• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

1. Efektivitas Sistem Pengawasan Importasi Prekursor di DJBC

Pada bagian ini penulis akan mengevaluasi sejauh mana efektifitas sistem pengawasan importasi prekursor di empat sampel terpilih.

a. Pengawasan pada tahapan pre-clearance

Sebagai mana dijelaskan pada bagian sebelumnya, di lingkungan DJBC pengawasan barang impor pada tahap pre-clearance meliputi: sistem registrasi impor, sistem pertukaran data elektronik di bidang kepabeanan melalui INSW

dan pemeriksaan sarana pengangkutan yang yang dilakukan oleh tim patrol DJBC. Unit-unit tersebut pada KPU atau Kanwil BC berada dibawah Bidang Penindakan dan Pencegahan.

1). Registrasi Impor

Sistem registrasi import sudah berjalan dengan baik, Setiap calon importir sesuai perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan registrasi import sebelum melakukan importasi barang. Izin baru bisa diberikan setelah dilakukan validasi oleh Direktorat Audit atau Bidang IKC, sehingga bila terdapat importir fiktif sudah akan terdeteksi pada tahapan ini.

2). Pertukaran data elektronik di bidang kepabeanan melalui INSW

Para importir diharuskan mentrasfer seluruh dokumen pabean secara elektronik ke portal INSW. Kemudian secara otomatis sistem akan mengecek data tersebut apakah sudah dilampiri izin impor instansi terkait sebelum masuk ke Analyzing Point untuk diperiksa izinnya secara manual. Analyzing Point merupakan satu tim di bawah Seksi Intelijen yang bertugas melakukan penelitian terhadap importasi barang-barang Larangan dan Pembatasan.

Analyzing Point memiliki peran penting dalam pengawasan barang import

karena merupakan pintu pertama yang akan dilalui importir untuk melakukan importasi barang. Berdasarkan observasi yang kami lakukan arus data yang terjadi pada portal INSW adalah sebagai berikut :

- Importir/PPJK/kuasanya mentransfer data elektronik dokumen kepabeanan sistem INSW.

- Sistem aplikasi INSW selanjutnya akan melakukan penelitian data-data yang diajukan oleh importir/PPJK/kuasanya secara otomatis apakah perizinan impor

barang larangan dan pembatasan tersebut telah dilengkapi. Pada tahap ini, petugas Analyzing Point akan log in terlebih dahulu ke portal INSW kemudian memberikan respon kepada importir/PPJK/kuasanya mengenai skep yang harus dilengkapi hard copy yang nanti akan diserahkan kepada petugas Analyzing Point pada saat penyerahan dokumen

- Importir/PPJK/kuasanya akan menerima respon Konfirmasi Skep LARTAS yang dikirim oleh petugas Analyzing Point.

- Importir/PPJK/kuasanya datang ke petugas Analyzing Point untuk menyerahkan dokumen kepabeanan serta izin yang telah diberitahukan melalui sistem. Izin impor barang Larangan dan Pembatasan dari instansi terkait disampaikan dalam bentuk hasil cetak dari portal INSW dan tidak perlu melampirkan dokumen asli. Dalam hal izin dilampirkan dengan dokumen asli, izin tersebut akan diteliti oleh petugas Analyzing Point mengenai keaslian, peruntukan, serta masa berlaku izin tersebut

- Apabila penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa semua dokumen kepabeanan dan izin sudah memenuhi ketentuan, maka importir/PPJK/kuasanya akan menerima kembali dokumen kepabeanan dan izin untuk dilakukan penelitian oleh bidang Perbendaharaan dan Keberatan terkait kurs, blokir, utang, serta jaminan.

- Setelah dilakukan penelitian oleh bidang Perbendaharaan dan Keberatan dan dokumen dinyatakan siap, dokumen tersebut akan masuk ke tahap penjaluran. Respon yang diterima oleh importir/PPJK/kuasanya bisa Surat Pemeneritahuan Jalur Merah (SPJM), Surat Pemeberitahuan Jalur Kuning, atau Surat Pemberitahuan Pengeluaran Barang.

Dari hasil obeservasi dan wawancara yang telah kami lakukan baik di KPU BC Tanjung Priok, KPU BC Batam dan KPPBC Madya Sukarno hatta, pada umumnya ketiga kantor BC tersebut telah menjalankan tahapan-tahapan di atas. Melalui sistem INSW ini dan penelitian oleh petugas Analyzing Point, jelas bahwa sejak awal DJBC sudah dapat mengetahui dan menetapkan bahwa dokumen yang diajukan adalah dokumen barang Larangan dan Pembatasan atau bukan. Kemudian pertanyaannya, apakah sistem pengawasan di sistem aplikasi INSW sudah maksimal?.

Pelarian HS

Bila dilihat dari langkah-langkah yang telah dilakukan oleh petugas analyzing point, maka bila terdapat impor barang larangan atau barang yang dibatasi (lartas) maka sejak awal petugas BC sudah akan mengetahuinya, dan menetapkan jalur yang benar. Keadaan seperti ini hanya mungkin dapat terjadi bila semua importir bertidak secara jujur. Seandainya ada importir yang melakukan pelarian HS, misalnya barang prekursor tapi dilaporkan sebgai barang non-prekursor, maka sistem aplikasi INSW tidak dapat mengidentifikasinya, sehingga bisa terjadi sistem ini akan memberikan penjaluran barang yang salah (misalnya jalur hijau atau MITA). Bila hal ini terjadi maka barang tersebut akan bebas dari pemeriksaan, baik pemeriksaaan dokumen oleh PFPD maupun pemeriksaan fisik.

Sebenarnya sistem aplikasi INSW masih bisa menangkap importir yang tidak jujur, karena meskipun mereka telah memperoleh jalur hijau atau jalur MITA, sistem tetap akan melakukan random sampling. Artinya, walaupun telah memperoleh jalur hijau atau MITA, importir yang terkena sampling, tetap akan dilakukan pemeriksaan fisik. Bila semula mereka memperoleh jalur hijau maka

akan diperiksa oleh petugas pemeriksa barang, sedang apabila sebelumnya memperoleh jalur MITA, maka akan di periksa oleh Unit Audit di kantor DJBC.

Berdasarkan wawancara yang kami lakukan, belum pernah ditemukan adanya kasus importir jalur merah atau MITA yang tertangkap melakukan pelarian HS. Hal ini bisa berarti bahwa semua importir telah jujur di dalam melaporkan barang-barang impornya. Namun juga harus diwaspadai oleh DJBC, bahwa sistem sampling yang digunakan oleh aplikasi INSW adalah menggunakan metode random sampling, artinya setiap importir akan mempunyai kesempatan yan sama untuk terpilih. Masalahnya kemudian adalah bahwa karena jumlah yang disampel hanya 5% dan disisi lain pelaporan PIB yang tidak benar jumlahnya sangat sedikit, maka kemungkinan bahwa PIB yang tidak benar tersebut terpilih menjadi kecil. Jadi belum ditemukannya PIB-PIB jalur hijau atau prioritas bisa jadi dikarenakan sistem random yang kurang tepat.

Menurut kami sebaiknya untuk melakukan random sebaiknya DJBC mengeset sistem aplikasi INSW dengan menggunakan metode purposive random sampling. Perposive random sampling adalah suatu metode random, akan tetapi ditentukan terlebih dahulu populasi yang menjadi target. Dalai kaitan dengan permasalahan di atas target yang menjadi sasaran random dapat ditentukan dengan sistem manajemen risiko yang bisa diukur atas dasar track

record importir, jenis barang dan negara asal barang tersebut.

Prekursor yang belum termasuk lartas

Sebagaimana dijelaskan di muka, Peraturan Pemerintah N0.44 Tahun 2006 tentang prekursor, telah menetapkan 23 jenis bahan prekursor yang berada di bawah pengawasan pemerintah. Kenyataannya, banyak laboratorium narkotika yang ditemukan ternyata juga menggunakan beberapa jenis prekursor

yang belum diatur di dalam PP tersebut, misalnya: Ketamin, Red phosphor,

Iodine, Thionyl chloride, Ether, Asam asetat glacial, Na OH, Caffein ,GBL

(Gamma Butyrolactone), Toluene/Toluol HS. 2707200000 Calcium Oxide, dan

Ammonium Chloride.

Jenis-jenis prekursor di atas bukan termasuk barang lartas, maka PIB yang berisi barang-barang tersebut tentunya tidak harus masuk jalur merah. Bila jenis prekursor tersebut kemudian masuk ke jalur hijau atau MITA, maka secara fisik barang-barang tersebut akan bebas dari pengawasan DJBC. Harapan terakhir terhadap pengawasan prekursor tentunya ada pada unit audit. Untuk masalah yang terakhir ini akan di bahas dalam bagian lain. Jadi sampai titik ini maka jenis-jenis prekursor yang belum termasuk lartas tidak dapat diawasi secara maksimal.

Penyelundupan

Permasalahan lain terkait dengan prekursor adalah kemungkinan terjadinya penyelundupan. Penyelundupan adalah memasukkan barang-barang ke daerah pabean secara illegal. Usaha penyelundupan bisa dilakukan melalui jalur-jalur yang tidak terjamah oleh pengawasan, atau melalui jalur-jalur yang ada pengawasannya, namun dilakukan dengan cara-cara yang sukar untuk dideteksi.

Seperti kita ketahui bahwa Indonesia memiliki belasan ribu pulau, baik pulau-pulau besar (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian) maupun pulau-pulau kecil (kepulauan riau dan kepulauan seribu). Daerah yang begitu luas berpotensi terjadinya penyelundupan melaui pantai-pantai yang belum terjamah pengawasan DJBC. Bila yang diselundupkan barang-barang jenis

Untuk mengatasi hal di atas, DJBC telah membentuk satuan patroli laut yang bertugas melakukan pengawasan atas kemungkinan masuknya barang-barang secara illegal. Kegiatan patrol laut dilakukan baik secara rutin maupun insidentil pada beberapa wilayah perairan di Indonesia yang dinilai rawan penyelundupan (Semedi, 2010). Kegiatan ini lebih ditekankan tidak hanya pada penyelundupan langsung, akan tetapi juga untuk mencegah masuknya barang import ke dalam Daerah Pabean yang tidak memenuhi ketentuan kepabeanan atau penyelundupan tidak langsung.

Berdasarkan observasi dan wawancara yang kami lakukan, untuk melakukan pencegahan penyelundupan dengan menggunakan unit patrol laut, DJBC mengalami beberapa kendala antara lain:

- Luasnya wilayah Indonesia membuat sulitnya dilakukan pengawasan secara intensif melalui patrol laut karena memerlukan biaya yang tinggi. - Kurang memadainya peralatan dan Teknologi Informasi (TI) guna

menunjang efektifitas patrol. Pada tahun 2010, DJBC memiliki kapal patrol sebanyak 210 kapal patrol laut dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 4.5

Daftar Kapal Patroli DJBC

Ukuran/Jenis Kapal Bahan Dasar Jumlah

1. FPB 28 meter Alumunium Kayu

3 unit 27 unit 2. FPB 38 meter Alumunium 5 unit 3. LPC (Local Patrol Craft) Fiberglass 10 unit 4. VSV (Very Silinder Vessel) Kevlar 10 Unit

5. Speed Boat Fiberglass 155 Unit

Jumlah kapal tersebut tentunya tidak memadai bila dibandingkan dengan luasnya laut dan sungai yang harus dipatoli oleh Unit Patroli DJBC, sehingga penyelundup akan dengan mudah menyelundupkan barang-barang selundupannya.

Selain permasalahan di atas teknologi informasi yang dimiliki Unit Patrol Laut DJBC juga masih belum memadai. Sulit bagi unit tersebut untuk mengetahui posisi kapal-kapal yang lalu lalang diperairan Indonesia, khususnya apa bila penyelundupan dilakukan melalui pantai-pantai atau pelabuhan yang tidak resmi yang belum terjamah pengawasan DJBC dan menggunakan kapal-kapal kecil seperti speed boat, yackt dan kapal nelayan.

- SDM kurang memahami barang-barang yang dikategorikan prekursor.

Sebelum tahun 2008, sistem pengembangan SDM di DJBC, khususnya mereka yang bertugas di bidang patrol, belum menekankan pada pentingnya fungsi DJBC sebagai community protector terkait dengan masalah prekursor, sehingga pengetahuan mereka terhadap prekursor sangatlah minim. Hal tersebut tentunya akan menjadi kendala ketika mereka melakukan pemeriksaan barang pada saat patrol. Untuk mengupgrade SDM yang ada sejak tahun 2009 DJBC mulai melakukan sosialisasi prekursor, bahkan pada tahun 2011 ini sosialisasi tentang prekursor dilakukan secara intensif ke kantor-kantor DJBC di daerah.

b. Pengawasan prekursor pada tahapan clearance

Pengawasan pada tahap clearance meliputi pengawasan dokumen oleh PFPD dan pemeriksaan fisik barang oleh Petugas Pemeriksaan Fisik Barang. Pada umumnya pemeriksaan dokumen oleh PFPD sudah dijalankan sesuai

dengan ketentuan. Namun karena banyak pejabat-pejabat PFPD dan pemeriksa barang yang belum memiliki pengetahuan tentang prekursor yang memadai, dikhatirkan banyak kasus-kasus prekursor yang tidak dapat terdeteksi secara dini.

Bila pada tahapan ini sudah dapat dilakukan pendeteksian kasus terkait prekursor, maka hal tersebut akan memudahkan pengawasan pada tahap post clearance yang akan dilakukan oleh unit audit dan P2. Berikut beberapa contoh kemungkinan kasus terkait importasi prekursor.

1) Pelarian Nomor Pos Tarif (pelarian HS).

Diberitahukan Produk TOA Acron;

Berdasarkan MSDS, komposisi: - Toluene 83.5 – 86.5 % - Acrylic Resin 13.5 – 16.5%

Diberitahukan HS 3809.91.0000 bahan untuk proses pengolahan tekstil Berdasarkan Kep. Menperindag. Nomor: 647/MPP/Kep/10/2004

Per. Menkes Nomor : 168/Menkes/Per/II/2005 HS prekursor jenis Toluene adalah 2902.30.00.00

Berdasarkan Ex-Note Tolune pada pos tarif 2902.30 harus memiliki kemurnian 95% atau lebih

Acrylic Resin berfungsi sbg Coating pada permukaan bahan tekstil

Maka Barang tsb lebih relevan sbg bahan untuk proses pengolahan tekstil dengan HS 3809.91.0000

Diberitahukan Produk Soltex T 86 A ;

Berdasarkan MSDS, komposisi:

- Toluene : 83.5 – 86.5 % - Paraffin : 13.5 – 16.5%

Diberitahukan HS 3809.91.0000 bahan untuk proses pengolahan tekstil Berdasarkan Kep. Menperindag. Nomor: 647/MPP/Kep/10/2004

Per. Menkes Nomor : 168/Menkes/Per/II/2005 HS prekursor jenis Toluene 2902.30.00.00

Berdasarkan Ex-Note Toluene pada pos tarif 2902.30 harus memiliki kemurnian 95% atau lebih

Kandungan Aromatics (Toluene) > Non Aromatics (Paraffin) Maka HS yg Relevan 2707.20.00.00

Diberitahukan Produk Solvent SN 204; Berdasarkan MSDS, komposisi:

- Toluene : 96 % - Impurity : 4 %

Diberitahukan HS 3814.00.0000 composite organic solvent Berdasarkan Kep. Menperindag. Nomor: 647/MPP/Kep/10/2004

Per. Menkes Nomor : 168/Menkes/Per/II/2005 HS prekursor jenis Toluene 2902.30.00.00

Berdasarkan Ex-Note Toluene pada pos tarif 2902.30 harus memiliki kemurnian 95% atau lebih dan impuritas tidak menyebabkan dikeluarkan dari pos tarif tersebut

Maka barang dimaksud relevan sebagai Tolune prekursor sebagaimana dimaksud pada ketentuan diatas.

Diberitahukan anti-freezing fluid;

Berdasarkan MSDS, komposisi :

- methyl ethyl ketone (MEK)= 33%, colouring matter = 2%, monoethylene glycol = 8%

HS 3820.00.0000 anti freezing preparation

Berdasarkan Kep. Menperindag. Nomor: 647/MPP/Kep/10/2004

Per. Menkes Nomor : 168/Menkes/Per/II/2005 HS prekursor jenis MEK 2914.12.00.00

Berdasarkan KUMHS & Catatan Bab 29 barang campuran tersebut dianggap cocok untuk penggunaan khusus

Maka barang dimaksud tidak relevan sebagai MEK prekursor sebagaimana dimaksud pada ketentuan diatas dan lebih dapat diterima sebagai preparat

anti-freezing.

2) Penggunaan prekursor secara ilegal

Tabel berikut memperlihatkan contoh sebagian penggunaan prekursor secara illegal (data lengkap sesuai Lampiran 2)..

Tabel 4.6

Jenis dan Penggunaan Illegal Prekursor

No. Cas No. Jenis prekursor Penggunaan Illegal

1. 108-24-7

UN-1715 Asetat Anhidrida Sebagai reaktan dalam pembuatan heroin, P2P dan asam N-acetyl-antranilat 2. 299-42-3 Efedrin dan garamnya Sintesa metamfetamine dan methcathinone 3 120-58-1 Isosafrol Sintesa MDA, MDE, MDMA dan N-OH MDA 4. 7722-64-7

UN-1490 Kalium permanganat Untuk konversi coca pasta Sebagai Reagant dalam pembuatan methcathinone

5. 120-57-0 Piperonal Sintesa MDA, MDE, MDMA dan N-Hydroxy-MDA 6. 90-82-4 Pseudoefedrin (INN) dan

garamnya Sintesa metamfetamine

7. 94-59-7 Safrol Sintesa MDA, MDE, MDMA dan N-OH MDA 8. 118-92-3 Asam antranilat dan

No. Cas No. Jenis prekursor Penggunaan Illegal

9. 7647-01-0

UN-1050 Hidrogen klorida (Asam hidroklorida) Pembuatan / sintesa heroin dan beberapa narkotika dan psikotropik lainnya 10. 7664-93-9

UN-1830 Asam sulfat; oleum Ekstrasi daun koka Produksi garam sulfate dari meskaline dan morfine

Sintesa Amfetamine dan derivatnya, Petidine dan MPPP

Asam sulfat dari copper smelter

Lain-lain 11. 67-64-1

UN-1090 Aseton Sebagai pelarut dalam proses pembuatan heroin dan kokain Sebagai pelarut dalam sintesa LSD dan amfetamine.

12 60-29-7

UN-1155 -Detil eter -- -Mutu Farmasi -- -Lain-lain

Pembuatan heroin, kokain, LSD, amfetamine, tryptamina (DET, DMT) meskaline, metadon, metaqualon

Sintesa PCP 13. 78-93-3

UN-1193 Butanon (metil etil keton) Untuk konversi kokain base 14. 110-89-4

UN-2401 Piperidina dan garamnya Sintesa phencyclid-ine (PCP) dan Tenocyclidine (TCP) 15. 108-88-3

UN-1294 - T oluena Sintesa fentanyl, amfetamine, phencycliedine (PCP) dan analognya, metaqualone, metadon, kokain dan psilocin

3) Kasus importir tidak sebagai importir prekursor

Barang diberitahukan sebagai Thinner. Ternyata setelah diperiksa kedapatan berisi metil etil keton murni dan positif prekursor. Sementara itu, Importer tidak memilki izin sebagai importer prekursor

4) Misdeclaration

Pemberitahuan prekursor sbg Barang Lain yang menyerupai bukan sbg barang yang sebenarnya dengan tujuan untuk mengelabui Petugas BC.

Contoh :

- Potassium Permanganate diberitahukan sebagai Material for Filter dengan HS 3824.90.90.00

- Examinasi dokumen : MSDS/ CoA, Invoice, Packing List, BL/AWB

Pemeriksaan Fisik: bentuk fisik barang, label, pemeriksaan pendahuluan menggunakan prekursor Test-Kit

Pemeriksaan Lab (Bahan Sosialisasi Subdit Narkotika DJBC Tahun 2010)

5) Kerawanan Ekspor

Bahan untuk pembuatan Heroin :

Acetic Anhydrate, Hidrochloric Acid, Ammonium Chloride, Calcium Oxide dan Aceton.

Tujuan pengiriman Ekspor :

Afghanistan, Pakistan, laos, Myanmar, Thailand dan Vietnam

6) Kawasan perdagangan bebas

Untuk kawasan perdagangan bebas seperti „Batam Free Trade Zone‟ Semua barang impor tidak dikenakan bea masuk dan karenanya dikategorikan sebagai jalur hijau, kecuali yang terkena sampling. Keadaan seperti ini memungkinkan terjadinya impor prekursor secara illegal. Walaupun hasil sampling menunjukkan tidak ditemukannya kasus-kasus tersebut, namun bukan berarti bahwa tidak ada permasalahan importasi illegal. Kurangnya pengetahuan para pemerikasa barang tentang prekursor, sebagai mana telah dibahas sebelumnya, bisa juga menjadi penyebab tidak ditemukannya kasus-kasus tentang prekursor.

7) Fasilitas tanpa pemeriksaan fisik berpotensi terhadap kerawanan

Pemberian fasilitas tidak dilakukannya pemeriksaan fisik kepada importir jalur hijau dan MITA, dapat mengakibatkan praktik importir secara illegal, seperti penyelundupan, pelarian HS, dan sebagainya. Walaupun masih ada audit kepabeanan yang akan dilakukan oleh Unit Audit di Kantor Pusat, KPU atau

Kanwil BC, namun karena para auditornya belum memiliki pengetahuan

prekursor yang memadai, maka terdapat kemungkinan adanya importasi illegal

atau penyimpangan penggunaan fasilitas yang tidak terdeteksi oleh audit tersebut. Hal ini terbukti bahwa temuan-temuan prekursor di laboratorium gelap berasal dari perusahaan-perusahaan importir yang legal.

c. Pengawasan prekursor pada tahapan post clearance

Sebelum dikenal adanya kegiatan Audit, pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DJBC pada awal perkembangannya memiliki keterbatasan baik yang bersifat pelaksanaan teknisnya maupun dari segi dampak yang diakibatkannya. Sistem pengawasan dengan memastikan unsur kebenaran pemberitahuan pabean dan pengawasan barang dapat berbenturan dengan fungsi dari sistem pelayanan. Selain hal tersebut, secara teknis terdapat beberapa kondisi yang secara langsung maupun tidak langsung dapat menghambat dilakukannya system pengawasan yang ada. Kondisi tersebut antara lain sebagai berikut :

- Kondisi geografi Indonesia yang luas dan rawan sehingga membuat sulit pelaksanaan pengawasan yang efektif;

- Perkembangan sistem perdagangan internasional yang terus meningkat ke arah yang lebih efisien yang menuntut pelonggaran dalam pengawasan; - Keterbatasan sumber daya manusia dan biaya yang dimiliki DJBC dalam

rangka melaksanakan tugas pengawasan.

Sesuai dengan perkembangan kepabeanan yang moderen, sistem pengawasan yang menitik beratkan pada kebenaran pemberitahuan pabean dikurangi dengan cara menggunakan sistem penjaluran. Untuk impor barang yang telah ditetapkan sebagai jalur hijau dan jalur prioritas tidak dilakukan

pemeriksaan fisik barang pada saat barang tersebut akan dikeluarkan dari kawasan pabean. Untuk menghindari resiko rejadinya impor barang yang illegal, selanjutnya ditetapkan bahwa DJBC, sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan, diberi wewenang untuk melakukan post clearance audit. Dengan audit ini diharapkan dapat diidentifikasi bila terjadi adanya over kuota, penyimpangan ijin dan penyalahgunaan fasilitas.

Untuk impor barang secara umum pendekatan ini dirasakan cukup efektif. Hal ini terlihat dari temuan-temuan yang telah diperoleh oleh para auditor DJBC. Sayangnya selama ini audit yang dilakukan lebih memfokuskan pada pelanggaran-pelanggaran yang terkait dengan penerimaan negara (penerimaan bea masuk dan cukai). Pengawasan atas prekursor pada tahap post-clearance belum merupakan target. Di tambah dengan minimnya pengetahuan auditor tentang prekursor, membuat audit yang dilakukan belum mampu mengidentifikasi penyimpangan-penyimpangan terkait dengan importasi prekursor, baik penyimpangan yang disengaja (fraud) maupun kesalahan yang sifatnya tidak di sengaja (error).

Berdasarkan penelitian yang kami lakukan di empat lokasi sebagai mana dijelaskan pada bagian sebelumnya, ternyata tidak ditemukan adanya permasalahan-permasalahan terkait prekursor tersebut. Sehingga pada tahapan

post clearance dapat dikatakan pengawasan atas prekursor belum optimal. Hal

ini terbukti banyak temuan-temuan di lapangan yang dilakukan oleh Instansi Kepolisian menunjukkan bahwa sumber prekursor yang ada di laboratorium narkotika banyak yang berasal dari importir yang legal.

Dokumen terkait