• Tidak ada hasil yang ditemukan

KANDIDAT PROBIOTIK SECARA IN VITRO

ABSTRAK

Sebanyak 28 isolat BAL indigenus asal daging sapi lokal Indonesia diseleksi dan dievaluasi sifat probiotiknya secara in vitro. Isolat BAL indigenus mempunyai ketahanan yang berbeda terhadap pH 2.0, 2.5, 3.2 dan 7.2 sesuai pH lambung dan usus. Hanya 10 isolat (2B4, 1B1, 1A5, 2C2, 2D1, 2B2, 1C4, 2B1, 1A32 dan 2C12) yang mampu bertahan dengan baik pada pH 2.0 dengan ketahanan hidup lebih dari 50%. Kesepuluh isolat tersebut juga menunjukkan ketahanan terhadap garam empedu 0.5% yang tinggi yaitu diatas 70%. Isolat 2B4 mempunyai ketahanan hidup terhadap garam empedu tertinggi yaitu sebanyak 90.93%. Selain itu, kesepuluh isolat mempunyai aktivitas antimikroba yang tinggi dan mampu melakukan koagregasi terhadap bakteri patogen E. coli ATCC 25922,

S. Typhimurium ATCC 14028, EPEC serta S. aureus ATCC 25923 (diameter penghambatan lebih dari 6 mm, kecuali isolat 2B1 terhadap EPEC; koagregasi lebih dari 20% kecuali isolat 1A5 terhadap EPEC), serta mampu menempel pada permukaan usus sebesar 15.90-31.57%. Isolat 2C12 memiliki kemampuan penempelan tertinggi yaitu sebesar 31.57%. Berdasarkan hasil tersebut, maka disimpulkan bahwa sebanyak 10 isolat BAL indigenus asal daging sapi Indonesia memiliki sifat sebagai kandidat probiotik.

PENDAHULUAN

Pengembangan bakteri asam laktat (BAL) sebagai salah satu bahan pangan fungsional yaitu probiotik, menjadi tren teknologi pengolahan pangan akhir-akhir ini. BAL sering ditemukan secara alamiah dalam bahan pangan. Bakteri ini hidup pada susu, daging segar, dan sayur-sayuran. Pada proses fermentasi daging spontan, BAL yang berasal dari bahan mentah atau lingkungan menyebabkan terbentuknya asam laktat dari penggunaan karbohidrat, dan menurunkan nilai pH (5.9 – 4.6). Lactobacillus spp. merupakan genus terbesar dari kelompok BAL (Axelsson 1993). Genus Lactobacillus bersifat Gram-positif dan tidak membentuk spora, bersifat anaerob fakultatif, tumbuh optimum pada kisaran suhu 30-40°C tetapi dapat tumbuh pada kisaran 5-35°C. Lactobacillus tumbuh optimum pada pH 5.5-5.8, namun secara umum dapat tumbuh pada pH kurang dari 5.

Lactobacillus banyak terdapat pada produk makanan fermentasi seperti produk-

sosis fermentasi, serta produk fermentasi sayuran seperti pikel dan sauerkraut.

Lactobacillus berkontribusi untuk pengawetan, ketersediaan nutrisi, dan flavor pada produk fermentasi tersebut (Salminen & Wright 2004).

BAL mendapat perhatian besar karena banyak galur yang bermanfaat bagi kesehatan yang disebut sebagai probiotik. Probiotik didefinisikan sebagai mikroorganisme hidup yang apabila dikonsumsi oleh manusia atau hewan dalam jumlah cukup, mampu memberikan manfaat kesehatan bagi inangnya (FAO/WHO 2002). FAO/WHO (2002) telah mengeluarkan panduan untuk mengevaluasi probiotik dalam makanan. Working Group yang dibentuk oleh FAO/WHO menetapkan secara detil panduan dan kriteria rekomendasi serta metodologi yang digunakan untuk evaluasi probiotik, mengidentifikasi serta menentukan data-data yang dibutuhkan untuk mengklaim kesehatan probiotik. Kriteria pertama yang harus dipenuhi adalah bahwa isolat yang diperoleh harus diketahui identifikasinya, baik secara fenotipik maupun genotipik, mulai dari genus sampai spesies bahkan sampai tingkatan galur. Kriteria selanjutnya adalah karakterisasi sifat probiotik, baik secara in vitro maupun studi hewan, kemudian dilanjutkan dengan pengujian keamanan secara in vitro dan in vivo, serta studi fase satu di manusia untuk produk pangan probiotik (FAO/WHO 2002).

Beberapa peneliti mengemukakan jaminan kriteria untuk bakteri probiotik. Probiotik harus dapat bertahan melewati lambung dan usus halus, sehingga probiotik harus toleran terhadap suasana asam dan adanya asam empedu (Tuomola et al. 2001, Bourlioux et al. 2003, Roberfroid 2001, Sunny-Roberts & Knoor 2008). Probiotik harus mempunyai kemampuan dalam melakukan penempelan ke usus (Nitisinprasert et al. 2006, Tuomola et al. 2001, Bourlioux et al. 2003), karena sangat berkaitan dengan beberapa efek kesehatan antara lain mempersingkat durasi diare, efek imunologik dan eksklusi kompetitif dengan mikroba patogen (Tuomola et al. 2001; Herick & Levkut 2002; Bourlioux et al.

2003).

Sampai saat ini, penelitian eksplorasi BAL yang mempunyai potensi sebagai probiotik terus dilakukan oleh peneliti di berbagai negara, seiring dengan peningkatan konsumsi pangan probiotik. Di Indonesia, pangan probiotik juga semakin berkembang dan diminati masyarakat. Namun demikian, sebagian besar

probiotik yang digunakan masih berasal dari luar negeri. Hal ini mengakibatkan produk pangan probiotik di Indonesia sangat tergantung pada ketersediaan dan suplai probiotik dari luar negeri, yang akhirnya berdampak pada tingginya harga produk tersebut. Oleh karenanya, sangat diperlukan probiotik indigenus Indonesia agar ketersediaan probiotik sebagai bahan baku berbagai produk pangan probiotik dapat semakin berkembang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Sebanyak 28 isolat indigenus BAL telah diisolasi dari daging sapi lokal dari berbagai pasar tradisional di daerah Bogor oleh Arief et al (2007).

Penelitian ini bertujuan untuk menseleksi dan mengkarakterisasi isolat indigenus BAL asal daging lokal sebagai kandidat probiotik secara in vitro untuk memenuhi syarat studi awal probiotik isolat bakteri baru menurut FAO/WHO (2002). Karakteristik sifat probiotik meliputi ketahanan terhadap pH sesuai kondisi saluran pencernaan (lambung dan usus), garam empedu, aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen, koagregasi dengan bakteri patogen serta penempelan pada permukaan usus.

BAHAN DAN METODE

Bahan

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah 28 buah isolat BAL yang telah diisolasi dari daging sapi segar bangsa Peranakan Ongole di pasar tradisional wilayah Bogor (Arief et al. 2007). Isolat diawetkan dalam bentuk liofil dan disimpan pada suhu -30°C. Peremajaan kultur dilakukan dengan menumbuhkannya pada media MRS broth dan kemudian disegarkan dan disimpan pada media MRS agar sebagai kultur stok. Asal isolasi BAL tersebut ditunjukkan pada Tabel 4.1 dan semuanya bersifat Gram positif, katalase negatif dan non motil.

Tabel 4.1 Isolat BAL indigenus asal daging sapi lokal (Arief et al. 2007)

No Kode isolat Asal pasar (Bogor) Umur daging setelah penyembelihan (jam)

1. 1A1, 1A2, 1A4,1A5,

1A6, 1A32

Anyar 9 jam (Tk)

2. 2A1,2A2, 2A3 Anyar 21 (9 jam Tk + 12 jam Tr)

3. 1B1, 1B2 Cibereum 9 jam (Tk)

4. 2B1, 2B2, 2B3, 2B4 Cibereum 21 (9 jam Tk + 12 jam Tr)

5. 1C1, 1C3, 1C4, 1C6 Ciampea 9 jam (Tk)

6. 2C12, 2C22 Ciampea 21 (9 jam Tk + 12 jam Tr)

7. 1D1, 1D2, 1D3, Gunung Batu 9 jam (Tk)

8. 2D1, 2D2, 2D41,

2D42

Gunung Batu 21 (9 jam Tk + 12 jam Tr)

Tk = suhu kamar Tr = suhu refrigerator

Metode

Ketahanan Terhadap pH Rendah sesuai Kondisi Saluran Pencernaan (Lin et al . 2006)

Sebanyak 1 ml kultur BAL umur 24 jam dicampurkan secara homogen ke dalam 9 ml PBS (Phosphate Buffer Saline) yang telah diatur nilai pH-nya pada pH 2.0, 2.5, dan 3.2 (sesuai dengan pH lambung) dan pH 7.2 (sesuai dengan pH usus) dengan penambahan HCl 0.1 N atau NaOH 0.1 N selanjutnya diinkubasi pada suhu 37°C selama tiga jam. Setelah inkubasi, populasi BAL yang tumbuh dihitung dengan pengenceran pada BPW (Buffer Pepton Water) dan media pemupukan pada media MRS agar (Oxoid) pada suhu 37°C selama 48 jam. Populasi awal BAL umur 24 jam juga dihitung. Ketahanan terhadap pH rendah dihitung berdasarkan perbandingan populasi BAL yang tumbuh pada pH perlakuan dengan populasi awal. Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), tiga kali ulangan.

Ketahanan terhadap Garam Empedu (Lin et al. 2006)

Uji ketahanan terhadap garam empedu dilakukan dengan menumbuhkan BAL yang tahan hidup pada pH 2.0 selama tiga jam inkubasi (ketahanan hidup ≥ 50%) pada media MRS broth yang mengandung garam empedu 0.5%. Sebanyak satu ml kultur BAL umur 24 jam dimasukkan ke dalam sembilan ml MRS broth

yang mengandung 0.5% garam empedu (Bile salt, Pronadisa) lalu diinkubasikan pada suhu 37°C selama enam jam sesuai dengan lamanya waktu transit makanan di usus halus sebelum ke usus besar (Bourlioux et al. 2003). Populasi awal BAL yang berumur 24 jam sebelum diinokulasikan ke media MRS yang mengandung garam empedu dihitung. Jumlah BAL dihitung pada media MRSA dengan metode tuang dengan inkubasi suhu 37°C selama 48 jam. Nilai ketahanan hidup ditunjukkan dengan persentase populasi yang tumbuh pada media garam empedu 0.5% dibandingkan dengan populasi awal. Percobaan ini dilakukan dengan RAL, tiga kali ulangan.

Uji Aktivitas Antimikroba BAL (Savadogo et al. 2004)

Isolat indigenus BAL diinokulasikan ke dalam MRS broth dan diinkubasikan pada suhu 37°C selama 20 jam. Supernatan bebas sel dipanen melalui sentrifugasi 10.000 rpm pada suhu 4 °C selama 20 menit, lalu disaring dengan menggunakan 0.22 µ m membran filter (Sartorius). Selanjutnya supernatan bebas sel yang merupakan substrat antimikroba tersebut siap untuk diuji aktivitas antimikrobanya dengan menggunakan metode difusi agar.

Bakteri uji yang digunakan adalah beberapa bakteri patogen yaitu

Escherichia coli ATCC 25922, Salmonella Typhimurium ATCC 14028

Staphylococcus aureus ATCC 25923 serta Escherichia coli enteropatogen

(EPEC). Bakteri uji dibiakkan pada media Nutrien Agar (Difco) selama 24 jam pada suhu 37°C. Setelah itu diambil sebanyak satu ose kultur kerja tersebut lalu dibiakkan ke dalam tabung berisi media Nutrien Broth (Difco). Setelah 24 jam inkubasi, kultur bakteri uji diambil dua ose untuk diinokulasikan ke larutan pengencer NaCl 0.85% lalu disetarakan kekeruhannya dengan standar Mc. Farland no 0.5, yang memiliki kesamaan dengan jumlah populasi bakteri sebesar

8x108 cfu/ml. Suspensi bakteri uji yang terbentuk kemudian diencerkan dengan NaCl fisiologis 0.85% sampai diperoleh konsentrasi 106 cfu/ml.

Suspensi bakteri uji yang telah diencerkan kemudian diambil sebanyak satu ml dengan pipet steril kemudian dituangkan ke dalam cawan Petri steril, setelah itu dilanjutkan dengan menuangkan media Mueller Hinton Agar (MHA) bersuhu + 50°C. Setelah mengeras dibuat lubang sumur berdiameter lima mm dengan menggunakan ujung pipet Pasteur steril. Sebanyak 50 µ l supernatan bebas sel dituangkan ke dalam setiap lubang sumur. Seluruh cawan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Zona hambat yang terbentuk di sekitar sumur diamati dan diukur diameternya dengan memakai jangka sorong. Percobaan ini dilakukan sebanyak tiga kali ulangan secara duplo dengan menggunakan RAL.

Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter Hanna. Terlebih dahulu pH meter dikalibrasi dengan larutan standar (ber-pH 4 dan 7), kemudian elektrodanya dimasukkan ke dalam sampel 10 ml supernatan bebas sel dan diamati nilai pH-nya. Penentuan total asam laktat dilakukan dengan metode titrasi. Oleh karena pada pengujian awal diketahui bahwa semua isolat merupakan bakteri homofermentatif, maka total asam tertitrasi yang diperoleh dinyatakan sebagai asam laktat dengan adanya faktor koreksi asam laktat. Supernatan bebas sel sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer, kemudian ditambahkan tiga tetes larutan indikator phenophtalein 1%. Selanjutnya supernatan dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N sampai terbentuk warna merah muda. Total asam tertitrasi dihitung sebagai persen asam laktat dengan rumus:

NaOH (ml) x N.NaOH x BM x FK

% asam laktat = x 100%

sampel (ml) Keterangan : N = normalitas

BM = berat molekul asam laktat (90), 1 ml NaOH 0.1 N = 0.009 g asam laktat

Uji Koagregasi BAL dengan Bakteri Patogen

Uji koagregasi BAL dengan bakteri patogen dilakukan sesuai metode El- Naggar (2004). Isolat BAL ditumbuhkan pada suhu 37 °C selama 24 jam di MRS broth, sedangkan bakteri patogen ditumbuhkan pada media NB diinkubasikan pada suhu 37°C selama 24 jam. Suspensi isolat BAL dan bakteri uji diukur OD- nya pada panjang gelombang 660 nm. Setiap volume 0.5 ml dari setiap suspensi bakteri dicampur dengan vortex termasuk kontrol dan OD diukur setelah 4 jam. Tabung kontrol berisi 1 ml suspensi setiap bakteri. Percobaan dilakukan dengan RAL, tiga kali ulangan secara duplo. Persentase koagregasi dikalkulasikan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

(A + B)/2 - C

x 100 (A + B)/2

Keterangan :

A = OD (660 nm) dari tabung kontrol isolat BAL yang diukur pada waktu inkubasi 4 jam

B = OD (660 nm) dari tabung kontrol bakteri patogen yang diukur pada waktu inkubasi 4 jam

C = OD (660 nm) yang diukur dari suspensi campuran bakteri patogen dengan isolat BAL pada waktu inkubasi 4 jam

Uji Penempelan BAL pada Permukaan Usus secara in vitro

Pengujian sifat penempelan BAL pada permukaan usus dilakukan sesuai dengan metode Kos et al. (2003) dan Nitisinprasert et al.,(2006) yang dimodifikasi. Sampel permukaan usus bagian ileum yang diambil dari tikus yang berusia enam minggu dipotong dengan ukuran 1 cm x 1 cm. Terlebih dahulu, usus dicuci dengan PBS sebanyak tiga kali, lalu dilakukan perendaman dengan PBS selama 30 menit pada suhu refrigerator untuk menghilangkan mukosa usus. Pengujian penempelan dilakukan dengan menginkubasikan permukaan usus yang telah dihilangkan mukosanya pada suspensi BAL (populasi 108 cfu/ml) pada larutan PBS pada suhu 37°C selama 30 menit, kemudian dilakukan pencucian dengan PBS kembali sebanyak tiga kali. Selain itu dipersiapkan kontrol yaitu usus

yang tidak diinkubasi dengan suspensi BAL. Setelah itu, dilakukan penghitungan populasi BAL yang menempel pada permukaan usus dengan metode tuang menggunakan media MRS agar ditambah CaCO3 0.5%. Sifat penempelan BAL

pada permukaan usus dihitung dengan cara menghitung selisih populasi BAL yang menempel pada permukaan usus pada perlakuan inkubasi dengan suspensi BAL indigenus dibandingkan populasi BAL pada kontrol. Percobaan ini dilakukan dengan RAL, tiga kali ulangan.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance

(ANOVA) (Steel & Torrie 1995). Data populasi BAL terlebih dahulu ditransformasikan ke nilai log10. Apabila terjadi perbedaan antar perlakuan, maka

dilanjutkan dengan uji Tukey menggunakan bantuan program komputer Minitab 14.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ketahanan BAL terhadap pH Rendah sesuai Kondisi Saluran Pencernaan

Untuk dapat bertahan dalam saluran pencernaan isolat probiotik harus dapat melewati kondisi ekstrim keasaman yang tinggi di lambung serta mampu bertahan pada kondisi garam empedu di saluran pencernaan. Ketahanan terhadap tingkat keasaman yang tinggi merupakan sifat yang pertama yang harus dipenuhi sebagai probiotik pada saat akan melakukan seleksi isolat probiotik (Tuomola et al. 2001). Isolat indigenus BAL sebanyak 28 isolat diseleksi ketahanan hidupnya pada kondisi pH 2.0, 2.5, 3.2 dan 7.2. Nilai pH 2.0 pada larutan PBS mewakili nilai pH lambung saat lambung kosong, tidak terisi makanan, sedangkan nilai pH 2.5 dan 3.2 dipilih mewakili kondisi pH lambung saat lambung terisi makanan. Nilai pH 7.2 ditentukan dengan berdasarkan pertimbangan kondisi pH di usus halus. Populasi awal isolat indigenus BAL serta pertumbuhannya pada kondisi pH yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Rataan populasi awal dan populasi akhir 28 isolat indigenus BAL pada kondisi pH sesuai saluran pencernaan

No Kode Populasi Populasi akhir (log cfu/ml)

Isolat awal (log cfu/ml) pH 2.0 pH 2.5 pH 3.2 pH 7.2 1 2B4 9.90 6.82 8.42 8.87 9.49 2 1C1 9.65 3.11 7.51 8.68 8.64 3 1B1 10.10 5.74 7.05 8.18 8.27 4 1A5 9.94 8.09 8.36 9.06 8.68 5 1D1 9.95 3.26 8.39 8.85 8.91 6 2D41 9.54 3.66 6.74 8.73 8.71 7 1B2 11.50 4.30 5.46 9.21 9.03 8 2D2 10.30 4.33 7.78 8.9 8.81 9 2C2 10.50 7.46 7.7 8.78 10.7 10 2A2 10.10 3.26 7.56 8.51 8.94 11 2D1 9.78 5.53 8.66 10.7 8.49 12 2B2 11.10 7.45 8.54 9.07 8.84 13 1A4 11.10 4.3 7.35 9.21 8.92 14 1C4 10.10 5.64 7.29 8.42 8.89 15 1A1 9.75 4.12 5.94 8.85 8.72 16 2B1 9.76 5.49 6.28 8.69 8.9 17 1A32 10.10 5.42 7.36 9.35 11.3 18 2C12 9.84 7.44 7.45 8.61 10.2 19 1A6 10.50 4.86 5.32 9.65 9.7 20 2D42 9.76 4.14 5.55 7.36 8.6 21 1A2 11.90 5.86 7.79 8.85 11.0 22 2A3 9.86 3.69 5.25 7.4 8.43 23 1C6 10.90 3.79 5.82 7.37 6.82 24 1C3 10.80 4.57 5.4 8.84 10.5 25 2A1 9.42 3.33 4.44 7.84 7.84 26 2B3 9.66 3.26 4.68 7.49 8.35 27 1D2 9.65 3.48 5.88 8.82 9.34 28 1D3 9.60 4.69 6.62 8.6 8.65 Rata-rata 10.18 4.90 6.81 8.68 9.10

Tabel 4.3 Ketahanan hidup 28 isolat indigenus BAL pada berbagai kisaran pH

No Kode isolat Ketahanan hidup (%)

pH 2.0 pH 2.5 pH 3.2 pH 7.2

1. 2B4 68.92 ± 0.85 bc 88.71 ± 0.25 a 89.62 ± 0.89 bcdefgh 95.84 ± 3.76 cdef

2. 1C1 32.25 ± 0.35 j 77.83 ± 0.55 bcd 89.91 ± 0.94 bcdefg 89.55 ± 1.02 fghij

3. 1B1 56.71 ± 0.54 d 69.65 ± 0.21 fghi 80.82 ± 0.34 ijklmn 81.62 ± 0.78 klmn

4. 1A5 81.36 ± 0.20 a 84.08 ± 0.95 abc 91.13 ± 2.48 bcde 87.33 ± 0.05 ghijk

5. 1D1 32.76 ± 2.43 j 84.35 ± 5.21 ab 89.00 ± 0.64 bcdefghi 89.58 ± 0.48 fghij

6. 2D41 38.39 ± 1.06 ghij 70.69 ± 1.37 efghi 91.58 ± 4.33 bcd 91.37 ± 1.21 defghi

7. 1B2 37.34 ± 1.76 hij 70.69 ± 2.62 m 79.92 ± 1.85 jklmn 78.34 ± 0.21 n

8. 2D2 41.89 ± 1.80 fghi 75.32 ± 0.38 def 86.13 ± 3.85 bcdefghij 85.21 ± 0.51 ijklm

9. 2C2 70.74 ± 0.34 bc 73.06 ± 2.63 defgh 83.32 ± 0.21 cdefghijkl 101.10 ± 0.56 bc

10. 2A2 32.34 ± 2.39 j 75.04 ± 4.12 def 84.42 ± 1.40 bcdefghik 88.71 ± 2.08 ghij

11. 2D1 56.59 ± 1.41 d 88.56 ± 0.71 a 109.90 ± 2.07 a 86.82 ± 0.90 ghijkl

12. 2B2 67.21 ± 1.24 c 77.02 ± 0.83 cde 81.75 ± 0.20 ghijklmn 79.69 ± 0.32 mn

13. 1A4 38.58 ± 0.90 ghij 65.91 ± 0.54 ghij 82.60 ± 0.72 fghijklmn 80.06 ± 0.40 lmn

14. 1C4 56.03 ± 5.09 d 72.44 ± 0.97 defgh 83.71 ± 4.09 cdefghijkl 88.34 ± 0.48 ghijk

15. 1A1 42.21 ± 1.08 fgh 60.86 ± 0.29 jk 90.79 ± 0.67 bcdef 89.45 ± 0.67 fghij

16. 2B1 56.29 ± 4.37 d 64.39 ± 1.32 ij 89.01 ± 3.65 bcdefghi 91.23 ± 0.45 defghi

17. 1A32 53.71 ± 3.60 de 72.95 ± 3.10 ij 92.66 ± 0.48 b 112.40 ± 2.26 a

18. 2C12 75.60 ± 3.76 ab 75.75 ± 0.82 def 87.49 ± 1.37 bcdefghij 103.80 ± 0.68 b

19. 1A6 46.29 ± 0.79 efg 50.67 ± 0.20 lm 91.86 ± 2.97 bc 92.38 ± 4.92 defg

20. 2D42 42.44 ± 0.81 fgh 56.90 ± 1.06 kl 75.46 ± 1.22 lmno 88.16 ± 0.93 ghijk

21. 1A2 49.18 ± 1.35 def 65.44 ± 2.52 hij 74.28 ± 6.36 no 92.23 ± 0.08 defgh

22. 2A3 37.46 ± 2.16 hij 53.25 ± 2.32 lm 75.02 ± 2.0 mno 85.50 ± 0.58 hijklm

23. 1C6 34.75 ± 6.30 hij 53.35 ± 0.48 lm 67.55 ± 4.95 o 62.49 ± 1.60 o

24. 1C3 42.18 ± 1.75 fgh 49.81 ± 4.63 lm 81.62 ± 1.07 hijklmn 97.10 ± 5.44 bcd

25. 2A1 35.39 ± 3.72 hij 47.13 ± 0.61 m 83.24 ± 1.01 efghijklm 83.22 ± 2.17 jklm

26. 2B3 33.74 ± 2.50 ij 48.43 ± 2.56 m 77.58 ± 4.19 klmn 86.42 ± 2.94 hgijklm

27. 1D2 36.02 ± 4.94 hij 60.92 ± 1.11 jk 91.38 ± 1.10 bcde 96.72 ± 4.68 cde

28. 1D3 48.88 ± 0.92 def 68.95 ± 4.58 fghi 89.61 ± 1.93 bcdefgh 90.12 ± 2.66 efghi

Rata-rata 48.05 68.05 85.33 89.10

Semua isolat indigenus BAL mempunyai ketahanan hidup yang berbeda nyata (p<0.05) terhadap setiap kondisi pH 2.0, 2.5, 3.2, dan 7.2 (Tabel 4.2). Nilai persentase ketahanan hidup sangat bervariasi pada semua kondisi pH. Semua isolat indigenus BAL mampu bertahan hidup lebih baik pada kondisi pH yang lebih tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rataan persentase ketahanan hidup semua isolat BAL pada kondisi pH 7.2 (sesuai kondisi pH di usus halus), adalah paling tinggi (89.10%), diikuti dengan ketahanan hidup pada pH 3.2 (85.33%), selanjutnya pada pH 2.5 (68.05%) dan ketahanan hidup terendah adalah pada pH 2.0 (48.05%).

Populasi awal semua isolat BAL yaitu populasi setelah ditumbuhkan pada media MRS broth pada suhu 37°C selama 24 jam, yang juga digunakan pada pengujian ketahanan pada pH rendah, berkisar pada 9 – 11 log cfu/ml, dengan rataan populasi 10.18 log cfu/ml. Pada pH rendah, yaitu pH 2.0, 2.5, dan 3.2, isolat BAL mengalami penurunan populasi, dengan rataan populasi yang tahan pada pH 2.0 adalah 4.90 log cfu/ml; pada pH 3.2 sebesar 6.81 log cfu/ml, rataan populasi pada pH 3.2 sebesar 8.68 log cfu/ml serta populasi yang mampu bertahan hidup paling tinggi adalah pada pH 7.2 sebesar 9.10 log cfu/ml. Pada kondisi pH 2.0 selama tiga jam, ketahanan hidup isolat indigenus BAL berkisar dari 32.34% - 75.60% dengan rataan 48.05%. Sebanyak 10 isolat mempunyai nilai persentase ketahanan hidup pada kondisi pH 2.0 lebih besar dari 50%. Kesepuluh isolat tersebut juga mampu mempertahankan populasinya minimal sebesar 105 cfu/ml.

Lin et al (2006) menyatakan bahwa ketahanan hidup BAL ≥ 50% pada kondisi pH

2.0 mampu menunjukkan bahwa BAL tersebut mempunyai ketahanan hidup yang tinggi. Isolat tersebut adalah isolat 2B4, 1B1, 1A5, 2C2, 2D1, 2B2, 1C4, 2B1, 1A32 dan 2C12. Isolat BAL lainnya sebanyak 18 isolat tidak dapat hidup dengan baik pada pH 2.0. Hal ini ditunjukkan dengan nilai persentase ketahanan hidup di bawah 50% dan juga populasi akhir yang tidak mencapai 105 cfu/ml, walaupun populasi awalnya cukup tinggi (9-10 log cfu/ml).

Secara umum, nilai persentase ketahanan hidup semua isolat BAL pada pH 2.5 lebih baik dibandingkan dengan kondisi pada pH 2.0, yaitu di atas 40%, dengan kisaran 47.13-88.71% dan rataan 68.05% Sebanyak 14 isolat BAL mempunyai nilai ketahanan hidup pada pH 2.5 di atas 70%, termasuk diantaranya

adalah kesepuluh isolat BAL yang mampu bertahan hidup pada pH 2.0. Demikian juga halnya dengan ketahanan hidup isolat BAL pada pH 3.2 yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi pH 2.5. Semua isolat BAL mampu bertahan hidup dengan nilai persentase ketahanan hidup di atas 60%, dengan kisaran 67.55- 109.90%, dengan rataan 85.33%. Kesepuluh isolat yang mampu bertahan hidup pada pH 2.0 dan 2.5 menunjukkan nilai ketahanan hidup pada pH 3.2 lebih baik dengan nilai di atas 80%. Namun demikian, tidak semua isolat BAL mempunyai ketahanan hidup pada pH 7.2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi pH 3.2. Sebanyak 17 isolat BAL menunjukkan adanya populasi yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi pada pH 3.2. Namun, kesemuanya tetap berada pada nilai persentase ketahanan hidup di atas 78%, kecuali satu isolat yang hanya mampu bertahan hidup sebesar 62%. Kesepuluh isolat yang mempunyai nilai kemampuan bertahan hidup pada pH 2.0 cukup tinggi, mampu menunjukkan ketahanannya pada pH 7.2 yaitu di atas 79%, bahkan ada yang melampaui populasi awalnya yaitu isolat 1A32, 2C12 dan 2C2 dengan ketahanan hidup diatas 100%. Hal ini menunjukkan bahwa isolat yang mampu bertahan pada pH 2.0 juga mampu bertahan dengan baik pada pH yang lebih tinggi sampai pH 7.2. Kondisi ini sangat penting untuk menseleksi isolat BAL yang akan digunakan pada tahapan karakterisasi sifat probiotik selanjutnya. Secara umum, isolat 2C12 dan 2B4 mempunyai ketahanan hidup pada pH rendah dan pH 7.2 (pH usus) yang lebih baik dibandingkan dengan isolat lainnya.

Sebagian besar mikroorganisme akan mati dan rusak dengan adanya pengaruh pH yang rendah dan kondisi asam klorida di dalam lambung. Pada manusia, waktu transit dari makanan masuk ke mulut sampai lambung minimal sekitar 90 menit, dan efek bakterisidal asam akan terjadi pada pH asam (Kimoto- Nira et al. 2007). Bila bakteri terpapar oleh asam kuat, maka membran sel akan rusak sehingga beberapa komponen intraseluler akan keluar dari sel, di antaranya ion Mg, Ca, K, asam nukleat dan protein. Akibatnya, sel bakteri akan mengalami kematian. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan populasi isolat BAL yang ditumbuhkan pada kondisi pH 2.0, 2.5 serta 3.2. Walaupun demikian, isolat BAL mempunyai sistem regulasi sel yang mampu mengatur kondisi pH intraselulernya sehingga mampu bertahan pada kondisi pH rendah.

BAL mempunyai mekanisme homeostatis instrinsik yang menyebabkannya mampu bertahan pada kondisi pH rendah atau keasaman yang tinggi. Mekanisme yang terjadi pada BAL adalah sistem glutamat-dekarboksilase (GAD), sistem arginin deiminasi (ADI) dan pompa proton H+ - ATP ase. Melalui salah satu dari ketiga mekanisme tersebut, BAL mampu meningkatkan pH intaseluler dengan memproduksi γ-aminobutirat dari dekarboksilasi glutamat di dalam sel, ataupun memproduksi amonia dari katabolisme arginin (Cotter & Hill 2003).

Hasil penelitian ini memperkuat beberapa penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa tidak semua galur BAL yang diisolasi dari pangan mempunyai ketahanan hidup yang baik pada kondisi pH yang rendah di antaranya penelitian Lin et al. (2006); Moyano et al. (2008); Mourad dan Eddine (2006) serta Mourad dan Meriem (2008). Lin et al (2006) melaporkan pada yogurt yang mengandung BAL L. acidophilus dan Bifidobacteria mengalami penurunan jumlah populasi bakteri yang mampu bertahan hidup pada pH 2.0 selama tiga jam. Populasi total awal BAL pada produk yogurt cair yang mengandung L. acidophilus dan Bifidobacteria sebesar 108 cfu/ml, dan mampu bertahan sekitar 105 cfu/ml pada pH 2.0.

Sumber pangan seperti sosis fermentasi (Moyano et al. 2008), buah zaitun fermentasi (Mourad & Eddine 2006), mentega susu onta (Mourad & Meriem 2008), tanaman horseradish (Gbassi 2011) berpotensi probiotik karena mengandung L. plantarum yang mampu tahan pada pH rendah sesuai pH lambung. Moyano et al. (2008) menseleksi BAL yang diisolasi dari sosis fermentasi Iberian sebagai probiotik. Sebanyak 15 isolat dari 173 isolat mampu bertahan pada kondisi pH 2.5 selama 1.5 jam dengan penurunan populasi akhir maksimal 2 log cfu/ml, dengan populasi awal sebesar 108 cfu/ml. Isolat yang mampu bertahan tersebut dinyatakan sebagai kandidat probiotik untuk digunakan pada kultur starter produk sosis fermentasi.

Peneliti lainnya yaitu Mourad dan Eddine (2006) melakukan seleksi in

vitro probiotik untuk isolat L. plantarum yang diisolasi dari buah zaitun

terfermentasi. Sebanyak 11 isolat L. plantarum tidak mampu hidup pada pH 1.0 selama dua jam, persentase ketahanan hidupnya pada pH 2.0 selama dua jam

berkisar 33-65% dan pada pH 2.0 selama empat jam berkisar pada 18-53%, selanjutnya menurun pada pH 2.0 selama enam jam dengan persentase ketahanan hidup berkisar pada 11-28%. Mourad dan Meriem (2008) melaporkan bahwa dua galur L. plantarum yang diisolasi dari mentega susu onta daerah Sahara Algeria mampu bertahan hidup pada pH 2.0 selama dua jam inkubasi dengan tingkat ketahanan hidup untuk L. plantarum SH12 sebesar 54% dan L. plantarum SH24 sebesar 55%. Gbassi (2011) juga melaporkan bahwa tiga galur L. plantarum, yang salah satunya diisolasi dari tanaman horseradish, mampu bertahan hidup pada kompartemen lambung dan jejunum secara in vitro.

Sepuluh isolat BAL yang berdasarkan seleksi awal mampu bertahan dengan baik pada pH 2.0, 2.5, 3.2, dan 7.2, dengan minimal ketahanan hidup pada

Dokumen terkait