• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

5.1. Kualitas Fisik Kompos (Warna, Teksturdan Bau)

Berdasarkan hasil penelitian terhadap pembuatan kompos dari limbah kol dengan melakukan pengukuran pada parameter suhu, pH dan kelembaban yang berlangsung hari ke 10, 20, dan 30 hari serta pengukuran Natrium, Phosfor dan Kalium pada saat kompos sudah matang/jadi, menandakan ciri-ciri sebagai berikut. 1. Warna kompos coklat kehitaman

2. Aroma kompos yang baik tidak mengeluarkan aroma yang menyengat, tetapi mengeluarkan aroma lemah seperti bau tanah atau bau humus hutan.

3. Apabila dipegang dan dikepal, kompos akan menggumpal, apabila ditekan dengan lunak, gumpalan kompos akan hancur dengan mudah.

Pada aktivator MOL menunjukkan ciri fisik kompos yang baik,dimana warnanya coklat kehitaman, lembab, dan bahan pembentuknya sudah tidak tampak lagi. Untuk aktivator EM-4 menunjukkan warna yang berbeda yaitu berwarna coklat dan pada aktivator kotoran sapi berwarna coklat kekuningan.

Perubahan warna kompos dari coklat menjadi coklat kehitaman menunjukkan adanya bakteri yang melakukan aktivitas dekomposisi, sehingga mampu mengubah warna kompos. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Gaur (1986) bahwa proses pengomposan akan terjadi penguraian bahan organik oleh aktivitas mikroba, yaitu mikroba akan mengambil air, oksigen dan nutrisi dari bahan organik yang kemudian akan mengalami penguraian dan membebaskan CO2 dan O2. Hal ini terjadi karena

59 pangaruh berbagai aktivator yaitu EM-4,MOL dan Kotoran sapi yang mempercepat proses pematangan kompos.

5.2.Suhu

Berdasarkan penelitian ini terlihat bahwa terdapat perbedaan suhu yang terjadi pada pemeriksaan yang dilakukan hari ke 10, 20, 30. Dengan hasil rata-rata yang diperoleh untuk aktivator EM-4 yaitu antara 24-27 0C, pada aktivator MOL diperoleh suhu antara 31-320C dan untuk aktivator kotoran sapi merupakan suhu yang paling rendah yaitu 250C. Suhu yang diperiksa pada saat pengomposan berlangsung menunjukkan bahwa suhu yang paling tinggi yaitu pada kompos yang menggunakan aktivator MOL, hal ini berhubungan dengan kematangan kompos yang terlihat dimana hasil akhir dari pengomposan tersebut menunjukkan perubahan warna tampak lebih hitam dibandingkan dengan aktivator kotoran sapi dan EM-4 dan bahan utama sudah kompos sudah mulai tidak terlihat bentuk yang jelas(hancur),hanya tampak menyerupai tanah kemudian hasil akhir dari kompos yang menggunakan aktivator EM-4 terlihat lebih lebih menghitam dibandingkan dengan kompos yang menggunakan aktivator kotoran sapi,hal ini dapat dikarenakan mikroorganisme lebih cepat berkembang pada EM-4 dibandingkan dengan kotoran sapi pada proses dekomposisi.Suhu pengomposan yang dicapai dalam penelitian ini sekitar 25-320C, dan ini berlangsung optimal pada hari ke-20.

Faktor suhu sangat berpengaruh terhadapproses pengomposan karena berhubungan denganjenis mikroorganisme yang terlibat(Ali,2010). Hal ini menunjukkan bahwa mikroba yang aktif adalah mikroba mesofilik, yaitu mikroba

yang dapat hidup pada suhu antara 20-350C. Aktifitas mikroba mesofilik dalam proses penguraian akan menghasilkan panas dengan mengeluarkan CO2 dan mengambil O2 dalam tumpukan kompos sampai mencapai suhu maksimum (Isroi dan Yuliarti, 2009).

Suhu timbunan bahan yang mengalami dekomposisi akan meningkat sebagai hasil kegiatan biologi.Suhu yang berkisar antara 600C dan 70 0C merupakan kondisi optimum kehidupan mikroorganisme tertentu dan membunuh patogen yang tidak dikehendaki,dengan tujuan memperoleh tingkat higienis yang cukup dari bahan kompos,maka apabila memungkinkan suhu harus dipertahankan 550 C terus menerus selama 2 minggu Perubahan suhu pada saat proses pengomposan juga dapat dipengaruhi oleh pembalikan timbulan kompos, pembalikan yang seringkali dilakukan menyebabkan timbunan cepat menjadi dingin.(Sutanto, 2002).pada penelitian ini suhu optimum yang diperoleh yaitu 320 C , hal ini dikarenakan suhu lingkungan luar pada lokasi pembuatan kompos tersebut sangan rendah antara 18-230C dan merupakan daerah pegunungan. Suhu di lingkungan luar dapat mempengaruhi suhu pada lubang pembuatan kompos tersebut,apabila lubang kompos ditutup tidak terlalu rapat .hal senada diungkapkan oleh Andika (2011) bahwa suhu pada proses pengomposan aerobik dipengaruhi oleh udara yang tetap terjaga agar tidak masuk pada wadah kompos dan tidak menyebabkan tumbuh bakteri pathogen yang berpengaruh terhadap kesehatan manusia seperti penyakit Pneumonia dimana penyakit infeksi atau peradangan pada organ paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur ataupun parasit di mana pulmonary alveolus (alveoli) yang bertanggung jawab menyerap oksigen dari atmosfer menjadi “inflame” dan terisi oleh cairan,

61 selain pneumonia penyakit yang dapat disebabkan oleh jamur(spora) dari proses pembuatan kompos tersebut adalah penyakit Histoplasmosis ditularkan melalui spora udara dan ketika orang bernapas akan masuk ke paru-paru.Orang yang sangat beresiko terkena histoplasmosis adalah pekerja yang berkontak dengan kotoran burung atau kelelawar, misalnya petani. Kebanyakan orang yang terkena histoplasmosis tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi, karena mereka tidak pernah menunjukkan tanda dan gejala. Namun, histoplasmosis dapat serius bagi sebagian orang, terutama bayi dan orang dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang.

5.3.pH

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pH pada saat pemeriksaan hari ke 10 relatif rendah/asam namum pada pemeriksaan hari ke 20 hingga hari ke 30 pH mulai normal dan mendekati pH tanah yaitu antara 5,4-5,7 pada aktivator EM-4 , 5,6-6,3 pada aktivator MOL dan 5,3-6 pada aktivator kotoran sapi.Hal ini disebabkan mikroba menggunakan asam organik yang akan menyebabkan pH menjadi naik, selanjutnya asam organik digunakan mikroba jenis lain hingga derajat keasaman kembali netral (Maradhy, 2009).

Rata-rata pH akhir dari proses dekomposisi sampah daun organik pada semua perlakuan hampir sama, yaitu sekitar 6-7, pH optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5. pH ideal dekomposisi aerobik antara 6-8 karena pada derajat tersebut mikroba dapat tumbuh dan mengadakan aktifitasnya dalam mendekomposisi sampah organik daun (Maradhy, 2009).Derajat keasaman (pH)juga memang sangat mempengaruhi proses pengomposan karena pH merupakan salah satu faktor kritis bagi pertumbuhan mikroorganisme yang terlibat dalam proses

pengomposan (Simamora dan Salundik, 2006). Derajat keasaman yang terlalutinggi akan menyebabkan konsumsi oksigen akan naik dan akan memberikan hasil yang buruk bagi lingkungan. Selain itu juga dapat menyebabkanunsur nitrogen dalam kompos berubah menjadiamonia (NH3). Sebaliknya, dalam keadaan asam(derajat keasaman rendah) akan menyebabkan sebagian mikroorganisme mati (J uarnanai,2005).

Bakteri lebih senang pada pH netral,fungi berkembang cukup baik pada kondisi pH agak asam.Kondisi alkalin kuat akan menyebabkan kehilangan nitrogen, hal ini memungkinkan terjadi apabila ditambahkan kapur pada saat pengomposan berlangsung. Kondisi sangat asam pada awal proses dekomposisi menunjukkan proses dekomposisi berlangsung tanpa terjadi peningkatan suhu.Biasanya,pH agak turun pada awal proses pengomposan karena aktivitas bakteri yang menghasilkan asam.Dengan munculnya mikroorganisme lain dari bahan yang didekomposisi maka pH bahan kembali naik setelah beberapa hari dan pH berada pada kondisi netral pada saat kompos sudah matang. (Sutanto ,2002)

5.4.Kelembaban

Kelembaban yang diperoleh pada saat pengukuran yang dilakukan antara 42-59% pada kompos yang menggunakan aktivator EM-4 ,55,3-56 % pada kompos yang menggunakan MOL dan 55,7-57% pada kompos yang menggunakan aktivator kotoran sapi.Hasil diatas menunjukkan bahwa kadar air pada kompos yang menggunakan aktivator MOL lebih tinggi dibandingkan dengan aktivator MOL dan Kotoran Sapi .

63 Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen.Miroorganisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan organik tersebut larut dalam air tersebut larut dalam air. Kelembaban 40-60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba, pabila kelembaban dibawah 40%,aktivitas mikroba akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15 %.Apabila kelembaban lebih besar dari 60 % hara akan tercuci, volume udara berkurang,akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tak sedap Warsidi,(2008).

Hal ini sesuai dengan (Suryati, 2014) yang menyatakan Pengomposan secara anaerob membutuhkan kadar air yang tinggi, yaitu sekitar 50% keatas. Kadar air yang banyak pada proses pengomposan secara anaerob diperlukan bakteri untuk membentuk senyawa–senyawa gas dan bermacam-macam asam organik sehingga pengendapan kompos akan lebih cepat. Secara fisik, kadar air dapat memudahkan proses penghancuran bahan organik dan mengurangi bau.

Dokumen terkait