• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

Keseimbangan mikroflora di dalam usus sapi sangat penting karena berpengaruh terhadap pertumbuhan sapi. Keseimbangan yang bernilai negatif, yang berarti bakteri patogen berjumlah lebih besar daripada bakteri tidak patogen merupakan penyebab diare yang banyak terjadi pada sapi. Salah satu bakteri yang dapat menyebabkan diare adalah Escherichia coli. E. coli merupakan bakteri tidak patogen yang dapat menyebabkan diare ketika jumlah populasinya di dalam usus melebihi jumlah populasi normal. Masalah diare yang terjadi menyebabkan penurunan bobot sapi, yang berdampak pada menurunnya harga sapi di pasaran. Hal ini sangat merugikan para peternak sapi yang ada. Solusi yang ada adalah dengan menambahkan pada pakan beberapa antibiotika yang telah memenuhi syarat seperti basitrasin dan virginiamisin (Sutisna 2008). Antibiotika yang ditambahkan ke dalam pakan ternak sering disebut dengan pemacu pertumbuhan (growth promoter).

Menurut Ulfah (2007), pemakaian antibiotika yang pada awalnya untuk mengatasi masalah diare pada sapi, ternyata menimbulkan masalah baru, yaitu ditemukannya resistensi mikrob dan residu antibiotika pada produk ternak. Resistensi mikrob dapat ditransfer dari ternak ke tubuh manusia melalui kontak langsung manusia dengan ternak maupun secara tidak langsung melalui konsumsi produk hewani (termasuk hewan laut), dan bahan-bahan makanan yang diawetkan dengan antibiotika. Pernyataan ini pun diperkuat oleh Naim (2003), penggunaan antibiotika pada pakan hewan sebagai pemacu pertumbuhan telah mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotika yang umum digunakan untuk terapi infeksi pada manusia.

Propolis yang dihasilkan oleh lebah madu

Trigona spp. terbukti mampu berperan sebagai agen antibakteri pada beberapa bakteri uji seperti Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa (Anggraini 2006). Penelitian selanjutnya, yaitu Lasmayanty (2007) telah mengujikan propolis Trigona spp. pada

Streptococcus mutans, penyebab karies gigi. Fatoni (2008) menyatakan bahwa ekstrak propolis pada konsentrasi 2.04% dan 5.90% berturut-turut dapat menghambat beberapa bakteri patogen dan tidak patogen di usus sapi potong dewasa.

Hipotesis penelitian, yaitu bahwa mikrokapsul propolis yang telah terpapar cairan rumen sapi akan tetap aktif. Penelitian bertujuan mempelajari waktu pelepasan propolis setelah terpapar cairan rumen sapi. Adanya resistensi mikrob dan ditemukannya residu antibiotika pada produk ternak menjadi alasan utama diperlukannya alternatif antibiotika yang bersifat alami dan aman untuk manusia.

Pencarian alternatif antibiotika sebagai pemacu pertumbuhansudah banyak dilakukan di antaranya Ulfah (2007) melaporkan bahwa minyak esensial berpotensi sebagai alternatif antibiotika pemacu pertumbuhan. Akan tetapi, penelitian mengenai uji mengetahui sifat ketahanan propolis yang telah dimikrokapsul dengan bahan penyalut maltodekstrin di dalam cairan rumen sapi belum dilakukan. Oleh karena itu, uji ketahanan mikrokapsulasi propolis Trigona spp. Pandeglang dalam cairan rumen sapi in vitro perlu dilakukan. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi tentang waktu pelepasan propolis yang dimikrokapsul setelah terpapar cairan rumen sapi.

TINJAUAN PUSTAKA

Lebah Madu Trigona spp.

Lebah madu Trigona spp. merupakan serangga yang hidup berkelompok dan membentuk suatu koloni. Lebah madu

Trigona spp. termasuk ke dalam golongan

stingless bee. Lebah madu Trigona spp. Juga sering disebut dengan Melipona. Golongan

stingless bee adalah golongan lebah yang menggigit akan tetapi tidak menyengat. Lebah ini mudah dijumpai di daerah tropis dan subtropis di Amerika Selatan, setengah bagian Afrika Selatan, dan Asia Tenggara. Koloninya terdiri atas 300-80.000 ekor lebah (Free 1982). Lebah Trigona spp. diklasifikasikan dalam divisi Animalia, filum Arthopoda, kelas Insecta, ordo Hymenoptera, famili Apidae, genus Trigona, dan species Trigona spp. (Sihombing 1997). Menurut Singh (1962) kandungan madu pada Trigona lebih sedikit daripada golongan lebah lokal seperti Apis. Madu yang terdapat pada Trigona juga sulit untuk diekstrak. Akan tetapi, kandungan propolis pada Trigona lebih banyak daripada golongan Apis. Lebah madu Trigona spp. dapat dilihat pada Gambar 1.

Trigona spp. (gala-gala, lebah lilin), dalam bahasa daerah dinamakan klanceng, lenceng (Jawa), atau teuweul (Perum

PENDAHULUAN

Keseimbangan mikroflora di dalam usus sapi sangat penting karena berpengaruh terhadap pertumbuhan sapi. Keseimbangan yang bernilai negatif, yang berarti bakteri patogen berjumlah lebih besar daripada bakteri tidak patogen merupakan penyebab diare yang banyak terjadi pada sapi. Salah satu bakteri yang dapat menyebabkan diare adalah Escherichia coli. E. coli merupakan bakteri tidak patogen yang dapat menyebabkan diare ketika jumlah populasinya di dalam usus melebihi jumlah populasi normal. Masalah diare yang terjadi menyebabkan penurunan bobot sapi, yang berdampak pada menurunnya harga sapi di pasaran. Hal ini sangat merugikan para peternak sapi yang ada. Solusi yang ada adalah dengan menambahkan pada pakan beberapa antibiotika yang telah memenuhi syarat seperti basitrasin dan virginiamisin (Sutisna 2008). Antibiotika yang ditambahkan ke dalam pakan ternak sering disebut dengan pemacu pertumbuhan (growth promoter).

Menurut Ulfah (2007), pemakaian antibiotika yang pada awalnya untuk mengatasi masalah diare pada sapi, ternyata menimbulkan masalah baru, yaitu ditemukannya resistensi mikrob dan residu antibiotika pada produk ternak. Resistensi mikrob dapat ditransfer dari ternak ke tubuh manusia melalui kontak langsung manusia dengan ternak maupun secara tidak langsung melalui konsumsi produk hewani (termasuk hewan laut), dan bahan-bahan makanan yang diawetkan dengan antibiotika. Pernyataan ini pun diperkuat oleh Naim (2003), penggunaan antibiotika pada pakan hewan sebagai pemacu pertumbuhan telah mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotika yang umum digunakan untuk terapi infeksi pada manusia.

Propolis yang dihasilkan oleh lebah madu

Trigona spp. terbukti mampu berperan sebagai agen antibakteri pada beberapa bakteri uji seperti Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa (Anggraini 2006). Penelitian selanjutnya, yaitu Lasmayanty (2007) telah mengujikan propolis Trigona spp. pada

Streptococcus mutans, penyebab karies gigi. Fatoni (2008) menyatakan bahwa ekstrak propolis pada konsentrasi 2.04% dan 5.90% berturut-turut dapat menghambat beberapa bakteri patogen dan tidak patogen di usus sapi potong dewasa.

Hipotesis penelitian, yaitu bahwa mikrokapsul propolis yang telah terpapar cairan rumen sapi akan tetap aktif. Penelitian bertujuan mempelajari waktu pelepasan propolis setelah terpapar cairan rumen sapi. Adanya resistensi mikrob dan ditemukannya residu antibiotika pada produk ternak menjadi alasan utama diperlukannya alternatif antibiotika yang bersifat alami dan aman untuk manusia.

Pencarian alternatif antibiotika sebagai pemacu pertumbuhansudah banyak dilakukan di antaranya Ulfah (2007) melaporkan bahwa minyak esensial berpotensi sebagai alternatif antibiotika pemacu pertumbuhan. Akan tetapi, penelitian mengenai uji mengetahui sifat ketahanan propolis yang telah dimikrokapsul dengan bahan penyalut maltodekstrin di dalam cairan rumen sapi belum dilakukan. Oleh karena itu, uji ketahanan mikrokapsulasi propolis Trigona spp. Pandeglang dalam cairan rumen sapi in vitro perlu dilakukan. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi tentang waktu pelepasan propolis yang dimikrokapsul setelah terpapar cairan rumen sapi.

TINJAUAN PUSTAKA

Lebah Madu Trigona spp.

Lebah madu Trigona spp. merupakan serangga yang hidup berkelompok dan membentuk suatu koloni. Lebah madu

Trigona spp. termasuk ke dalam golongan

stingless bee. Lebah madu Trigona spp. Juga sering disebut dengan Melipona. Golongan

stingless bee adalah golongan lebah yang menggigit akan tetapi tidak menyengat. Lebah ini mudah dijumpai di daerah tropis dan subtropis di Amerika Selatan, setengah bagian Afrika Selatan, dan Asia Tenggara. Koloninya terdiri atas 300-80.000 ekor lebah (Free 1982). Lebah Trigona spp. diklasifikasikan dalam divisi Animalia, filum Arthopoda, kelas Insecta, ordo Hymenoptera, famili Apidae, genus Trigona, dan species Trigona spp. (Sihombing 1997). Menurut Singh (1962) kandungan madu pada Trigona lebih sedikit daripada golongan lebah lokal seperti Apis. Madu yang terdapat pada Trigona juga sulit untuk diekstrak. Akan tetapi, kandungan propolis pada Trigona lebih banyak daripada golongan Apis. Lebah madu Trigona spp. dapat dilihat pada Gambar 1.

Trigona spp. (gala-gala, lebah lilin), dalam bahasa daerah dinamakan klanceng, lenceng (Jawa), atau teuweul (Perum

Perhutani 1986). Jumlah madu yang dihasilkan lebih sedikit dan lebih sulit diekstrak, namun jumlah propolisnya lebih banyak dibandingkan dengan lebih jenis lain (Singh 1962). Trigona spp. memiliki sengat sisa akan tetapi tidak digunakan sebagai alat pertahanan. Lebah ini akan menggigit musuhnya atau membakar kulit musuhnya dengan larutan basa. Lebah ini juga dilengkapi dengan sistem kekebalan untuk menyerang serangga penggangu lain (Free 1982). Trigona

spp. lebih banyak mencari makanan pada pagi hari dibandingkan dengan sore hari. Hal ini dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari. Ukuran tubuh sangat mempengaruhi jarak terbang lebah mencari makanan. Makin besar tubuh lebah maka makin jauh jarak terbangnya. Trigona spp. dengan ukuran 5 cm mempunyai jarak terbang sekitar 600 m (Amano et al. 2000 dalam Nelli 2004).

Koloni lebah madu terdiri atas dua golongan, yaitu golongan reproduktif (lebah jantan dan ratu) dan golongan nonreproduktif (lebah pekerja). Satu sama lainnya dapat dibedakan dari bentuk, rupa, warna, dan tingkah laku. Satu koloni lebah hanya memiliki satu ekor ratu, ratusan ekor lebah jantan, dan ribuan ekor lebah pekerja (Sumoprastowo 1980). Ratu memiliki ukuran paling besar dan paling menarik di antara lebah lainnya dalam koloni. Ratu hanya bertugas menghasilkan telur dan lebah jantan bertugas mengawini lebah ratu. Semua pekerjaan dilakukan oleh lebah pekerja, baik pekerjaan di dalam sarang maupun di luar sarang. Semua pembagian tugas dilakukan dengan teratur berdasarkan tingkatan usia (Sumoprastowo 1980).

Gambar 1 Lebah madu Trigona spp.

Propolis

Propolis merupakan produk selain madu yang dihasilkan lebah yang digunakan sebagai pertahanan ataupun bahan pengisi retakan pada struktur sarang (Munstest & Zygmut dalam Haddadin 2008 ; Krell 2004). Propolis sering disebut dengan bee glue atau lem lebah (Iraz et al. 2005). Propolis merupakan resin lengket yang dikumpulkan oleh lebah pekerja dari kuncup, kulit kayu,

dan dari bagian tumbuhan lain (Gojmerac 1983). Resin-resin yang diperoleh dari bermacam-macam tumbuhan kemudian dicampur dengan saliva dan enzim lebah sehingga berbeda dari resin tumbuhan asalnya. Propolis di dalam sarang lebah dapat dilihat pada Gambar 2.

Propolis berwarna kuning sampai coklat tua, bahkan ada yang transparan. Perbedaan warna tersebut dipengaruhi oleh kandungan flavonoidnya. Pada suhu di bawah 15°C, propolis keras dan rapuh, tetapi kembali lebih lengket pada suhu 25-45°C. Propolis umumnya meleleh pada suhu 60-69°C dan beberapa sampel mempunyai titik leleh di atas 100°C (Woo 2004).

Propolis sangat diperlukan bagi kelangsungan kehidupan lebah madu, yaitu sebagai antimikrob (Dharmayanti 2000) dan digunakan untuk mengisi celah dan retakan serta menghaluskan permukaan yang kasar pada sarang lebah madu (Gojmerac 1983). Lebah madu sangat memerlukan propolis karena lebah madu sangat rentan dengan infeksi bakteri dan virus (Chinthalapally et al. 1993). Propolis mampu menghambat pertumbuhan beberapa bakteri seperti Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa (Anggraini 2006). Lasmayanty (2007) telah menguji efek ekstrak propolis Trigona spp. terhadap bakteri

Streptococcus mutans penyebab karies gigi. Propolis Trigona spp. asal Pandeglang dan Bukittinggi diketahui bahwa pada tingkat konsentrasi tertentu lebih menghambat bakteri patogen daripada bakteri tidak patogen di usus sapi (Fatoni 2008 ; Tukan 2008).

Gojmerac (1983) menyatakan bahwa propolis mengandung bahan campuran kompleks malam, resin, balsam, minyak, dan sedikit polen (Tabel 1). Unsur aktif yang penting dalam bidang farmakologi adalah flavonoid (flavon, flavonol, flavonon), senyawa fenolat, serta senyawa aromatik. Flavonoid berperan dalam pewarnaan tumbuhan. Senyawa flavonoid yang ada di antaranya adalah flavonol (galangin, kaemferol, quersetin), flavonon (pinocembrin

dan pinosrobin), serta falvon (chrysin,

acacetin, apigenin, ermanin). Beberapa senyawa fenolat yang ada di antaranya adalah hidroksisinamat, asam sinamat, vanilin, benzil alkohol, asam benzoat, kafeat, kumarat, serta asam ferulat. Berbeda dengan komposisi kimia yang dikandung oleh propolis nilai nutrisi yang dikandung propolis sangat sedikit, yaitu berasal dari protein, asam amino, mineral dan gula, serta vitamin dalam jumlah

kecil seperti vitamin A, B1, B2, B6, C, dan E (Khismatulina 2005).

Komposisi kimia propolis sangat kompleks dan tergantung vegetasi lingkungan tempat pengumpulannya. Pada daerah beriklim sedang seperti Eropa, Asia, dan Amerika Utara, sumber utama propolis adalah kuncup pohon poplar. Aktivitas biologis propolis dapat dilihat pada Tabel 2.

Kelebihan propolis sebagai antibiotika alami dibandingkan dengan bahan sintetik adalah lebih aman serta dengan efek samping yang relatif kecil. Satu-satunya efek samping yang terjadi dan itu pun jarang terjadi, yaitu timbulnya reaksi alergi. Selain itu, propolis sebagai antibiotika mempunyai selektivitas yang tinggi. Propolis hanya membunuh bakteri penyebab penyakit sedangkan mikrob yang berguna seperti flora usus tidak terganggu (Winingsih 2004).

Gambar 2 Propolis dalam sarang lebah. Tabel 1 Komposisi propolis

Kelas Senyawa Golongan Senyawa Jumlah Resin Flavonoid, asam aromatik, dan esternya 50%

Lilin Asam lemak

dan esternya 30% Minyak esensial Volatil 10% Polen Protein dan asam amino bebas 5% Senyawa organik dan mineral Mineral, lakton, quinon, steroid, vitamin, dan gula 5% (Khismatullina 2005)

Tabel 2 Aktivitas biologis komponen propolis

(Bankova et al. 2000)

Pemacu Pertumbuhan

Pemacu pertumbuhan (growth promoter) adalah zat aditif yang ditambahkan ke dalam pakan ternak untuk mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan produktivitas (Sutisna 2008). Zat-zat yang biasa digunakan sebagai pemacu pertumbuhan adalah antibiotika, hormon, dan acidifier. Menurut

National Office of Animal Health (NAOH 2001 dalam Tukan 2008), antibiotic growth Promoter (AGP) meningkatkan efisiensi pencernaan makanan pada hewan sehingga pertumbuhannya cepat dan kondisi tubuhnya sehat. Antibiotic growth promotor adalah antibiotika yang berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan. Dosis antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan, yaitu subteurapetik (di bawah dosis pengobatan). Sifat pemberian pemacu pertumbuhan lebih bersifat suplemen.

Selain bahan-bahan tersebut terdapat bahan-bahan lain seperti obat herbal, imunomodulator, probiotik dan prebiotik. Ketiga bahan tersebut memang memiliki fungsi yang mirip dengan (antibiotika dan hormon) tetapi memiliki cara kerja yang berbeda, yaitu melalui penyehatan saluran pencernaan atau penguatan sistem kekebalan tubuh yang bertujuan meningkatkan kesehatan sehingga mampu mempercepat

No Jenis aktivitas Senyawa

1 Antibakteri Prenylated p-coumaric acids Lignans Diterpenic acids 2 Sitotoksik Flavonoid Prenylated p-coumaric acids Lignans Diterpenic acids 3 imunomodulasi Caffeoulquini c acids 4 antihepatotoksik Caffeoulquini c acids

pertumbuhan dan meningkatkan produktivitas hewan ternak.

Masyarakat telah lama mengenal dan menerapkan antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan pada ternak. Akan tetapi, penggunaan antibiotika dinilai banyak memiliki kekurangan. Salah satu yang penting adalah penggunaan antibiotika pada pakan hewan sebagai pemacu pertumbuhan telah mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotika yang umum digunakan untuk terapi infeksi pada manusia (Naim 2003; Ulfah 2007).

Mekanisme resistensi pada bakteri meliputi mutasi, penghambatan aktivitas antibiotika secara enzimatik, perubahan protein yang merupakan target antibiotika, perubahan jalur metabolik, efluks antibiotika, perubahan pada saluran porin, dan perubahan permeabilitas membran (Naim 2003). Ada beberapa syarat antibiotika sebagai pemacu pertumbuhan antara lain 1) antibiotika yang digunakan harus aman buat manusia, hewan dan lingkungan, 2) antibiotika memiliki keampuhan yang tinggi, 3) antibiotika bermutu bagus, 4) antibiotika yang digunakan pada ternak adalah yang tidak digunakan pada manusia, khususnya untuk mencegah resistensi bakteri pada manusia, 5) sifat antibiotika harus tidak diserap oleh usus, 6) dosis penggunaannya sangat kecil antara 1 dan 2 ppm atau 1-2 kg per ton pakan, 7) sifat antibiotika harus mudah terdegradasi (Sutisna 2008). Oleh sebab itu, hanya beberapa jenis antibiotika saja yang boleh digunakan sebagai pemacu pertumbuhan dari sekian banyak antibiotika, sebagai contoh basitrasin, dan virginiamisin.

Obat-obatan herbal, probiotik, dan imunomodulator mempunyai cara kerja yang berbeda dengan antibiotika. Obat herbal menurut Sutisna (2008) seperti kunyit, jahe, temulawak dapat memberi khasiat secara empiris sebagai peningkat nafsu makan pada ternak. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari (Kandou 2008 dalam Sutisna 2008) bahwa produk herbal dari ekstrak Curcuma domestica (kunyit), Curcuma xanthorrhizae

(temulawak) berdasarkan penelitian tim riset independen memang memiliki keunggulan mampu memperbaiki pencernaan ayam, mencegah defisiensi vitamin, membentuk jaringan tubuh yang sehat, dan menjaga daya tahan tubuh ayam tetap tinggi. Imunomodulator dapat berfungsi meningkatkan kekebalan hewan ternak sedangkan probiotik berfungsi menyeleksi

pertumbuhan bakteri yang baik dalam saluran pencernaan (Sutisna 2008).

Rumen Sapi

Rumen sapi adalah kompartemen terbesar dari penyusun perut sapi. Rumen mengandung miliaran bakteri, protozoa, dan fungi. Mikroorganisme tersebut bersimbiosis dengan sapi. Rumen sapi menyediakan substrat penting untuk mikrob sedangkan mikrob membantu sapi dalam mencerna makanannya (Caert 2006). Hal ini menjadi alasan yang membuat sapi dapat makan makanan dalam jumlah besar. Jalur pencernaan hewan ruminansia dapat dilihat pada Gambar 3.

Hungate (1966) menyebutkan bahwa terdapat beberapa cara pengambilan cairan rumen antara lain (1) pengambilan langsung dari tempat penjagalan, (2) menggunakan tabung perut, dan (3) melalui fistula. Ketiga metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Metode pengambilan langsung dari tempat penjagalan dilakukan apabila kita ingin melihat aktivitas rumen. Kekurangan metode ini adalah tercampurnya mikrob dengan pakan, kondisi aerobik, kontaminan dari luar, dan perubahan suhu rumen sampai 20-23°C. Pengambilan rumen memakai tabung perut digunakan untuk diagnosis. Pengambilan melalui fistula dilakukan dengan melubangi bagian perut hewan ruminansia.

Mikrob rumen membantu dalam pencernaan. Bakteri, protozoa dan fungi mengubah nutrien pakan secara fermentatif menjadi senyawa lain yang berbeda dari molekul asalnya, misalnya protein dirombak menjadi amoniak, karbohidrat diubah menjadi asam lemak terbang, CO2, dan gas metana. Gas metana dan CO2 merupakan komposisi gas terbesar hasil fermentasi mikrob di dalam rumen sapi (Dehority 2003). Volatile Fatty Acids (VFA) yang paling banyak dihasilkan adalah asam asetat, diikuti oleh asam propionat, butirat, dan valerat (Hungate 1966). Nilai pH rumen merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi lingkungan rumen sapi. Nilai pH rumen sangat mempengaruhi fermentasi mikrobial. Kisaran nilai pH normal rumen sapi, yaitu antara 5.5 sampai 7.0 dengan suhu normal antara 38-40°C pada pakan normal (Dehority 2003). Nilai pH rumen sangat dipengaruhi oleh kandungan serat pakan yang diberikan dan kandungan pengeluaran saliva

(Rychlik & Russell 2001). Kelenjar saliva

yang dikeluarkan akan memelihara nilai pH agar tetap sesuai dengan nilai pH untuk

fermentasi mikrob. Saliva ruminansia banyak mengandung anion bikarbonat dan fosfat dengan nilai pH 8 atau lebih. Saliva akan menetralkan pH ketika produk asam hasil fermentasi dihasilkan. Produksi saliva lebih besar saat hewan makan daripada tidak makan (Dehority 2003). Produksi saliva per hari yang dihasilkan tergantung pada tipe hewan ruminansia dan jumlah pakan, misalkan pada kambing sekitar 5-15 L dan 75-190 L untuk sapi (Hungate 1966).

Proses pencernaan makanan pada rumen merupakan proses kombinasi antara motoris dan biologis. Beberapa istilah penting dalam pencernaan yang terjadi di dalam sapi, yaitu ingesi, ruminansi, dan eruktasi. Ingesi adalah teknik mengunyah awal makanan yang dilakukan di mulut dan biasanya hanya untuk mencampurkan makanan dengan saliva. Ruminansi adalah teknik mengunyah dan menelan kembali makanan. Teknik ruminansi dapat membantu fermentasi oleh mikrob dengan mengurangi partikel pakan (luas permukaan semakin besar) sehingga meningkatkan kontak pakan dengan mikrob, menambah kandungan saliva, dan meningkatkan laju pencampuran (Al-Bagdadi 2008). Ruminansi adalah proses pencernaan yang di awali dari mulut, retikulum, mulut, rumen, omasum, abomasum, usus halus, usus besar, dan rektum. Eruktasi adalah teknik mengeluarkan gas hasil fermentasi mikrob seperti CO2 dan metana (Hungate 1966). Gangguan dalam eruktasi dapat menyebabkan perut yang membesar pada sapi akibat berkumpulnya gas yang tidak bisa dikeluarkan.

Rumen dalam mencerna makanan melakukan kontraksi 2 sampai 3 kali tiap menit. Proses ruminansi terjadi 8-12 jam setiap hari dan selama proses ruminansi tersebut dilepaskan gas 30-50 L tiap jam (Dana 2008). Menurut Dehority (2003) dalam 24 jam, hewan ruminansia menghabiskan 6 jam makan, 9 jam ruminansi, dan 9 jam bermalas-malasan. Ada beberapa alasan mengapa hewan ruminansia melakukan proses ruminansi, yaitu menghindari predator, menyediakan oksigen, meningkatkan laju pemasukan makanan ke dalam omasum, dan mengurangi ukuran partikel pakan yang diasup. Proses fermentasi juga terjadi di dalam rumen sapi. Sistem fermentasi yang terletak di dalam rumen mempunyai beberapa keuntungan, yaitu bakteri dalam rumen dapat menggunakan senyawa nitrogen bukan protein menjadi protein tubuhnya yang akhirnya dapat tersedia bagi induk semang (Dehority 2003).

Gambar 3 Jalur pencernaan ruminansia.

Mikrob Rumen Sapi

Mikrob rumen dapat dibagi dalam tiga grup utama, yaitu bakteri, protozoa, dan fungi. Kehadiran fungi di dalam rumen diakui sangat bermanfaat bagi pencernaan pakan serat karena fungi dapat membentuk koloni pada jaringan selulosa pakan. Rhizoid fungi tumbuh jauh menembus dinding sel tanaman sehingga pakan lebih terbuka untuk dicerna oleh enzim bakteri rumen. Berbeda dengan mikrob usus sapi, mikrob rumen bermanfaat karena dapat menghasilkan asam lemak terbang yang dapat dipakai sebagai sumber energi (Hungate 1966). Bakteri tidak patogen banyak berada di dalam saluran pencernaan sapi dan membantu proses pencernaan. Bakteri-bakteri rumen dapat digolongkan menjadi bakteri selulolitik, proteolitik, lipolitik, dan bakteri probiotik (Hungate 1966).

Jumlah bakteri di dalam rumen sapi sekitar >1010 sel bakteri per gram (Russell & Rychlik 2001). Bakteri rumen dapat diklasifikasikan berdasarkan substrat utama yang digunakan, karena sulit mengklasifikasikan berdasarkan morfologinya. Kebalikannya klasifikasi protozoa didasarkan pada morfologinya sebab mudah dilihat berdasarkan penyebaran silianya. Beberapa jenis bakteri yang ada adalah (a) bakteri pencerna selulosa (Bakteroidessuccinogenes, Ruminococcus flavafaciens, Ruminococcus albus,

Butyrifibriofibrisolvens), (b) bakteri pencerna hemiselulosa (Butyrivibrio fibrisolvens,

Bakteroides ruminocola, Ruminococcus sp.), (c) bakteri pencerna pati (Bakteroides acmylophilus, Streptococcus bovis,

Succinnimonas amylolytica), (d) bakteri pencerna gula (Triponema bryantii,

Lactobasilus ruminus), dan (e) bakteri pencerna protein (Clostridium sporogenus,

Kapsul

Kapsul adalah bentuk padat sediaan obat berbahan lembam yang dilapisi oleh gelatin. Pelindung kapsul dari gelatin dapat bersifat

Dokumen terkait