• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Efek Hepatoprotektif Pemberian Jangka Panjang infusa daun Sonchus arvensis

Efek hepatoprotektif merupakan kemampuan infusa daun Sonchus arvensis L. dengan dosis tertentu yang diberikan selama satu kali sehari selama 6 hari secara peroral yang melindungi hati dengan cara menurunkan aktivias

ALT-AST pada tikus jantan terinduksi karbon tetraklorida. Menurut Wakchaure, Jain,

Singhai and Somani (2011), mengatakan bahwa apabila persen efek

hepatoprotektif mendekati 0% maka akan menimbulkan efek hepatotoksin.

Sedangkan apabila persen efek hepatoprotektif mendekati 100% maka semakin

besar efek hepatoprotektifnya.

d. Jangka panjang

Penelitian ini dilakukan dengan memberi infusa daun Sonchus arvensis

L. satu kali sehari selama 6 hari secara peroral.

C. Bahan Penelitian 1. Bahan utama

a. Hewan uji yang digunakan adalah tikus jantan, umur 2-3 bulan dengan berat

badan berkisar antara 150-250 g yang diperoleh dari Laboratorium Imono

Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Bahan uji berupa daun Sonchus arvensis L. yang diambil dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Bahan kimia

a. Hepatotoksin

Karbon Tetraklorida Merck ® yang diperoleh dari Laboratorium Kimia

b. Kontrol negatif

Olive oil yang diperoleh dari PT. Brataco Chemika, Yogyakarta. berperan sebagai kontrol negatif.

c. Pelarut untuk infusa

Aquadest yang diperoleh dari Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

d. Pelarut untuk hepatotoksin

Olive oil yang diperoleh dari PT. Brataco Chemika, Yogyakarta. berperan sebagai pelarut karbon tetraklorida.

e. Blanko

Aquabidestilata yang diperoleh dari Laboratorium Kimia Analisis dan Instrumental Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

f. Reagen ALT

Reagen yang digunakan adalah reagen ALT DiaSys. Komposisi dan

konsentrasi dari reagen ALT adalah sebagai berikut (Tabel III.)

Tabel III. Komposisi dan konsentrasi reagen ALT

Komposisi pH Konsentrasi

R1 : TRIS 7,15 140 mmol/L

L-Alanine 700 mmol/L

LDH (lactate dehydrogenase) ≥2300 U/L

R2 : 2-Oxoglutarate 85 mmol/L NADH 1 mmol/L Pyroxidal-5 phospate FS: Good’s buffer Pyridoxal-5-phosphate 9,6 100 mmol/L 13 mol/L

g. Reagen AST

Reagen yang digunakan adalah reagen ALT DiaSys. Komposisi dan

konsentrasi dari reagen AST adalah sebagai berikut (Tabel IV.)

Tabel IV. Komposisi dan konsentrasi reagen AST

Komposisi pH Konsentrasi

R1 : TRIS 7,15 140 mmol/L

L-Aspartate 700 mmol/L

MDH (malate dehydogenase) ≥800 U/L

LDH (lactate dehydrogenase) ≥1200 U/L

R2 : 2-Oxoglutarate 65 mmol/L NADH 1 mmol/L Pyroxidal-5 phospate FS: Good’s buffer Pyridoxal-5-phosphate 9,6 100 mmol/L 13 mol/L D. Alat Penelitian

1. Alat preparasi dan pembuatan infusa daun Sonchus arvensis L.

Moisture balance, cawan porselen, panci infundasi, termometer,

stopwatch, gelas Beaker, gelas ukur, batang pengaduk, penangas air, timbangan analitik, dan kain flanel.

2. Alat pengujian hepatoprotektif

Gelas Beaker, gelas ukur, tabung reaksi, labu ukur, tabung reaksi, pipet

tetes, batang pengaduk (Pyrex Iwaki Glass ®), timbangan analitik (Mettler

Toledo®), vortex (Genie Wilten®), spuit injeksi peroral untuk tikus, spuit injeksi

intraperitoneal, pipa kapiler, tabung Eppendorf, sentrifuge, Micro-Vitalab 200 Merck ®, blue tip, dan yellow tip.

E. Tata cara penelitian

1. Determinasi tanaman Sonchus arvensis L.

Determinasi tanaman Sonchus arvensis L. dilakukan dengan metode perbandingan untuk megetahui apakah tanaman yang digunakan adalah benar

Sonchus arvensis L., yaitu dengan mencocokkan ciri-ciri tanaman Sonchus arvensis L. yang diperoleh dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tanaman kering daun Sonchus arvensis L. Determinasi dilakukan di Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta. Determinasi tanaman Sonchus arvensis L. menggunakan buku acuan karangan Van Steeni (1981) hingga tingkat spesies. Bagian tanaman yang

dideterminasi antara lain batang, daun, biji, dan bunga.

2. Pengumpulan bahan uji

Bahan uji yang akan dibuat menjadi serbuk adalah daun Sonchus arvensis L. yang masih segar dan berwarna hijau. Daun Sonchus arvensis L. diambil dari awal pertumbuhan bahan (berumur 1 bulan) hingga saat menjelang

berbunga (berumur 1,5 bulan). Daun Sonchus arvensis L. dipanen dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta pada musim penghujan.

3. Pembuatan serbuk daun Sonchus arvensis L.

Daun Sonchus arvensis L. dicuci dengan air mengalir hingga bersih dan diangin-anginkan hingga kering. Pengeringan dilakukan dengan oven pada suhu

50 oC selama 48 jam. Setelah benar-benar kering, daun Sonchus arvensis L. diserbuk dengan alat penyerbuk dan diayak dengan ayakan mesh nomor 40 untuk

mendapatkan serbuk daun Sonchus arvensis L. yang lebih halus dan ukuran pertikelnya seragam.

4. Penetapan kadar air serbuk kering daun Sonchus arvensis L.

Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui kadar air dalam serbuk

daun Sonchus arvensis L. dan untuk memenuhi persyaratan serbuk yang baik. Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Gravimetri dengan menggunakan

alat moisture balance. Sebanyak 5 g kemudian dimasukan kedalam alat dan diratakan. Bobot serbuk kering daun tersebut ditetapkan sebagai bobot sebelum

pemanasan (bobot A), setelah itu, serbuk dipanaskan pada suhu 105 oC selama 15

menit. Serbuk kering daun Sonchus arvensis L. ditimbang kembali dan dihitung sebagai bobot setelah pemanasan (bobot B). Kemudian dilakukan perhitungan

terhadap selisih bobot A terhadap bobot B yang merupakan kadar air daun

Sonchus arvensis L.

Pengaturan suhu 105 oC selama 15 menit dilakukan untuk menguapkan

kandungan air agar diperoleh nilai hasil pengukuran serbuk daun Sonchus arvensis L. kemudian hasil tersebut dilihat apakah telah memenuhi persyaratan strandarisasi non-spesifik dan memenuhi syarat serbuk yang baik dengan kadar air

kurang dari 10% (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1995).

5. Pembuatan infusa daun Sonchus arvensis L.

Sebanyak 15 g serbuk yang sudah halus dimasukkan ke dalam panci

infusa kemudian ditambahkan 100 mL, panaskan di atas penangas air selama 15

Saring selagi panas melalui kain flanel, tambahkan air panas secukupnya melalui

ampas hingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki (Badan Pengawasan

Obat dan Makanan, 2010).

6. Pembuatan larutan karbon tetraklorida konsentrasi 50%

Berdasarkan penelitian Janakat dan Al-Merie (2002), larutan karbon

tetraklorida dibuat dengan konsentrasi 50% dengan perbandingan volume karbon

tetraklorida dan pelarut, yakni 1:1. Larutan karbon tetraklorida dibuat dengan

melarutkan karbon tetraklorida ke dalam olive oil yang memiliki volume yang sama.

7. Penetapan dosis infusa daun Sonchus arvensis L.

Dasar penetapan peringkat dosis adalah bobot tertinggi tikus dan

pemberian cairan secara peroral separuhnya, yaitu 2,5 ml. Penetapan dosis

tertinggi infusa daun Sonchus arvensis L. adalah: D x BB = C x 1/2V

D x BB tertinggi tikus ( kg/BB) = C infusa (mg/ml) x 2,5 ml

D = x g/kgBB

Dua dosis lainnya diperoleh dengan menurunkan 2 kalinya dari dosis tertinggi.

8. Uji pendahuluan

a. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida

Penetapan dosis hepatotoksin dilakukan melalui studi literatur yang

dilakukan oleh Janakat dan Al-Merie (2002) yang menyebutkan bahwa dosis

hepatotoksin karbon tetraklorida yang digunakan untuk menginduksi kerusakan

dengan volume olive oil, yaitu 1:1. Pemilihan dosis hepatotoksik ini karena pada dosis tersebut, terjadi kerusakan sel-sel hati dari tikus jantan galur Wistar yang

terdeteksi dari kenaikan serum ALT dan AST, namun tidak sampai menyebabkan

kematian pada tikus jantan sebagai subjek penelitian tersebut (Janakat, Al-Merie,

2002).

b. Penetapan waktu pencuplikan darah

Waktu pencuplikan darah diperoleh dengan cara melakukan orientasi

dengan tiga kelompok perlakuan waktu, yakni pada waktu ke- 0, 24, dan 48 jam.

Kemudian diukur kenaikan aktivitas ALT dan AST. Penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Janakat dan Al-Merie (2002) telah menunjukkan bahwa terdapat

peningkatan aktivitas ALT pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida yang

dilarutkan dalam olive oil dengan perbandingan 1:1, yakni dengan dosis 2 mL/kgBB. Peningkatan aktivitas maksimal terjadi pada jam ke-18 dan jam ke-24

setelah pemberian karbon tetraklorida secara injeksi dan kemudian berangsur

menurun pada jam ke-48 dan terjadi perbaikan sel hati setelah tiga hari pemberian

hepatotoksin (Janakat, Al-Merie, 2002).

9. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji

Tikus jantan galur Wistar yang diperlukan sebagai hewan uji adalah

sebanyak 30 ekor yang kemudian akan dibagi kedalam 6 kelompok secara acak

sama banyak. Kelompok I (kelompok kontrol hepatotoksin) diberi larutan karbon

tetraklorida dalam olive oil (1:1) dengan dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal. Kelompok II (kelompok kontrol olive oil / kontrol negatif) diberi olive oil dengan dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal. Kelompok III (kelompok kontrol infusa)

yakni diberi infusa daun Sonchus arvensis L. dengan dosis 1,5 g/kgBB secara peroral (Alkreathy et al., 2014). Kelompok IV-VI (kelompok perlakuan uji) yang diberikan infusa daun Sonchus arvensis L. dengan dosis bertingkat yakni 0,375; 0,75; 1,5 g/kgBB satu kali sehari selama 6 hari, selanjutnya pada hari ke-7

diinduksi dengan karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB (Alkreathy et al., 2014). Dilakukan pengambilan darah pada daerah sinus orbitalis mata untuk penetapan aktivitas ALT dan AST pada jam ke-24 setelah pemberian karbon

tetraklorida.

10. Pembuatan serum

Darah yang diambil dari sinus orbitalis mata tikus kemudian ditampung dalam tabung Eppendorf dan didiamkan selama 15 menit, selanjutnya dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit lalu diambil

supernatannya menggunakan mikro pipet dan selanjutnya dimasukkan ke dalam

tabung Eppendorf yang berbeda. Selanjutnya supernatan tersebut disentrifugasi kembali dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit. Lapisan supernatannya

diambil menggunakan mikro pipet untuk kemudian diukur aktivitas ALT dan

AST.

11. Pengukuran aktivitas ALT dan AST

Alat yang digunakan untuk pengukuran aktivitas ALT-AST adalah

Micro-Vitalab 200. Tahap analisis ALT dan AST dilakukan dengan mengambil sejumlah 100 μL serum dicampurkan dengan 1000 μL reagen I dan divortex selama 5 detik. Campuran didiamkan selama 5 menit selanjutnya dicampur dengan 250 μL reagen II dan divortex selama 5 detik dan didiamkan selama satu

menit. Campuran kemudian dibaca serapannya setelah 1 menit. Aktivitas ALT

dan AST dinyatakan dalam satuan U/L. Aktivitas enzim yang terjadi diukur pada

panjang gelombang 340 nm, pada suhu 37 °C. Pengukuran aktivitas ALT dan

AST dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

F. Tata cara hasil

Data aktivitas dari ALT dan AST serum yang diperoleh, selanjutnya

dianalisis dengan Kolmogorov Smirnov untuk mengetahui distribusi dan varian data tiap kelompok untuk melihat homogenitas antar kelompok sebagai syarat

parametrik. Kemudian dilanjutkan dengan analisis pola searah (One Way ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui perbedaan nilai dari

masing-masing kelompok. Uji Scheffe selanjutnya dilakukan untuk melihat kebermaknaan perbedaan data antara masing-masing kelompok. Perbedaan dikatakan bermakna

(signifikan) bila memiliki nilai p<0,05, sedangkan tidak bermakna (tidak

signifikan) bila p>0,05.

Bila data aktivitas ALT dan AST yang diperoleh tidak normal, maka

digunakan uji Kruskall-Wallis. Selanjutnya dilakukan uji Mann-Whitney untuk melihat kebermaknaan perbedaan data antar kelompok. Perbedaan dikatakan

bermakna (signifikan) bila memiliki nilai p<0,05, sedangkan tidak bermakna

Perhitungan persen efek hepatoprotektif terhadap hepatotoksin karbon

tetraklorida diperoleh dengan rumus sebagai berikut:

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya efek hepatoprotektif

dengan adanya persen efek hepatoprotektif dari infusa daun Sonchus arvensis L. terhadap tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida (CCl4). Untuk

mengetahui seberapa besar efek hepatoprotektif yang dihasilkan maka dilakukan

pengujian dengan aktivitas ALT dan AST sebagai tolak ukur kuantitatif dalam

penelitian ini.

A. Penyiapan Bahan 1. Determinasi tanaman Sonchus arvensis L.

Determinasi tanaman Sonchus arvensis L. yang didapat dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menjamin kebenaran tanaman yang diteliti.

Determinasi dilakukan di Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas

Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Determinasi tanaman Sonchus arvensis L. menggunakan buku acuan karangan Van Steenis (1981) hingga tingkat spesies. Bagian tanaman yang dideterminasi antara lain batang, daun, biji, dan

bunga. Hasil determinasi (lampiran 5) membuktikan bahwa tanaman yang

digunakan pada penelitian ini adalah benar tanaman Sonchus arvensis L.

2. Penetapan konsentrasi infusa

Pada pembuatan infusa dilakukan penetapan konsentrasi maksimal yang

dapat dibuat untuk menentukan dosis maksimal infusa daun Sonchus arvensis L. Konsentrasi maksimal adalah konsentrasi dimana semua serbuk

daun Sonchus arvensis L. terbasahi dan terendam oleh perlarut air. Hasil dari pembuatan infusa didapatkan konsentrasi maksimal sebesar 15% (b/v) yang akan

digunakan untuk menentukan dosis maksimal infusa daun Sonchus arvensis L.

3. Hasil penetapan kadar air

Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui apakah serbuk simplisia

yang digunakan memenuhi persyaratan serbuk yang baik, yaitu memiliki kadar air

kurang dari 10% (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1995).

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Gravimetri dengan menggunakan

alat moisture balance. Serbuk dipanaskan pada suhu 105 oC selama 15 menit di dalam alat, kemudian dilakukan perhitungan kadar air. Perhitungan kadar air

dihitung agar diketahui apakah serbuk telah memenuhi persyaratan strandarisasi

non-spesifik. Penetapan kadar air dilakukan tiga kali replikasi, replikasi 1: 9,48%,

replikasi 2: 9,90%, replikasi 3: 10,03% sehingga hasil yang diperoleh dari

rata-rata replikasi penetapan kadar air serbuk daun Sonchus arvensis L. memiliki kadar air sebesar 9,80%. Hal ini menunjukan bahwa serbuk daun Sonchus arvensis L. memenuhi syarat serbuk yang baik dengan kadar air kurang dari 10%. Apabila

kadar air yang diperoleh lebih dari 10%, dikhawatirkan terdapat bakteri dan jamur

sehingga dapat mempengaruhi kualitas sediaan yang dihasilkan.

B. Uji Pendahuluan 1. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida

Pada penelitian ini digunakan karbon tetraklorida sebagai hepatotoksin.

Pemilihan karbon tetraklorida dilakukan untuk mengetahui pada dosis berapa

merupakan penanda telah terjadinya kerusakan hati. Dalam penelitian ini

peningkatan aktivitas serum ALT berkisar 200-300 U/L sedangkan untuk AST

berkisar antara 500-600 U/L, hal ini menunjukan bahwa karbon tetraklorida

merupakan hepatotoksin yang dapat menyebabkan steatosis hati. Pemilihan dosis hepatotoksin berdasarkan penelitian Janakat dan Al-merie (2002) yaitu 2

ml/kgBB. Dalam penelitian ini dengan dosis 2 ml/kgBB karbon tetraklorida dapat

meningkatkan aktivitas ALT 2,99 kali lipat dari kadar normal bila dibandingkan

dengan kontrol negatif, di mana aktivitas ALT hepatotoksin adalah 246,4 ± 17,0.

Karbon tetraklorida juga dapat meningkatkan aktivitas AST lima kali lipat dari

kadar normal, aktivitas AST hepatotoksin adalah 596,2 ± 25,3. Pemberian

hepatotoksin melalui intraperitoneal dilakukan agar hepatotoksin dapat langsung terabsorpsi dengan cepat menuju pembuluh darah melalui rongga peritoneal

sehingga menimbulkan toksisitas dalam waktu yang singkat. Olive oil berfungsi sebagai pelarut karbon tetraklorida karena bersifat non-toksik dan dapat

melarutkan senyawa nonpolar seperti karbon tetraklorida (Strickley, 2004). Dosis

hepatotoksin karbon tetraklorida yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 2

mL/kgBB dalam olive oil (1:1) secara intraperitoneal mengacu pada penelitian Murugesan, Sathiskumar, Jayabalan, Binupriya, Swaminantan dan Yun (2009).

Berdasarkan penelitian Murugesan, et al. (2009) diketahui bahwa dosis 2 mL/kgBB karbon tetraklorida dapat menimbulkan kerusakan hati tanpa

2. Penetapan waktu pencuplikan darah hewan uji

Penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji dilakukan untuk

mengetahui waktu terjadinya kerusakan yang paling besar pada organ hati yang

ditandai dengan peningkatan aktivitas serum ALT dan AST yang paling besar

tanpa menyebabkan kematian hewan uji. Pencuplikan darah hewan uji dilakukan

pada jam ke-0, 24, dan 48 setelah diinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

secara intraperitoneal. Setelah itu, dilakukan pengukuran terhadap nilai aktivitas serum ALT dan AST. Data aktivitas serum ALT dan AST setelah pemberian

karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada jam ke 0, 24 dan 48 dapat dilihat pada

tabel V. Peneliti tidak melakukan orientasi pencuplikan pada jam ke-72 karena

pada jam ke-48 telah terjadi penurunan yang signifikan baik terhadap aktivitas

serum ALT dan AST sehingga telah dapat dipastikan pada jam ke-72 aktivitas

serum ALT dan AST menurun. Dengan demikian pencuplikan pada jam ke-72

tidak perlu dilakukan karena yang diinginkan adalah waktu di mana karbon

tetraklorida merusak hati paling berat ditunjukan dengan aktivitas serum ALT dan

AST yang paling tinggi. Berikut ini merupakan hasil orientasi waktu pencuplikan

darah hewan uji yang disajikan berdasarkan dalam bentuk tabel dan diagram

batang.

Tabel V. Aktivitas serum ALT-AST setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24 , 48 jam

Selang Waktu (jam) Purata Aktivitas Serum ALT±SE (U/L)

Purata Aktivitas Serum AST±SE (U/L)

0 54,0±3,5 100,2±10,0

24 198,4±23,8 461,2±46,3

48 74,0±8,2 177,2±17,1

Gambar 6. Diagram batang rata-rata aktivitas ALT-serum sel hati tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48 jam

Gambar 7. Diagram batang rata-rata aktivitas AST-serum sel hati tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48 jam

Dari tabel V dan gambar 6 dapat terlihat bahwa aktivitas serum ALT

pada pencuplikan darah 24 jam dengan dosis karbon tetraklorida 2 mL/kgBB

lebih tinggi dibandingkan dengan pencuplikan darah jam ke 0 dan 48.

Berdasarkan tabel V nilai aktivitas serum ALT pada selang waktu 0, 24, 48 jam

adalah 54,0±3,5; 198,4±23,8; dan 74,0±8,2 U/L. Demikian pula pada tabel IV

aktivitas serum AST yang paling tinggi adalah pada kelompok pencuplikan 24

jam, hal ini dapat dilihat dari nilai aktivitas serum AST pada kelompok jam 0, 24,

dan 48 adalah 100,2±10,0; 461,2±46,3; dan 177,2±17,1 U/L. Peneliti tidak

melakukan orientasi pencuplikan pada jam ke-72 karena pada jam ke-48 telah

terjadi penurunan yang signifikan (p<0,05) yang terlihat adanya perbedaan

bermakna dengan jam ke-24, sehingga telah dapat dipastikan pada jam ke-72

aktivitas serum ALT dan AST menurun. Didalam penelitian ini didapatkan waktu

optimal adalah jam ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida. Berdasarkan uji

statistik ANOVA one way pencuplikan darah pada ALT jam ke-24 memberikan hasil berbeda bermakna dengan pencuplikan darah pada jam ke-0 (p=0,012) dan

48 (p=0,005), sedangkan pada AST jam ke-24 memberikan hasil berbeda

bermakna dengan pencuplikan darah jam ke-0 (p=0,002) dan 48 (p=0,003) maka

disimpulkan bahwa hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/kgBB dapat

meningkatkan aktivitas serum ALT dan AST tertinggi pada tikus. Oleh karena itu,

dalam penelitian ini dosis hepatotoksin karbon tetraklorida yang digunakan pada

tikus jantan galur Wistar adalah 2 mL/kgBB dengan selang waktu pengambilan

Tabel VI. Perbedaan kenaikan aktivitas serum ALT setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada waktu pencuplikan darah jam ke-0, 24, 48

ALT Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48

Jam ke-0 BB BTB

Jam ke-24 BB BB

Jam ke-48 BTB BB

Keterangan:

BB = Berbeda bermakna (p<0,05); BTB = Berbeda tidak bermakna (p>0,05)

Tabel VII. Perbedaan kenaikan aktivitas serum AST setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada waktu pencuplikan darah jam ke-0, 24, 48

AST Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48

Jam ke-0 BB BB

Jam ke-24 BB BB

Jam ke-48 BB BB

Keterangan:

BB = Berbeda bermakna (p<0,05); BTB = Berbeda tidak bermakna (p>0,05) 3. Penentuan dosis infusa daun Sonchus arvensis L.

Penetapan dosis infusa daun Sonchus arvensis L. bertujuan untuk menentukan peringkat dosis yang akan digunakan dalam penelitian ini. Penentuan

dosis infusa daun Sonchus arvensis L. didasarkan pada konsentrasi maksimal infusa daun Sonchus arvensis L. yang dapat dibuat (15%) dan setengah volume maksimal rute per oral yang dapat diberikan pada tikus (2,5 mL) dengan bobot

maksimal tikus (0,25 kgBB). Dari konsentrasi tertinggi, setengah volume

maksimal rute peroral pada tikus diperoleh dosis maksimal infusa daun Sonchus arvensis L. sebesar 1,5 g/kgBB. Kemudian ditentukan tiga peringkat dosis infusa daun Sonchus arvensis L., yaitu 0,375; 0,75; dan 1,5 g/kgBB.

C. Hasil uji efek hepatoprotektif jangka panjang infusa daun Sonchus arvensis L. pada tikus jantan terinduksi karbon tetraklorida

Efek hepatoprotektif infusa daun Sonchus arvensis L. dievaluasi berdasarkan pada penurunan aktivitas serum Alanin aminotrasferase (ALT) dan

Aspartat aminotransaminase (AST) dengan pra-perlakuan pemberian tiga peringkat dosis berbeda infusa daun Sonchus arvensis L. selama enam hari sebelum diberikan hepatotoksin karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada hari

ke-7. Peringkat dosis yang diberikan terdiri dari tiga peringkat, dosis terendah

sebesar 0,375 g/kgBB; dosis tengah sebesar 0,75 g/kgBB dan dosis tertinggi

sebesar 1,5 g/kgBB. Hasil penelitian persen efek hepatoprotektif infusa daun

Sonchus arvensis L. yang dapat menimbulkan efek hepatoprotektif berupa aktivitas serum ALT dan AST (U/L) terukur akan ditampilkan dalam bentuk

purata ± SE dalam diagram batang dan tabel.

Tabel VIII. Purata ± SE aktivitas serum ALT dan AST, serta persen efek hepatoprotektif tikus perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L.terinduksi karbon tetraklorida dosis 2

mL/kgBB Kelompok Perlakuan Purata ± SE (U/L) aktivitas serum ALT Purata ± SE (U/L) aktivitas serum AST Persen Hepatoprotektif serum ALT (%) Persen Hepatoprotektif serum AST (%) I 198,4 ± 23,8 461,2 ± 46,3 - - II 41,6 ± 2,3 99,2 ± 8,9 - - III 69,0 ± 3,3 117,6 ± 7,0 - - IV 151,4 ± 17,3 452,0 ± 24,1 30 3 V 67,2 ± 8,6 371,8 ± 36,1 83,7 25 VI 120,2 ± 23,3 313,4 ± 69,1 50 41 Keterangan :

I : Kelompok kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB II : Kelompok kontrol negatif (olive oil dosis 2 mL/kgBB)

III : Kelompok kontrol perlakuan (IDSA dosis 1,5 g/kgBB)

IV : Kelompok praperlakuan dosis I (IDSA 0,375 g/kg BB 6 hari + CCl4 2 mL/kgBB) V : Kelompok praperlakuan dosis II (IDSA 0,75 g/kg BB 6 hari + CCl4 2 mL/kgBB) VI : Kelompok praperlakuan dosis III (IDSA 1,5 g/kg BB 6 hari + CCl4 2 mL/kgBB) IDSA : infusa daun Sonchus arvensis L.

SE : Standard Error

Tabel IX. Perbandingan hasil antara seluruh kelompok kontrol terhadap perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L. berdasarkan

serum ALT pada variasi dosis tertentu

Kelompok Perlakuan Kontrol hepatotoksin CCl4 2mL/kgBB Kontrol negatif olive oil 2mL/kgBB Kontrol IDSA 2 g/kgBB IDSA 0,375 g/kgBB + CCl4 2mL/kgBB IDSA 0,75 g/kgBB + CCl4 2mL/kgBB IDSA 1,5 g/kgBB + CCl4 2mL/kgBB Kontrol hepatotoksin CCl4 2mL/kgBB BB BB BTB BB BTB

Kontrol negatif olive

oil 2mL/kgBB BB BB BB BB BB Kontrol IDSA 2 g/kgBB BB BB BB BTB BB IDSA 0,375 g/kgBB + CCl4 2mL/kgBB BTB BB BB BB BTB IDSA 0,75 g/kgBB + CCl4 2mL/kgBB BB BB BTB BB BTB IDSA 1,5 g/kgBB + CCl4 2mL/kgBB BTB BB BTB BTB BTB Keterangan :

IDSA = Infusa daun Sonchus arvensis L.

BB = Berbeda bermakna (p ≤ 0,05)

BTB = Berbeda tidak bermakna (p > 0,05)

Tabel X. Perbandingan hasil antara seluruh kelompok kontrol terhadap perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L. berdasarkan

serum AST pada variasi dosis tertentu

Kelompok Perlakuan Kontrol hepatotoksin CCl4 2mL/kgBB Kontrol negatif olive oil 2mL/kgBB Kontrol IDSA 2 g/kgBB IDSA 0,375 g/kgBB + CCl4 2mL/kgBB IDSA 0,75 g/kgBB + CCl4 2mL/kgBB IDSA 1,5 g/kgBB + CCl4 2mL/kgBB Kontrol hepatotoksin CCl4 2mL/kgBB BB BB BTB BTB BB

Kontrol negatif olive

oil 2mL/kgBB BB BTB BB BB BB Kontrol IDSA 2

Dokumen terkait