• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN Lactobacillus acidophilus 2B4 SEBAGAI PENCEGAH

DIARE PADA TIKUS YANG DIPAPAR

Escherichia coli enteropatogen (EPEC)

ABSTRAK

Probiotik merupakan salah satu pangan fungsional yang memiliki manfaat kesehatan, di antaranya dilaporkan mampu mencegah diare. Salah satu bakteri patogen penyebab diare yang mengkontaminasi makanan adalah EPEC.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas probiotik indigenus

L. plantarum 2C12 dan L. acidophilus 2B4 sebagai pencegah diare yang

disebabkan oleh EPEC pada tikus percobaan (Sprague Dawley). Probiotik diberikan selama 21 hari dengan dosis 108 cfu/ml sebanyak 1 ml, sedangkan EPEC diberikan dengan cara dicekok dengan dosis 106 cfu/ml sebanyak 1 ml selama tujuh hari (hari pemeliharaan ke-7 sampai 13). Hasil penelitian menunjukkan bahwa L. plantarum 2C12 atau L. acidophilus 2B4 mampu meningkatkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi ransum pada tikus yang dipapar EPEC. Kedua galur indigenus probiotik tersebut mampu menurunkan kadar air feses kurang dari 60%. L. plantarum dan L. acidophilus

2B4 mampu meningkatkan populasi BAL sebesar 1 log cfu/cm2 di mukosa dan 1 log cfu/g pada isi sekum, menurunkan populasi E. coli sebesar 1-2 log cfu/cm2 pada mukosa sekum dan 1 log cfu/g pada isi sekum, serta meningkatkan jumlah sel limfosit sebesar 33.66-71.79 x 106 sel pada tikus yang dipapar EPEC.

PENDAHULUAN

Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang bila dikonsumsi dalam jumlah cukup, mampu memberikan manfaat kesehatan bagi inangnya (FAO/WHO 2002). Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus

acidophilus termasuk spesies bakteri yang tergolong dalam probiotik (Salminen

& Wright 2000). Kedua spesies Lactobacillus tersebut termasuk dalam bakteri asam laktat (BAL) (Arief et al. 2007). Lactobacillus spp. dan BAL lainnya dapat ditemukan pada sumber pangan hewani. Erkilla dan Petaja (2000) memperoleh beberapa spesies BAL yang diisolasi dari sosis fermentasi. Tamang et al. (2008) menemukan Lactobacillus probiotik dari bambu yang digunakan untuk fermentasi susu tradisional, dan Moulay et al. (2006) juga menemukan BAL yang diisolasi dari susu kambing.

Probiotik mempunyai berbagai fungsi kesehatan antara lain sebagai pencegah dan memberi efek terapetik terhadap diare, mengurangi kejadian lactose intolerance, melindungi dari inflamasi/artritis, mencegah hipertensi dan kanker serta meningkatkan sistem imun tubuh (Parvez et al. 2006). Probiotik juga berfungsi untuk menyempurnakan proses pencernaan manusia dengan cara melindungi saluran pencernaan dari serangan bakteri patogen (Agostoni et al.

2004). Probiotik dilaporkan mampu mengatasi kejadian diare yang disebabkan oleh infeksi Escherichia coli (E.coli) baik E.coli enterotoksigen/ETEC (Oyetayo 2004), maupun E.coli enterohemoragik/EHEC (Medellin-Pena & Griffiths 2009).

L. rhamnosus yang diisolasi dari air susu ibu dilaporkan mampu mencegah diare

yang disebabkan oleh EPEC pada tikus percobaan (Hartanti 2010).

EPEC merupakan salah satu galur dari E. coli yang menyebabkan diare jika dikonsumsi pada dosis 105-1010 cfu/ml (Kelleher et al. 2002). Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi buang air besar lebih dari biasanya (tiga atau lebih per hari) yang disertai perubahan bentuk dan konsistensi tinja dari penderita (Depkes RI 2002). EPEC melekat pada permukaan mukosa usus dan menyebabkan terjadinya perubahan struktur sel epitel. Selanjutnya, EPEC melakukan invasi menembus sel mukosa sehingga menyebabkan terjadinya iritasi dan diare akut. EPEC dilaporkan sering menginfeksi anak-anak (Dow et al. 2006). Pencegahan diare yang disebabkan oleh EPEC sangat penting dilakukan karena diare akut dapat menyebabkan kematian (Nitisinprasert et al. 2006).

Di Indonesia, sekitar 162 ribu balita meninggal setiap tahun atau sekitar 460 balita setiap harinya. Diare merupakan penyebab kematian nomor dua pada balita dan nomor tiga bagi bayi serta nomor lima bagi semua umur. Setiap anak di Indonesia mengalami episode diare sebanyak 1.6 – 2 kali per tahun. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia, diare menempati urutan ketiga penyebab kematian bayi. Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam enam golongan besar yaitu karena infeksi, malabsorbsi, alergi, keracunan, defisiensi imun, dan penyebab lain, tetapi yang sering ditemukan adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan (Depkes RI 2002). Salah satu bakteri penyebab diare adalah EPEC. Budiarti (1997) melaporkan bahwa sekitar 55% anak-anak di Indonesia terkena diare akibat infeksi EPEC.

Gejala klinis diare yang disebabkan infeksi EPEC (pada manusia) adalah diare berair disertai muntah dan tubuh sedikit demam (Ljubovic et al. 2009).

Dua galur BAL indigenus asal daging sapi yaitu L. plantarum 2C12 dan

L. acidophilus 2B4 telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya mempunyai sifat

probiotik. L. plantarum 2C12 telah terbukti memiliki ketahanan hidup pada pH rendah yang baik, memiliki aktivitas antimikroba paling tinggi terhadap EPEC, serta mampu menempel pada permukaan usus secara in vitro yang baik. L.

acidophilus 2B4 juga terbukti mempunyai keunggulan ketahanan terhadap pH

rendah dan garam empedu yang baik, serta koagregasi terhadap EPEC yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efektivitas galur L. plantarum

2C12 dan L. acidophilus 2B4 sebagai pencegah diare yang disebabkan EPEC pada tikus percobaan.

BAHAN DAN METODE

Persiapan Kultur Bakteri

BAL indigenus L. plantarum 2C12 dan L. acidophilus 2B4 asal daging sapi telah diidentifikasi secara biokimiawi berdasarkan pola fermentasi gula dan diidentifikasi secara molekuler dengan menggunakan teknik analisis urutan basa

(sequencing) gen 16S rRNA. Kultur tersebut disimpan dalam bentuk liofil (freeze

dried) pada suhu -30°C. Kultur disegarkan pada media de Man Rogosa Sharp

broth (MRSB, Oxoid) dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam sebagai

kultur induk, yang selanjutnya dibiakkan kembali dengan cara yang sama sebagai kultur kerja. Kultur kerja kemudian dihitung populasinya sampai mencapai minimal 109 cfu/ml, lalu diencerkan dengan larutan NaCl fisiologis 0.85% hingga mencapai populasi 108 cfu/ml yang selanjutnya siap untuk dicekok ke tikus percobaan.

Bakteri EPEC yang digunakan dalam penelitian ini merupakan EPEC koleksi Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang diisolasi dari feses balita yang terkena diare. EPEC disegarkan pada media Nutrient Broth (NB, Difco) selama 24 jam inkubasi pada suhu 37°C hingga mencapai populasi 108 cfu/ml, sebagai kultur kerja. EPEC yang dicekok ke tikus percobaan disiapkan dengan cara

mengencerkan kultur kerja dengan larutan NaCl fisiologis 0.85% hingga mencapai 106 cfu/ml.

Pengelolaan Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus

albino Norway rats (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley umur 5-6 minggu

berjenis kelamin jantan hasil pengembangbiakan dari Badan POM RI, dengan bobot badan awal berkisar dari 120 – 130 g. Kandang yang digunakan adalah kandang individu yang berukuran 17.5 x 23.75 x 17.5 cm, dengan sekam steril sebagai alas kandang. Suhu optimum ruangan untuk tikus adalah 22-24ºC dan kelembaban udara 50 – 60% (AOAC 2005).

Ransum diberikan sebanyak 20 g per ekor per hari pada setiap pukul 06.00-07.00 WIB. Air minum diberikan secara ad libitum. Sisa ransum dikumpulkan tiap hari untuk ditimbang sehingga diketahui konsumsi ransum per ekor tikus per hari. Setiap tiga hari dilakukan penimbangan bobot badan per tikus, pencucian kandang dan penggantian sekam.

Komposisi ransum basal disusun berdasarkan standar AOAC (2005) dengan kasein (standar protein ransum 10%), minyak jagung sebagai sumber lemak, campuran mineral, Carboxy Methyl Cellulosa (CMC) sebagai sumber serat, dan vitamin mix yang terdiri dari vitamin A, B1, B2, B3, B6, B12, C, D3, E dan Ca panthothenat, serta pati jagung. Air minum yang digunakan adalah air minum kemasan. Hasil analisis proksimat kasein yang digunakan menunjukkan kadar air = 5.33 %bb; abu = 1.10 %bb; protein = 86.72 %bb serta lemak = 0.88 %bb. Berdasarkan hal ini, maka disusun ransum basal tikus percobaan (Tabel 6.1).

Tabel 6.1 Komposisi campuran ransum basal

Bahan-bahan campuran Standar AOAC 2005 (%) Jumlah dalam ransum (%) Kasein Minyak jagung Campuran mineral Campuran vitamin CMC Air

Maizena (pati jagung)

X = 1.60 x 100/% N sampel

[(8 – X) x % ekstrak eter] / 100 [(5 – X) x % kadar abu] / 100 1

[(1 – X) x % kadar serat kasar] / 100 [(5 – X) x % kadar air] / 100 Untuk membuat 100% 11.53 7.90 4.88 1 1 4.88 68.81 Jumlah 100

Sebelumnya, dilakukan adaptasi tikus terhadap lingkungan selama lima hari dengan pemberian makan ransum basal terhadap semua tikus. Selain itu juga terdapat empat ekor tikus yang dipelihara selama lima hari masa adaptasi dan setelah itu dibedah untuk dilakukan analisis populasi BAL dan E.coli, serta jumlah sel limfosit sebelum perlakuan (data baseline).

Perlakuan anti-EPEC secara in vivo

Pengujian ini dilakukan sesuai metode Oyetayo (2004) dan Fitrial (2009) yang dimodifikasi. Dua jenis kultur BAL probiotik indigenus L. plantarum 2C12 dan L. acidophilus 2B4 berumur 24 jam diencerkan pada media NaCl fisiologis 0.85%dengan populasi 108 cfu/ml. Selanjutnya probiotik diberikan sesuai dengan perlakuan (Tabel 6.2) kepada tikus percobaan sebanyak 1 ml per ekor tikus per hari secara oral menggunakan sonde (dicekok) selama 21 hari (hari ke-0 sampai ke-20) pada grup tikus yang diberikan probiotik. Populasi EPEC penyebab diare yang diberikan adalah 106 cfu/ml sebanyak 1 ml per ekor tikus percobaan per hari, selama tujuh hari (hari ke-7 sampai ke-13) pada grup tikus yang diberikan EPEC. Penentuan pemberian dosis EPEC berdasarkan pada dosis infeksi EPEC yang dapat menyebabkan diare pada bayi yaitu minimal 105 cfu/ml (Oyetayo 2004). Fitrial (2009) melaporkan bahwa infeksi EPEC sebanyak 106 cfu/ml dengan pemberian selama tujuh hari berturut-turut mampu menyebabkan tikus diare tanpa menyebabkan kematian. Pada tikus kontrol negatif dilakukan pemberian NaCl

fisiologis 0.85% dengan cara dicekok untuk menyamakan tingkat stres yang dialami oleh tikus percobaan. Tikus dibagi menjadi enam perlakuan seperti disajikan pada Tabel 6.2 dengan jumlah tikus setiap perlakuan sebanyak 16 ekor.

Tabel 6.2 Perlakuan pemberian probiotik dan EPEC

Grup tikus Perlakuan

Kontrol negatif tanpa dicekok probiotik ataupun EPEC

L. plantarum 2C12 dicekok L. plantarum 2C12

L. acidophilus 2B4 dicekok L. acidophilus 2B4

L. plantarum 2C12 + EPEC dicekok L. plantarum 2C12, dan dicekok EPEC

L. acidophilus 2B4 + EPEC dicekok L. acidophilus 2B4, dan dicekok EPEC

Kontrol positif dicekok EPEC tanpa probiotik

Pengukuran Performa Tikus Percobaan

Performa tikus percobaan yang diamati meliputi konsumsi ransum, pertambahan bobot badan serta efisiensi ransum. Penimbangan bobot badan dilakukan setiap tiga hari dan pengukuran konsumsi ransum dihitung setiap hari dengan mengurangi jumlah ransum yang diberikan setiap hari per tikus dengan jumlah ransum sisa (tidak dimakan) yang dikumpulkan setiap hari. Analisis kadar air feses dilakukan pada pemeliharaan hari ke-14 dan hari ke-21 untuk mengetahui kondisi diare yang terjadi pada tikus. Analisis kadar air dilakukan sesuai metode AOAC (2005). Kondisi kesehatan tikus diamati secara visual meliputi keaktifan tikus serta peradangan pada sekitar anus tikus.

Pengukuran Total BAL dan E.coli Saluran Pencernaan

Sebanyak empat ekor tikus pada setiap grup dibedah pada hari ke-7, 14 dan 21 dengan menggunakan metode cervicalis dislocalis (Aattouri et al. 2002) lalu diambil bagian sekum serta isi sekum. Permukaan bagian dalam sekum dikerik mukosanya pada ukuran luasan 1 x 1 cm, dengan menggunakan spatula steril dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer Buffer Pepton Water (BPW) untuk selanjutnya dilakukan pengenceran yang sesuai dan pengujian total BAL dan total E. coli pada media yang sesuai. Isi sekum diambil sebanyak lima gram

secara aseptis untuk dilakukan pengenceran dan pengujian total BAL dan E. coli. Metode yang digunakan untuk menghitung populasi BAL dan E. coli, baik pada mukosa sekum maupun pada isi sekum, adalah metode BAM (Bacteriological

Analytical Methods) (2002), dengan media pertumbuhan MRSA (Oxoid) untuk

total BAL dan EMBA (Merck) untuk E. coli. Analisis kuantitatif BAL (BAM 2002)

Media untuk pertumbuhan BAL adalah de Mann Rogosa Sharp Agar

(MRSA) yang ditambahkan CaCO3 sebanyak 0.5%. Sebanyak 1 ml sampel dari

pengenceran yang diinginkan dipipet secara aseptik dan diinokulasikan ke dalam cawan petri steril, selanjutnya dituangkan medium MRSA lalu dihomogenkan dengan cara cawan diputar membentuk angka delapan. Bila agar telah beku, diinkubasi pada suhu 37°C selama 48 jam dan dihitung populasinya.

Analisis kuantitatif E. coli (BAM 2002)

Media untuk pertumbuhan E.coli adalah Eosyn Methylen Blue Agar

(EMBA). Sebanyak 1 ml sampel dari pengenceran yang diinginkan dipipet secara aseptik lalu diinokulasikan ke dalam cawan, selanjutnya dituangkan media EMBA. Inkubasi dilakukan selama 48 jam pada suhu 37 °C, koloni E. coli yang tumbuh akan berwarna hijau metalik keunguan.

Penghitungan Jumlah Sel Limfosit

Jumlah sel limfosit tikus percobaan dihitung sebagai indikasi awal fungsi BAL sebagai imunomodulator. Sel limfosit yang dihitung adalah sel limfosit yang terdapat pada limpa tikus percobaan, merujuk pada penelitian Aattouri et al. (2002) dengan menggunakan teknik isolasi dan penghitungan populasi sel limfosit melalui pemisahan secara sentrifugasi. Tikus diterminasi dengan cara cervicalis dislocalis

dan dibedah untuk diambil limpanya. Organ limpa secara steril dicuci dalam RPMI-1640 steril. Selanjutnya limpa dipindahkan ke dalam cawan petri lain yang berisi tiga ml RPMI-1640 steril dan digerus untuk mendapatkan limfosit. Setelah itu dimasukkan ke dalam tabung sentrifus steril 15 ml dan disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang, pelet sel diberi dua ml

NH4Cl 0.85% steril untuk melisis sel-sel darah merah selama dua menit dan

segera ditambahkan tiga ml RPMI-1640. Suspensi sel kembali disentrifus 1500 rpm selama 10 menit.

Endapan mengandung sel limfosit, sedangkan supernatan yang berisi sel darah merah yang lisis dibuang. Endapan sel limfosit dicuci kembali dengan RPMI-1640, kemudian diencerkan dengan dua ml media RPMI-1640 dan jumlah sel yang hidup dihitung menggunakan hemasitometer dengan pewarna biru triphan.

Suspensi sel limfosit dalam media standar dihitung dengan bantuan hemasitometer. Suspensi sel dicampur dengan biru triphan dengan perbandingan 1:1. Sebanyak 50 μl campuran ditempatkan dalam hemasitometer. Penghitungan dilakukan pada mikroskop pembesaran 45 kali. Sel limfosit yang hidup tidak berwarna sedangkan sel yang mati terlihat biru seluruhnya. Jumlah sel yang hidup dihitung pada area dua kotak besar (@ 16 kotak kecil) lalu dihitung per ml suspensi dengan rumus:

Jumlah sel = jumlah sel x fp x 104, dimana fp = 2 2

Rancangan Percobaan

Data konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi ransum dianalisis dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan pemberian probiotik. Jika terdapat perbedaan nyata maka dilanjutkan dengan uji beda nyata Tukey (Steel & Torrie 1995).

Data populasi bakteri yang diperoleh ditransformasi dalam bentuk logaritma untuk selanjutnya dianalisis statistik. Data populasi bakteri dan sel limfosit dianalisis statistik dengan menggunakan RAL untuk setiap periode pembedahan (hari ke-7, 14 dan 21) kecuali baseline (hari ke-0), dengan metode ANOVA. Jika terdapat perbedaan yang nyata dilakukan uji beda nyata Tukey (Steel & Torrie 1995). Perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis data adalah Minitab 14.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Performa Tikus Percobaan

Berdasarkan pengamatan visual, gejala infeksi EPEC dimulai pada hari ke- 4 setelah pencekokan EPEC (hari pemeliharaan ke-11) yang dilihat dengan terjadinya iritasi dan peradangan pada anus pada grup tikus kontrol positif, namun tidak ditemukan gejala tersebut pada grup tikus L. plantarum 2C12 + EPEC dan grup tikus L.acidophilus 2B4 + EPEC (Gambar 6.1). Pengamatan secara visual, memperlihatkan secara umum feses pada grup tikus kontrol positif lembek dan berlendir sebagai tanda telah terjadi infeksi pada saluran pencernaan tikus, sedangkan feses pada grup tikus yang lain tidak berlendir. Selain itu, grup tikus

L. plantarum 2C12 + EPEC dan grup L. acidophilus + EPEC juga masih bergerak

cukup aktif walaupun tidak seaktif grup tikus yang sehat yaitu grup kontrol negatif, grup L. plantarum 2C12 dan grup L. acidophilus 2B4.

a b

Gambar 6.1 Kondisi fisik tikus (a) tikus tidak diare, bagian anus tidak radang, (b) tikus diare, anus mengalami iritasi, radang dan

merah

Kejadian diare yang ditandai dengan meningkatnya kadar air feses diamati pada hari pemeliharaan ke-14 dan ke-21 (Tabel 6.3). Spehlman et al. (2009) melaporkan bahwa diare pada tikus ditandai dengan kadar air feses di atas 60% dan feses lembek, dan pada kadar air feses di atas 80%, diare yang terjadi sangat parah dengan kondisi feses sangat cair.

Tabel 6.3 Kadar air feses tikus percobaan Perlakuan

(Grup) Hari ke -14 (%bb) Hari ke-21 (%bb) Kontrol negatif 51.84±0.43a 53.22±0.87bc L. plantarum 2C12 48.93±1.31a 46.02±1.63a L. acidophilus 2B4 48.66±1.41a 48.30±1.13ab L. plantarum 2C12 + EPEC 48.21±1.29a 55.25±1.98c L. acidophilus 2B4 + EPEC 46.93±2.69a 53.82±1.77c Kontrol positif 64.49±2.70b 68.92±2.40d

Huruf berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p<0.05)

. Diare yang terjadi pada tikus percobaan ditandai dengan adanya peningkatan kadar air feses. Pada grup tikus kontrol positif, nilai kadar air feses pada hari ke-14 pemeliharaan adalah 64.49%, lebih tinggi daripada grup tikus lainnya yaitu berkisar pada 46.93 – 51.84% (Tabel 6.3). Hasil ini sesuai dengan Spehlmann et al. (2009) yang menyatakan bahwa kadar air feses tikus diatas 60% termasuk dalam golongan tikus diare. Diare masih berlanjut sampai hari ke-21 yang ditandai dengan kadar air feses pada grup tikus kontrol positif sebesar 68.92%. Pada grup tikus yang dipapar EPEC dan diberikan probiotik, terjadi peningkatan kadar air feses pada hari ke-21 namun masih nyata lebih rendah daripada grup kontrol positif, dan sama dibandingkan dengan grup tikus kontrol negatif. Secara visual, feses pada grup tikus dipapar EPEC dan diberikan probiotik tidak berlendir dan agak lembek, sedangkan feses grup tikus kontrol positif lembek dan berlendir.

Performa tikus percobaan ditunjukkan dengan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan per ekor per hari, serta efisiensi ransum (Tabel 6.4). Konsumsi ransum menunjukkan seberapa banyak ransum yang dikonsumsi. Perbandingan antara pertambahan bobot badan dan konsumsi ransum menunjukkan efisiensi ransum yang dikonsumsi. Konsumsi ransum merupakan rata-rata ransum yang dikonsumsi per ekor per hari. Pertambahan bobot badan merupakan bobot badan akhir yang dibagi dengan lama hari pemeliharaan.

Tabel 6.4 Pengaruh pemberian probiotik L. plantarum 2C12 atau L. acidophilus 2B4 terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi ransum tikus percobaan

Perlakuan (Grup) Konsumsi ransum (g/ekor/hari) Pertambahan bobot badan (g/ekor/hari) Efisiensi ransum (%) kontrol negatif 17.32±1.82a 5.20±0.59A 30.02 ±0.32a L. plantarum 2C12 18.27±1.31a 5.20±0.59A 29.06±0.41a L. acidophilus 2B4 17.06±1.98a 4.76 ±0.42A 27.90±0.21a L. plantarum 2C12 + EPEC 15.43±2.47b 2.48±0.35B 16.07±0.14b L. acidophilus 2B4 + EPEC 15.60±2.32b 2.04 ±0.31B 13.08±0.13c kontrol positif 13.88±3.34c 1.72±0.24C 12.39±0.07d

superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p<0.05), superskrip huruf kapital yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan sangat beda nyata (p<0.01)

Grup tikus sehat (kontrol negatif, grup L.plantarum 2C12, dan grup L.

acidophilus 2B4) mampu mengonsumsi ransum lebih tinggi (p<0.05)

dibandingkan dengan grup tikus sakit (grup L. plantarum 2C12 + EPEC, grup L.

acidophilus 2B4 + EPEC, grup kontrol positif). Konsumsi ransum pada grup

tikus L. plantarum 2C12 + EPEC atau L. acidophilus 2B4 + EPEC nyata lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan tikus kontrol positif (Tabel 6.4). Grup tikus

L. plantarum 2C12 + EPEC dan grup L. acidophilus 2B4 + EPEC mempunyai

tingkat konsumsi ransum yang lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan grup kontrol positif. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian probiotik mampu memperbaiki konsumsi ransum pada tikus yang sakit diare dipapar oleh EPEC.

Demikian juga halnya dengan pertambahan bobot badan tikus, pada tikus sehat sangat nyata lebih tinggi (p<0.01) dibandingkan dengan tikus sakit (Tabel 6.4). Akan tetapi, pertambahan bobot badan pada grup tikus yang yang dipapar EPEC dan diberikan probiotik yaitu L. plantarum 2C12 + EPEC maupun L.

acidophilus 2B4 + EPEC sangat nyata lebih tinggi (p<0.01) dibandingkan dengan

grup tikus sakit diare dipapar EPEC tanpa pemberian probiotik (kontrol positif). Hal ini didukung oleh nilai konsumsi ransum pada grup tikus L. plantarum 2C12 + EPEC dan grup L. acidophilus 2B4 + EPEC yang lebih tinggi dibandingkan dengan grup kontrol positif.

Nilai efisiensi ransum menunjukkan bahwa grup tikus sehat mempunyai nilai yang lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan tikus sakit diare (Tabel 6.4). Hal ini disebabkan oleh rendahnya konsumsi ransum dan juga pertambahan bobot badan yang menurun pada kelompok tikus sakit diare. Pemberian probiotik L.

plantarum 2C12 atau L. acidophilus 2B4 pada grup tikus dipapar EPEC mampu

memperbaiki nilai efisiensi ransum. Hal ini ditunjukkan oleh nilai efisiensi ransum pada grup tikus L. plantarum 2C12 + EPEC dan grup L. acidophilus 2B4 + EPEC yang lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan grup kontrol positif.

L. plantarum 2C12 atau L. acidophilus 2B4 mampu memperbaiki

konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan efisiensi ransum tikus percobaan yang dipapar EPEC. Menurut Parvez et al. (2006), hal ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya probiotik mampu meningkatkan penyerapan zat gizi dengan memproduksi beberapa enzim pencernaan, misalnya enzim proteolitik. Selain itu, probiotik juga mampu melepaskan sejumlah asam amino bebas dan mensintesis vitamin yang sangat dibutuhkan oleh pertumbuhan inangnya. Hasil ini serupa dengan penelitian Oyetayo (2004), yang melaporkan bahwa probiotik L. acidophilus mampu meningkatkan bobot badan dan konsumsi ransum pada tikus yang dipapar oleh E. coli enterotoksigenik (ETEC). Gross et al. (2008) juga melaporkan bahwa pemberian probiotik L. plantarum 299v mampu meningkatkan konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan tikus percobaan pada tikus yang terkena diare.

Pengaruh Pemberian Probiotik L.plantarum 2C12 dan L. acidophilus 2B4 terhadap Total BAL Mukosa dan Isi Sekum

Total BAL Mukosa Sekum

Total BAL mukosa sekum menggambarkan jumlah BAL yang menempel pada mukosa sekum (Tabel 6.5 dan 6.6). Kemampuan menempel BAL pada usus merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh probiotik (FAO/WHO 2002).

Tabel 6.5 Pengaruh pemberian probiotik L.plantarum 2C12 atau L. acidophilus 2B4 terhadap total BAL mukosa sekum tikus pada tikus sehat (log cfu/cm2)

Perlakuan Hari pemeliharaan ke-

(Grup) 7 14 21

kontrol negatif 5.15±0.36b 5.56±0.30b 6.06±0.18b

L. plantarum 2C12 6.64±0.37a 6.08±0.52a 6.66±0.40a

L. acidophilus 2B4 6.34±0.33a 6.00±0.21a 6.69±0.35a Superskrip huruf yang berbeda kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p<0.05)

Pada tikus yang sehat, pemberian L. plantarum 2C12 atau L. acidophilus

2B4 mempengaruhi total BAL mukosa sekum (Tabel 6.5). Pada hari ke-7, 14 dan 21, total BAL isi sekum pada tikus kontrol negatif lebih rendah daripada tikus yang diberikan L. plantarum 2C12 atau L. acidophilus 2B4. Kedua probiotik tersebut mampu meningkatkan total BAL mukosa sekum sebanyak 1 log cfu/cm2 pada hari ke-7.

Tabel 6.6 Pengaruh pemberian probiotik L.plantarum 2C12 atau L. acidophilus 2B4 terhadap total BAL mukosa sekum tikus pada tikus sakit

(log cfu/cm2)

Perlakuan Hari pemeliharaan ke-

(Grup) 7 14 21

kontrol positif 5.64±0.29b 5.23±0.21b 6.10±0.18b

L. plantarum 2C12 + EPEC 6.60±0.19a 5.98±0.55a 6.90±0.36a

L. acidophilus 2B4 + EPEC 6.69±0.20a 5.88±0.22a 6.98±0.44a Superskrip huruf yang berbeda kolom yang sama menunjukkan beda nyata (p<0.05)

Total BAL mukosa sekum tikus percobaan sebelum diberikan perlakuan (baseline) adalah sebesar 5.59 log cfu/cm2. Berdasarkan Tabel 6.6, total BAL yang menempel pada mukosa sekum pada grup tikus sakit yang diberikan L. plantarum 2C12 atau L. acidophilus 2B4 lebih tinggi daripada kontrol positif. Kondisi ini mengindikasikan bahwa L. plantarum 2C12 dan L. acidophilus 2B4 mampu melewati berbagai hambatan di saluran pencernaan di antaranya pH rendah (di lambung) dan adanya garam empedu di usus sehingga sampai di usus halus bagian sekum dan menempel pada mukosa sekum. Hal ini sesuai dengan data pengujian ketahanan terhadap pH rendah dan garam empedu yang

menunjukkan bahwa kedua probiotik tersebut mempunyai ketahanan hidup yang baik, serta mampu menempel pada permukaan usus, seperti telah dijelaskan pada Bab 4.

Gross et al (2008) melaporkan bahwa populasi Lactobacillus spp. di usus

Dokumen terkait