ABSTRACT
The aim of study research to determine the effect of hepatoprotective and percent hepatoprotective effect of long term infusion of Sonchus arvensis L. leaves in male Wistar rats induced by carbon tetrachloride.
This research is purely experimental research with randomized complete direct sampling design. A total of 30 male Wistar rats were divided randomly into 6 groups in the same amount. Group I (hepatotoxins controlled-group) was given carbon tetrachloride at a dose of 2 ml/kgBW in intraperitoneally. Group II (negative-controlled-group) was given a dose of olive oil 2 ml/kgBW in intraperitoneally. Group III (infusion-controlled-group) was given oral infusion of
Sonchus arvensis L. leaves at a dose of 1.5 g/kgBW for 6 days, then after 6 days was given blood was taken. Group IV, V, and VI (treatment group) were given infusion of Sonchus arvensis L. leaves at a dose of 0.375, 0.75, and 1.5 g/kgBW, then 6 days after administration of infusion dose, 2 ml/kgBW of carbon tetrachloride was adminstered intraperitonially. At the 24th hour after administration of carbon tetrachloride, blood samples from all group were taken through the eyes orbital sinus for measuring the ALT and AST serum activities. The data activity of serum ALT and AST were statistically analyzed with one way ANOVA followed by Bonferroni test and paired t test for normal distribution data and Kruskal-Waliss and Mann-Whitney for abnormal distribution data.
The results showed that the hepatoprotective effect Sonchus arvensis L. leaves infuse long-term male Wistar rats induced by carbon tetrachloride at a dose of 0.75 g / kgBW and 1.5 g / kgBW and and percent hepatoprotective effect on the activity of serum ALT is 30%, 83.7%, 50% and on the activity of serum AST is 3%, 25%, 41%.
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hepatoprotektif serta persen efek hepatoprotektif dari pemberian jangka panjang infusa daun Sonchus arvensis L. terhadap tikus putih jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida. Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian ini dilakukan dengan membagi 30 ekor tikus dibagi ke dalam 6 kelompok sama banyak. Kelompok I (kelompok kontrol hepatotoksin) diberi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB secara
intraperitoneal. Kelompok II (kelompok kontrol negatif) diberi olive oil dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal. Kelompok III (kelompok kontrol infusa) diberi infusa daun Sonchus arvensis L. pada dosis 1,5 g/kgBB selama 6 hari, kemudian pada hari ke-7 darahnya diambil. Kelompok IV, V, dan VI (kelompok perlakuan) diberi peringkat dosis infusa daun Sonchus arvensis L. dosis 0,375; 0,75; dan 1,5 g/kgBB, setelah 6 hari dosis hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/kgBB. Setelah 24 jam pemberian karbon tetraklorida, semua kelompok diambil darahnya pada daerah sinus orbitalis mata untuk penetapan aktivitas serum ALT dan AST. Data aktivitas serum ALT dan AST dianalisis secara statistik dengan menggunakan metode one way ANOVA dilanjutkan dengan Uji Bonferroni dan Uji T berpasangan untuk data yang terdistribusi normal dan Kruskal-Waliss dan Mann-Whitney untuk data yang terdistribusi tidak normal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya efek hepatoprotektif infusa daun Sonchus arvensis L. jangka panjang pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida pada dosis 0,75 g/kgBB dan 1,5 g/kgBB dan persen efek hepatoprotektif pada aktivitas serum ALT secara berturut-turut sebesar 30%, 83,7%, 50% dan pada aktivitas serum AST sebesar 3%, 25%, 41%.
EFEK HEPATOPROTEKTIF JANGKA PANJANG INFUSA DAUN TEMPUYUNG (Sonchus arvensis L.) TERHADAP AKTIVITAS ALANIN
AMINOTRANSFERASE DAN ASPARTATE TRANSAMINASE PADA TIKUS JANTAN TERINDUKSI KARBON TETRAKLORIDA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Vania Stefi Yuliani NIM : 118114092
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Tetaplah Berkarya, karena Karya itu Akan Membawa Kamu Ketempat yang Tidak Kamu Duga Sebelumnya (hbp)
Bersama ini, saya persembahkan karya ini kepada:
Tuhan Yang Maha Esa
Ibu, Bapak yang telah berjuang membesarkan saya selama ini dalam situasi
apapun. Ini sebagai ungkapan rasa hormat dan bakti saya
Kakak Marsilus Marsell Wibowo serta keluarga besar saya
Bapak/Ibu Dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Sahabat-sahabatku terkasih
Almamaterku tercinta
vii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan
judul “Efek Hepatoprotektif pemberian Jangka Panjang Infusa daun Sonchus
arvensis L. terhadap Aktivitas Alanin Aminotrasferase dan Aspartate Transaminase pada Tikus Jantan Terinduksi Karbon Tetraklorida” ini dengan
baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi,
tidak terlepas dari bantuan dan campur tangan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Prof. Dr. CJ Soegihardjo, Apt. selaku Dosen Pembimbing, atas segala arahan,
bantuan, dukungan, motivasi, pengertian, kesabaran, dan ketulusannya selama
membimbing penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi.
3. Ibu Phebe Hendra, Ph.D., Apt., selaku Dosen Penguji skripsi atas bantuan dan
masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini.
4. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M. Si., selaku Dosen Penguji skripsi atas
bantuan dan masukkan kepada penulis demi kemajuan skripsi ini, serta yang
telah membantu peneliti dalam determinasi tanaman Sonchus arvensis L. 5. Ibu Agustina Setiawati, M.Sc., Apt., selaku Kepala Laboratorium Fakultas
viii
laboratorium Immunologi, Farmakologi-Toksikologi,
Biofarmasetika-Farmakokinetika, Biokimia, dan Farmakognosi-Fitokimia, demi
terselesaikannya skripsi ini.
6. Seluruh Dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, atas
didikan, bimbingan, dan pendampingannya dalam proses perkuliahan.
7. Pak Supardjiman selaku laboran Laboratorium Hayati Immuno, Pak Heru
selaku laboran Laboratorium Biofarmasetika-Farmakokinetika dan
Farmakologi-Toksikologi, Pak Wagiran selaku laboran Laboratorium
Farmakognosi-Fitokimia, serta Pak Kayatno selaku laboran Laboratorium
Biokimia atas kerja sama dan segala bantuan selama dilaboratorium.
8. Komite Etik Universitas Gadjah Mada, atas izin penggunaan hewan uji dalam
penelitian.
9. Margareta Jeanne Retnopalupi, Fransisca Setyaningsih, Diana fransisca
Tirtawati, Irvan Septya Giantama Balrianan, Agnes Eka Titik Yulikawanti
dan Brigita Yulise sebagai rekan tim Sonchus arvensis L. dalam menjalankan penelitian yang dengan rela membantu proses penelitian penulis.
10.Seluruh warga FKK B angkatan 2011 dan kelas C serta semua teman Farmasi
USD khususnya angkatan 2011.
11.Semua pihak yang telah membantu, memudahkan, dan memperlancar proses
ix
Penulis menyadari bahwa setiap manusia tidak ada yang sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan adanya kritik, saran dan masukan demi kemajuan di
masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan khususnya di bidang kefarmasian, serta semua pihak, baik
mahasiswa, lingkungan akademis, maupun masyarakat.
Yogyakarta, 24 Juli 2015
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ... vi
PRAKATA ... vii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
INTISARI ... xix
ABSTRACT ... xx
BAB I. PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Perumusan masalah ... 4
2. Keaslian penelitian ... 5
3. Manfaat penelitian ... 5
B. Tujuan Penelitian ... 6
1. Tujuan umum ... 6
xi
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 7
A. Tanaman Sonchus arvensis L. ... 7
1. Morfologi tanaman ... 7
2. Taksonomi tanaman ... 8
3. Nama lain ... 8
4. Kandungan kimia tanaman ... 9
5. Sifat dan khasiat tanaman ... 9
B. Hati ... 10
1. Anatomi dan fisiologi hati ... 10
2. Patofisiologi hepar ... 11
C. Karbon Tetraklorida ... 14
1. Sinonim karbon tetraklorida ... 14
2. Definisi dan mekanisme karbon tetraklorida ... 14
E. Metode Pengujian Hepatoprotektif ... 17
F. Infundasi ... 18
1. Pengertian ... 18
2. Infusa ... 18
G. Landasan Teori ... 18
H. Hipotesis ... 20
BAB III. METODE PENELITIAN ... 21
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 21
B. Variabel dan Definisi Operasional ... 21
xii
2. Definisi operasional ... 22
C. Bahan Penelitian ... 23
1. Bahan utama ... 23
2. Bahan kimia ... 23
D. Alat Penelitian ... 25
1. Alat preparasi dan pembuatan infusa daun Sonchus arvensis L. ... 25
2. Alat pengujian hepatoprotektif ... 25
E. Tata Cara Penelitian ... 26
1. Determinasi tanaman Sonchus arvensis L. ... 26
2. Pengumpulan bahan uji ... 26
3. Pembuatan serbuk daun Sonchus arvensis L. ... 26
4. Penetapan kadar air serbuk kering daun Sonchus arvensis L. ... 27
5. Pembuatan infusa daun Sonchus arvensis L. ... 27
6. Pembuatan larutan karbon tetraklorida konsentrasi 50% ... 28
7. Penetapan dosis infusa daun Sonchus arvensis L. ... 28
8. Uji pendahuluan ... 28
9. Pengelompokkan dan perlakuan hewan uji ... 29
10. Pembuatan serum ... 30
11. Pengukuran aktivitas serum ALT dan AST ... 30
F. Tata Cara Analisis Hasil ... 31
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
A. Penyiapan Bahan ... 33
xiii
2. Penetapan konsentrasi infusa daun Sonchus arvensis L. ... 33
3. Hasil penetapan kadar air ... 34
B. Uji Pendahuluan ... 34
1. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida ... 34
2. Penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji ... 36
3. Penentuan dosis infusa daun Sonchus arvensis L. ... 39
C. Efek Hepatoprotektif Pemberian Jangka Panjang infusa daun Sonchus arvensis L. pada Tikus jantan Terinduksi Karbon Tetraklorida ... 39
1. Kontrol negatif olive oil 2 mL/KgBB ... 43
2. Kontrol hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/KgBB ... 45
3. Kontrol perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L. ... 46
4. Kelompok perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L. dan dosis 0,375; 0,75; 1,5 g/KgBB pada tikus jantan terinduksi karbon tetraklorida ... 47
D. Rangkuman Pembahasan ... 56
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 60
A. Kesimpulan ... 60
B. Saran ... 60
DAFTAR PUSTAKA ... 61
LAMPIRAN ... 65
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel I. Perbandingan virus hepatitis ... 12
Tabel II. Tingkat relatif peningkatan enzim serum pada beberapa kasus
kerusakan hati oleh racun ... 16
Tabel III. Komposisi dan konsentrasi reagen serum ALT ... 24
Tabel IV. Komposisi dan konsentrasi reagen serum AST ... 25
Tabel V. Aktivitas serum ALT-AST setelah pemberian karbon tetraklorida
dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24 , 48 jam ... 36
Tabel VI. Perbedaan kenaikan aktivitas serum ALT setelah pemberian karbon
tetraklorida dosis 2 ml/kgBB pada waktu pencuplikan darah jam 0,
24, 48 ... 39
Tabel VII. Perbedaan kenaikan aktivitas serum AST setelah pemberian karbon
tetraklorida dosis 2 ml/kgBB pada waktu pencuplikan darah jam 0,
24, 48 ... 39
Tabel VIII. Purata ± SD aktivitas serum ALT dan AST, serta persen efek
hepatoprotektif tikus perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L. terinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB ... 40
Tabel IX. Perbandingan hasil antara seluruh kelompok kontrol terhadap
xv
Tabel X. Perbandingan hasil antara seluruh kelompok kontrol terhadap
perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L. berdasarkan serum AST pada variasi tertentu ... 41
Tabel XI. Aktivitas serum ALT-AST tanpa perlakuan (jam 0) dengan
perlakuan kontrol negatif (jam 24) ... 43
Tabel XII. Perbandingan aktivitas serum ALT tanpa perlakuan (jam ke-0)
dengan perlakuan kontrol negatif (jam ke-24) ... 43
Tabel XIII. Perbandingan aktivitas serum AST tanpa perlakuan (jam ke-0)
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Tempuyung ... 7
Gambar 2. Struktur Flavanoid ... 9
Gambar 3. Skruktur terinci hati ... 10
Gambar 4. Struktur karbon tetraklorida ... 14
Gambar 5. struktur reaksi karbon tetraklorida ... 16
Gambar 6. Diagram batang rata-rata aktivitas ALT-serum sel hati tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48 jam ... 37
Gambar 7. Diagram batang rata-rata aktivitas AST-serum sel hati tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48 jam ... 37
Gambar 8. Diagram batang rata-rata aktivitas serum ALT tikus perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L. terinduksi karbon tetraklorida . ... 42
Gambar 9. Diagram batang rata-rata aktivitas serum AST tikus perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L. terinduksi karbon tetraklorida . ... 42
xvii
Gambar 11. Diagram batang rata-rata aktivitas AST-serum sel hati tikus setelah
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Foto tanaman Sonchus arvensis L. ... 66
Lampiran 2. Foto serbuk daun Sonchus arvensis L. ... 66
Lampiran 3. Foto pembuatan infusa daun Sonchus arvensis L... 67
Lampiran 4. Foto infusa daun Sonchus arvensis L. ... 67
Lampiran 5. Surat determinasi tanaman Sonchus arvensis L. ... 68
Lampiran 6. Surat ethical clearence penelitian ... 69
Lampiran 7. Surat keterangan hewan uji ... 70
Lampiran 8. Hasil analisis statistik aktivitas serum AST dan AST pada uji pendahuluan waktu pencuplikan darah hewan uji setelah induki karbon tetraklorida 2 mL/kgBB ... 71
Lampiran 9. Hasil analisis statistik data ALT dan AST pada kelompok kontrol olive oil dosis 2 mL/kgBB ... 84
Lampiran 10. Hasil analisis statistik data kontrol CCl4, kontrol olive oil, kontrol infusa, dan perlakuan infusa daun Sonchus arvensis L. dosis 0,375 g/kgBB; 0,75 g/kgBB; dan 1,5 g/kgBB ... 90
Lampiran 11. Perhitungan %hepatoprotektif ... 105
Lampiran 12. Penetapan kadar air serbuk daun Sonchus arvensis L. ... 106
xix
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek hepatoprotektif serta persen efek hepatoprotektif dari pemberian jangka panjang infusa daun Sonchus arvensis L. terhadap tikus putih jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida. Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian ini dilakukan dengan membagi 30 ekor tikus dibagi ke dalam 6 kelompok sama banyak. Kelompok I (kelompok kontrol hepatotoksin) diberi karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB secara
intraperitoneal. Kelompok II (kelompok kontrol negatif) diberi olive oil dosis 2 mL/kgBB secara intraperitoneal. Kelompok III (kelompok kontrol infusa) diberi infusa daun Sonchus arvensis L. pada dosis 1,5 g/kgBB selama 6 hari, kemudian pada hari ke-7 darahnya diambil. Kelompok IV, V, dan VI (kelompok perlakuan) diberi peringkat dosis infusa daun Sonchus arvensis L. dosis 0,375; 0,75; dan 1,5 g/kgBB, setelah 6 hari dosis hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/kgBB. Setelah 24 jam pemberian karbon tetraklorida, semua kelompok diambil darahnya pada daerah sinus orbitalis mata untuk penetapan aktivitas serum ALT dan AST. Data aktivitas serum ALT dan AST dianalisis secara statistik dengan menggunakan metode one way ANOVA dilanjutkan dengan Uji Bonferroni dan Uji T berpasangan untuk data yang terdistribusi normal dan Kruskal-Waliss dan Mann-Whitney untuk data yang terdistribusi tidak normal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya efek hepatoprotektif infusa daun Sonchus arvensis L. jangka panjang pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida pada dosis 0,75 g/kgBB dan 1,5 g/kgBB dan persen efek hepatoprotektif pada aktivitas serum ALT secara berturut-turut sebesar 30%, 83,7%, 50% dan pada aktivitas serum AST sebesar 3%, 25%, 41%.
xx
ABSTRACT
The aim of study research to determine the effect of hepatoprotective and percent hepatoprotective effect of long term infusion of Sonchus arvensis L. leaves in male Wistar rats induced by carbon tetrachloride.
This research is purely experimental research with randomized complete direct sampling design. A total of 30 male Wistar rats were divided randomly into 6 groups in the same amount. Group I (hepatotoxins controlled-group) was given carbon tetrachloride at a dose of 2 ml/kgBW in intraperitoneally. Group II (negative-controlled-group) was given a dose of olive oil 2 ml/kgBW in intraperitoneally. Group III (infusion-controlled-group) was given oral infusion of
Sonchus arvensis L. leaves at a dose of 1.5 g/kgBW for 6 days, then after 6 days was given blood was taken. Group IV, V, and VI (treatment group) were given infusion of Sonchus arvensis L. leaves at a dose of 0.375, 0.75, and 1.5 g/kgBW, then 6 days after administration of infusion dose, 2 ml/kgBW of carbon tetrachloride was adminstered intraperitonially. At the 24th hour after administration of carbon tetrachloride, blood samples from all group were taken through the eyes orbital sinus for measuring the ALT and AST serum activities. The data activity of serum ALT and AST were statistically analyzed with one way ANOVA followed by Bonferroni test and paired t test for normal distribution data and Kruskal-Waliss and Mann-Whitney for abnormal distribution data.
The results showed that the hepatoprotective effect Sonchus arvensis L. leaves infuse long-term male Wistar rats induced by carbon tetrachloride at a dose of 0.75 g / kgBW and 1.5 g / kgBW and and percent hepatoprotective effect on the activity of serum ALT is 30%, 83.7%, 50% and on the activity of serum AST is 3%, 25%, 41%.
1
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Penelitian
Hati merupakan organ yang paling besar di dalam tubuh. Hati berperan
penting dalam proses metabolisme dan memiliki beberapa fungsi penting lainnya
yaitu menghasilkan enzim glikogenik glukosa menjadi glikogen, sekresi empedu,
pembentukkan ureum, menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam
karbonat dan air. Selain itu, hati berperan dalam proses detoksifikasi. Kerusakkan
hati dapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia beracun dan obat-obatan tertentu,
dan telah dijadikan sebagai masalah toksikologi yang serius, misalnya alkohol
atau senyawa-senyawa kimia yang berbahaya bagi tubuh (Syaifuddin, 2003).
Salah satu kelainan atau kerusakan organ hati yang sering dijumpai adalah
perlemakan hati (steatosis).
Berdasarkan etiologi penyakit perlemakan hati dapat dibagi menjadi dua,
yaitu perlemakan hati diperantarai alkohol dan perlemakan hati yang tidak
diperantarai alkohol atau disebut non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Secara histologi NAFLD dibagi menjadi non-alcoholic fatty liver (NAFL) dan
non-alcoholic steatohepatitis (NASH). NAFL didefinisikan steatosis hati tanpa adanya kerusakan hepatosit (ballooning). NASH didefinisikan sebagai steatosis
hati dan peradangan dengan kerusakan hepatosit (ballooning) dengan atau tanpa fibrosis (Chalasani, et al., 2012).
Prevalensi dari NAFLD pada populasi di negara-negara bagian Barat
dari kedua NAFLD, yaitu non-alcoholic fatty liver (NAFL) sekitar 40-50% dan
non-alcoholic steatohepatitis (NASH) sekitar 2-4% dari populasi umum. Penyakit NASH dapat berkembang menjadi sirosis hati dan hepatocarcinoma (Bellentani, Scaglioni, Marino, dan Bedogni, 2010). Selain itu, di Indonesia sendiri prevalensi
NAFLD mencapai 30% (Hasan, Gani, dan Machmud, 2002).
Karbon tetraklorida merupakan senyawa hepatotoksin yang digunakan
sebagai senyawa model dalam penelitian ini. Senyawa karbon tetraklorida
digunakan sebagai senyawa hepatotoksin karena memiliki kemampuan dalam
menginduksi kerusakan hati (Surya, 2009). Pada umumnya, karbon tetraklorida
menyebabkan kerusakan pada hepatosit tikus dalam bentuk degenerasi lemak,
vakuolasi sitoplasma dan fibriosis dengan pembengkakan endotelial (Chaudari,
Chaware, Joshi, dan Biyani, 2009). Karbon tetraklorida akan mengalami reduksi
dehalogenasi di hati melalui aktivasi enzim pemetabolisme sitokrom P450 yang
dapat membentuk radikal bebas triklorometil (•CCl3). Enzim tersebut akan
mereduksi dan mengatalisis adisi elektron yang mengakibatkan hilangnya satu ion
klorin sehingga terbentuk radikal bebas triklorometil (•CCl3). Ikatan kovalen dari
radikal bebas triklorometil (•CCl3) akan menghambat sekresi lipoprotein dan
proses perlemakan hati (steatosis) (Boll, Weber, dan Stampfl, 2001).
Menurut Rahmat, Afrizal, dan Efdi (2013),keanekaragaman tumbuhan di
Indonesia diperkirakan tidak kurang dari 25.000 jenis. Kekayaan ini telah banyak
dimanfaatkan bagi kehidupan, salah satunya sebagai tumbuhan obat. Hutan
Indonesia memiliki jenis tumbuhan obat tidak kurang dari 9.606 jenis dan baru
belum diketahui terutama dari segi aktivitas biologisnya. Salah satu potensi dari
tumbuhan obat tersebut adalah sebagai antioksidan. Tumbuhan yang memiliki
potensi sebagai antioksidan banyak dijumpai di lingkungan sekitar kita seperti
sayur-sayuran, buah-buahan, rempah-rempah dan tumbuhan lainnya. Salah satu
tanaman yang bisa dijadikan pengobatan alternatif adalah tempuyung (Sonchus arvensis L.).
Pengobatan tradisional menjadi pilihan beberapa masyarakat Indonesia
sebagai komplementer atau subsider pada pengobatan konvensional akibat
mahalnya biaya pengobatan konvensional. Menurut data Riset Kesehatan Dasar
2010, persentase penduduk Indonesia yang pernah mengonsumsi jamu sebanyak
59,12%. Dari jumlah tersebut, sekitar 95,60% masyarakat merasakan manfaatnya.
Dengan kata lain, lebih dari setengah penduduk Indonesia mengonsumsi jamu. Di
Indonesia, sebagian besar pemanfaatan tanaman obat sebagai jamu dilakukan
dengan cara merebus tanaman obat yang kemudian air rebusan tersebut
dikonsumsi. Proses pembuatan sediaan farmasi yang mendekati cara penggunaan
dalam masyarakat adalah infundasi karena dalam prosesnya dilakukan dengan
pemanasan menggunakan penyari air (Yuningsih, 2012).
Penelitian yang dilakukan oleh Alkreathy, Khan, Khan dan Sahreen
(2014) mengenai Sonchus arvensis L. yang memiliki aktivitas antioksidan dan memberikan pengaruh hepatoprotektif terhadap kerusakan hati pada tikus yang
terinduksi karbon tetraklorida (CCl4). Hal tersebut yang ditandai dengan adanya
peningkatan aktivitas enzim alanine aminotransferase (ALT), aspartat
transpeptidase (profil lipid γ-GT), kolesterol total, low-density lipoprotein (LDL),
high-density lipoprotein (HDL) dan trigliserida. Selain itu, tanaman tempuyung mengandung alfa-laktoserol, beta-laktoserol, manitol, inositol, silika, kalium,
flavonoid dan taraksa-sterol. Flavonoid merupakan senyawa antioksidan yang
paling banyak terdapat pada daun Sonchus arvensis L. (Lukas, 2007). Flavonoid merupakan senyawa antioksidan polifenol larut air yang mampu menghambat atau
mencegah terjadinya reaksi oksidasi (Hendriani, Yulinah, Kusnandaranggadiredja,
dan Sukrasno, 2014). Senyawa-senyawa tersebut berperan penting dalam
mempertahankan fungsi normal hati.
Berdasarkan latar belakang tersebut, akan dilakukan penelitian terhadap
efek hepatoprotektif infusa daun Sonchus arvensis L. (tempuyung) dengan pemberian jangka panjang terhadap aktivitas ALT dan AST tikus jantan yang
terinduksi karbon tetraklorida.
1. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan
dalam penelitian ini adalah:
a. Apakah pemberian jangka panjang infusa daun Sonchus arvensis L. memiliki efek hepatoprotektif terhadap aktivitas AL-AST tikus jantan yang teinduksi
karbon tetraklorida?
2. Keaslian penelitian
a. Menurut Alkreathy, et al. (2014), ekstrak metanol Sonchus arvensis L. memiliki aktivitas antioksidan serta memberikan pengaruh hepatoprotektif
terhadap kerusakan hati pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida yang
ditandai dengan adanya aktivitas enzim.
b. Menurut Soegihardjo (1984), mencari tumbuh-tumbuhan yang memiliki
khasiat sebagai obat penyakit hati dari Sonchus oleraceus L. (suku Compositae) dengan menggunakan karbon tetraklorida sebagai hepatotoksin.
Sejauh studi pustaka yang dilakukan oleh peneliti, penelitian tentang efek
hepatoprotektif pemberian jangka penjang infusa daun Sonchus arvensis L. terhadap aktivitas serum ALT dan AST pada tikus jantan galur Wistar terinduksi
karbon tetraklorida belum pernah dilakukan.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan khususnya dibidang farmasi untuk mengenai efek
hepatoprotektif dari daun Sonchus arvensis L. b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
masyarakat secara luas mengenai daun Sonchus arvensis L. yang memiliki efek hepatoprotektif jangka panjang sehingga bisa dijadikan sebagai pengobatan
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya efek hepatoprotektif
pemberian jangka panjang infusa daun Sonchus arvensis L. pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida dengan cara melihat aktivitas ALT dan AST.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui adanya pengaruh pemberian jangka panjang infusa daun Sonchus arvensis L. memiliki efek hepatoprotektif terhadap aktivitas serum ALT dan AST pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida.
7
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA A. Tanaman Sonchus arvensis L.
Gambar 1. Tempuyung (Winarto, 2009).
1. Morfologi tanaman
Tempuyung (Sonchus arvensis L.) pada gambar 1 merupakan tumbuhan herbal menahun yang tumbuh tegak, tinggi 0,6-2 m, dan mengandung getah putih
dengan akar tunggang yang kuat. Batang berongga dan berusuk. Daun tunggal,
bagian bawah tumbuh berkumpul pada pangkal membentuk roset akar, berbentuk
lanset atau lonjong, ujung runcing. Pangkal berbentuk jantung tepi berbagi
menyirip tidak teratur, panjang 6-48 cm, dan berwarna hijau muda. Daun yang
keluar dari tangkai bunga bentuknya lebih kecil dengan pangkal memeluk batang,
letaknya berjauhan dan bersilang. Perbungaan berbentuk bonggol yang tergabung
tetapi lama-kelamaan berubah menjadi merah kecokelatan, buah botak, berbentuk
pipih berambut, dan berwarna cokelat kekuningan (Agung dan Tinton, 2008).
Tanaman ini dapat tumbuh liar di antara puing-puing bangunan, di
tembok, atau di pinggir jalan. Tempuyung termasuk tanaman tahunan dari suku
Asteraceae yang tumbuh baik di tempat berketinggian 50-1600 mdpl. Selain itu,
tempuyung juga bisa hidup di tempat terbuka atau sedikit terlindung. Daerah
dengan curah hujan merata sepanjang tahun atau daerah dengan musim kemarau
pendek juga cocok sebagai tempat hidup tempuyung. Selain tumbuh liar,
tempuyung juga bisa ditanam sebagi tanaman pekarangan (Winarto, 2009).
2. Taksonomi tanaman
Menurut Sonanto (2009), taksonomi tanaman tempuyung yaitu:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Magnoliophyta
Classis : Asteridae
Ordo : Asterales
Familia : Asteraceae
Genus : Sonchus
Species : Sonchus arvensis L.
3. Nama lain
Tanaman Sonchus arvensis L. beberapa memiliki nama lain yaitu: a. Nama daerah : jombong, jalalakina, galibug, lempung, rayana (Sunda),
b. Nama asing : Niu she tou (Cina), Litron des champs (Perancis), Sow thisle (Inggris) (Sonanto, 2009).
4. Kandungan kimia tanaman
Menurut Lukas (2007), secara kimia tanaman tempuyung mengandung
alfa-laktoserol, beta-laktoserol, manitol, inositol, flavonoid dan taraksa-sterol.
Flavonoid merupakan senyawa antioksidan yang mendominasi kandungan
fitokimia daun Sonchus arvensis L., yaitu luteolin-7-O-glukosa, apigenin-7-O-glukosa dan kaempferol pada gambar 2 (Sofnie, Sumarny dan Chairul, 2003).
Flavonoid merupakan senyawa antioksidan polifenol larut air yang mampu
menghambat atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi (Hendriani et al., 2014). Kandungan senyawa-senyawa tersebut berperan penting dalam mempertahankan
[image:31.595.100.513.214.593.2]fungsi normal hati.
Gambar 2. Struktur Flavanoid (Luteolin-7-O-glukosa, Apigenin-7-O-glukosa dan Kaempferol) (Sofnie et al., 2003).
5. Sifat dan khasiat tanaman
Daun tempuyung mempunyai rasa pahit dan dingin. Tumbuhan ini juga
(litotriptik), menghilangkan rasa panas, antiracun, serta menghilangkan bengkak
(Lukas, 2007).
[image:32.595.98.501.169.573.2]B.Hati
Gambar 3. Struktur hati (Baradero, Dayrit, Siswadi, 2008).
Hati sangat penting untuk mempertahankan hidup. Fungsi utama hati
dalam proses metabolisme berbagai zat yang diperlukan tubuh seperti karbohidrat,
lemak, protein, vitamin, dan mineral, mensintesis atau membuat protein dan
lipoprotein plasma, serta sekresi empedu. Hati juga mempunyai kemampuan
menetralkan atau mendetoksifikasi za-zat kimia (Sari, Indrawati dan Djing, 2008).
1. Anatomi dan fisiologi hati
Hati terletak di kuadran kanan atas abdomen di ruangan peritoneum tepat
dibawah sisi kanan diafragma dan di bawah rongga dada. Hati memiliki berat
sekitar 1400 gram pada orang dewasa dan dibungkus oleh suatu simpai fibrosa.
Hati menerima hampir 25% curah jantung, yaitu sekitar 1500 mL darah per menit
curah jantung masuk ke hati melalui vena porta dan arteri hepatika melalui hilum
menuju ke hati. Saluran porta terdiri dari cabang-cabang vena portae, artery
hepatica, dan sistem duktus empedu (Ganong dan McPhee, 2010).
Vena portae bercabang-cabang menjadi vena septum, yang menembus parenkim hepatoselular dengan interval teratur. Darah berasal dari vena septum ini
langsung masuk ke sinosoidal parenkim di antara hepatosit-hepatosit. Artery hepatica mempercabangkan kapiler-kapiler yang mendarahi sistem duktus empedu, kapiler ini biasanya menyalurkan darah ke dalam vena portae tetapi dapat juga ke sinusoid. Arteriole juga kadang-kadang menyalurkan darah langsung ke sinusoid. Sistem duktus empedu membentuk duktulus billiaris, yang melintasi mesenkim saluran porta untuk menembus parenkim mendekati hepatosit
untuk membentuk kanalis hering. Empedu yang mengalir melalui kanalikulus
empedu diantara hepatosit, masuk ke empedu melalui kanalis hering ini. Darah
dari vena portae dan artery hepatica mengalir melalui sinusoid parenkim ke arah
vena hepatica terminal (Ganong dan McPhee, 2010).
2. Patofisiologi
Penyakit hati dibedakan menjadi berbagai jenis, berikut beberapa
macam penyakit hati yang sering ditemukan, yaitu sebagai berikut:
a. Hepatitis
Istilah "hepatitis" dipakai untuk semua jenis peradangan pada hati.
Penyebabnya dapat berbagai macam, mulai dari virus sampai dengan obat-obatan,
termasuk obat tradisional. Virus hepatitis terdiri dari beberapa jenis (tabel I) yaitu
Tabel I. Perbandingan virus hepatitis (DepKes RI, 2007).
b. Sirosis hati
Setelah terjadi peradangan dan bengkak, hati mencoba memperbaiki
dengan membentuk bekas luka atau parut kecil. Parut ini disebut “fibrosis” yang
membuat hati lebih sulit melakukan fungsinya. Sewaktu kerusakan berjalan,
semakin banyak parut terbentuk dan mulai menyatu, dalam tahap selanjutnya
disebut “sirosis”. Pada sirosis, area hati yang rusak dapat menjadi permanen dan
menjadi sikatriks. Darah tidak dapat mengalir dengan baik pada jaringan hati yang
rusak dan hati mulai menciut, serta menjadi keras. Sirosis hati dapat terjadi karena
virus hepatitis B dan C yang berkelanjutan, alkohol, pelemakan hati atau penyakit
c. Kanker hati
Kanker hati yang banyak terjadi adalah Hepatocellular carcinoma (HCC). HCC merupakan komplikasi akhir yang serius dari hepatitis kronis,
terutama sirosis yang terjadi karena virus hepatitis B, C dan
hemochromatosis (DepKes RI, 2007). d. Pelemakan hati
Pelemakan hati terjadi bila penimbunan lemak melebihi 5% dari berat hati
atau mengenai lebih dari separuh jaringan sel hati. Pelemakan hati ini
sering berpotensi menjadi penyebab kerusakan hati dan sirosis hati.
Kelainan ini dapat timbul karena mengkonsumsi alkohol berlebih, disebut
ASH (Alcoholic Steatohepatitis), maupun bukan karena alkohol, disebut NASH (Non Alcoholic Steatohepatitis) (DepKes RI, 2007).
e. Kolestasis dan Jaundice
Kolestasis merupakan keadaan akibat kegagalan produksi dan/atau
pengeluaran empedu. Lamanya menderita kolestasis dapat meyebabkan
gagalnya penyerapan lemak dan vitamin A, D, E, K oleh usus, juga adanya
penumpukan asam empedu, bilirubin dan kolesterol di hati. Adanya
kelebihan dalam sirkulasi darah dan penumpukan pigmen empedu pada
kulit, membran mukosa dan bola mata (pada lapisan sklera) disebut
C. Karbon Tetraklorida
Obat-obat atau senyawa yang dapat menyebabkan kerusakan hati
diklasifikasi menjadi dua, yaitu hepatotoksin teramalkan (intrinsik) dan tak
teramalkan (idiosinkratik) (Hodgson, 2011).
a. Hepatotoksin teramalkan merupakan senyawa yang dapat merusak hati jika
diberikan dalam jumlah yang cukup untuk menimbulkan efek toksik. Jadi
jenis hepatotoksin ini bergantung dari jumlah dosis pemberian senyawa.
Parasetamol dan karbon tetraklorida merupakan contoh hepatotoksin
teramalkan (Forrest, 2006).
b. Hepatotoksin tak teramalkan merupakan senyawa toksik pada hati yang hanya
memberikan efek toksik orang-orang tertentu. Kejadian toksisitasnya tiap
individu akan berbeda-beda dan hepatotoksin jenis ini tidak bergantung pada
dosis pemberian. Contoh senyawa yang termasuk jenis ini adalah isoniazid
dan clorpromazine (Forrest, 2006).
1. Sinonim karbon tetraklorida
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun
2001, nama lain dari karbon tetraklorida adalah Tetrachloromethane, Perchloromethane, Necatorine, Bezinoform.
[image:36.595.105.513.268.594.2]2. Definisi dan mekanisme karbon tetraklorida
Gambar 4. Struktur karbon tetraklorida
Karbon tetraklorida (gambar 4) merupakan suatu cairan jernih yang
mudah menguap, tidak berwarna, dan dengan bau khas, BM 153,82 dan sangat
sukar larut dalam air (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1995).
Karbon tetraklorida bisa dijadikan sebagai senyawa model untuk menjelaskan
mekanisme tindakan efek hepatotoksik seperti degenerasi lemak, fibrosis,
kematian hepatoseluler, dan karsinogenik (Boll et al., 2001). Karbon tetraklorida akan mengalami reduksi dehalogenasi di hati melalui aktivasi enzim
pemetabolisme sitokrom P450, terutama CYP2E1 yang dapat membentuk radikal
bebas triklorometil (•CCl3). Enzim sitokrom CYP2E1 akan mereduksi dan
mengatalisis adisi elektron yang mengakibatkan hilangnya satu ion klorin
sehingga terbentuk radikal bebas triklorometil (•CCl3). Radikal bebas
triklorometil merupakan metabolit reaktif dan akan bertambah reaktif jika
bereaksi dengan oksigen akan membentuk radikal triklorometilperoksi (•OOCCl3)
(Gregus dan Klaaseen, 2001). Ikatan kovalen dari radikal bebas triklorometil
(•CCl3) akan memulai penghambatan sekresi lipoprotein dan proses perlemakan
hati (steatosis), sedangkan reaksi dengan oksigen yang membentuk radikal triklorometilperoksi (•CCl3OO) (gambar 5) akan memulai reaksi berantai
peroksidasi lipid (Boll et al., 2001). Radikal triklorometilperoksi yang bereaksi dengan enzim gluthation (GSH) membentuk phosgene. Metabolit ini merupakan intermediet yang bersifat sangat reaktif dan dapat bereaksi dengan makromolekul
seluler untuk menginduksi terjadinya kerusakan sel (Hodgson, 2010). Metabolit
radikal dari karbon tetraklorida akan membentuk ikatan kovalen dengan jaringan
radikal ini kemudian dapat melakukan peroksidasi pada lipid sehingga mengawali
[image:38.595.99.493.166.516.2]terjadinya steatosis (Boll et al., 2001).
Gambar 5. Mekanisme reaksi karbon tetraklorida (Timbrell, 2008).
Tabel II. Tingkat relatif peningkatan enzim serum pada beberapa kasus kerusakan hati oleh racun (Zimmerman, 1999)
Toxicant
Lesion Degree of increasse in serum enzyme levels Zona
Necrosis Steatosis ALT AST OCT, SDH
CCl4 + + 4+ 3+ 4+
Thioacetamide + - 4+ 3+ 4+
Tetracycline - + 2 + 1+
Ethionine - + + - +
Phosporous + + 1-2+ 1-2+ 1-2+
Karbon tetraklorida dapat meningkatkan kerusakan hati dengan jenis
perlemakan hati. Kerusakan hati yang dikarenakan karbon tetraklorida dapat
[image:38.595.112.516.539.654.2]Karbon tetraklorida dapat meningkatkan aktivitas serum ALT sebesar 3 kali
normal dan aktivitas serum AST sebesar 4 kali normal (Zimmerman, 1999).
D. Metode Pengujian Hepatoprotektif
Pendeteksian kerusakan hepatoselular yang sedang berlangsung dapat
dilakukan dengan mengukur indek fungsional dan mengamati produk hepatosit
yang rusak. Pengujian enzim sering menjadi satu-satunya petunjuk pada saat
terjadinya cidera sel pada penyakit hati karena akibat adanya kompensasi dari
bagian hati yang lain yang masih fungsional karena perubahan ringan kapasitas
eksretorik mungkin tersamarkan. Alanin aminotransferase (ALT) dan aspartat aminotransferase (AST) serum merupakan dua enzim yang paling sering berikatan dengan kerusakan hepatoselular. ALT memiliki fungsi memindahkan
antara alanin dan asam alfa-ketoglutamat. AST berfungsi memerantarai reaksi
antara asam aspartat dan asam alfa-ketoglutamat (Sacher dan McPherson, 2002).
Sebagian besar ALT ditemukan terutama di hati, sedangkan enzim AST
dapat ditemukan pada hati otot jantung, otot rangka, ginjal, pankreas, otat paru,
sel darah putih, dan sel darah merah. Dengan demikian, jika hanya terjadi
peningkatan kadar AST maka bisa saja yang mengalami kerusakan adalah sel-sel
organ lainnya yang mengandung AST. Pada sebagian besar penyakit hati yang
akut, kadar ALT lebih tinggi atau sama dengan kadar AST. Pada saat terjadi
kerusakan jaringan dan sel-sel hati, kadar AST meningkat 5 kali dari nilai normal
sedangkan ALT meningkat 1-3 kali dari nilai normal (Sari et al., 2008). Adanya kenaikan serum ALT dan AST tersebut menandakan adanya kerusakan dalam sel
E. Infundasi 1. Pengertian
Infundasi adalah proses penyarian yang digunakan untuk menyari zat
aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Campur simplisia dengan
derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, panaskan di atas
tangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90 oC sambil
sekali-sekali diaduk-aduk. Saring selagi panas melalui kain flanel, tambahkan air panas
secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki.
Infusa simplisia yang mengandung minyak atsiri disaring setelah dingin. Infusa
simplisia yang mengandung lendir tidak boleh diperas. (Badan Pengawasan Obat
dan Makanan, 2010).
2. Infusa
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi
simplisia nabati dengan air pada suhu 90 oC selama 15 menit. Pembuatan infusa
merupakan cara yang paling sederhana untuk membuat sediaan herbal dari bahan
lunak seperti daun dan bunga. Dapat diminum panas atau dingin (Badan
Pengawasan Obat dan Makanan, 2010).
F. Landasan teori
Hati sangat penting untuk mempertahankan hidup. Fungsi utama hati
dalam proses metabolisme berbagai zat yang diperlukan tubuh seperti karbohidrat,
lemak, protein, vitamin, dan mineral, menyintesis atau membuat protein dan
lipoprotein plasma, serta sekresi empedu. Hati juga mempunyai kemampuan
Karbon tetraklorida bisa dijadikan sebagai senyawa model untuk
menjelaskan mekanisme tindakan efek hepatotoksik seperti degenerasi lemak,
fibrosis, kematian hepatoseluler, dan karsinogenik (Boll et al., 2003). Karbon tetraklorida akan mengalami reduksi dehalogenasi di hati melalui aktivasi enzim
pemetabolisme sitokrom P450, terutama CYP2E1 yang dapat membentuk radikal
bebas triklorometil (•CCl3) (Gregus dan Klaaseen, 2001). Adanya kenaikan serum
ALT dan AST menandakan adanya kerusakan dalam sel hati (Ganong dan
McPhee, 2011).
Menurut Lukas (2007), secara kimia tanaman tempuyung mengandung
alfa-laktuserol, beta-laktoserol, manitol, inositol, kalium, flavonoid dan
taraksa-sterol. Flavonoid merupakan senyawa antioksidan yang mendominasi kandungan
fitokimia daun Sonchus arvensis L yaitu luteolin-7-O-glukosa, apigenin-7-O-glukosa dan kaempferol pada gambar 2 (Sofnie, Sumarny dan Chairul, 2003).
Kandungan senyawa-senyawa tersebut berperan penting dalam mempertahankan
fungsi normal hati.
Infundasi adalah proses penyarian yang digunakan untuk menyari zat
aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Salah satu zat aktif yang ada
didalam Sonchus arvensis L. adalah flavonoid. Flavonoid merupakan senyawa antioksidan polifenol larut air yang mampu menghambat atau mencegah
G. Hipotesis
Pemberian infusa daun Sonchus arvensis L. jangka panjang mempunyai efek hepatoprotektif dan persen efek hepatoprotektif yang dapat menurunkan
aktivitas ALT-AST serum pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon
21
BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian mengenai efek hepatoprotektif pemberian jangka panjang infusa
daun Sonchus arvensis L., terhadap aktivitas serum ALT- AST pada tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida merupakan jenis penelitian
eksperimental murni dengan acak lengkap pola searah.
B. Variabel dan Definisi Operasional
Variabel-variabel yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut:
1. Variabel penelitian
a. Variabel utama
1) Variabel bebas
Variabel bebas penelitian ini adalah dosis infusa daun Sonchus arvensis
L. yang dibuat dalam tiga peringkat dosis. Dosis infusa daun Sonchus arvensis L. adalah volume (ml) infusa daun Sonchus arvensis L. tiap satuan kg berat hewan uji yang bersangkutan.
2) Variabel tergantung
Variabel tergantung pada penelitian ini adalah aktivitas ALT-AST serum
pada tikus jantan yang terinduksi karbon tetraklorida (CCl4) setelah
pemberian infusa daun Sonchus arvensis L. b. Variabel pengacau
a. Kondisi hewan uji, yaitu menggunakan tikus berjenis kelamin jantan,
dengan galur Wistar, berat badan 150-250, umur 2-3 bulan.
b. Frekuensi pemberian infusa daun Sonchus arvensis L. di berikan satu kali selama 6 hari berturut-turut.
c. Cara pemberian senyawa uji dilakukan secara peroral dan pemberian
hepatotoksin karbon tetraklorida diberikan secara intraperitoneal. d. Bahan uji yang digunakan berupa daun Sonchus arvensis L. yang
diambil dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta pada bulan
Januari 2015.
2) Variabel pengacau tak terkendali
Variabel pengacau tak terkendali pada penelitian ini adalah kondisi
patologis dari hewan uji.
2. Definisi operasional
Definisi operasional penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Daun Sonchus arvensis L.
Daun Sonchus arvensis L. yang diambil dari daun Sonchus arvensis L. adalah yang berwarna hijau, segar dan disekitarnya terdapat kuncup bunga dari
daun Sonchus arvensis L. tersebut. b. Infusa daun Sonchus arvensis L.
c. Efek hepatoprotektif
Efek hepatoprotektif merupakan kemampuan infusa daun Sonchus arvensis L. dengan dosis tertentu yang diberikan selama satu kali sehari selama 6 hari secara peroral yang melindungi hati dengan cara menurunkan aktivias
ALT-AST pada tikus jantan terinduksi karbon tetraklorida. Menurut Wakchaure, Jain,
Singhai and Somani (2011), mengatakan bahwa apabila persen efek
hepatoprotektif mendekati 0% maka akan menimbulkan efek hepatotoksin.
Sedangkan apabila persen efek hepatoprotektif mendekati 100% maka semakin
besar efek hepatoprotektifnya.
d. Jangka panjang
Penelitian ini dilakukan dengan memberi infusa daun Sonchus arvensis
L. satu kali sehari selama 6 hari secara peroral.
C. Bahan Penelitian 1. Bahan utama
a. Hewan uji yang digunakan adalah tikus jantan, umur 2-3 bulan dengan berat
badan berkisar antara 150-250 g yang diperoleh dari Laboratorium Imono
Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
b. Bahan uji berupa daun Sonchus arvensis L. yang diambil dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Bahan kimia
a. Hepatotoksin
Karbon Tetraklorida Merck ® yang diperoleh dari Laboratorium Kimia
b. Kontrol negatif
Olive oil yang diperoleh dari PT. Brataco Chemika, Yogyakarta. berperan sebagai kontrol negatif.
c. Pelarut untuk infusa
Aquadest yang diperoleh dari Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
d. Pelarut untuk hepatotoksin
Olive oil yang diperoleh dari PT. Brataco Chemika, Yogyakarta. berperan sebagai pelarut karbon tetraklorida.
e. Blanko
Aquabidestilata yang diperoleh dari Laboratorium Kimia Analisis dan Instrumental Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
f. Reagen ALT
Reagen yang digunakan adalah reagen ALT DiaSys. Komposisi dan
[image:46.595.104.512.255.694.2]konsentrasi dari reagen ALT adalah sebagai berikut (Tabel III.)
Tabel III. Komposisi dan konsentrasi reagen ALT
Komposisi pH Konsentrasi
R1 : TRIS 7,15 140 mmol/L
L-Alanine 700 mmol/L
LDH (lactate dehydrogenase) ≥2300 U/L
R2 : 2-Oxoglutarate 85 mmol/L
NADH 1 mmol/L
Pyroxidal-5 phospate FS: Good’s buffer
Pyridoxal-5-phosphate
9,6 100 mmol/L
g. Reagen AST
Reagen yang digunakan adalah reagen ALT DiaSys. Komposisi dan
[image:47.595.98.511.209.584.2]konsentrasi dari reagen AST adalah sebagai berikut (Tabel IV.)
Tabel IV. Komposisi dan konsentrasi reagen AST
Komposisi pH Konsentrasi
R1 : TRIS 7,15 140 mmol/L
L-Aspartate 700 mmol/L
MDH (malate dehydogenase) ≥800 U/L
LDH (lactate dehydrogenase) ≥1200 U/L
R2 : 2-Oxoglutarate 65 mmol/L
NADH 1 mmol/L
Pyroxidal-5 phospate FS: Good’s buffer
Pyridoxal-5-phosphate
9,6
100 mmol/L 13 mol/L
D. Alat Penelitian
1. Alat preparasi dan pembuatan infusa daun Sonchus arvensis L.
Moisture balance, cawan porselen, panci infundasi, termometer,
stopwatch, gelas Beaker, gelas ukur, batang pengaduk, penangas air, timbangan analitik, dan kain flanel.
2. Alat pengujian hepatoprotektif
Gelas Beaker, gelas ukur, tabung reaksi, labu ukur, tabung reaksi, pipet
tetes, batang pengaduk (Pyrex Iwaki Glass ®), timbangan analitik (Mettler
Toledo®), vortex (Genie Wilten®), spuit injeksi peroral untuk tikus, spuit injeksi
E. Tata cara penelitian
1. Determinasi tanaman Sonchus arvensis L.
Determinasi tanaman Sonchus arvensis L. dilakukan dengan metode perbandingan untuk megetahui apakah tanaman yang digunakan adalah benar
Sonchus arvensis L., yaitu dengan mencocokkan ciri-ciri tanaman Sonchus arvensis L. yang diperoleh dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan tanaman kering daun Sonchus arvensis L. Determinasi dilakukan di Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. Determinasi tanaman Sonchus arvensis L. menggunakan buku acuan karangan Van Steeni (1981) hingga tingkat spesies. Bagian tanaman yang
dideterminasi antara lain batang, daun, biji, dan bunga.
2. Pengumpulan bahan uji
Bahan uji yang akan dibuat menjadi serbuk adalah daun Sonchus arvensis L. yang masih segar dan berwarna hijau. Daun Sonchus arvensis L. diambil dari awal pertumbuhan bahan (berumur 1 bulan) hingga saat menjelang
berbunga (berumur 1,5 bulan). Daun Sonchus arvensis L. dipanen dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta pada musim penghujan.
3. Pembuatan serbuk daun Sonchus arvensis L.
Daun Sonchus arvensis L. dicuci dengan air mengalir hingga bersih dan diangin-anginkan hingga kering. Pengeringan dilakukan dengan oven pada suhu
mendapatkan serbuk daun Sonchus arvensis L. yang lebih halus dan ukuran pertikelnya seragam.
4. Penetapan kadar air serbuk kering daun Sonchus arvensis L.
Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui kadar air dalam serbuk
daun Sonchus arvensis L. dan untuk memenuhi persyaratan serbuk yang baik. Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Gravimetri dengan menggunakan
alat moisture balance. Sebanyak 5 g kemudian dimasukan kedalam alat dan diratakan. Bobot serbuk kering daun tersebut ditetapkan sebagai bobot sebelum
pemanasan (bobot A), setelah itu, serbuk dipanaskan pada suhu 105 oC selama 15
menit. Serbuk kering daun Sonchus arvensis L. ditimbang kembali dan dihitung sebagai bobot setelah pemanasan (bobot B). Kemudian dilakukan perhitungan
terhadap selisih bobot A terhadap bobot B yang merupakan kadar air daun
Sonchus arvensis L.
Pengaturan suhu 105 oC selama 15 menit dilakukan untuk menguapkan
kandungan air agar diperoleh nilai hasil pengukuran serbuk daun Sonchus arvensis L. kemudian hasil tersebut dilihat apakah telah memenuhi persyaratan strandarisasi non-spesifik dan memenuhi syarat serbuk yang baik dengan kadar air
kurang dari 10% (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1995).
5. Pembuatan infusa daun Sonchus arvensis L.
Sebanyak 15 g serbuk yang sudah halus dimasukkan ke dalam panci
infusa kemudian ditambahkan 100 mL, panaskan di atas penangas air selama 15
Saring selagi panas melalui kain flanel, tambahkan air panas secukupnya melalui
ampas hingga diperoleh volume infusa yang dikehendaki (Badan Pengawasan
Obat dan Makanan, 2010).
6. Pembuatan larutan karbon tetraklorida konsentrasi 50%
Berdasarkan penelitian Janakat dan Al-Merie (2002), larutan karbon
tetraklorida dibuat dengan konsentrasi 50% dengan perbandingan volume karbon
tetraklorida dan pelarut, yakni 1:1. Larutan karbon tetraklorida dibuat dengan
melarutkan karbon tetraklorida ke dalam olive oil yang memiliki volume yang sama.
7. Penetapan dosis infusa daun Sonchus arvensis L.
Dasar penetapan peringkat dosis adalah bobot tertinggi tikus dan
pemberian cairan secara peroral separuhnya, yaitu 2,5 ml. Penetapan dosis
tertinggi infusa daun Sonchus arvensis L. adalah: D x BB = C x 1/2V
D x BB tertinggi tikus ( kg/BB) = C infusa (mg/ml) x 2,5 ml
D = x g/kgBB
Dua dosis lainnya diperoleh dengan menurunkan 2 kalinya dari dosis tertinggi.
8. Uji pendahuluan
a. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida
Penetapan dosis hepatotoksin dilakukan melalui studi literatur yang
dilakukan oleh Janakat dan Al-Merie (2002) yang menyebutkan bahwa dosis
hepatotoksin karbon tetraklorida yang digunakan untuk menginduksi kerusakan
dengan volume olive oil, yaitu 1:1. Pemilihan dosis hepatotoksik ini karena pada dosis tersebut, terjadi kerusakan sel-sel hati dari tikus jantan galur Wistar yang
terdeteksi dari kenaikan serum ALT dan AST, namun tidak sampai menyebabkan
kematian pada tikus jantan sebagai subjek penelitian tersebut (Janakat, Al-Merie,
2002).
b. Penetapan waktu pencuplikan darah
Waktu pencuplikan darah diperoleh dengan cara melakukan orientasi
dengan tiga kelompok perlakuan waktu, yakni pada waktu ke- 0, 24, dan 48 jam.
Kemudian diukur kenaikan aktivitas ALT dan AST. Penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Janakat dan Al-Merie (2002) telah menunjukkan bahwa terdapat
peningkatan aktivitas ALT pada tikus yang terinduksi karbon tetraklorida yang
dilarutkan dalam olive oil dengan perbandingan 1:1, yakni dengan dosis 2 mL/kgBB. Peningkatan aktivitas maksimal terjadi pada jam ke-18 dan jam ke-24
setelah pemberian karbon tetraklorida secara injeksi dan kemudian berangsur
menurun pada jam ke-48 dan terjadi perbaikan sel hati setelah tiga hari pemberian
hepatotoksin (Janakat, Al-Merie, 2002).
9. Pengelompokan dan perlakuan hewan uji
Tikus jantan galur Wistar yang diperlukan sebagai hewan uji adalah
sebanyak 30 ekor yang kemudian akan dibagi kedalam 6 kelompok secara acak
sama banyak. Kelompok I (kelompok kontrol hepatotoksin) diberi larutan karbon
yakni diberi infusa daun Sonchus arvensis L. dengan dosis 1,5 g/kgBB secara peroral (Alkreathy et al., 2014). Kelompok IV-VI (kelompok perlakuan uji) yang diberikan infusa daun Sonchus arvensis L. dengan dosis bertingkat yakni 0,375; 0,75; 1,5 g/kgBB satu kali sehari selama 6 hari, selanjutnya pada hari ke-7
diinduksi dengan karbon tetraklorida dengan dosis 2 mL/kgBB (Alkreathy et al., 2014). Dilakukan pengambilan darah pada daerah sinus orbitalis mata untuk penetapan aktivitas ALT dan AST pada jam ke-24 setelah pemberian karbon
tetraklorida.
10. Pembuatan serum
Darah yang diambil dari sinus orbitalis mata tikus kemudian ditampung dalam tabung Eppendorf dan didiamkan selama 15 menit, selanjutnya dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit lalu diambil
supernatannya menggunakan mikro pipet dan selanjutnya dimasukkan ke dalam
tabung Eppendorf yang berbeda. Selanjutnya supernatan tersebut disentrifugasi kembali dengan kecepatan 3.000 rpm selama 15 menit. Lapisan supernatannya
diambil menggunakan mikro pipet untuk kemudian diukur aktivitas ALT dan
AST.
11. Pengukuran aktivitas ALT dan AST
Alat yang digunakan untuk pengukuran aktivitas ALT-AST adalah
Micro-Vitalab 200. Tahap analisis ALT dan AST dilakukan dengan mengambil
sejumlah 100 μL serum dicampurkan dengan 1000 μL reagen I dan divortex
selama 5 detik. Campuran didiamkan selama 5 menit selanjutnya dicampur
menit. Campuran kemudian dibaca serapannya setelah 1 menit. Aktivitas ALT
dan AST dinyatakan dalam satuan U/L. Aktivitas enzim yang terjadi diukur pada
panjang gelombang 340 nm, pada suhu 37 °C. Pengukuran aktivitas ALT dan
AST dilakukan di Laboratorium Biokimia Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
F. Tata cara hasil
Data aktivitas dari ALT dan AST serum yang diperoleh, selanjutnya
dianalisis dengan Kolmogorov Smirnov untuk mengetahui distribusi dan varian data tiap kelompok untuk melihat homogenitas antar kelompok sebagai syarat
parametrik. Kemudian dilanjutkan dengan analisis pola searah (One Way ANOVA) dengan taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui perbedaan nilai dari
masing-masing kelompok. Uji Scheffe selanjutnya dilakukan untuk melihat kebermaknaan perbedaan data antara masing-masing kelompok. Perbedaan dikatakan bermakna
(signifikan) bila memiliki nilai p<0,05, sedangkan tidak bermakna (tidak
signifikan) bila p>0,05.
Bila data aktivitas ALT dan AST yang diperoleh tidak normal, maka
digunakan uji Kruskall-Wallis. Selanjutnya dilakukan uji Mann-Whitney untuk melihat kebermaknaan perbedaan data antar kelompok. Perbedaan dikatakan
bermakna (signifikan) bila memiliki nilai p<0,05, sedangkan tidak bermakna
Perhitungan persen efek hepatoprotektif terhadap hepatotoksin karbon
tetraklorida diperoleh dengan rumus sebagai berikut:
33
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan adanya efek hepatoprotektif
dengan adanya persen efek hepatoprotektif dari infusa daun Sonchus arvensis L. terhadap tikus jantan galur Wistar terinduksi karbon tetraklorida (CCl4). Untuk
mengetahui seberapa besar efek hepatoprotektif yang dihasilkan maka dilakukan
pengujian dengan aktivitas ALT dan AST sebagai tolak ukur kuantitatif dalam
penelitian ini.
A. Penyiapan Bahan 1. Determinasi tanaman Sonchus arvensis L.
Determinasi tanaman Sonchus arvensis L. yang didapat dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menjamin kebenaran tanaman yang diteliti.
Determinasi dilakukan di Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Determinasi tanaman Sonchus arvensis L. menggunakan buku acuan karangan Van Steenis (1981) hingga tingkat spesies. Bagian tanaman yang dideterminasi antara lain batang, daun, biji, dan
bunga. Hasil determinasi (lampiran 5) membuktikan bahwa tanaman yang
digunakan pada penelitian ini adalah benar tanaman Sonchus arvensis L.
2. Penetapan konsentrasi infusa
Pada pembuatan infusa dilakukan penetapan konsentrasi maksimal yang
daun Sonchus arvensis L. terbasahi dan terendam oleh perlarut air. Hasil dari pembuatan infusa didapatkan konsentrasi maksimal sebesar 15% (b/v) yang akan
digunakan untuk menentukan dosis maksimal infusa daun Sonchus arvensis L.
3. Hasil penetapan kadar air
Penetapan kadar air bertujuan untuk mengetahui apakah serbuk simplisia
yang digunakan memenuhi persyaratan serbuk yang baik, yaitu memiliki kadar air
kurang dari 10% (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1995).
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Gravimetri dengan menggunakan
alat moisture balance. Serbuk dipanaskan pada suhu 105 oC selama 15 menit di dalam alat, kemudian dilakukan perhitungan kadar air. Perhitungan kadar air
dihitung agar diketahui apakah serbuk telah memenuhi persyaratan strandarisasi
non-spesifik. Penetapan kadar air dilakukan tiga kali replikasi, replikasi 1: 9,48%,
replikasi 2: 9,90%, replikasi 3: 10,03% sehingga hasil yang diperoleh dari
rata-rata replikasi penetapan kadar air serbuk daun Sonchus arvensis L. memiliki kadar air sebesar 9,80%. Hal ini menunjukan bahwa serbuk daun Sonchus arvensis L. memenuhi syarat serbuk yang baik dengan kadar air kurang dari 10%. Apabila
kadar air yang diperoleh lebih dari 10%, dikhawatirkan terdapat bakteri dan jamur
sehingga dapat mempengaruhi kualitas sediaan yang dihasilkan.
B. Uji Pendahuluan 1. Penetapan dosis hepatotoksin karbon tetraklorida
Pada penelitian ini digunakan karbon tetraklorida sebagai hepatotoksin.
Pemilihan karbon tetraklorida dilakukan untuk mengetahui pada dosis berapa
merupakan penanda telah terjadinya kerusakan hati. Dalam penelitian ini
peningkatan aktivitas serum ALT berkisar 200-300 U/L sedangkan untuk AST
berkisar antara 500-600 U/L, hal ini menunjukan bahwa karbon tetraklorida
merupakan hepatotoksin yang dapat menyebabkan steatosis hati. Pemilihan dosis hepatotoksin berdasarkan penelitian Janakat dan Al-merie (2002) yaitu 2
ml/kgBB. Dalam penelitian ini dengan dosis 2 ml/kgBB karbon tetraklorida dapat
meningkatkan aktivitas ALT 2,99 kali lipat dari kadar normal bila dibandingkan
dengan kontrol negatif, di mana aktivitas ALT hepatotoksin adalah 246,4 ± 17,0.
Karbon tetraklorida juga dapat meningkatkan aktivitas AST lima kali lipat dari
kadar normal, aktivitas AST hepatotoksin adalah 596,2 ± 25,3. Pemberian
hepatotoksin melalui intraperitoneal dilakukan agar hepatotoksin dapat langsung terabsorpsi dengan cepat menuju pembuluh darah melalui rongga peritoneal
sehingga menimbulkan toksisitas dalam waktu yang singkat. Olive oil berfungsi sebagai pelarut karbon tetraklorida karena bersifat non-toksik dan dapat
melarutkan senyawa nonpolar seperti karbon tetraklorida (Strickley, 2004). Dosis
hepatotoksin karbon tetraklorida yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 2
mL/kgBB dalam olive oil (1:1) secara intraperitoneal mengacu pada penelitian Murugesan, Sathiskumar, Jayabalan, Binupriya, Swaminantan dan Yun (2009).
Berdasarkan penelitian Murugesan, et al. (2009) diketahui bahwa dosis 2 mL/kgBB karbon tetraklorida dapat menimbulkan kerusakan hati tanpa
2. Penetapan waktu pencuplikan darah hewan uji
Penentuan waktu pencuplikan darah hewan uji dilakukan untuk
mengetahui waktu terjadinya kerusakan yang paling besar pada organ hati yang
ditandai dengan peningkatan aktivitas serum ALT dan AST yang paling besar
tanpa menyebabkan kematian hewan uji. Pencuplikan darah hewan uji dilakukan
pada jam ke-0, 24, dan 48 setelah diinduksi karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB
secara intraperitoneal. Setelah itu, dilakukan pengukuran terhadap nilai aktivitas serum ALT dan AST. Data aktivitas serum ALT dan AST setelah pemberian
karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada jam ke 0, 24 dan 48 dapat dilihat pada
tabel V. Peneliti tidak melakukan orientasi pencuplikan pada jam ke-72 karena
pada jam ke-48 telah terjadi penurunan yang signifikan baik terhadap aktivitas
serum ALT dan AST sehingga telah dapat dipastikan pada jam ke-72 aktivitas
serum ALT dan AST menurun. Dengan demikian pencuplikan pada jam ke-72
tidak perlu dilakukan karena yang diinginkan adalah waktu di mana karbon
tetraklorida merusak hati paling berat ditunjukan dengan aktivitas serum ALT dan
AST yang paling tinggi. Berikut ini merupakan hasil orientasi waktu pencuplikan
darah hewan uji yang disajikan berdasarkan dalam bentuk tabel dan diagram
[image:58.595.112.525.628.704.2]batang.
Tabel V. Aktivitas serum ALT-AST setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24 , 48 jam
Selang Waktu (jam) Purata Aktivitas Serum ALT±SE (U/L)
Purata Aktivitas Serum AST±SE (U/L)
0 54,0±3,5 100,2±10,0
24 198,4±23,8 461,2±46,3
48 74,0±8,2 177,2±17,1
Gambar 6. Diagram batang rata-rata aktivitas ALT-serum sel hati tikus setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada selang waktu 0, 24, 48 jam
Dari tabel V dan gambar 6 dapat terlihat bahwa aktivitas serum ALT
pada pencuplikan darah 24 jam dengan dosis karbon tetraklorida 2 mL/kgBB
lebih tinggi dibandingkan dengan pencuplikan darah jam ke 0 dan 48.
Berdasarkan tabel V nilai aktivitas serum ALT pada selang waktu 0, 24, 48 jam
adalah 54,0±3,5; 198,4±23,8; dan 74,0±8,2 U/L. Demikian pula pada tabel IV
aktivitas serum AST yang paling tinggi adalah pada kelompok pencuplikan 24
jam, hal ini dapat dilihat dari nilai aktivitas serum AST pada kelompok jam 0, 24,
dan 48 adalah 100,2±10,0; 461,2±46,3; dan 177,2±17,1 U/L. Peneliti tidak
melakukan orientasi pencuplikan pada jam ke-72 karena pada jam ke-48 telah
terjadi penurunan yang signifikan (p<0,05) yang terlihat adanya perbedaan
bermakna dengan jam ke-24, sehingga telah dapat dipastikan pada jam ke-72
aktivitas serum ALT dan AST menurun. Didalam penelitian ini didapatkan waktu
optimal adalah jam ke-24 setelah pemberian karbon tetraklorida. Berdasarkan uji
statistik ANOVA one way pencuplikan darah pada ALT jam ke-24 memberikan hasil berbeda bermakna dengan pencuplikan darah pada jam ke-0 (p=0,012) dan
48 (p=0,005), sedangkan pada AST jam ke-24 memberikan hasil berbeda
bermakna dengan pencuplikan darah jam ke-0 (p=0,002) dan 48 (p=0,003) maka
disimpulkan bahwa hepatotoksin karbon tetraklorida 2 mL/kgBB dapat
meningkatkan aktivitas serum ALT dan AST tertinggi pada tikus. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini dosis hepatotoksin karbon tetraklorida yang digunakan pada
tikus jantan galur Wistar adalah 2 mL/kgBB dengan selang waktu pengambilan
Tabel VI. Perbedaan kenaikan aktivitas serum ALT setelah pemberian karbon tetraklorida dosis 2 mL/kgBB pada waktu pencuplikan darah jam ke-0, 24, 48
ALT Jam ke-0 Jam ke-24 Jam ke-48