• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek hepatoprotektif jangka panjang infusa daun tempuyung (sonchus arvensis l.) terhadap aktivitas alanin aminotransferase dan aspartate transaminase pada tikus jantan terinduksi karbon tetraklorida.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efek hepatoprotektif jangka panjang infusa daun tempuyung (sonchus arvensis l.) terhadap aktivitas alanin aminotransferase dan aspartate transaminase pada tikus jantan terinduksi karbon tetraklorida."

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

The aim of study research to determine the effect of hepatoprotective and percent hepatoprotective effect of long term infusion of Sonchus arvensis L. leaves in male Wistar rats induced by carbon tetrachloride.

This research is purely experimental research with randomized complete direct sampling design. A total of 30 male Wistar rats were divided randomly into 6 groups in the same amount. Group I (hepatotoxins controlled-group) was given carbon tetrachloride at a dose of 2 ml/kgBW in intraperitoneally. Group II (negative-controlled-group) was given a dose of olive oil 2 ml/kgBW in intraperitoneally. Group III (infusion-controlled-group) was given oral infusion of

Sonchus arvensis L. leaves at a dose of 1.5 g/kgBW for 6 days, then after 6 days was given blood was taken. Group IV, V, and VI (treatment group) were given infusion of Sonchus arvensis L. leaves at a dose of 0.375, 0.75, and 1.5 g/kgBW, then 6 days after administration of infusion dose, 2 ml/kgBW of carbon tetrachloride was adminstered intraperitonially. At the 24th hour after administration of carbon tetrachloride, blood samples from all group were taken through the eyes orbital sinus for measuring the ALT and AST serum activities. The data activity of serum ALT and AST were statistically analyzed with one way ANOVA followed by Bonferroni test and paired t test for normal distribution data and Kruskal-Waliss and Mann-Whitney for abnormal distribution data.

The results showed that the hepatoprotective effect Sonchus arvensis L. leaves infuse long-term male Wistar rats induced by carbon tetrachloride at a dose of 0.75 g / kgBW and 1.5 g / kgBW and and percent hepatoprotective effect on the activity of serum ALT is 30%, 83.7%, 50% and on the activity of serum AST is 3%, 25%, 41%.

(2)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hepatoprotektif serta persen efek hepatoprotektif dari pemberian jangka panjang infusa daun Sonchus arvensis L. terhadap tikus putih jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida. Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian ini dilakukan dengan membagi 30 ekor tikus dibagi ke dalam 6 kelompok sama banyak. Kelompok I (kelompok kontrol hepatotoksin) diberi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB secara

intraperitoneal. Kelompok II (kelompok kontrol negatif) diberi olive oil dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal. Kelompok III (kelompok kontrol infusa) diberi infusa daun Sonchus arvensis L. pada dosis 1,5 g/kgBB selama 6 hari, kemudian pada hari ke-7 darahnya diambil. Kelompok IV, V, dan VI (kelompok perlakuan) diberi peringkat dosis infusa daun Sonchus arvensis L. dosis 0,375; 0,75; dan 1,5 g/kgBB, setelah 6 hari dosis hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/kgBB. Setelah 24 jam pemberian karbon tetraklorida, semua kelompok diambil darahnya pada daerah sinus orbitalis mata untuk penetapan aktivitas serum ALT dan AST. Data aktivitas serum ALT dan AST dianalisis secara statistik dengan menggunakan metode one way ANOVA dilanjutkan dengan Uji Bonferroni dan Uji T berpasangan untuk data yang terdistribusi normal dan Kruskal-Waliss dan Mann-Whitney untuk data yang terdistribusi tidak normal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya efek hepatoprotektif infusa daun Sonchus arvensis L. jangka panjang pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida pada dosis 0,75 g/kgBB dan 1,5 g/kgBB dan persen efek hepatoprotektif pada aktivitas serum ALT secara berturut-turut sebesar 30%, 83,7%, 50% dan pada aktivitas serum AST sebesar 3%, 25%, 41%.

(3)

EFEK HEPATOPROTEKTIF JANGKA PANJANG INFUSA DAUN TEMPUYUNG (Sonchus arvensis L.) TERHADAP AKTIVITAS ALANIN

AMINOTRANSFERASE DAN ASPARTATE TRANSAMINASE PADA TIKUS JANTAN TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Vania Stefi Yuliani NIM : 118114092

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Tetaplah Berkarya, karena Karya itu Akan Membawa Kamu Ketempat yang Tidak Kamu Duga Sebelumnya (hbp)

Bersama ini, saya persembahkan karya ini kepada:

Tuhan Yang Maha Esa

Ibu, Bapak yang telah berjuang membesarkan saya selama ini dalam situasi

apapun. Ini sebagai ungkapan rasa hormat dan bakti saya

Kakak Marsilus Marsell Wibowo serta keluarga besar saya

Bapak/Ibu Dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Sahabat-sahabatku terkasih

Almamaterku tercinta

(7)
(8)
(9)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “Efek Hepatoprotektif pemberian Jangka Panjang Infusa daun Sonchus

arvensis L. terhadap Aktivitas Alanin Aminotrasferase dan Aspartate Transaminase pada Tikus Jantan Terinduksi Karbon Tetraklorida” ini dengan

baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana

Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi,

tidak terlepas dari bantuan dan campur tangan dari berbagai pihak. Oleh karena

itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Prof. Dr. CJ Soegihardjo, Apt. selaku Dosen Pembimbing, atas segala arahan,

bantuan, dukungan, motivasi, pengertian, kesabaran, dan ketulusannya selama

membimbing penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi.

3. Ibu Phebe Hendra, Ph.D., Apt., selaku Dosen Penguji skripsi atas bantuan dan

masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.

4. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M. Si., selaku Dosen Penguji skripsi atas

bantuan dan masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini, serta yang

telah membantu peneliti dalam determinasi tanaman Sonchus arvensis L. 5. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt., selaku Kepala Laboratorium Fakultas

(10)

viii

laboratorium Immunologi, Farmakologi-Toksikologi,

Biofarmasetika-Farmakokinetika, Biokimia, dan Farmakognosi-Fitokimia, demi

terselesaikannya skripsi ini.

6. Seluruh Dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, atas

didikan, bimbingan, dan pendampingannya dalam proses perkuliahan.

7. Pak Supardjiman selaku laboran Laboratorium Hayati Immuno, Pak Heru

selaku laboran Laboratorium Biofarmasetika-Farmakokinetika dan

Farmakologi-Toksikologi, Pak Wagiran selaku laboran Laboratorium

Farmakognosi-Fitokimia, serta Pak Kayatno selaku laboran Laboratorium

Biokimia atas kerja sama dan segala bantuan selama dilaboratorium.

8. Komite Etik Universitas Gadjah Mada, atas izin penggunaan hewan uji dalam

penelitian.

9. Margareta Jeanne Retnopalupi, Fransisca Setyaningsih, Diana fransisca

Tirtawati, Irvan Septya Giantama Balrianan, Agnes Eka Titik Yulikawanti

dan Brigita Yulise sebagai rekan tim Sonchus arvensis L. dalam menjalankan penelitian yang dengan rela membantu proses penelitian penulis.

10.Seluruh warga FKK B angkatan 2011 dan kelas C serta semua teman Farmasi

USD khususnya angkatan 2011.

11.Semua pihak yang telah membantu, memudahkan, dan memperlancar proses

(11)

ix

Penulis menyadari bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna. Oleh karena

itu, penulis mengharapkan adanya kritik, saran dan masukan demi kemajuan di

masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan

ilmu pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian, serta semua pihak, baik

mahasiswa, lingkungan akademis, maupun masyarakat.

Yogyakarta, 24 Juli 2015

(12)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

INTISARI ... xix

ABSTRACT ... xx

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah ... 4

2. Keaslian penelitian ... 5

3. Manfaat penelitian ... 5

B. Tujuan Penelitian ... 6

1. Tujuan umum ... 6

(13)

xi

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 7

A. Tanaman Sonchus arvensis L. ... 7

1. Morfologi tanaman ... 7

2. Taksonomi tanaman ... 8

3. Nama lain ... 8

4. Kandungan kimia tanaman ... 9

5. Sifat dan khasiat tanaman ... 9

B. Hati ... 10

1. Anatomi dan fisiologi hati ... 10

2. Patofisiologi hepar ... 11

C. Karbon Tetraklorida ... 14

1. Sinonim karbon tetraklorida ... 14

2. Definisi dan mekanisme karbon tetraklorida ... 14

E. Metode Pengujian Hepatoprotektif ... 17

F. Infundasi ... 18

1. Pengertian ... 18

2. Infusa ... 18

G. Landasan Teori ... 18

H. Hipotesis ... 20

BAB III. METODE PENELITIAN ... 21

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 21

B. Variabel dan Definisi Operasional ... 21

(14)

xii

2. Definisi operasional ... 22

C. Bahan Penelitian ... 23

1. Bahan utama ... 23

2. Bahan kimia ... 23

D. Alat Penelitian ... 25

1. Alat preparasi dan pembuatan infusa daun Sonchus arvensis L. ... 25

2. Alat pengujian hepatoprotektif ... 25

E. Tata Cara Penelitian ... 26

1. Determinasi tanaman Sonchus arvensis L. ... 26

2. Pengumpulan bahan uji ... 26

3. Pembuatan serbuk daun Sonchus arvensis L. ... 26

4. Penetapan kadar air serbuk kering daun Sonchus arvensis L. ... 27

5. Pembuatan infusa daun Sonchus arvensis L. ... 27

6. Pembuatan larutan karbon tetraklorida konsentrasi 50% ... 28

7. Penetapan dosis infusa daun Sonchus arvensis L. ... 28

8. Uji pendahuluan ... 28

9. Pengelompokkan dan perlakuan hewan uji ... 29

10. Pembuatan serum ... 30

11. Pengukuran aktivitas serum ALT dan AST ... 30

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 31

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

A. Penyiapan Bahan ... 33

(15)

xiii

2. Penetapan konsentrasi infusa daun Sonchus arvensis L. ... 33

3. Hasil penetapan kadar air ... 34

B. Uji Pendahuluan ... 34

1. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida ... 34

2. Penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji ... 36

3. Penentuan dosis infusa daun Sonchus arvensis L. ... 39

C. Efek Hepatoprotektif Pemberian Jangka Panjang infusa daun Sonchus arvensis L. pada Tikus jantan Terinduksi Karbon Tetraklorida ... 39

1. Kontrol negatif olive oil 2 mL/KgBB ... 43

2. Kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/KgBB ... 45

3. Kontrol perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L. ... 46

4. Kelompok perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L. dan dosis 0,375; 0,75; 1,5 g/KgBB pada tikus jantan terinduksi karbon tetraklorida ... 47

D. Rangkuman Pembahasan ... 56

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61

LAMPIRAN ... 65

(16)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Perbandingan virus hepatitis ... 12

Tabel II. Tingkat relatif peningkatan enzim serum pada beberapa kasus

kerusakan hati oleh racun ... 16

Tabel III. Komposisi dan konsentrasi reagen serum ALT ... 24

Tabel IV. Komposisi dan konsentrasi reagen serum AST ... 25

Tabel V. Aktivitas serum ALT-AST setelah pemberian karbon tetraklorida

dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24 , 48 jam ... 36

Tabel VI. Perbedaan kenaikan aktivitas serum ALT setelah pemberian karbon

tetraklorida dosis 2 ml/kgBB pada waktu pencuplikan darah jam 0,

24, 48 ... 39

Tabel VII. Perbedaan kenaikan aktivitas serum AST setelah pemberian karbon

tetraklorida dosis 2 ml/kgBB pada waktu pencuplikan darah jam 0,

24, 48 ... 39

Tabel VIII. Purata ± SD aktivitas serum ALT dan AST, serta persen efek

hepatoprotektif tikus perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L. terinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB ... 40

Tabel IX. Perbandingan hasil antara seluruh kelompok kontrol terhadap

(17)

xv

Tabel X. Perbandingan hasil antara seluruh kelompok kontrol terhadap

perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L. berdasarkan serum AST pada variasi tertentu ... 41

Tabel XI. Aktivitas serum ALT-AST tanpa perlakuan (jam 0) dengan

perlakuan kontrol negatif (jam 24) ... 43

Tabel XII. Perbandingan aktivitas serum ALT tanpa perlakuan (jam ke-0)

dengan perlakuan kontrol negatif (jam ke-24) ... 43

Tabel XIII. Perbandingan aktivitas serum AST tanpa perlakuan (jam ke-0)

(18)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tempuyung ... 7

Gambar 2. Struktur Flavanoid ... 9

Gambar 3. Skruktur terinci hati ... 10

Gambar 4. Struktur karbon tetraklorida ... 14

Gambar 5. struktur reaksi karbon tetraklorida ... 16

Gambar 6. Diagram batang rata-rata aktivitas ALT-serum sel hati tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48 jam ... 37

Gambar 7. Diagram batang rata-rata aktivitas AST-serum sel hati tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48 jam ... 37

Gambar 8. Diagram batang rata-rata aktivitas serum ALT tikus perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L. terinduksi karbon tetraklorida . ... 42

Gambar 9. Diagram batang rata-rata aktivitas serum AST tikus perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L. terinduksi karbon tetraklorida . ... 42

(19)

xvii

Gambar 11. Diagram batang rata-rata aktivitas AST-serum sel hati tikus setelah

(20)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto tanaman Sonchus arvensis L. ... 66

Lampiran 2. Foto serbuk daun Sonchus arvensis L. ... 66

Lampiran 3. Foto pembuatan infusa daun Sonchus arvensis L... 67

Lampiran 4. Foto infusa daun Sonchus arvensis L. ... 67

Lampiran 5. Surat determinasi tanaman Sonchus arvensis L. ... 68

Lampiran 6. Surat ethical clearence penelitian ... 69

Lampiran 7. Surat keterangan hewan uji ... 70

Lampiran 8. Hasil analisis statistik aktivitas serum AST dan AST pada uji pendahuluan waktu pencuplikan darah hewan uji setelah induki karbon tetraklorida 2 mL/kgBB ... 71

Lampiran 9. Hasil analisis statistik data ALT dan AST pada kelompok kontrol olive oil dosis 2 mL/kgBB ... 84

Lampiran 10. Hasil analisis statistik data kontrol CCl4, kontrol olive oil, kontrol infusa, dan perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L. dosis 0,375 g/kgBB; 0,75 g/kgBB; dan 1,5 g/kgBB ... 90

Lampiran 11. Perhitungan %hepatoprotektif ... 105

Lampiran 12. Penetapan kadar air serbuk daun Sonchus arvensis L. ... 106

(21)

xix

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hepatoprotektif serta persen efek hepatoprotektif dari pemberian jangka panjang infusa daun Sonchus arvensis L. terhadap tikus putih jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida. Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian ini dilakukan dengan membagi 30 ekor tikus dibagi ke dalam 6 kelompok sama banyak. Kelompok I (kelompok kontrol hepatotoksin) diberi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB secara

intraperitoneal. Kelompok II (kelompok kontrol negatif) diberi olive oil dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal. Kelompok III (kelompok kontrol infusa) diberi infusa daun Sonchus arvensis L. pada dosis 1,5 g/kgBB selama 6 hari, kemudian pada hari ke-7 darahnya diambil. Kelompok IV, V, dan VI (kelompok perlakuan) diberi peringkat dosis infusa daun Sonchus arvensis L. dosis 0,375; 0,75; dan 1,5 g/kgBB, setelah 6 hari dosis hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/kgBB. Setelah 24 jam pemberian karbon tetraklorida, semua kelompok diambil darahnya pada daerah sinus orbitalis mata untuk penetapan aktivitas serum ALT dan AST. Data aktivitas serum ALT dan AST dianalisis secara statistik dengan menggunakan metode one way ANOVA dilanjutkan dengan Uji Bonferroni dan Uji T berpasangan untuk data yang terdistribusi normal dan Kruskal-Waliss dan Mann-Whitney untuk data yang terdistribusi tidak normal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya efek hepatoprotektif infusa daun Sonchus arvensis L. jangka panjang pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida pada dosis 0,75 g/kgBB dan 1,5 g/kgBB dan persen efek hepatoprotektif pada aktivitas serum ALT secara berturut-turut sebesar 30%, 83,7%, 50% dan pada aktivitas serum AST sebesar 3%, 25%, 41%.

(22)

xx

ABSTRACT

The aim of study research to determine the effect of hepatoprotective and percent hepatoprotective effect of long term infusion of Sonchus arvensis L. leaves in male Wistar rats induced by carbon tetrachloride.

This research is purely experimental research with randomized complete direct sampling design. A total of 30 male Wistar rats were divided randomly into 6 groups in the same amount. Group I (hepatotoxins controlled-group) was given carbon tetrachloride at a dose of 2 ml/kgBW in intraperitoneally. Group II (negative-controlled-group) was given a dose of olive oil 2 ml/kgBW in intraperitoneally. Group III (infusion-controlled-group) was given oral infusion of

Sonchus arvensis L. leaves at a dose of 1.5 g/kgBW for 6 days, then after 6 days was given blood was taken. Group IV, V, and VI (treatment group) were given infusion of Sonchus arvensis L. leaves at a dose of 0.375, 0.75, and 1.5 g/kgBW, then 6 days after administration of infusion dose, 2 ml/kgBW of carbon tetrachloride was adminstered intraperitonially. At the 24th hour after administration of carbon tetrachloride, blood samples from all group were taken through the eyes orbital sinus for measuring the ALT and AST serum activities. The data activity of serum ALT and AST were statistically analyzed with one way ANOVA followed by Bonferroni test and paired t test for normal distribution data and Kruskal-Waliss and Mann-Whitney for abnormal distribution data.

The results showed that the hepatoprotective effect Sonchus arvensis L. leaves infuse long-term male Wistar rats induced by carbon tetrachloride at a dose of 0.75 g / kgBW and 1.5 g / kgBW and and percent hepatoprotective effect on the activity of serum ALT is 30%, 83.7%, 50% and on the activity of serum AST is 3%, 25%, 41%.

(23)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang Penelitian

Hati merupakan organ yang paling besar di dalam tubuh. Hati berperan

penting dalam proses metabolisme dan memiliki beberapa fungsi penting lainnya

yaitu menghasilkan enzim glikogenik glukosa menjadi glikogen, sekresi empedu,

pembentukkan ureum, menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam

karbonat dan air. Selain itu, hati berperan dalam proses detoksifikasi. Kerusakkan

hati dapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia beracun dan obat-obatan tertentu,

dan telah dijadikan sebagai masalah toksikologi yang serius, misalnya alkohol

atau senyawa-senyawa kimia yang berbahaya bagi tubuh (Syaifuddin, 2003).

Salah satu kelainan atau kerusakan organ hati yang sering dijumpai adalah

perlemakan hati (steatosis).

Berdasarkan etiologi penyakit perlemakan hati dapat dibagi menjadi dua,

yaitu perlemakan hati diperantarai alkohol dan perlemakan hati yang tidak

diperantarai alkohol atau disebut non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Secara histologi NAFLD dibagi menjadi non-alcoholic fatty liver (NAFL) dan

non-alcoholic steatohepatitis (NASH). NAFL didefinisikan steatosis hati tanpa adanya kerusakan hepatosit (ballooning). NASH didefinisikan sebagai steatosis

hati dan peradangan dengan kerusakan hepatosit (ballooning) dengan atau tanpa fibrosis (Chalasani, et al., 2012).

Prevalensi dari NAFLD pada populasi di negara-negara bagian Barat

(24)

dari kedua NAFLD, yaitu non-alcoholic fatty liver (NAFL) sekitar 40-50% dan

non-alcoholic steatohepatitis (NASH) sekitar 2-4% dari populasi umum. Penyakit NASH dapat berkembang menjadi sirosis hati dan hepatocarcinoma (Bellentani, Scaglioni, Marino, dan Bedogni, 2010). Selain itu, di Indonesia sendiri prevalensi

NAFLD mencapai 30% (Hasan, Gani, dan Machmud, 2002).

Karbon tetraklorida merupakan senyawa hepatotoksin yang digunakan

sebagai senyawa model dalam penelitian ini. Senyawa karbon tetraklorida

digunakan sebagai senyawa hepatotoksin karena memiliki kemampuan dalam

menginduksi kerusakan hati (Surya, 2009). Pada umumnya, karbon tetraklorida

menyebabkan kerusakan pada hepatosit tikus dalam bentuk degenerasi lemak,

vakuolasi sitoplasma dan fibriosis dengan pembengkakan endotelial (Chaudari,

Chaware, Joshi, dan Biyani, 2009). Karbon tetraklorida akan mengalami reduksi

dehalogenasi di hati melalui aktivasi enzim pemetabolisme sitokrom P450 yang

dapat membentuk radikal bebas triklorometil (•CCl3). Enzim tersebut akan

mereduksi dan mengatalisis adisi elektron yang mengakibatkan hilangnya satu ion

klorin sehingga terbentuk radikal bebas triklorometil (•CCl3). Ikatan kovalen dari

radikal bebas triklorometil (•CCl3) akan menghambat sekresi lipoprotein dan

proses perlemakan hati (steatosis) (Boll, Weber, dan Stampfl, 2001).

Menurut Rahmat, Afrizal, dan Efdi (2013),keanekaragaman tumbuhan di

Indonesia diperkirakan tidak kurang dari 25.000 jenis. Kekayaan ini telah banyak

dimanfaatkan bagi kehidupan, salah satunya sebagai tumbuhan obat. Hutan

Indonesia memiliki jenis tumbuhan obat tidak kurang dari 9.606 jenis dan baru

(25)

belum diketahui terutama dari segi aktivitas biologisnya. Salah satu potensi dari

tumbuhan obat tersebut adalah sebagai antioksidan. Tumbuhan yang memiliki

potensi sebagai antioksidan banyak dijumpai di lingkungan sekitar kita seperti

sayur-sayuran, buah-buahan, rempah-rempah dan tumbuhan lainnya. Salah satu

tanaman yang bisa dijadikan pengobatan alternatif adalah tempuyung (Sonchus arvensis L.).

Pengobatan tradisional menjadi pilihan beberapa masyarakat Indonesia

sebagai komplementer atau subsider pada pengobatan konvensional akibat

mahalnya biaya pengobatan konvensional. Menurut data Riset Kesehatan Dasar

2010, persentase penduduk Indonesia yang pernah mengonsumsi jamu sebanyak

59,12%. Dari jumlah tersebut, sekitar 95,60% masyarakat merasakan manfaatnya.

Dengan kata lain, lebih dari setengah penduduk Indonesia mengonsumsi jamu. Di

Indonesia, sebagian besar pemanfaatan tanaman obat sebagai jamu dilakukan

dengan cara merebus tanaman obat yang kemudian air rebusan tersebut

dikonsumsi. Proses pembuatan sediaan farmasi yang mendekati cara penggunaan

dalam masyarakat adalah infundasi karena dalam prosesnya dilakukan dengan

pemanasan menggunakan penyari air (Yuningsih, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Alkreathy, Khan, Khan dan Sahreen

(2014) mengenai Sonchus arvensis L. yang memiliki aktivitas antioksidan dan memberikan pengaruh hepatoprotektif terhadap kerusakan hati pada tikus yang

terinduksi karbon tetraklorida (CCl4). Hal tersebut yang ditandai dengan adanya

peningkatan aktivitas enzim alanine aminotransferase (ALT), aspartat

(26)

transpeptidase (profil lipid γ-GT), kolesterol total, low-density lipoprotein (LDL),

high-density lipoprotein (HDL) dan trigliserida. Selain itu, tanaman tempuyung mengandung alfa-laktoserol, beta-laktoserol, manitol, inositol, silika, kalium,

flavonoid dan taraksa-sterol. Flavonoid merupakan senyawa antioksidan yang

paling banyak terdapat pada daun Sonchus arvensis L. (Lukas, 2007). Flavonoid merupakan senyawa antioksidan polifenol larut air yang mampu menghambat atau

mencegah terjadinya reaksi oksidasi (Hendriani, Yulinah, Kusnandaranggadiredja,

dan Sukrasno, 2014). Senyawa-senyawa tersebut berperan penting dalam

mempertahankan fungsi normal hati.

Berdasarkan latar belakang tersebut, akan dilakukan penelitian terhadap

efek hepatoprotektif infusa daun Sonchus arvensis L. (tempuyung) dengan pemberian jangka panjang terhadap aktivitas ALT dan AST tikus jantan yang

terinduksi karbon tetraklorida.

1. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan

dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah pemberian jangka panjang infusa daun Sonchus arvensis L. memiliki efek hepatoprotektif terhadap aktivitas AL-AST tikus jantan yang teinduksi

karbon tetraklorida?

(27)

2. Keaslian penelitian

a. Menurut Alkreathy, et al. (2014), ekstrak metanol Sonchus arvensis L. memiliki aktivitas antioksidan serta memberikan pengaruh hepatoprotektif

terhadap kerusakan hati pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida yang

ditandai dengan adanya aktivitas enzim.

b. Menurut Soegihardjo (1984), mencari tumbuh-tumbuhan yang memiliki

khasiat sebagai obat penyakit hati dari Sonchus oleraceus L. (suku Compositae) dengan menggunakan karbon tetraklorida sebagai hepatotoksin.

Sejauh studi pustaka yang dilakukan oleh peneliti, penelitian tentang efek

hepatoprotektif pemberian jangka penjang infusa daun Sonchus arvensis L. terhadap aktivitas serum ALT dan AST pada tikus jantan galur Wistar terinduksi

karbon tetraklorida belum pernah dilakukan.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan khususnya dibidang farmasi untuk mengenai efek

hepatoprotektif dari daun Sonchus arvensis L. b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat secara luas mengenai daun Sonchus arvensis L. yang memiliki efek hepatoprotektif jangka panjang sehingga bisa dijadikan sebagai pengobatan

(28)

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya efek hepatoprotektif

pemberian jangka panjang infusa daun Sonchus arvensis L. pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida dengan cara melihat aktivitas ALT dan AST.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui adanya pengaruh pemberian jangka panjang infusa daun Sonchus arvensis L. memiliki efek hepatoprotektif terhadap aktivitas serum ALT dan AST pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida.

(29)

7

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Tanaman Sonchus arvensis L.

Gambar 1. Tempuyung (Winarto, 2009).

1. Morfologi tanaman

Tempuyung (Sonchus arvensis L.) pada gambar 1 merupakan tumbuhan herbal menahun yang tumbuh tegak, tinggi 0,6-2 m, dan mengandung getah putih

dengan akar tunggang yang kuat. Batang berongga dan berusuk. Daun tunggal,

bagian bawah tumbuh berkumpul pada pangkal membentuk roset akar, berbentuk

lanset atau lonjong, ujung runcing. Pangkal berbentuk jantung tepi berbagi

menyirip tidak teratur, panjang 6-48 cm, dan berwarna hijau muda. Daun yang

keluar dari tangkai bunga bentuknya lebih kecil dengan pangkal memeluk batang,

letaknya berjauhan dan bersilang. Perbungaan berbentuk bonggol yang tergabung

(30)

tetapi lama-kelamaan berubah menjadi merah kecokelatan, buah botak, berbentuk

pipih berambut, dan berwarna cokelat kekuningan (Agung dan Tinton, 2008).

Tanaman ini dapat tumbuh liar di antara puing-puing bangunan, di

tembok, atau di pinggir jalan. Tempuyung termasuk tanaman tahunan dari suku

Asteraceae yang tumbuh baik di tempat berketinggian 50-1600 mdpl. Selain itu,

tempuyung juga bisa hidup di tempat terbuka atau sedikit terlindung. Daerah

dengan curah hujan merata sepanjang tahun atau daerah dengan musim kemarau

pendek juga cocok sebagai tempat hidup tempuyung. Selain tumbuh liar,

tempuyung juga bisa ditanam sebagi tanaman pekarangan (Winarto, 2009).

2. Taksonomi tanaman

Menurut Sonanto (2009), taksonomi tanaman tempuyung yaitu:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Sub divisio : Magnoliophyta

Classis : Asteridae

Ordo : Asterales

Familia : Asteraceae

Genus : Sonchus

Species : Sonchus arvensis L.

3. Nama lain

Tanaman Sonchus arvensis L. beberapa memiliki nama lain yaitu: a. Nama daerah : jombong, jalalakina, galibug, lempung, rayana (Sunda),

(31)

b. Nama asing : Niu she tou (Cina), Litron des champs (Perancis), Sow thisle (Inggris) (Sonanto, 2009).

4. Kandungan kimia tanaman

Menurut Lukas (2007), secara kimia tanaman tempuyung mengandung

alfa-laktoserol, beta-laktoserol, manitol, inositol, flavonoid dan taraksa-sterol.

Flavonoid merupakan senyawa antioksidan yang mendominasi kandungan

fitokimia daun Sonchus arvensis L., yaitu luteolin-7-O-glukosa, apigenin-7-O-glukosa dan kaempferol pada gambar 2 (Sofnie, Sumarny dan Chairul, 2003).

Flavonoid merupakan senyawa antioksidan polifenol larut air yang mampu

menghambat atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi (Hendriani et al., 2014). Kandungan senyawa-senyawa tersebut berperan penting dalam mempertahankan

[image:31.595.100.513.214.593.2]

fungsi normal hati.

Gambar 2. Struktur Flavanoid (Luteolin-7-O-glukosa, Apigenin-7-O-glukosa dan Kaempferol) (Sofnie et al., 2003).

5. Sifat dan khasiat tanaman

Daun tempuyung mempunyai rasa pahit dan dingin. Tumbuhan ini juga

(32)

(litotriptik), menghilangkan rasa panas, antiracun, serta menghilangkan bengkak

(Lukas, 2007).

[image:32.595.98.501.169.573.2]

B.Hati

Gambar 3. Struktur hati (Baradero, Dayrit, Siswadi, 2008).

Hati sangat penting untuk mempertahankan hidup. Fungsi utama hati

dalam proses metabolisme berbagai zat yang diperlukan tubuh seperti karbohidrat,

lemak, protein, vitamin, dan mineral, mensintesis atau membuat protein dan

lipoprotein plasma, serta sekresi empedu. Hati juga mempunyai kemampuan

menetralkan atau mendetoksifikasi za-zat kimia (Sari, Indrawati dan Djing, 2008).

1. Anatomi dan fisiologi hati

Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di ruangan peritoneum tepat

dibawah sisi kanan diafragma dan di bawah rongga dada. Hati memiliki berat

sekitar 1400 gram pada orang dewasa dan dibungkus oleh suatu simpai fibrosa.

Hati menerima hampir 25% curah jantung, yaitu sekitar 1500 mL darah per menit

(33)

curah jantung masuk ke hati melalui vena porta dan arteri hepatika melalui hilum

menuju ke hati. Saluran porta terdiri dari cabang-cabang vena portae, artery

hepatica, dan sistem duktus empedu (Ganong dan McPhee, 2010).

Vena portae bercabang-cabang menjadi vena septum, yang menembus parenkim hepatoselular dengan interval teratur. Darah berasal dari vena septum ini

langsung masuk ke sinosoidal parenkim di antara hepatosit-hepatosit. Artery hepatica mempercabangkan kapiler-kapiler yang mendarahi sistem duktus empedu, kapiler ini biasanya menyalurkan darah ke dalam vena portae tetapi dapat juga ke sinusoid. Arteriole juga kadang-kadang menyalurkan darah langsung ke sinusoid. Sistem duktus empedu membentuk duktulus billiaris, yang melintasi mesenkim saluran porta untuk menembus parenkim mendekati hepatosit

untuk membentuk kanalis hering. Empedu yang mengalir melalui kanalikulus

empedu diantara hepatosit, masuk ke empedu melalui kanalis hering ini. Darah

dari vena portae dan artery hepatica mengalir melalui sinusoid parenkim ke arah

vena hepatica terminal (Ganong dan McPhee, 2010).

2. Patofisiologi

Penyakit hati dibedakan menjadi berbagai jenis, berikut beberapa

macam penyakit hati yang sering ditemukan, yaitu sebagai berikut:

a. Hepatitis

Istilah "hepatitis" dipakai untuk semua jenis peradangan pada hati.

Penyebabnya dapat berbagai macam, mulai dari virus sampai dengan obat-obatan,

termasuk obat tradisional. Virus hepatitis terdiri dari beberapa jenis (tabel I) yaitu

(34)
[image:34.595.101.515.143.512.2]

Tabel I. Perbandingan virus hepatitis (DepKes RI, 2007).

b. Sirosis hati

Setelah terjadi peradangan dan bengkak, hati mencoba memperbaiki

dengan membentuk bekas luka atau parut kecil. Parut ini disebut “fibrosis” yang

membuat hati lebih sulit melakukan fungsinya. Sewaktu kerusakan berjalan,

semakin banyak parut terbentuk dan mulai menyatu, dalam tahap selanjutnya

disebut “sirosis”. Pada sirosis, area hati yang rusak dapat menjadi permanen dan

menjadi sikatriks. Darah tidak dapat mengalir dengan baik pada jaringan hati yang

rusak dan hati mulai menciut, serta menjadi keras. Sirosis hati dapat terjadi karena

virus hepatitis B dan C yang berkelanjutan, alkohol, pelemakan hati atau penyakit

(35)

c. Kanker hati

Kanker hati yang banyak terjadi adalah Hepatocellular carcinoma (HCC). HCC merupakan komplikasi akhir yang serius dari hepatitis kronis,

terutama sirosis yang terjadi karena virus hepatitis B, C dan

hemochromatosis (DepKes RI, 2007). d. Pelemakan hati

Pelemakan hati terjadi bila penimbunan lemak melebihi 5% dari berat hati

atau mengenai lebih dari separuh jaringan sel hati. Pelemakan hati ini

sering berpotensi menjadi penyebab kerusakan hati dan sirosis hati.

Kelainan ini dapat timbul karena mengkonsumsi alkohol berlebih, disebut

ASH (Alcoholic Steatohepatitis), maupun bukan karena alkohol, disebut NASH (Non Alcoholic Steatohepatitis) (DepKes RI, 2007).

e. Kolestasis dan Jaundice

Kolestasis merupakan keadaan akibat kegagalan produksi dan/atau

pengeluaran empedu. Lamanya menderita kolestasis dapat meyebabkan

gagalnya penyerapan lemak dan vitamin A, D, E, K oleh usus, juga adanya

penumpukan asam empedu, bilirubin dan kolesterol di hati. Adanya

kelebihan dalam sirkulasi darah dan penumpukan pigmen empedu pada

kulit, membran mukosa dan bola mata (pada lapisan sklera) disebut

(36)

C. Karbon Tetraklorida

Obat-obat atau senyawa yang dapat menyebabkan kerusakan hati

diklasifikasi menjadi dua, yaitu hepatotoksin teramalkan (intrinsik) dan tak

teramalkan (idiosinkratik) (Hodgson, 2011).

a. Hepatotoksin teramalkan merupakan senyawa yang dapat merusak hati jika

diberikan dalam jumlah yang cukup untuk menimbulkan efek toksik. Jadi

jenis hepatotoksin ini bergantung dari jumlah dosis pemberian senyawa.

Parasetamol dan karbon tetraklorida merupakan contoh hepatotoksin

teramalkan (Forrest, 2006).

b. Hepatotoksin tak teramalkan merupakan senyawa toksik pada hati yang hanya

memberikan efek toksik orang-orang tertentu. Kejadian toksisitasnya tiap

individu akan berbeda-beda dan hepatotoksin jenis ini tidak bergantung pada

dosis pemberian. Contoh senyawa yang termasuk jenis ini adalah isoniazid

dan clorpromazine (Forrest, 2006).

1. Sinonim karbon tetraklorida

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun

2001, nama lain dari karbon tetraklorida adalah Tetrachloromethane, Perchloromethane, Necatorine, Bezinoform.

[image:36.595.105.513.268.594.2]

2. Definisi dan mekanisme karbon tetraklorida

Gambar 4. Struktur karbon tetraklorida

(37)

Karbon tetraklorida (gambar 4) merupakan suatu cairan jernih yang

mudah menguap, tidak berwarna, dan dengan bau khas, BM 153,82 dan sangat

sukar larut dalam air (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1995).

Karbon tetraklorida bisa dijadikan sebagai senyawa model untuk menjelaskan

mekanisme tindakan efek hepatotoksik seperti degenerasi lemak, fibrosis,

kematian hepatoseluler, dan karsinogenik (Boll et al., 2001). Karbon tetraklorida akan mengalami reduksi dehalogenasi di hati melalui aktivasi enzim

pemetabolisme sitokrom P450, terutama CYP2E1 yang dapat membentuk radikal

bebas triklorometil (•CCl3). Enzim sitokrom CYP2E1 akan mereduksi dan

mengatalisis adisi elektron yang mengakibatkan hilangnya satu ion klorin

sehingga terbentuk radikal bebas triklorometil (•CCl3). Radikal bebas

triklorometil merupakan metabolit reaktif dan akan bertambah reaktif jika

bereaksi dengan oksigen akan membentuk radikal triklorometilperoksi (•OOCCl3)

(Gregus dan Klaaseen, 2001). Ikatan kovalen dari radikal bebas triklorometil

(•CCl3) akan memulai penghambatan sekresi lipoprotein dan proses perlemakan

hati (steatosis), sedangkan reaksi dengan oksigen yang membentuk radikal triklorometilperoksi (•CCl3OO) (gambar 5) akan memulai reaksi berantai

peroksidasi lipid (Boll et al., 2001). Radikal triklorometilperoksi yang bereaksi dengan enzim gluthation (GSH) membentuk phosgene. Metabolit ini merupakan intermediet yang bersifat sangat reaktif dan dapat bereaksi dengan makromolekul

seluler untuk menginduksi terjadinya kerusakan sel (Hodgson, 2010). Metabolit

radikal dari karbon tetraklorida akan membentuk ikatan kovalen dengan jaringan

(38)

radikal ini kemudian dapat melakukan peroksidasi pada lipid sehingga mengawali

[image:38.595.99.493.166.516.2]

terjadinya steatosis (Boll et al., 2001).

Gambar 5. Mekanisme reaksi karbon tetraklorida (Timbrell, 2008).

Tabel II. Tingkat relatif peningkatan enzim serum pada beberapa kasus kerusakan hati oleh racun (Zimmerman, 1999)

Toxicant

Lesion Degree of increasse in serum enzyme levels Zona

Necrosis Steatosis ALT AST OCT, SDH

CCl4 + + 4+ 3+ 4+

Thioacetamide + - 4+ 3+ 4+

Tetracycline - + 2 + 1+

Ethionine - + + - +

Phosporous + + 1-2+ 1-2+ 1-2+

Karbon tetraklorida dapat meningkatkan kerusakan hati dengan jenis

perlemakan hati. Kerusakan hati yang dikarenakan karbon tetraklorida dapat

[image:38.595.112.516.539.654.2]
(39)

Karbon tetraklorida dapat meningkatkan aktivitas serum ALT sebesar 3 kali

normal dan aktivitas serum AST sebesar 4 kali normal (Zimmerman, 1999).

D. Metode Pengujian Hepatoprotektif

Pendeteksian kerusakan hepatoselular yang sedang berlangsung dapat

dilakukan dengan mengukur indek fungsional dan mengamati produk hepatosit

yang rusak. Pengujian enzim sering menjadi satu-satunya petunjuk pada saat

terjadinya cidera sel pada penyakit hati karena akibat adanya kompensasi dari

bagian hati yang lain yang masih fungsional karena perubahan ringan kapasitas

eksretorik mungkin tersamarkan. Alanin aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase (AST) serum merupakan dua enzim yang paling sering berikatan dengan kerusakan hepatoselular. ALT memiliki fungsi memindahkan

antara alanin dan asam alfa-ketoglutamat. AST berfungsi memerantarai reaksi

antara asam aspartat dan asam alfa-ketoglutamat (Sacher dan McPherson, 2002).

Sebagian besar ALT ditemukan terutama di hati, sedangkan enzim AST

dapat ditemukan pada hati otot jantung, otot rangka, ginjal, pankreas, otat paru,

sel darah putih, dan sel darah merah. Dengan demikian, jika hanya terjadi

peningkatan kadar AST maka bisa saja yang mengalami kerusakan adalah sel-sel

organ lainnya yang mengandung AST. Pada sebagian besar penyakit hati yang

akut, kadar ALT lebih tinggi atau sama dengan kadar AST. Pada saat terjadi

kerusakan jaringan dan sel-sel hati, kadar AST meningkat 5 kali dari nilai normal

sedangkan ALT meningkat 1-3 kali dari nilai normal (Sari et al., 2008). Adanya kenaikan serum ALT dan AST tersebut menandakan adanya kerusakan dalam sel

(40)

E. Infundasi 1. Pengertian

Infundasi adalah proses penyarian yang digunakan untuk menyari zat

aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Campur simplisia dengan

derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, panaskan di atas

tangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90 oC sambil

sekali-sekali diaduk-aduk. Saring selagi panas melalui kain flanel, tambahkan air panas

secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki.

Infusa simplisia yang mengandung minyak atsiri disaring setelah dingin. Infusa

simplisia yang mengandung lendir tidak boleh diperas. (Badan Pengawasan Obat

dan Makanan, 2010).

2. Infusa

Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi

simplisia nabati dengan air pada suhu 90 oC selama 15 menit. Pembuatan infusa

merupakan cara yang paling sederhana untuk membuat sediaan herbal dari bahan

lunak seperti daun dan bunga. Dapat diminum panas atau dingin (Badan

Pengawasan Obat dan Makanan, 2010).

F. Landasan teori

Hati sangat penting untuk mempertahankan hidup. Fungsi utama hati

dalam proses metabolisme berbagai zat yang diperlukan tubuh seperti karbohidrat,

lemak, protein, vitamin, dan mineral, menyintesis atau membuat protein dan

lipoprotein plasma, serta sekresi empedu. Hati juga mempunyai kemampuan

(41)

Karbon tetraklorida bisa dijadikan sebagai senyawa model untuk

menjelaskan mekanisme tindakan efek hepatotoksik seperti degenerasi lemak,

fibrosis, kematian hepatoseluler, dan karsinogenik (Boll et al., 2003). Karbon tetraklorida akan mengalami reduksi dehalogenasi di hati melalui aktivasi enzim

pemetabolisme sitokrom P450, terutama CYP2E1 yang dapat membentuk radikal

bebas triklorometil (•CCl3) (Gregus dan Klaaseen, 2001). Adanya kenaikan serum

ALT dan AST menandakan adanya kerusakan dalam sel hati (Ganong dan

McPhee, 2011).

Menurut Lukas (2007), secara kimia tanaman tempuyung mengandung

alfa-laktuserol, beta-laktoserol, manitol, inositol, kalium, flavonoid dan

taraksa-sterol. Flavonoid merupakan senyawa antioksidan yang mendominasi kandungan

fitokimia daun Sonchus arvensis L yaitu luteolin-7-O-glukosa, apigenin-7-O-glukosa dan kaempferol pada gambar 2 (Sofnie, Sumarny dan Chairul, 2003).

Kandungan senyawa-senyawa tersebut berperan penting dalam mempertahankan

fungsi normal hati.

Infundasi adalah proses penyarian yang digunakan untuk menyari zat

aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Salah satu zat aktif yang ada

didalam Sonchus arvensis L. adalah flavonoid. Flavonoid merupakan senyawa antioksidan polifenol larut air yang mampu menghambat atau mencegah

(42)

G. Hipotesis

Pemberian infusa daun Sonchus arvensis L. jangka panjang mempunyai efek hepatoprotektif dan persen efek hepatoprotektif yang dapat menurunkan

aktivitas ALT-AST serum pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon

(43)

21

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai efek hepatoprotektif pemberian jangka panjang infusa

daun Sonchus arvensis L., terhadap aktivitas serum ALT- AST pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida merupakan jenis penelitian

eksperimental murni dengan acak lengkap pola searah.

B. Variabel dan Definisi Operasional

Variabel-variabel yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut:

1. Variabel penelitian

a. Variabel utama

1) Variabel bebas

Variabel bebas penelitian ini adalah dosis infusa daun Sonchus arvensis

L. yang dibuat dalam tiga peringkat dosis. Dosis infusa daun Sonchus arvensis L. adalah volume (ml) infusa daun Sonchus arvensis L. tiap satuan kg berat hewan uji yang bersangkutan.

2) Variabel tergantung

Variabel tergantung pada penelitian ini adalah aktivitas ALT-AST serum

pada tikus jantan yang terinduksi karbon tetraklorida (CCl4) setelah

pemberian infusa daun Sonchus arvensis L. b. Variabel pengacau

(44)

a. Kondisi hewan uji, yaitu menggunakan tikus berjenis kelamin jantan,

dengan galur Wistar, berat badan 150-250, umur 2-3 bulan.

b. Frekuensi pemberian infusa daun Sonchus arvensis L. di berikan satu kali selama 6 hari berturut-turut.

c. Cara pemberian senyawa uji dilakukan secara peroral dan pemberian

hepatotoksin karbon tetraklorida diberikan secara intraperitoneal. d. Bahan uji yang digunakan berupa daun Sonchus arvensis L. yang

diambil dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan

Januari 2015.

2) Variabel pengacau tak terkendali

Variabel pengacau tak terkendali pada penelitian ini adalah kondisi

patologis dari hewan uji.

2. Definisi operasional

Definisi operasional penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Daun Sonchus arvensis L.

Daun Sonchus arvensis L. yang diambil dari daun Sonchus arvensis L. adalah yang berwarna hijau, segar dan disekitarnya terdapat kuncup bunga dari

daun Sonchus arvensis L. tersebut. b. Infusa daun Sonchus arvensis L.

(45)

c. Efek hepatoprotektif

Efek hepatoprotektif merupakan kemampuan infusa daun Sonchus arvensis L. dengan dosis tertentu yang diberikan selama satu kali sehari selama 6 hari secara peroral yang melindungi hati dengan cara menurunkan aktivias

ALT-AST pada tikus jantan terinduksi karbon tetraklorida. Menurut Wakchaure, Jain,

Singhai and Somani (2011), mengatakan bahwa apabila persen efek

hepatoprotektif mendekati 0% maka akan menimbulkan efek hepatotoksin.

Sedangkan apabila persen efek hepatoprotektif mendekati 100% maka semakin

besar efek hepatoprotektifnya.

d. Jangka panjang

Penelitian ini dilakukan dengan memberi infusa daun Sonchus arvensis

L. satu kali sehari selama 6 hari secara peroral.

C. Bahan Penelitian 1. Bahan utama

a. Hewan uji yang digunakan adalah tikus jantan, umur 2-3 bulan dengan berat

badan berkisar antara 150-250 g yang diperoleh dari Laboratorium Imono

Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Bahan uji berupa daun Sonchus arvensis L. yang diambil dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Bahan kimia

a. Hepatotoksin

Karbon Tetraklorida Merck ® yang diperoleh dari Laboratorium Kimia

(46)

b. Kontrol negatif

Olive oil yang diperoleh dari PT. Brataco Chemika, Yogyakarta. berperan sebagai kontrol negatif.

c. Pelarut untuk infusa

Aquadest yang diperoleh dari Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

d. Pelarut untuk hepatotoksin

Olive oil yang diperoleh dari PT. Brataco Chemika, Yogyakarta. berperan sebagai pelarut karbon tetraklorida.

e. Blanko

Aquabidestilata yang diperoleh dari Laboratorium Kimia Analisis dan Instrumental Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

f. Reagen ALT

Reagen yang digunakan adalah reagen ALT DiaSys. Komposisi dan

[image:46.595.104.512.255.694.2]

konsentrasi dari reagen ALT adalah sebagai berikut (Tabel III.)

Tabel III. Komposisi dan konsentrasi reagen ALT

Komposisi pH Konsentrasi

R1 : TRIS 7,15 140 mmol/L

L-Alanine 700 mmol/L

LDH (lactate dehydrogenase) ≥2300 U/L

R2 : 2-Oxoglutarate 85 mmol/L

NADH 1 mmol/L

Pyroxidal-5 phospate FS: Good’s buffer

Pyridoxal-5-phosphate

9,6 100 mmol/L

(47)

g. Reagen AST

Reagen yang digunakan adalah reagen ALT DiaSys. Komposisi dan

[image:47.595.98.511.209.584.2]

konsentrasi dari reagen AST adalah sebagai berikut (Tabel IV.)

Tabel IV. Komposisi dan konsentrasi reagen AST

Komposisi pH Konsentrasi

R1 : TRIS 7,15 140 mmol/L

L-Aspartate 700 mmol/L

MDH (malate dehydogenase) ≥800 U/L

LDH (lactate dehydrogenase) ≥1200 U/L

R2 : 2-Oxoglutarate 65 mmol/L

NADH 1 mmol/L

Pyroxidal-5 phospate FS: Good’s buffer

Pyridoxal-5-phosphate

9,6

100 mmol/L 13 mol/L

D. Alat Penelitian

1. Alat preparasi dan pembuatan infusa daun Sonchus arvensis L.

Moisture balance, cawan porselen, panci infundasi, termometer,

stopwatch, gelas Beaker, gelas ukur, batang pengaduk, penangas air, timbangan analitik, dan kain flanel.

2. Alat pengujian hepatoprotektif

Gelas Beaker, gelas ukur, tabung reaksi, labu ukur, tabung reaksi, pipet

tetes, batang pengaduk (Pyrex Iwaki Glass ®), timbangan analitik (Mettler

Toledo®), vortex (Genie Wilten®), spuit injeksi peroral untuk tikus, spuit injeksi

(48)

E. Tata cara penelitian

1. Determinasi tanaman Sonchus arvensis L.

Determinasi tanaman Sonchus arvensis L. dilakukan dengan metode perbandingan untuk megetahui apakah tanaman yang digunakan adalah benar

Sonchus arvensis L., yaitu dengan mencocokkan ciri-ciri tanaman Sonchus arvensis L. yang diperoleh dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tanaman kering daun Sonchus arvensis L. Determinasi dilakukan di Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta. Determinasi tanaman Sonchus arvensis L. menggunakan buku acuan karangan Van Steeni (1981) hingga tingkat spesies. Bagian tanaman yang

dideterminasi antara lain batang, daun, biji, dan bunga.

2. Pengumpulan bahan uji

Bahan uji yang akan dibuat menjadi serbuk adalah daun Sonchus arvensis L. yang masih segar dan berwarna hijau. Daun Sonchus arvensis L. diambil dari awal pertumbuhan bahan (berumur 1 bulan) hingga saat menjelang

berbunga (berumur 1,5 bulan). Daun Sonchus arvensis L. dipanen dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta pada musim penghujan.

3. Pembuatan serbuk daun Sonchus arvensis L.

Daun Sonchus arvensis L. dicuci dengan air mengalir hingga bersih dan diangin-anginkan hingga kering. Pengeringan dilakukan dengan oven pada suhu

(49)

mendapatkan serbuk daun Sonchus arvensis L. yang lebih halus dan ukuran pertikelnya seragam.

4. Penetapan kadar air serbuk kering daun Sonchus arvensis L.

Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui kadar air dalam serbuk

daun Sonchus arvensis L. dan untuk memenuhi persyaratan serbuk yang baik. Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Gravimetri dengan menggunakan

alat moisture balance. Sebanyak 5 g kemudian dimasukan kedalam alat dan diratakan. Bobot serbuk kering daun tersebut ditetapkan sebagai bobot sebelum

pemanasan (bobot A), setelah itu, serbuk dipanaskan pada suhu 105 oC selama 15

menit. Serbuk kering daun Sonchus arvensis L. ditimbang kembali dan dihitung sebagai bobot setelah pemanasan (bobot B). Kemudian dilakukan perhitungan

terhadap selisih bobot A terhadap bobot B yang merupakan kadar air daun

Sonchus arvensis L.

Pengaturan suhu 105 oC selama 15 menit dilakukan untuk menguapkan

kandungan air agar diperoleh nilai hasil pengukuran serbuk daun Sonchus arvensis L. kemudian hasil tersebut dilihat apakah telah memenuhi persyaratan strandarisasi non-spesifik dan memenuhi syarat serbuk yang baik dengan kadar air

kurang dari 10% (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1995).

5. Pembuatan infusa daun Sonchus arvensis L.

Sebanyak 15 g serbuk yang sudah halus dimasukkan ke dalam panci

infusa kemudian ditambahkan 100 mL, panaskan di atas penangas air selama 15

(50)

Saring selagi panas melalui kain flanel, tambahkan air panas secukupnya melalui

ampas hingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki (Badan Pengawasan

Obat dan Makanan, 2010).

6. Pembuatan larutan karbon tetraklorida konsentrasi 50%

Berdasarkan penelitian Janakat dan Al-Merie (2002), larutan karbon

tetraklorida dibuat dengan konsentrasi 50% dengan perbandingan volume karbon

tetraklorida dan pelarut, yakni 1:1. Larutan karbon tetraklorida dibuat dengan

melarutkan karbon tetraklorida ke dalam olive oil yang memiliki volume yang sama.

7. Penetapan dosis infusa daun Sonchus arvensis L.

Dasar penetapan peringkat dosis adalah bobot tertinggi tikus dan

pemberian cairan secara peroral separuhnya, yaitu 2,5 ml. Penetapan dosis

tertinggi infusa daun Sonchus arvensis L. adalah: D x BB = C x 1/2V

D x BB tertinggi tikus ( kg/BB) = C infusa (mg/ml) x 2,5 ml

D = x g/kgBB

Dua dosis lainnya diperoleh dengan menurunkan 2 kalinya dari dosis tertinggi.

8. Uji pendahuluan

a. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida

Penetapan dosis hepatotoksin dilakukan melalui studi literatur yang

dilakukan oleh Janakat dan Al-Merie (2002) yang menyebutkan bahwa dosis

hepatotoksin karbon tetraklorida yang digunakan untuk menginduksi kerusakan

(51)

dengan volume olive oil, yaitu 1:1. Pemilihan dosis hepatotoksik ini karena pada dosis tersebut, terjadi kerusakan sel-sel hati dari tikus jantan galur Wistar yang

terdeteksi dari kenaikan serum ALT dan AST, namun tidak sampai menyebabkan

kematian pada tikus jantan sebagai subjek penelitian tersebut (Janakat, Al-Merie,

2002).

b. Penetapan waktu pencuplikan darah

Waktu pencuplikan darah diperoleh dengan cara melakukan orientasi

dengan tiga kelompok perlakuan waktu, yakni pada waktu ke- 0, 24, dan 48 jam.

Kemudian diukur kenaikan aktivitas ALT dan AST. Penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Janakat dan Al-Merie (2002) telah menunjukkan bahwa terdapat

peningkatan aktivitas ALT pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida yang

dilarutkan dalam olive oil dengan perbandingan 1:1, yakni dengan dosis 2 mL/kgBB. Peningkatan aktivitas maksimal terjadi pada jam ke-18 dan jam ke-24

setelah pemberian karbon tetraklorida secara injeksi dan kemudian berangsur

menurun pada jam ke-48 dan terjadi perbaikan sel hati setelah tiga hari pemberian

hepatotoksin (Janakat, Al-Merie, 2002).

9. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji

Tikus jantan galur Wistar yang diperlukan sebagai hewan uji adalah

sebanyak 30 ekor yang kemudian akan dibagi kedalam 6 kelompok secara acak

sama banyak. Kelompok I (kelompok kontrol hepatotoksin) diberi larutan karbon

(52)

yakni diberi infusa daun Sonchus arvensis L. dengan dosis 1,5 g/kgBB secara peroral (Alkreathy et al., 2014). Kelompok IV-VI (kelompok perlakuan uji) yang diberikan infusa daun Sonchus arvensis L. dengan dosis bertingkat yakni 0,375; 0,75; 1,5 g/kgBB satu kali sehari selama 6 hari, selanjutnya pada hari ke-7

diinduksi dengan karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB (Alkreathy et al., 2014). Dilakukan pengambilan darah pada daerah sinus orbitalis mata untuk penetapan aktivitas ALT dan AST pada jam ke-24 setelah pemberian karbon

tetraklorida.

10. Pembuatan serum

Darah yang diambil dari sinus orbitalis mata tikus kemudian ditampung dalam tabung Eppendorf dan didiamkan selama 15 menit, selanjutnya dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit lalu diambil

supernatannya menggunakan mikro pipet dan selanjutnya dimasukkan ke dalam

tabung Eppendorf yang berbeda. Selanjutnya supernatan tersebut disentrifugasi kembali dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit. Lapisan supernatannya

diambil menggunakan mikro pipet untuk kemudian diukur aktivitas ALT dan

AST.

11. Pengukuran aktivitas ALT dan AST

Alat yang digunakan untuk pengukuran aktivitas ALT-AST adalah

Micro-Vitalab 200. Tahap analisis ALT dan AST dilakukan dengan mengambil

sejumlah 100 μL serum dicampurkan dengan 1000 μL reagen I dan divortex

selama 5 detik. Campuran didiamkan selama 5 menit selanjutnya dicampur

(53)

menit. Campuran kemudian dibaca serapannya setelah 1 menit. Aktivitas ALT

dan AST dinyatakan dalam satuan U/L. Aktivitas enzim yang terjadi diukur pada

panjang gelombang 340 nm, pada suhu 37 °C. Pengukuran aktivitas ALT dan

AST dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

F. Tata cara hasil

Data aktivitas dari ALT dan AST serum yang diperoleh, selanjutnya

dianalisis dengan Kolmogorov Smirnov untuk mengetahui distribusi dan varian data tiap kelompok untuk melihat homogenitas antar kelompok sebagai syarat

parametrik. Kemudian dilanjutkan dengan analisis pola searah (One Way ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui perbedaan nilai dari

masing-masing kelompok. Uji Scheffe selanjutnya dilakukan untuk melihat kebermaknaan perbedaan data antara masing-masing kelompok. Perbedaan dikatakan bermakna

(signifikan) bila memiliki nilai p<0,05, sedangkan tidak bermakna (tidak

signifikan) bila p>0,05.

Bila data aktivitas ALT dan AST yang diperoleh tidak normal, maka

digunakan uji Kruskall-Wallis. Selanjutnya dilakukan uji Mann-Whitney untuk melihat kebermaknaan perbedaan data antar kelompok. Perbedaan dikatakan

bermakna (signifikan) bila memiliki nilai p<0,05, sedangkan tidak bermakna

(54)

Perhitungan persen efek hepatoprotektif terhadap hepatotoksin karbon

tetraklorida diperoleh dengan rumus sebagai berikut:

(55)

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya efek hepatoprotektif

dengan adanya persen efek hepatoprotektif dari infusa daun Sonchus arvensis L. terhadap tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida (CCl4). Untuk

mengetahui seberapa besar efek hepatoprotektif yang dihasilkan maka dilakukan

pengujian dengan aktivitas ALT dan AST sebagai tolak ukur kuantitatif dalam

penelitian ini.

A. Penyiapan Bahan 1. Determinasi tanaman Sonchus arvensis L.

Determinasi tanaman Sonchus arvensis L. yang didapat dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menjamin kebenaran tanaman yang diteliti.

Determinasi dilakukan di Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas

Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Determinasi tanaman Sonchus arvensis L. menggunakan buku acuan karangan Van Steenis (1981) hingga tingkat spesies. Bagian tanaman yang dideterminasi antara lain batang, daun, biji, dan

bunga. Hasil determinasi (lampiran 5) membuktikan bahwa tanaman yang

digunakan pada penelitian ini adalah benar tanaman Sonchus arvensis L.

2. Penetapan konsentrasi infusa

Pada pembuatan infusa dilakukan penetapan konsentrasi maksimal yang

(56)

daun Sonchus arvensis L. terbasahi dan terendam oleh perlarut air. Hasil dari pembuatan infusa didapatkan konsentrasi maksimal sebesar 15% (b/v) yang akan

digunakan untuk menentukan dosis maksimal infusa daun Sonchus arvensis L.

3. Hasil penetapan kadar air

Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui apakah serbuk simplisia

yang digunakan memenuhi persyaratan serbuk yang baik, yaitu memiliki kadar air

kurang dari 10% (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1995).

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Gravimetri dengan menggunakan

alat moisture balance. Serbuk dipanaskan pada suhu 105 oC selama 15 menit di dalam alat, kemudian dilakukan perhitungan kadar air. Perhitungan kadar air

dihitung agar diketahui apakah serbuk telah memenuhi persyaratan strandarisasi

non-spesifik. Penetapan kadar air dilakukan tiga kali replikasi, replikasi 1: 9,48%,

replikasi 2: 9,90%, replikasi 3: 10,03% sehingga hasil yang diperoleh dari

rata-rata replikasi penetapan kadar air serbuk daun Sonchus arvensis L. memiliki kadar air sebesar 9,80%. Hal ini menunjukan bahwa serbuk daun Sonchus arvensis L. memenuhi syarat serbuk yang baik dengan kadar air kurang dari 10%. Apabila

kadar air yang diperoleh lebih dari 10%, dikhawatirkan terdapat bakteri dan jamur

sehingga dapat mempengaruhi kualitas sediaan yang dihasilkan.

B. Uji Pendahuluan 1. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida

Pada penelitian ini digunakan karbon tetraklorida sebagai hepatotoksin.

Pemilihan karbon tetraklorida dilakukan untuk mengetahui pada dosis berapa

(57)

merupakan penanda telah terjadinya kerusakan hati. Dalam penelitian ini

peningkatan aktivitas serum ALT berkisar 200-300 U/L sedangkan untuk AST

berkisar antara 500-600 U/L, hal ini menunjukan bahwa karbon tetraklorida

merupakan hepatotoksin yang dapat menyebabkan steatosis hati. Pemilihan dosis hepatotoksin berdasarkan penelitian Janakat dan Al-merie (2002) yaitu 2

ml/kgBB. Dalam penelitian ini dengan dosis 2 ml/kgBB karbon tetraklorida dapat

meningkatkan aktivitas ALT 2,99 kali lipat dari kadar normal bila dibandingkan

dengan kontrol negatif, di mana aktivitas ALT hepatotoksin adalah 246,4 ± 17,0.

Karbon tetraklorida juga dapat meningkatkan aktivitas AST lima kali lipat dari

kadar normal, aktivitas AST hepatotoksin adalah 596,2 ± 25,3. Pemberian

hepatotoksin melalui intraperitoneal dilakukan agar hepatotoksin dapat langsung terabsorpsi dengan cepat menuju pembuluh darah melalui rongga peritoneal

sehingga menimbulkan toksisitas dalam waktu yang singkat. Olive oil berfungsi sebagai pelarut karbon tetraklorida karena bersifat non-toksik dan dapat

melarutkan senyawa nonpolar seperti karbon tetraklorida (Strickley, 2004). Dosis

hepatotoksin karbon tetraklorida yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 2

mL/kgBB dalam olive oil (1:1) secara intraperitoneal mengacu pada penelitian Murugesan, Sathiskumar, Jayabalan, Binupriya, Swaminantan dan Yun (2009).

Berdasarkan penelitian Murugesan, et al. (2009) diketahui bahwa dosis 2 mL/kgBB karbon tetraklorida dapat menimbulkan kerusakan hati tanpa

(58)

2. Penetapan waktu pencuplikan darah hewan uji

Penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji dilakukan untuk

mengetahui waktu terjadinya kerusakan yang paling besar pada organ hati yang

ditandai dengan peningkatan aktivitas serum ALT dan AST yang paling besar

tanpa menyebabkan kematian hewan uji. Pencuplikan darah hewan uji dilakukan

pada jam ke-0, 24, dan 48 setelah diinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB

secara intraperitoneal. Setelah itu, dilakukan pengukuran terhadap nilai aktivitas serum ALT dan AST. Data aktivitas serum ALT dan AST setelah pemberian

karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada jam ke 0, 24 dan 48 dapat dilihat pada

tabel V. Peneliti tidak melakukan orientasi pencuplikan pada jam ke-72 karena

pada jam ke-48 telah terjadi penurunan yang signifikan baik terhadap aktivitas

serum ALT dan AST sehingga telah dapat dipastikan pada jam ke-72 aktivitas

serum ALT dan AST menurun. Dengan demikian pencuplikan pada jam ke-72

tidak perlu dilakukan karena yang diinginkan adalah waktu di mana karbon

tetraklorida merusak hati paling berat ditunjukan dengan aktivitas serum ALT dan

AST yang paling tinggi. Berikut ini merupakan hasil orientasi waktu pencuplikan

darah hewan uji yang disajikan berdasarkan dalam bentuk tabel dan diagram

[image:58.595.112.525.628.704.2]

batang.

Tabel V. Aktivitas serum ALT-AST setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24 , 48 jam

Selang Waktu (jam) Purata Aktivitas Serum ALT±SE (U/L)

Purata Aktivitas Serum AST±SE (U/L)

0 54,0±3,5 100,2±10,0

24 198,4±23,8 461,2±46,3

48 74,0±8,2 177,2±17,1

(59)
[image:59.595.100.501.100.714.2]

Gambar 6. Diagram batang rata-rata aktivitas ALT-serum sel hati tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48 jam

(60)

Dari tabel V dan gambar 6 dapat terlihat bahwa aktivitas serum ALT

pada pencuplikan darah 24 jam dengan dosis karbon tetraklorida 2 mL/kgBB

lebih tinggi dibandingkan dengan pencuplikan darah jam ke 0 dan 48.

Berdasarkan tabel V nilai aktivitas serum ALT pada selang waktu 0, 24, 48 jam

adalah 54,0±3,5; 198,4±23,8; dan 74,0±8,2 U/L. Demikian pula pada tabel IV

aktivitas serum AST yang paling tinggi adalah pada kelompok pencuplikan 24

jam, hal ini dapat dilihat dari nilai aktivitas serum AST pada kelompok jam 0, 24,

dan 48 adalah 100,2±10,0; 461,2±46,3; dan 177,2±17,1 U/L. Peneliti tidak

melakukan orientasi pencuplikan pada jam ke-72 karena pada jam ke-48 telah

terjadi penurunan yang signifikan (p<0,05) yang terlihat adanya perbedaan

bermakna dengan jam ke-24, sehingga telah dapat dipastikan pada jam ke-72

aktivitas serum ALT dan AST menurun. Didalam penelitian ini didapatkan waktu

optimal adalah jam ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida. Berdasarkan uji

statistik ANOVA one way pencuplikan darah pada ALT jam ke-24 memberikan hasil berbeda bermakna dengan pencuplikan darah pada jam ke-0 (p=0,012) dan

48 (p=0,005), sedangkan pada AST jam ke-24 memberikan hasil berbeda

bermakna dengan pencuplikan darah jam ke-0 (p=0,002) dan 48 (p=0,003) maka

disimpulkan bahwa hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/kgBB dapat

meningkatkan aktivitas serum ALT dan AST tertinggi pada tikus. Oleh karena itu,

dalam penelitian ini dosis hepatotoksin karbon tetraklorida yang digunakan pada

tikus jantan galur Wistar adalah 2 mL/kgBB dengan selang waktu pengambilan

(61)
[image:61.595.105.516.149.214.2]

Tabel VI. Perbedaan kenaikan aktivitas serum ALT setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada waktu pencuplikan darah jam ke-0, 24, 48

ALT Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48

Gambar

Tabel I. Perbandingan virus hepatitis ..............................................................
Tabel XI. Aktivitas serum ALT-AST tanpa perlakuan (jam 0) dengan
Gambar 11. Diagram batang rata-rata aktivitas AST-serum sel hati tikus setelah
Gambar 1. Tempuyung (Winarto, 2009).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Benih tomat varietas Ratna diinokulasi secara buatan dengan isolat Cmm kemudian dikecambahkan pada medium kertas, sementara sebagiannya ditumbuhkan di dalam pot, Bibit

Kebijakan moneter yang dapat dilakukan untuk mecapai tujuan ini adalah mengurangi tingkat cadangan minimum, menurunkan tingkat bunga dan membeli surat-surat berharga dari

Dend dJsujav SEttr. ENGLISS

kebohidnr. pnlein .bn lenat heniadi 2arzi ydg lebih ederhsa scFeni.. asm anino de asm lenal sehingga frud:n dicema oleh temal,. dGmping it! lemenusi.iDea dapat

Hasil: Terdapat kadar timbal dalam rambut akibat paparan kronis pada sopir kendaraan umum di Kota Mataram dengan kadar rata – rata adalah 8,4085 μg/g dengan persentase 28,3% di

Dalam tingkat Kasasi Mahkamah Agung telah menguatkan Putusan Pengadilan Agama Semarang karena Mahkamah Agung beranggapan bahwa antara kedua belah pihak suami dan istri

menggunakn bahan/barang yang ditemukan di lingkungan tempat tinggal siswa. Melihat penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa KIT IPA merupakan alat yang berguna

Bahwa berdasarkan segala fakta hukum, maka Hakim berpendapat materi permohonan Pemohon dinilai cukup beralasan menurut hukum memohon didalam melakukan perbuatan hukum