Aspek Pengetahuan
Aspek pengetahuan adalah kemampuan berpikir yang dilandasi oleh pengetahuan dan wawasan seseorang dalam upaya mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi dan mengetahui atau memahami konsep program P2KP (tujuan, sasaran, manfaat penting dan peruntukkan). Pada penelitian ini, aspek pengetahuan ditentukan berdasarkan kriteria memiliki anggota KWT memiliki pengetahuan yang luas tentang kegiatan, pengetahuan awal tentang cara pemanfaatan lahan pekarangan, materi yang diterima dalam kegiatan SL-P2KP, kegiatan yang masih diingat, alasan pentingnya pelaksanaan SL-P2KP, dan alasan pelaksanaan kegiatan SL-P2KP hanya untuk perempuan. Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat pengetahuan dapat di lihat pada tabel 26.
Tabel 26. Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat pengetahuan pada kegiatan SL-P2KP
Pengetahuan Jumlah (orang) Persentase (%)
Rendah 22 36,67
Tinggi 38 63,33
63 Tabel 26 nampak bahwa sebagian besar petani (63,33 %) memiliki tingkat pengetahuan yang tergolong dalam kategori tinggi dan (36,67 %) yang tergolong rendah. Hal ini berarti bahwa pengetahuan petani tentang P2KP baik. Walaupun cukup banyak yang menjawab dengan benar tapi masih banyak juga yang belum dapat menjawab tentang manfaat dan tujuan dari kegitan P2KP maupun SL-P2KP dan mengapa kegiatan ini ditujukan hanya untuk perempuan. Petani (anggota KWT) yang mengikuti kegiatan SL-P2KP memiliki tingkat pengetahuan cukup baik meskipun pada karakteristik individu nampak bahwa tingkat pendidikan mereka (responden) rendah (56,67 persen). Namun dari sisi kondisi sosial budaya diketahui bahwa sebagian besar petani sudah tahu tentang bercocok tanam di lahan pekarangan sebelum adanya kegiatan SL-P2KP. Dapat dikatakan bahwa pengetahuan mereka tentang budidaya di pekarangan sudah cukup baik.
Aspek Afeksi
Aspek afeksi petani dilihat dari delapan pernyataan yang diberikan dengan dua pilihan jawaban tidak setuju dan setuju. Kemudian setiap jawaban tidak setuju diberi nilai satu dan setuju diberi nilai dua. Selanjutnya diberi nilai rata-rata untuk setiap responden dan dikelompokkan menjadi dua yakni tidak mendukung dan mendukung. Secara terperinci jumlah dan persentase petani responden disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27. Jumlah dan persentase reponden berdasarkan tingkat afeksi pada kegiatan SL-P2KP
Data tabel 27 nampak bahwa hampir semua petani (98,3%) mendukung SL-P2KP, karena dianggap mempermudah petani dalam melakukan budidaya tanaman pangan di lahan pekarangan, mendorong perempuan untuk memberikan beragam makanan pokok pada keluarga, kegiatan ini tidak sulit dilakukan dalam keluarga, kegiatan ini tidak sulit dilakukan dalam keluarga. Oleh karena itu kegiatan ini perlu dilakukan oleh seluruh masyarakat. Secara kelompok tidak ada anggota yang tidak mendukung kegiatan SL-P2KP dan hanya satu orang saja yang tidak mendukung dalam kegiatan ini. Hal ini dapat dijelaskan bahwa sebagian besar masyarakat di Kecamatan Prambanan telah melakukan kegiatan penanaman tanaman buah dalam pot (Tabulapot) sebelum kegiatan ini SL-P2KP dilakukan mengacu pada kondisi sosial budaya masyarakat (hal 51).
Afeksi Jumlah (orang) Persentase
(%) Tidak Mendukung 1 1,7
Mendukung 59 98,3
64
Perilaku
Tingkat perilaku yang diamati berdasarkan jumlah dan persentase yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yakni kategori tidak sesuai dan sesuai dengan kegiatan SL-P2KP. Pengukuran perilaku dilihat melalui kegiatan pemanfaatan pekarangan, cara memanfaatkan dan cara mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat selain beras (singkong, ubi jalar, talas dan jagung). Secara rinci jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat perilaku petani di sajikan pada Tabel 28.
Tabel 28. Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat perilaku pada kegiatan SL-P2KP (Pemanfaatan Pekarangan)
Perilaku Jumlah (orang) Persentase (%)
Tidak sesuai 5 11,67
Sesuai 55 88,33
Total 60 100,00
Sebagian besar petani (88,33%) menunjukkan perilaku pemanfaatan pekarangan yang sesuai dengan apa yang sudah diajarkan dalam SL-P2KP khususnya pada perilaku menanam (budidaya). Pada saat pelaksanaan SL-P2KP, petani didampingi oleh penyuluh dan bibit tanaman yang diberikan adalah tanaman semusim berupa sayur-sayuran dan buah-buahan.
Pemanfaatan dan cara mengkonsumsi pangan lokal selain beras ini disajikan pada Tabel 29.
Tabel 29. Jumlah dan persentase petani berdasarkan tingkat perilaku pemanfaatan sumber karbohidrat selain beras
Jenis Tanaman Makanan Utama Makanan Selingan Dijual
n % n % n % Ubi Jalar 5 8,33 43 71,67 5 8,33 Jagung 1 1,67 42 70 0 0 Singkong 15 25 36 60 0 0 Talas 0 0 60 100 0 0
Data Tabel 29 menunjukkan bahwa hampir sebagian besar petani 70 sampai 100 persen memanfaatkan tanaman pangan sumber karbohidrat selain beras sebagai makanan selingan bukan makanan utama, yang biasa dikonsumsi tanpa lauk-pauk. Makanan utama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah petani mengkonsumsi jenis tanaman pangan lokal dalam satu hari selain mengkonsumsi nasi dan atau diselingi nasi-ubi jalar-nasi. Jenis tanaman pangan lokal seperti ubi jalar (ubi pendem), jagung, singkong/ubi kayu (telo) dan talas merupakan sumber karbohidrat pengganti beras karena memiliki kandungan gizi yang mendekati beras. Namun pemanfaatannya masih belum banyak dilakukan oleh masyarakat seperti yang nampak pada tabel ubi kayu dijadikan sebagai makanan utama sekitar 25 persen. Konsumsi ubi kayu sebagai pangan alternatif pangan karena ketersediaannya cukup banyak dan mudah dibudidayakan pada lahan subur maupun kurang subur sampai lahan marjinal. Ubi kayu dapat
65 langsung dikonsumsi dengan terlebih dahulu direbus, digoreng dan dibakar atau difermentasi menjadi tape. Ubi jalar (ubi pendem) hanya 8,33 persen, disusul tanaman jagung 1,67 persen. Sementara untuk makanan selingan seluruh responden menyatakan talas 100 persen. Ini menjelaskan bahwa petani selain mengkonsumsi pada waktu dan atau acara tertentu juga harga talas agak mahal dan agak susah diperoleh. Tanaman ubi jalar 71,67 persen dikonsumsi pada acara tertentu seperti arisan atau jika ada warga yang mempunyai hajatan ubi jalar disajikan dalam bentuk kudapan atau aneka kue. Jagung sebanyak 70 persen dan ubi kayu (singkong) sebanyak 60 persen. Selain dijadikan sebagai makanan utama dan makanan selingan, ada petani yang memanfaatkan tanaman pangan lokal untuk dijual. 8,33 persen petani menjawab tanaman talas dijual karena tanaman ubi jalar bernilai ekonomis dan tahan lama jika disimpan serta memiliki potensi peluang pasar.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa perubahan perilaku petani walaupun tidak terlalu banyak tetapi sudah melakukan diversifikasi pangan dalam kegiatan SL-P2KP.
Hubungan Antara Intensitas Komunikasi Dengan Efektivitas Komunikasi Dalam SL-P2KP
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan nyata antara intensitas komunikasi dalam SL-P2KP dengan efektivitas komunikasi. Peubah efektivitas komunikasi yaitu, aspek pengetahuan, aspek afeksi dan aspek perilaku. Untuk mengetahui tingkat hubungan antara intensitas komunikasi terhadap efektivitas komunikasi dilakukan melalui tabulasi silang dan menggunakan analisis uji Chi-Square.
Hubungan antara intensitas komunikasi dengan aspek pengetahuan petani dalam kegiatan SL-P2KP
Dalam pembahasan ini, peubah yang merupakan bagian dari intensitas komunikasi adalah kehadiran penyuluh, peran penyuluh, komunikasi di antara sesama anggota KWT, komunikasi di antara penyuluh dan responden (anggota KWT) di dalam maupun di luar pertemuan dan frekuensi bertemu antara penyuluh dengan responden (anggota KWT) di dalam maupun di luar pertemuan, sedangkan peubah dari efektivitas komunikasi adalah aspek pengetahuan.
Untuk mengetahui adanya hubungan antara intensitas komunikasi terhadap efektivitas komunikasi aspek pengetahuan, dilakukan pengujian tabulasi silang pada Tabel 30.
Tabel 30 Jumlah persentase petani menurut intensitas komunikasi dan tingkat pengetahuan responden dalam pelaksanaan SL-P2KP
Intensitas komunikasi Pengetahuan (%)
Jumlah
Rendah Tinggi
Rendah 36,8 63,2 100
66
Tabel 30 menunjukkan bahwa petani yang memiliki intensitas komunikasi rendah maupun tinggi relatif sama tingkat pengetahuannya. Petani yang intensitas komunikasinya rendah maupun tinggi sebagian besar tingkat pengetahuannya tergolong tinggi.
Untuk mengetahui hubungan antara intensitas komunikasi terhadap tingkat pengetahuan, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan analisis uji chi square.
Tabel 31 Hubungan antara intensitas komunikasi dengan tingkat pengetahuan petani pada pelaksanaan SL-P2KP
Indikator p-value Sig Keterangan
Intensitas komunikasi
vs Tingkat Pengetahuan 0,001 0,970 Tidak Nyata Hasil uji pada tabel 31 menunjukkan intensitas komunikasi berhubungan
tidak nyata dengan tingkat pengetahuan dengan nilai signifikansi sebesar 0,970 lebih besar dari alpha 0.05. Hubungan tidak nyata antara intensitas komunikasi dilihat dari frekuensi membicarakan tentang P2KP antar penyuluh dan antar sesama petani yang hanya terjadi dalam pertemuan dan topiknya bukan hanya P2KP saja. Pembicaraan diantara sesama petani kadang-kadang dilakukan, frekuensi bertemu antara petani dan penyuluh hanya terjadi pada saat pertemuan SL-P2KP sementara frekuensi bertemua diluar pertemuan jarang bahkan kurang. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya tingkat pengetahuan petani. Petani yang jarang bertemu dengan penyuluh tidak memberikan peningkatan pengetahuan petani tentang optimalisasi pemanfaatan pekarangan dan penganekaragaman pangan.
Hubungan antara intensitas komunikasi dengan aspek afeksi petani dalam kegiatan SL-P2KP
Dalam pembahasan ini, peubah yang merupakan bagian dari intensitas komunikasi adalah kehadiran penyuluh, peran penyuluh, pembicaraan di antara sesama anggota KWT, pembicaraan di antara penyuluh dan responden (anggota KWT) di dalam maupun di luar pertemuan dan frekuensi bertemu antara penyuluh dengan responden (anggota KWT) di dalam maupun di luar pertemuan, sedangkan peubah dari efektivitas komunikasi adalah aspek afeksi.
Untuk mengetahui adanya hubungan antara intensitas komunikasi terhadap efektivitas komunikasi aspek afeksi, dilakukan pengujian tabulasi silang pada Tabel 32.
Tabel 32 Jumlah persentase petani menurut intensitas komunikasi dan tingkat afeksi dalam pelaksanaan SL-P2KP
Intensitas komunikasi
Afeksi (%)
Jumlah Tidak mendukung Mendukung
Rendah 2,6 97,4 100
67 Pada Tabel 32 tampak bahwa sebagian besar petani yang melakukan komunikasi secara intens maupun tidak ternyata semua mendukung program SL- P2KP. Hal ini menjelaskan bahwa pada tingkat intensitas komunikasi rendah atau tinggi, komunikasi terutama yang dilakukan antara penyuluh dengan petani dan antara petani dengan petani, ternyata petani mendukung kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP). Hampir seluruh petani mendukung kegiatan ini. Karena sudah menjadi kebiasaan atau budaya petani yang melakukan kegiatan penanaman tanaman dipekarangan rumah sebelum adanya program ini.
Untuk mengetahui tingkat hubungan antara intensitas komunikasi terhadap tingkat afeksi, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan analisis uji chi square.
Tabel 33. Hubungan antara intensitas komunikasi dengan tingkat afeksi petani dalam pelaksanaan SL-P2KP
Indikator Value Sig Keterangan
Intensitas komunikasi vs
Tingkat afeksi 0,589 0,443 Tidak Nyata
Hasil uji pada Tabel 33 dapat dikatakan antara intensitas komunikasi dengan tingkat afeksi terdapat hubungan tidak nyata dengan nilai signifikansi sebesar 0,443 lebih besar dari alpha 0.05. Hubungan tidak nyata antara intensitas komunikasi dengan tingkat afeksi ini menjelaskan bahwa kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP) bukan merupakan hal yang baru karena sudah dilakukan oleh petani sebelum kegiatan SL-P2KP dilaksanakan. Aktivitas menanam sudah dilakukan petani sejak lama, telah disinggung sebelumnya dimuka bahwa pekerjaan utama di desa adalah bertani, sehingga kegiatan memanfaatkan lahan pekarangan yang diprogramkan di dukung oleh masyarakat setempat. Dengan demikan dapat dijelaskan bahwa intensitas komunikasi yang dilakukan pada tingkat afeksi petani mendukung kegiatan SL-P2KP sehingga terdapat hubungan tidak nyata dan atau hubungannya lemah.
Hubungan antara intensitas komunikasi dengan aspek perilaku petani dalam kegiatan SL-P2KP
Dalam pembahasan ini, peubah yang merupakan bagian dari intensitas komunikasi adalah kehadiran penyuluh, peran penyuluh, pembicaraan di antara sesama anggota KWT, pembicaraan di antara penyuluh dan responden (anggota KWT) di dalam maupun di luar pertemuan dan frekuensi bertemu antara penyuluh dengan responden (anggota KWT) di dalam maupun di luar pertemuan, sedangkan peubah dari efektivitas komunikasi adalah aspek perilaku.
Untuk mengetahui adanya hubungan antara intensitas komunikasi dengan perubahan perilaku, dilakukan pengujian melalui tabulasi silang.
68
Tabel 34 Jumlah persentase petani menurut intensitas komunikasi dan perubahan perilaku petani dalam pelaksanaan SL-P2KP
Intensitas komunikasi
Perilaku (%)
Jumlah Tidak sesuai Sesuai
Rendah 13,2 86,8 100
Tinggi 0 100,0 100
Pada tabel 34 dapat dilihat bahwa petani yang sama-sama memiliki tingkat pengetahuan rendah maupun tinggi memiliki perilaku sesuai. Ini menjelaskan bahwa dari dulu petani sudah tahu tentang optimalsasi pemanfaatan pekarangan dan sudah melakukan penanaman tanaman di lahan pekarangan.
Untuk mengetahui tingkat hubungan antara intensitas komunikasi terhadap perubahan perilaku dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Tabel 35. Hubungan antara intensitas komunikasi dengan perubahan perilaku
petani dalam pelaksanaan SL-P2KP
Indikator Value Sig Keterangan
Intensitas komunikasi vs
Perubahan Perilaku 3,158 0,076 Tidak nyata
Hubungan antara intensitas komunikasi dan perubahan perilaku tidak nyata atau lemah, dengan nilai signifikansi sebesar 0,076 yang lebih besar dari pada alpha 0,05. Artinya walaupun petani mengetahui tujuan dan manfaat optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP) atau tingkat pengetahuan tinggi namun tidak ada peningkatan untuk mengkonsumsi pangan lokal, hal ini disebabkan karena yang diberikan bibit tanaman sayuran dan buah-buahan bukan bibit tanaman pangan sumber karbohidrat. Masyarakat memang makan sumber pangan yang lain namun hanya untuk makanan selingan bukan sebagai pengganti beras. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hipotesis satu tentang ada hubungan antara intensitas komunikasi dalam SL-P2KP dengan efektivitas komunikasi (pengetahun, afeksi dan perubahan perilaku) pada masyarakat ditolak. Artinya intensitas komunikasi dalam kegiatan SL-P2KP belum mampu meningkatkan efektivitas komunikasi.
Perubahan hanya sedikit terlihat pada aspek pengetahuan dan aspek afektif sedangkan aspek perilaku masih belum terlihat perubahannya. Salah satu penyebab belum terjadinya perubahan karena kondisi fisik lahan yang tidak mendukung seperti lahan/tanah yang gersang dan tidak subur, berdebu, kurang air, ketersediaan bibit yang terbatas, penyuluh kadang-kadang saja membahas atau membicarakan tentang optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP) dan kurang intensifnya sosialisasi tentang program SL-P2KP ini.
Hubungan Pengetahuan dan Afeksi terhadap Perubahan Perilaku Hubungan Pengetahuan terhadap perubahan perilaku
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan nyata antara aspek pengetahuan dan aspek afeksi terhadap perubahan perilaku petani.
69 Untuk mengetahui adanya hubungan antara pengetahuan dan afeksi terhadap perubahan perilaku petani, dilakukan pengujian melalui tabulasi silang Tabel 36.
Tabel 36 Jumlah persentase petani menurut tingkat pengetahuan terhadap perubahan perilaku dalam pelaksanaan SL-P2KP
Pengetahuan Perilaku (%) Jumlah
Tidak sesuai Sesuai
Rendah 0 100,0 100
Tinggi 13,2 86,8 100
Pada tabel 36 tampak tingkat pengetahuan petani baik rendah maupun tinggi perilakunya sesuai. Beberapa petani 13,2% memiliki tingkat pengetahuan tinggi, memiliki perilaku sesuai dikarenakan selain sudah memiliki pengetahuan tentang P2KP, lahan petani yang tersedia sempit, bibit terbatas (bukan bibit tanaman pangan lokal) dan air yang kurang atau tidak tersedianya sumur serta kondisi iklim kemarau panjang.
Untuk melihat hubungan antara pengetahuan terhadap perubahan perilaku petani, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji chi square. Tabel 37 Hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perubahan perilaku petani
dalam pelaksanaan SL-P2KP
Indikator Value Sig Keterangan
Pengetahuan vs Perubahan perilaku 3,178 0,076 Tidak Nyata Tabel 37 nampak bahwa antara pengetahuan dengan perubahan perilaku berhubungan tidak nyata, dengan nilai signifikansi sebesar 0,076 yang lebih besar dari alpha 0,05. Ini menjelaskan semakin tinggi tingkat pengetahuan petani, memiliki kecenderungan semakin sesuai perilaku petani sebaliknya semakin rendah pengetahuan petani, memiliki kecenderungan semakin tidak sesuai perilaku petani terhadap kegiatan optimalisasi pemanfaatan pekarangan (OPP).
Hubungan tidak nyata tersebut dikarenakan petani memiliki sudah memiliki pengetahuan tentang cara menanam tanaman di lahan pekarangan berkaitan dengan apa yang disuluhkan oleh penyuluh. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui penyuluhan yang dilakukan dinas terkait (Dinas Pertanian) sebelum adanya kegiatan SL-P2KP. Dengan demikian tanpa disuluhpun petani telah melakukan penanaman di ladang dan di lahan pekarangan. Demikian pula dalam hal makanan tanpa disuluh petani di wilayah kajian (Kecamatan Prambanan) sudah terbiasa mengkonsumsi pangan lokal (ubi jalar, ubi kayu, jagung, talas dan garut). Namun tidak semua mengkonsumsi sebagai makanan utama.
Perilaku tidak sesuai dapat dijelaskan bahwa apa yang disuluhkan oleh penyuluh belum sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh petani seperti bagaimana pengolahan pangan lokal dijadikan sebagai penganekaragaman pangan (diversifikasi) dan pangan lokal dapat diproduksi dan dikembangkan sesuai dengan potensi sumber daya wilayah dan budaya setempat. Selain itu perlu disesuaikan dengan kondisi iklim setempat.
70
Hubungan afeksi terhadap perubahan perilaku
Tingkat afeksi merupakan bagian yang akan dibahas dalam hubungannya dengan perilaku petani pada pelaksanaan SL-P2KP. Untuk mengetahui adanya hubungan antara afeksi terhadap perubahan perilaku petani, dilakukan pengujian melalui tabulasi silang. Secara terperinci jumlah persentase petani menurut tingkat afeksi terhadap perubahan perilaku disajikan pada Tabel 38.
Tabel 38. Jumlah persentase petani menurut tingkat afeksi terhadap perubahan perilaku dalam pelaksanaan SL-P2KP
Afeksi Perilaku (%) Jumlah
Tidak sesuai Sesuai
Tidak mendukung 8,5 91,5 100
Mendukung 0 100,0 100 Pada Tabel 38 terlihat bahwa hampir semua tingkat afeksi petani baik mendukung atau tidak ternyata tingkat perilaku mereka sesuai. Karena petani sudah sering melakukan kegiatan penanaman tanaman dipekarangan rumah sebelum adanya program ini. Aktivitas menanam sudah merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh petani baik di kebun/ladang dan dilahan pekarangan. Beberapa petani yang tidak mendukung namun perilakunya sesuai. Dikarenakan kondisi lahan yang tidak mendukung (halaman rumah sempit), bibit yang disediakan terbatas dan bukan bibit tanaman pangan lokal, ketersediaan air yang kurang akibat kondisi iklim saat itu kemarau panjang.
Untuk melihat hubungan antara afeksi terhadap perubahan perilaku petani, dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji chi square.
Tabel 39. Hubungan antara tingkat afeksi dengan perubahan perilaku petani dalam pelaksanaan SL-P2KP
Indikator Value Sig Keterangan
Afeksi vs perubahan perilaku 0,092 0,761 Tidak Nyata Tabel 39 terlihat bahwa antara afeksi dengan perubahan perilaku berhubungan tidak nyata. Perilaku menanam tidak ada hubungan dengan afeksi. Meskipun pada aspek perilaku lebih banyak yang mendukung daripada yang tidak mendukung, dan lebih banyak yang berperilaku sesuai. Hal ini disebabkan bahwa perilaku menanam memang sudah menjadi kebiasaan sejak sebelum adanya program SL-P2KP sehingga tidak berhubungan lagi dengan masalah mendukung atau tidak mendukung pada program tersebut. Masyarakat tidak mendukung karena memang tidak ada sarana prasarana, budaya setempat seperti masyarakat sudah biasa menanam baik di ladang maupun di lahan pekarangan, sehingga pengetahuan maupun afeksi yang ditimbulkan oleh penyuluhan tidak berpengaruh banyak terhadap perilaku menanam.
Perilaku tidak sesuai ini lebih mengarah pada pola makan makanan lokal atau pemanfaatannya (lihat tabel 29) dimana pangan lokal belum dijadikan sebagai makanan utama lebih banyak petani menjadikan pangan lokal sebagai makanan selingan. Harga bahan baku pangan lokal masih belum stabil dan relatif
71 lebih tinggi daripada harga terigu, sehingga harga produk akhir juga cenderung lebih tinggi. Semakin banyak permintaan dan penawaran sedikit, maka harga bahan baku pangan lokal cenderung mahal, begitu pula sebaliknya. Pada musim panen, harga cenderung turun. Kondisi ini menyebabkan fluktuasi harga yang sangat signifikan dan merugikan petani. Di sisi lain perilaku tidak sesuai disebabkan karena waktu pelaksanaan yang relatif singkat kegiatan ini baru dilaksanakan pada awal bulan Juni 2012.
Dengan demikan hipotesis kedua tentang adanya hubungan antara pengtahuan dan afeksi petani peserta SL-P2KP terhadap perubahan perilaku ditolak.
5
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian tentang kegiatan SL-P2KP di Kecamatan Prambanan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pola komunikasi dilaksanakan dalam SL-P2KP menggunakan model komunikasi terdiri dari arah: dua arah atau interaksional; cara lebih banyak diskusi dan pertemuan kelompok; saluran komunikasi menggunakan surat edaran dan alat peraga atau poster. Bahasa yang digunakan bahasa campuran antara bahasa Jawa dan Indonesia; dan sumber utama informasi adalah penyuluh dan petani yang berpengalaman.
2. Intensitas komunikasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap Efektivitas komunikasi (perubahan pengetahuan, afeksi dan perilaku) petani P2KP dalam SL-P2KP. Dalam pelaksanaan program ini dapat dikatakan bahwa komunikasi bukan salah satu aspek penentu perubahan perilaku tetapi juga perlu di lihat kondisi setempat seperti fasilitas dan iklim ikut menentukan perilaku petani sehubungan dengan kegiatan SL-P2KP. Kondisi fisik lahan setempat seperti keadaan tanah yang gersang dan berdebu, ketersediaan bibit yang terbatas, dan kurang air. Kurang intensifnya sosialisasi tentang adanya kegiatan ini turut menyebabkan kurang berhasilnya program P2KP.
3. Aspek pengetahuan dan afeksi tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan perilaku petani dalam SL-P2KP. Masyarakat terbiasa makan nasi sebagai sumber pangan utama, sumber karbohidrat lain seperti ubi jalar, singkong, jagung, talas, dan garut masih diolah sebagai makanan camilan/ makanan selingan. Wanita tani yang tingkat pengetahuan SL-P2KP rendah maupun tinggi ternyata hampir semuanya berperilaku sesuai dengan apa yang disosialisasikan dalam P2KP. Hal ini disebabkan petani sudah sering melakukan kegiatan penanaman tanaman di pekarangan rumah yang sebenarnya sudah disosialisasikan pemerintah pada kegiatan-kegiatan penyuluhan selama ini. Hal yang sama pada aspek afeksi. Petani mendukung maupun tidak program ini, hampir semuanya berperilaku sesuai.
72
Saran
1. Perlu ada dukungan dari pemerintah di tingkat desa dan kecamatan terhadap pelaksanaan P2KP terutama dalam hal ketersediaan faktor-faktor pendukung seperti fasilitas lahan pekarangan sebagai demplot, bibit tanaman dan sumur alternatif yang dekat dengan rumah penduduk ketika terjadi perubahan iklim. Untuk dapat mendorong keberhasilan suatu program perlu juga meningkatkan komunikasi (sosialisasi) dan menyediakan sarana produksi yang digunakan dalam pengermbangan penganekaragaman pangan.
2. Kondisi lingkungan dapat mempengaruhi sikap petani terhadap teknologi. Kondisi lingkungan alam yang kurang baik seperti tanah yang kering, iklim yang tidak tentu, ketresediaan air yang terbatas dapat menyebabkan petani kurang responsif menerima inovasi. Pada daerah seperti ini, aspek penyuluhan yang diberikan lebih