2007) terdapat beberapa tahapan untuk membuat program peer education yang baik, yaitu:

a. Persiapan, terdiri dari membuat tujuan program yang spesifik.

b. Pelatihan, yaitu dengan menggunakan metode partisipatif seperti diskusi kelompok kecil dan bermain peran (role play). Pelatihan awal secara mendalam mungkin membutuhkan waktu 30-40 jam ditambah dengan pelatihan atau dukungan tambahan yang diberikan saat program peer education dilaksanakan, seperti membantu dalam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peserta didik.

c. Implementasi, tergantung pada tujuan dan cakupan program yang dijalankan.

d. Pemantauan dan evaluasi, untuk memahami bagaimana pendidik sebaya bereaksi terhadap program dan mendeteksi perubahan dalam pengetahuan, sikap, atau perilaku antara pendidik sebaya dan rekan-rekan mereka (peserta didik).

4. Strategi Pelaksanaan Peer Education

Dalam praktiknya, peer education telah dilakukan dengan berbagai macam interpretasi mengenai metode pendidikan yang digunakan, seperti advokasi, konseling, diskusi dengan fasilitator, drama, ceramah, membagikan materi, dan memberikan dukungan (Flanagen, dkk, 1996; UNAIDS, 1999 dalam Qiao, 2012). Untuk mempermudah kelancaran

pelaksanaan peer education, kita dapat memilih berbagai strategi yang akan digunakan, yaitu (Gwee, 2012):

a. Buzz Goups: Sebuah kelompok besar siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang lebih kecil yang terdiri dari 4-5 siswa untuk menanggapi hal-hal yang terkait dengan suatu masalah. Setelah diskusi pada kelompok kecil, satu anggota kelompok dari setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi pada kelompok kecil kepada kelompok besar.

b. Affinity Groups: Sebuah kelompok yang terdiri dari 4-5 siswa ditugaskan untuk mengerjakan sebuah tugas pada saat jam di luar sekolah. Pada pertemuan formal selanjutnya dengan guru, kelompok kecil tersebut mempresentasikan tugas yang telah dikerjakan kepada kelompok besar. c. Solution and Critic Groups: Sebuah kelompok kecil ditugaskan untuk

mendiskusikan sebuah topik permasalahan dan kelompok lainnya memberikan kritik , komentar, dan mengevaluasi presentasi dari kelompok tersebut.

d. Teach-Write-Discuss: Pada akhir sesi pengajaran, siswa diminta untuk menjawab pertanyaan pendek dan memberikan alasan atas jawabannya. Setelah menjawab pertanyaan secara individu, siswa membandingkan jawaban mereka dengan yang lain. Setelah itu, dilakukan diskusi seluruh kelas atas jawaban yang mereka berikan.

Selain strategi diatas, sesi kritik, bermain peran, debat, dan studi kasus merupakan strategi pengajaran lain yang menarik dan efektif yang dapat

membangkitkan antusiasme siswa dan meningkatkan hasil pembelajaran dengan teman sebaya.

Dalam penelitian ini stretegi pelaksanaan peer education yang digunakan peneliti berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya yang biasanya menggunakan peer educator (rekan sebaya peserta penyuluhan). Pada penelitian ini peneliti menggunakan dasar strategi pelaskanaan affinity group yang dimodofikasi oleh peneliti. Dalam pelaksanaan affinity group ini tidak terdapat peer educator , tetapi semua siswa bertindak sebagai sesama peserta didik.

5. Hal-Hal yang Dipertimbangkan saat Merencanakan Peer Education Menurut UNICEF (2004) terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan ketika merencanakan program peer education, antara lain: a. Menentukan situasi dan mengkaji kebutuhan, yaitu dengan melakukan sebuah analisa situasi untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi kehidupan para anak dan remaja. Pengkajian ini dapat dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu komunitas, lingkungan, dan organisasi.

b. Menentukan secara jelas populasi target peer education, yaitu dengan mempertimbangkan kerentanan dan risiko dari populasi target. Peer groups dapat ditentukan dengan kesamaan dalam hal umur, jenis kelamin, etnis, pekerjaan, faktor sosial-ekonomi, dan lain-lain.

c. Melibatkan populasi target dan pemangku kepentingan lainnya dari awal proses perencanaan. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa intervensi sesuai dengan latar belakang budaya dan tingkat pendidikan dari kelompok target.

6. Kelebihan dan Kekurangan Peer Education

Kelebihan dari metode ini antara lain meningkatkan motivasi belajar siswa, mengembangkan keterampilan belajar secara mandiri, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, meningkatkan keterampilan dalam pemecahan masalah, melatih keterampilan berkomunikasi, meningkatkan interaktif sosial siswa dalam pembelajaran, dan melatih keterampilan bekerja dalam kelompok (Gwee, 2003).

Kekurangan dari metode ini antara lain pendidik (siswa) dianggap kurang kredibilitas karena pendidik dari teman sebaya tidak dirasakan sebagai pakar (ahli), pendidik memberikan informasi yang tidak akurat atau penampilan yang buruk sehingga mengakibatkan hilangnya kredibilitas dari program pendidikan kesehatan yang dilaksanakan, dan tidak dapat dilakukan pada kegiatan pembelajaran yang membutuhkan tingkat informasi yang tinggi (Gilbert, dkk, 2011). Selain itu, menurut Christudason (2003) salah satu kelemahan yang dapat ditemukan dari pelaksanaan peer education adalah adanya kehadiran anggota kelompok yang hanya mengandalkan temannya (freeloaders).

7. Alat Bantu/Media Pendidikan Kesehatan

Maulana (2009) menjabarkan media adalah alat yang digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan bahan pengajaran. Sedangkan media pendidikan kesehatan disebut juga sebagai alat peraga karena berfungsi membantu dan memeragakan sesuatu dalam proses pengajaran. Media pendidikan kesehatan adalah saluran komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan kesehatan (Nursalam,2008). Pemilihan media

pendidikan kesehatan ditentukan oleh banyaknya sasaran, keadaan karakteristik partisipan, dan sumber daya pendukung (Nursalam, 2008).

Media (alat instruksional tambahan) yang dapat digunakan dalam memberikan pendidikan kesehatan pada remaja antara lain media yang berisi materi tertulis yang spesifik dan rinci (Bastable, 2002) seperti booklet. Booklet merupakan media publikasi yang berbentuk buku kecil yang terdiri dari beberapa lembar dan halaman (Rustan, 2008). Booklet berisi tidak lebih dari 30 halaman bolak-balik, yang berisi tulisan dan gambar. Struktur isinya seperti buku (terdapat pendahuluan, isi, dan penutup) hanya saja cara penyajian isinya jauh lebih singkat dari pada sebuah buku (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, 2012).

Dokumen terkait