Galeri Kajian Akademis Tahun 2011
Hasil Kajian Akademis Tahun 2011
Pengaruh Ragam Metode Pembelajaran Pada Materi Etika Profesi
dan Pengembangan Pribadi Terhadap Output Pembelajaran
Peneliti : Mila Mumpuni, S.E., M. Si.Penguji : Dr. Nurdin Ibrahim, M. Pd. Drs. Anan Sutisna, M. Pd.
Peranan Ditjen Bea dan Cukai Sebagai Community Protector Dalam Importasi Precursor
Peneliti : Adang Karyana Syahbana , B.Sc., S.S.T.Purjono, Ak., M.Comm. Penguji : Agung Krisdiyanto, ST.
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. Dr. Muhammad Firdaus, SP., M.Si.
Analisis Pengaruh Unconditional Grants, Pendapatan Asli Daerah (PAD),
dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Pemerintahan Daerah:
Studi Empiris Pada Kabupaten/ Kota Di Indonesia
Peneliti : Sampurna Budi Utama, S.S.T., Ak., ME. Syahrul, S. Si
Penguji : Wahyu Widjayanto, SE., MM. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec. Dr. Muhammad Firdaus, SP., M.Si.
Kajian Pengembangan Layanan Diklat Keuangan Negara Melalui Pendanaan Alternatif
Dalam Rangka Mencapai Visi dan Misi BPPK
Peneliti : Achmat Subekan, S.E., M.Si. Ita Hartati, Ak., M.B.A. Penguji : Sudarso, MM.
Tinjauan Pengelolaan Aset Hasil Kegiatan Tugas Pembantuan
Studi Kasus: Kota Depok dan Kabupaten Tangerang
Peneliti : Tanda Setiya, S.E., M.Si. Rahmad Guntoro, S.E., MM. Penguji : Dr. Asep Suryadi, S.E.., M.Si.
Ini adalah tahun kedua Kajian Akademis diselenggarakan. Dengan
semangat yang sama, Kajian Akademis BPPK Tahun 2011 tetap diselenggarakan dengan tujuan untuk meningkatkan kegiatan penelitian di bidang pengembangan SDM serta bidang keuangan dan kekayaan Negara sesuai dengan salah satu misi khusus BPPK.
Sekretariat Badan BPPK menentukan narasumber/penguji untuk masing-masing proposal tersebut berdasarkan tema tiap proposal. Narasumber/ penguji dalam Kajian Akademis kali ini terdiri dari narasumber/ penguji dari kalangan akademisi dan juga praktisi. Seperti di tahun ini, narasumber/ penguji berasal dari Institut Pertanian Bogor, Universitas Negeri Jakarta dan praktisi pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Pada tanggal 5 Juli 2011 diselenggarakan seminar proposal. Seminar tersebut dihadiri oleh 55 orang dari berbagai kalangan. Dari seminar tersebut akhirnya hanya lima buah proposal yang disetujui untuk melanjutkan ke tahap penelitian, yang keseluruhan biaya dalam penelitian tersebut ditanggung oleh BPPK sesuai dengan standar biaya yang berlaku. Penelitian dan penyusunan hasil penelitian dilakukan selama 3 bulan. Dalam waktu tersebut peneliti melakukan koordinasi dengan Sekretariat Badan terkait kelengkapan administrasi penelitian. Setelah hasil penelitian tersebut selesai, peneliti mengirimkan ke Sekretariat Badan dan selanjutnya dikirimkan ke masing-masing narasumber/ penguji. Tahap terakhir dari proses pelaksanaan kegiatan Kajian Akademis adalah pelaksanaan seminar hasil.
hari Selasa tanggal 29 November 2011 di Gedung B lantai 5 BPPK dan dihadiri oleh 134 orang. Sebelum hasil kajian akademis tersebut dipublikasikan, peneliti melakukan revisi berdasarkan masukan narasumber/ penguji.
Timeline Kajian Akademis BPPK Tahun 2011
Pengumpulan Proposal Penelaahan Proposal oleh Narasumber / Penguji Seminar Proposal Pelaksanaan Penelitian Pengujian Hasil Penelitian Revisi Feb-Apr 2011 Mei-Jul
2011 5 Jul 2011 Ags-Okt 2011 29 Nov 2011 2012 Feb
Publikasi Des 2011
ilmiah tersebut dalam Buku Kajian Akademis BPPK dengan rincian:
NO NAMA PENELITI JUDUL
NAMA NARASUMBER/
PENGUJI 1. Mila Mumpuni Pengaruh Ragam Metode
Pembelajaran Pada Materi Etika Profesi Dan Pengembangan Pribadi Terhadap Output Pembelajaran
Anan Sutisna, Nurdin Ibrahim, dan Yusman Syaukat
2. Achmat Subekan dan Ita Hartati
Kajian Pengembangan Layanan Diklat Keuangan Negara Melalui Pendanaan Alternatif Dalam Rangka Mencapai Visi dan Misi BPPK
Sudarso dan Yusman Syaukat
3. Sampurna Budi Utama dan Syahrul
Analisis Pengaruh Unconditional Grants, Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Terhadap Belanja Pemerintah Daerah: Studi Empiris Pada Kabupaten/ Kota Di Indonesia
Wahyu Widjayanto dan Yusman Syaukat
4. Adang Karyana dan Purjono
Peranan Ditjen Bea Cukai Sebagai Community Protector Dalam Importasi Precursor
Agung Krisdiyanto dan Yusman Syaukat 5. Tanda Setiya dan
Rahmad Guntoro
Tinjauan Pengelolaan Aset Hasil Kegiatan Tugan Pembantuan (Studi Kasus: Kota Depok dan Kabupaten Tangerang)
Asep Suryadi, Sri Wahyuni, dan Yusman Syaukat
Disusun oleh:
1. Peneliti/pengkaji Utama:
Nama peneliti/pengkaji
: Adang Karyana Syahbana, SSt
NIP
: 19570811 198109 1 001
Pangkat/Golongan
: Pembina Muda / IV.a
Jabatan
: Widyaiswara Madya
2. Peneliti/pengkaji Pendamping:
Nama peneliti/pengkaji
: Purjono, MCom
NIP
: 19610704 198202 1001
Pangkat/Golongan
: Pembina Muda / IV.a
Jabatan
: Widyaiswara Madya
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
JAKARTA
SURAT PERNYATAAN
Kami yang bertanda tangan dibawah ini :1 Nama : Adang Karyana Syahbana, SSt NIP : NIP 19570811 198109 1 001 Pangkat/gol. Widyaswara Madya/ IV a Unit Organisasi : Pusdiklat Bea dan Cukai,
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
2 Nama : Purjono, Mcom
NIP : NIP 19610704 198202 1001 Pangkat/gol. Widyaswara Madya/IVa Unit Organisasi : Pusdiklat Bea dan Cukai,
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan menyatakan bahwa Kajian Akademis yang berjudul:
PERANAN DITJEN BEA CUKAI
SEBAGAI COMMUNITY PROTECTOR
DALAM IMPORTASI PRECURSOR
merupakan hasil kajian akademis asli yang kami susun berdua dan bukan jiplakan atau plagiat. Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sesungguhnya untuk dapat dipergunakan sebagai mestinya.
Jakarta, Desember 2011 Penulis
Purjono, MCom Adang Karyana Syahbana, SSt NIP 19610704 198202 1001 NIP 19570811 198109 1 001
Peranan Ditjen Bea Cukai
Sebagai Community Protector
dalam Importasi Precursor
Abstrak
Prekursor adalah suatu bahan atau zat yang dapat digunakan sebagai bahan pembantu untuk industry-industri tertentu. Oleh karena itu keberadaannya sangat diperlukan. Namun di sisi lain, prekursor juga dapat berbahaya bagi masyarakat bila di salah gunakan, karena prekursor dapat digunakan sebagai bahan pembuat narkoba. Karena prekursor merupakan bahan yang berbahaya, maka pemerintah mengkatagorikan prekursor sebagai barang larangan dan pembatasan yang importasi dan peredarannya harus dilakukan secara ketat.
Selaku penjaga perbatasan negara (border guard) terhadap masuk atau keluarnya barang yang dapat mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara, DJBC berkewajiban untuk mencegah terjadinya lalu lintas prekursor yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu kajian ilmiah in bertujuan untuk meneliti sejauh mana DJBC telah melakukan pengawasan terhadap importasi prekursor dalam rangka memenuhi salah satu fungsinya sebagai community prptector (perlindungan masyarakat).
Berdasarkan hasil penelitian yang kami lakukan dapat disimpulkan bahwa walaupun terdapat cukup banyak fakta penggunaan prekursor yang tidak sesuai dengan ketentuan (untuk pembuatan narkoba), namun hal tersebut bukan karena tidak adanya pengawasan atas importasi prekursor oleh DJBC. Pada dasarnya, DJBC telah melakukan pengawasan baik pada tahapan pre-clearance, clearance maupun post clearance. Secara adminstratif dan sistem pengawasan tersebut sudah cukup baik, namun masih bisa dioptimalkan, yaitu dengan cara
meningkatkan patrol yang lebih intensif, mengembangkan pengetahuan pegawai tentang precursor, meningkatkan kualitas peralatan dan teknologi informasi, meningkatkan kerja sama unit-unit yang ada di DJBC, dan melakukan kerja sama dengan instansi-instansi terkait.
Precursor is materials or substances that can be used as raw or supporting material for specific industries. Therefore, its presence is indispensable. On the other hand, precursor can also be dangerous to society when it is used wrongly, because the precursors can be used for producing narcotics or psicotropics. Since the precursor is a hazardous material, then the government has categorized it as a prohibited and restricted good and its importation and trading have to be controlled strictly.
As the state border guard, to prevent the entry or exit of goods that can disrupt the life of society and nation, DJBC has obligation to prevent the occurrence of precursors traffic that is not in accordance with legislation. Therefore, This reseach (scientific study) aims to examine the extent to which DJBC has controlled the importation of precursor in accordance with its function as a community protector (public protection).
Based on the data gathered during the research, we concluded that the fact of many precursors uses that were not in accordance with the provisions (for example: precursor is used for producing narcotic or drugs), did not mean that there were a lack of control of the precursor importation by DJBC. Basically, DJBC has controlled precursor not only on the pre-clearance stage, but also clearance and post clearance stage. Although the administrative and control system is quite good, but it still can be optimized, by increasing the intensity of sea patrol, develop employees knowledge on precursors, improve the quality of equipment and information technology, enhance coordination among units in DJBC, and also developing cooperation with related institutions.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan kajian akademis yang berjudul “Peranan Ditjen Bea Cukai Sebagai Community
Protector Dalam Importasi Prekursor”.
DJBC diberi amanat untuk melaksanakan tugas dan fungsi sebagai fasilitator perdagangan (trade facilitator), Pengawasan (customs control), dan pengumpul penerimaan negara (revenue collecting). Secara garis besar, ketiga fungsi tersebut dapat dibagi ke dalam 2 (dua) fungsi besar, yaitu fungsi pelayanan dan fungsi pengawasan. DJBC dituntut untuk melaksanakan kedua fungsi sekaligus, tanpa mengurangi dan mengorbankan fungsi satu dan fungsi lainnya. Fungsi pengawasan menjadi penting, karena bertujuan untuk melindungi masyarakat serta pengamanan penerimaan keuangan negara yang dibebankan kepada DJBC.
Pengaturan prekursor oleh PP tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan prekursor, mencegah dan memberantas peredaran gelap prekursor, mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan prekursor, dan menjamin ketersediaan prekursor untuk industri farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu dan pengetahuan dan teknologi
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea dan Cukai, Kepala Subdit Narkotika, Kepala Seksi Prekursor di Kantor Pusat Ditjen Bea dan Cukai. Demikian juga Penulis haturkan terima kasih kepada Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok, dan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Madya Bea dan Cukai Soekarno-Hatta dan Kepala Kantor Utama Bea dan Cukai Batam,Tim Penilai dan semua pihak yang telah memberikan dorongan dan bimbingan sehingga tersusunnya kajian akademis ini. Kajian akademis ini dapat disusun dalam rangka pengembangan profesi widyaiswara dan semoga dapat memberikan manfaat bagi yang berkaitan dengan pelayanan dan pengawasan Prekursor.
Penulis menyadari masih terbatasnya kemampuan dan pengetahuan penulis dalam menyusun/membuat tulisan ini, sehingga segala saran dan kritik yang bertujuan menyempurnakan karya tulis ilmiah ini sangat penulis harapkan.
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 3
C. Ruang Lingkup ... 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 11
1. Teori Tentang Prekursor ... 11
2. Tata Niaga Prekursor ... 18
3. Perkembangan Kasus ... 29
4. Pengawasan Importasi Prekursor ... 30
B. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 48
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS A. Jenis Penelitian ... 51
B. Jenis dan Sumber Data ... 51
C. Teknik Pengumpulan Data ... 52
D. Metode Analisis Data ... 52
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis Data... 53
1. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ... 53
2. KPU Tanjung Priok... 60
3. KPP BC Madya Soekarno-Hatta ... 65
4. KPU Bea dan Cukai Batam ... 71
B. Pembahasan ... 76
1. Efektivitas Sistem Pengawasan Importasi Prekursor di DJBC .... 77
2. Permasalahan Pengawasan Prekursor oleh DJBC ... 92
3. Kerjasama Pengawasan Prekursor ... 94
BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 98 B. Keterbatasan Penelitian ... 101 C. Saran ... 102 DAFTAR PUSTAKA ... 105 DAFTAR ISTILAH ... 107 LAMPIRAN
Tabel 2.3 Jumlah Kasus Narkoba Berdasarkan Jenis Kasus Tahun
2003-2009 ... 29
Tabel 2.4 Tabel 2.4 Pengungkapan Laboratorium Gelap Tahun 1998-2010 ... 31
Tabel 4.1 Daftar Importir Prekursor di tanjung Priok ... 63
Tabel 4.2 Daftar Importir Prekursor di KPPBC Soekarno Hatta ... 67
Tabel 4.3 Importasi Prekursor Periode Tahun 2010 di KPU Batam ... 74
Tabel 4.4 Importasi Prekursor Periode Tahun 2011 di KPU Batam ... 74
Tabel 4.5 Daftar Kapal Patroli DJBC ... 83
Gambar 2.3 Label Prekursor ... 41
Gambar 2.4 Aktivitas Pengawasan DJBC ... 46
Gambar 4.1 Peran dan Fungsi DJBC ... 55
Gambar 4.2 Bagan Organisasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ... 56
Gambar 4.3 Diagram Pelayanan, Pengawasan dan Penyelesaian Prekursor dalam SAP Impor/Ekspor ... 62
Gambar 4.4 Temuan Ephedrin ... 64
Gambar 4.5 Kasus Ditemukan Prekursor Jenis Ephedrine dan Pseudo Ephedrine ... 64
Gambar 4.6 Barang Bukti Penyelundupan Kethamin ... 69
A. Latar Belakang
Pesatnya perkembangan teknologi telah mendorong terjadinya kompleksitas hubungan bisnis dan transaksi perdagangan internasional. Kompleksitas tersebut dapat dilihat, misalnya dari transaksi-transaksi yang berlangsung cepat, terjadinya persaingan dagang yang ketat baik perdagangan barang maupun jasa. Dengan demikian kecepatan dalam pelayanan menjadi sesuatu keharusan baik bagi eksportir maupun importir agar mendapatkan keunggulan komparasi dari pesaing-pesaingnya.
Di sisi lain, dalam alinea-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa dibentuknya negara Republik Indonesia adalah dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dengan demikian pemberian pelayanan yang cepat bukan berarti harus melupakan pengawasan agar kepentingan bangsa dan negara ini juga tidak terganggu.
Sebagai pintu gerbang utama negara, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai salah satu institusi di bawah Kementerianan Keuangan Indonesia menghadapi tantangan yang semakin berat dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya pada masa globalisasi saat sekarang ini. Hal mana di satu sisi DJBC dituntut untuk memperlancar arus barang untuk mendukung perekonomian negara, namun di sisi lain DJBC juga harus mengoptimalkan pengawasan terhadap lalu lintas barang yang masuk maupun keluar daerah pabean.
Untuk memenuhi tugas tersebut, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan, mengamanatkan secara tegas bahwa DJBC mempunyai tugas pokok sebagai pengumpul pendapatan (revenue collector), Perlindungan masyarakat (community protector), trade facilitator dan industrial assistance. Untuk ini DJBC diberikan wewenang untuk melakukan pengawasan barang-barang ekspor dan impor tersebut tanpa mengganggu proses kelancarannya. Dalam Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Kepabeanan, diatur tentang larangan dan pembatasan atas barang yang dapat diimpor dan diekspor. Di dalam aplikasinya, instansi teknis menetapkan peraturan larangan dan pembatasan dan memberitahu kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia untuk dilaksanakan oleh DJBC di lapangan. Pengawasan secara khusus, tentunya harus diberikan terhadap masuknya barang-barang larangan yang dapat mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara (misalnya barang prekursor). Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya perdagangan barang-barang tersebut yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Prekursor adalah bahan yang banyak digunakan oleh industri farmasi
dan non-farmasi, namun juga dapat disalahgunakan sebagai bahan baku/bahan penolong pembuatan narkotika dan psikotropika secara tidak sah. Dalam rangka keikutsertaan Indonesia memerangi peredaran dan penggunaan narkotika dan psikotropika di dunia, maka pemerintah mengatur secara khusus importasi
prekursor. Lebih jauh konvensi PBB tahun 1988 telah memasukkan 22 jenis prekursor ke dalam daftar pengawasan Internasional.
Dari sisi kerja sama internasional, rezim pengawasan prekursor berada di bawah pengawasan International Narcotics Control Board (INCB). Konvensi 1988
mewajibkan setiap negara untuk melaporkan kebutuhan tahunan serta membuat laporan triwulan mengenai prekursor baik yang diekspor maupun diimpor kepada INCB. Tujuannya adalah agar perdagangan prekursor dapat lebih efektif diawasi sehingga dapat menutup kemungkinan terjadinya diversi gelap prekursor. Selanjutnya, Permendag Nomor 05/M-DAG/PER/1/2007 tanggal 22 Januari 2007 tentang Pengaturan Ekspor prekursor diberlakukan secara efektif mulai 23 Februari 2007. Permendag ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan prekursor, mencegah dan memberantas peredaran gelap prekursor, mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan prekursor, dan menjamin ketersediaan prekursor untuk industri farmasi, industri non-farmasi, dan pengembangan ilmu dan pengetahuan dan teknologi.
B. Perumusan Masalah
Sebagai mana dijelaskan di atas, prekursor adalah bahan yang banyak digunakan oleh industri farmasi dan non-farmasi, namun juga dapat disalahgunakan sebagai bahan baku/bahan penolong pembuatan narkotika dan psikotropika secara tidak sah. Oleh karena itu, penggunaan prekursor dapat berpotensi mengakibatkan penyalahgunaan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yaitu dijadikan sebagai bahan pembuatan narkoba dan psikotropika. Penggunaan prekursor yang ilegal tersebut merupakan tindak pidana yang harus dibasmi karena dapat membahayakan masyarakat. Oleh pemerintah prekursor ditetapkan sebagai barang di bawah pengawasan Pemerintah, antara lain seperti: jarum suntik, semprit suntik (syringe), pipa pemadatan dan anhidrida asam asetat.
Peningkatan penyalahgunaan prekursor dalam pembuatan narkotika dan psikotropika dewasa ini telah menjadi ancaman yang sangat serius yang dapat menimbulkan gangguan bagi kesehatan, instabilitas ekonomi, gangguan keamanan, serta kejahatan internasional. Oleh karena itu prekursor perlu diawasi secara ketat agar digunakan sesuai peruntukannya. Pengendalian dan pengawasan sebagai upaya pencegahan dan pemberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap prekursor sangat membutuhkan langkah-langkah konkrit, terpadu dan terkoordinasi secara nasional, regional maupun internasional, karena kejahatan penyalahgunaan prekursor pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara sendiri melainkan dilakukan secara bersama-sama, bahkan oleh sindikat yang terorganisasi rapi dan sangat rahasia. Kejahatan prekursor bersifat transnasional, dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih termasuk pengamanan hasil-hasil kejahatan prekursor.
Perkembangan kualitas kejahatan prekursor tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia. Oleh karena itu upaya pengendalian dan pengawasan serta penanggulangan penyalahgunaan
prekursor perlu melibatkan berbagai inatansi terkait. Di Indonesia
instansi-instansi terkait tersebut antara lain Kementrian Perdagangan, Kementrian Perindustrian, Kepolisian, Kementrian Luar Negeri, Kementrian Lingkungan Hidup, Badan Pengawasan Obat dan Makanan Kementrian Kesehatan, dan Kementrian Keuangan (dalam hal ini adalah DJBC). Menyangkut tugas dan fungsi berbagai sektor terkait, pemerintah mengeluarkan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Pisikotropika, yang telah diperbaharui dengan UU No. 35/ Tahun 2009, yang menata secara menyeluruh pengaturan prekursor tersebut.
Dari segi importasi, DJBC merupakan pintu gerbang pertama masuknya
prekursor dari luar negeri. Oleh karena itu, DJBC sesuai fungsinya sudah
seharusnya melakukan pengawasan atas prekursor lebih intensif. Untuk melakukan pengawasan tersebut DJBC memerlukan sarana dan prasarana yang memadai termasuk SDM yang berkompetensi di bidang pengawasan prekursor tersebut, termasuk mereka yang memahami persyaratan dokumen impor, identifikasi dan klasifikasi serta ketentuan impor lainnya yang terkait. Dengan memahami jenis, pengamanan barang, klasifikasi pembebanan, dan ketentuan impor diharapkan impor prekursor akan terawasi dengan baik sesuai ketentuan yang berlaku.
Dalam praktiknya, banyak pegawai kepabeanan yang kurang memahami
prekursor secara benar, baik berkaitan dengan jenis dan karakteristik barang
tersebut maupun yang berkaitan dengan cara pengamanan, klasifikasi pembebanan bea masuk dan ketentuan-ketentuan impor lainnya. Di sisi lain para importir berusaha melaporkan barang tersebut dengan jumlah yang tidak benar dan dengan nomor pos tarif yang akan menguntungkan mereka. Adanya unsur kesengajaan importir dan kurang pahamnya pegawai kepabeanan tentang
prekursor tentunya membuat sistem pengawasan di DJBC dapat menjadi kurang
efektif. Jika kita melihat betapa banyaknya kasus-kasus pidana terkait dengan narkoba dan psikotropika, maka hal ini mengindikasikan bahwa pengawasan atas barang-barang tersebut di Indonesia (termasuk DJBC) perlu lebih efektif.
Pengawasan prekursor oleh DJBC, meliputi tiga tahapan, yaitu tahapan
clearance, clearance dan post clearance (Sofyan, 2010). Pengawasan pre-clearance adalah pengawasan yang dilakukan mulai saat sarana pengangkut
Kadangkala pada tahapan ini dilakukan pemeriksaan sarana pengangkutan (ship
search). Di sini yang berperan melakukan pengawasan adalah Tim Patroli, yang
terdiri dari Komandan Patroli Wakil Komandan Patroli dan (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) PPNS. Selain itu, pengawasan dalam tahap ini juga meliputi sistem registrasi impor dan sistem pertukaran data elektronik (Electronic Data Interchange) melalui portal INSW (Indonesia National Singgle Window)
Pengawasan pada tahapan clearance, dimulai sejak penentuan penjaluran, penelitian PIB dan pemeriksaan barang. Pejabat yang terkait dalam tahapan ini adalah: Unit Risk Manajement, Pejabat Fungsional Pememeriksa Dokumen (PFPD), dan Pejabat Pemeriksa Barang. Pengawasan pada tahapan
post clearance, di mulai sejak barang keluar dari pelabuhan sampai barang
tersebut digunakan atau diekspor kembali. Dalam tahapan ini pejabat-pejabat yang terkait adalah mereka yang berasal dari unit P2 (Bidang Penegakan Hukum) atau Post Clearance Audit.
Berdasarkan uraian di atas, penulis menjabarkan rumusan permasalahan dalam bentuk pertanyaan riset sebagai berikut sebagai berikut :
- Sejauh mana DJBC (sebagai community protector) telah berperan dalam pengawasan prekursor, baik pada tahap pre-clearance, clearance maupun
post clearance?
- Kendala-kendala apa saja yang dihadapi DJBC dalam menjalankan fungsi tersebut ? Apa penyebabnya?
- Kerja sama apa saja yang telah dilakukan dan dengan instansi apa saja guna mengefektifkan pengawasan prekursor ?
C. Ruang Lingkup
a. Periode waktu pengamatan.
Penelitian ini menggunakan periode waktu pengamatan mulai dari Juni 2011 sampai dengan Oktober 2011.
b. Unsur-unsur yang diteliti
Unsur yang diteliti adalah importasi prekursor, yang meliputi pengawasan atas:
o Kepatuhan terhadap ketentuan importasi prekursor
o Penelitian atas pelaporan importasi (PIB) prekursor, baik jenis barang, pengklasifikasian dan kuantitas.
o Penelitian atas kepatuhan penggunaan prekursor. c. Lingkungan objek penelitian
Penelitian ini dilakukan di lingkungan Kantor Kepabeanan dan Cukai, baik Kantor Pusat (khususnya bagian-bagian yang menangani
prekursor), Kantor Pelayanan Utama, dan Kantor Pelayanan Bea dan
Cukai Madya. Penelitian difokuskan pada sistem pengawasan yang telah dilakukan oleh kantor-kantor tersebut, baik pada tahapan pre-clearance,
clearance dan post clearance di masing-masing kantor.
d. Unit analisis dan sampel
Penelitian ini menggunakan unit analisis Kantor DJBC. Penelitian ini akan menggunakan metode judgment sampling. Untuk ini telah dipilih 4 kantor kepabeanan dan cukai, yaitu:
1) Kantor Pusat DJBC,
2) Kantor Pelayanan Utama (KPU) Tanjung Priok 3) KPU Batam, dan
Alasan dipilihnya keempat kantor tersebut karena menurut wawancara yang kami lakukan ketiga kantor tersebut menangani lebih dari 70% transaksi importasi prekursor, sehingga kami anggap telah mewakili.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
- Mengevaluasi efektifitas pelaksanaan sistem pengawasan atas ketentuan importasi prekursor pada kantor kepabeanan.
- Mencari kendala apa saja yang dihadapi DJBC dalam menjalankan fungsi tersebut dan mencari faktor penyebabnya.
- Menilai sejauh mana kerja sama yang telah dilakukan dengan instansi terkait guna mengefektifkan pengawasan prekursor.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memberikan bahan kajian yang lebih komprehensif terhadap upaya-upaya penanganan importasi prekursor, sehingga dapat digunakan oleh pihak terkait sebagai berikut:
1) Bagi DJBC dan instansi lain yang berperan dalam pengawasan dan pelayanan importasi prekursor, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan dalam penanganan dilapangan dan informasi untuk membuat keputusan-keputusan strategis yang diperlukan untuk menangani prekursor.
2) Bagi Pusdiklat BC, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk perbaikan GBPP, materi dan metode diklat diklat-diklat terkait.
3) Bagi Pegawai DJBC (sebagai pengemban tugas / pelaksana Undang-Undang), hasil penelitian ini dapat digunakan untuk lebih memahami tentang importasi dan pengawasan prekursor, sehingga keluar masuknya bahan tersebut dapat terkendali dengan baik.
4) Bagi masyarakat (importir), manfaat dari kajian ini adalah untuk memberikan informasi dan pemahaman tentang pentingnya mematuhi ketentuan dalam importasi prekursor. Selain itu, hasil penelitian ini juga dimaksudkan agar market forces / pengguna jasa kepabeanan dapat mengetahui, memahami, dan pelaksanaan ketentuan agar tidak melanggar UU Kementrian Perdagangan, tidak melanggar UU Kepabeanan, dan tidak melanggar ketentuan yang dikeluarkan oleh Presiden, Kementrian Lingkungan Hidup, Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab pertama ini, penulis akan menguraikan latar belakang dilakukannya penelitian, perumusan masalah yang diteliti, ruang lingkup penelitian, dan tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penulisan hasil penelitian.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab II terdiri dari dua sub-bab, yaitu „Tinjauan Pustaka‟ dan „Kerangka Teorotis‟. Pada Sub-bab „Tinjauan Pustaka‟ diuraikan konsep-konsep teoritis dan praktik dilapangan yang terkait dengan masalah prekursor. Sub-bab ini terdiri dari
beberapa sub-sub bab. Pada Sub-sub bab pertama dijelaskan teori tentang
prekursor, sub-sub bab selanjutnya menjelaskan tentang tata niaga perdagangan prekursor sebagaimana diatur oleh peraturan-peraturan yang dibuat oleh
pemerintah. Pada Sub-sub bab ketiga dibahas tentang perkembangan kasus terkait prekursor di Indonesia. Selanjutnya pada sub-sub bab terakhir diuraikan konsep pengawasan prekursor dilingkungan DJBC.
Pada Sub-bab kedua, „Kerangka Teoritis‟ dijelaskan tentang bagaimana mekanisme sistem pengawasan di Indonesia pada umumnya dan DJBC pada khususnya
BAB III METODE KAJIAN AKADEMIS
Bab III terdiri dari tiga sub, dimana masing-masing sub-bab membahas tentang jenis penelitian, jenis dan sumber data, dan teknik pengumpulan data. BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab IV terdiri dari dua sub-bab, yaitu sub-bab „Analisis Data‟ dan „Pembahasan‟. Dalam Sub-bab „Analisis Data‟ akan diuraikan tentang hasil pengumpulan data di berbagai kantor DJBC yang menjadi sampel dlam penelitian ini, yaitu Kantor Pusat DJBC, KPU Tanjung Priok, KPBC Madya Sukarno Hatta, KPU Batam dan Sub-bab „Pembahasan‟ berisi evaluasi atas pengawasan yang telah dilakukan oleh DJBC terkait importasi prekursor di Indonesia.
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pada bab terakhir ini akan disimpulkan hasil pembahasan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya. Selain itu, bab ini juga berisi keterbatasan penelitian dan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait.
A. Tinjauan Pustaka
Dalam Tinjauan Pustaka akan diuraian teori tetang prekursor, tata niaga
prekursor, perkembangan kasus prekursor di Indonesia, dan pengawasan prekursor oleh DJBC.
1. Teori Tentang Prekursor Pengertian Prekursor
Prekursor merupakan suatu zat pencetus terbentuknya suatu senyawa,
baik itu dari gabungan sekelompok senyawa-senyawa sederhana yang membentuk senyawa baru yang berbeda baik dari sifat fisika maupun kimianya.
prekursor adalah bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan obat yang
berada dalam pengawasan. Pada umumnya prekursor digunakan secara sah/resmi dalam proses industri dan sebagian besar diperdagangkan dalam perdagangan Internasional.
Istilah pekursor juga dipakai untuk bahan-bahan yang tidak perlu seperti narkoba, namun digunakan dalam berbagai cara untuk memproses atau membuat narkotika atau psikotropika. Berdasarkan sifat-sifat kimianya, prekursor secara kimia dapat bergabung dengan zat lain untuk dijadikan narkoba (dalam bentuk perantara), atau dapat bekerja sebagai zat asam (dalam pembentukan garam narkoba). Oleh karena itu, Semedi (2010, p.50) secara garis besar penggolongan prekursor dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: 1). kelompok pertama disebut prekursor narkotika, yaitu zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan narkotika, dan 2). kelompok
kedua disebut prekursor psikotropika, yaitu zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan psikotropika. Bahan kimia
prekursor yang merupakan zat khusus bagi narkoba, misalnya Benziyl Methyl Kaetone adalah prekursor untuk Amphetamine Sulfat.
Bagi produsen heroin dan kokain mereka tidak hanya perlu mendapatkan akses dari bahan mentah tanaman yang akan diproses menjadi narkoba, akan tetapi mereka juga memerlukan akses kebahan kimia di atas dalam jumlah yang besar agar supaya proses pembuatan heroin dan kokain dapat berjalan.
Dalam praktik, untuk menutupi sifat zat kimia yang asli, ada kemungkinan importir mengganti label dan atau dokumentasi dengan uaraian bahan kimia yang tidak diawasi seperti tiner cat, bahan kimia tidak berbahaya, pelarut pembersih, cairan farmasi, pemasok pertanian, cairan koreksi dan sebagainya. Pergantian label tersebut, maka diharapkan DJBC dapat memberi persetujuan atas impor barang tersebut.
Prekursor termasuk dalam kategori barang larangan atau pembatasan
(Lartas). Berdasarkan PMK No 161 Tahun 2007 tentang pengawasan terhadap impor atau ekspor barang larangan dan/atau pembatasan, yang dimaksud dengan barang larangan dan/atau pembatasan adalah barang yang dilarang dan/atau dibatasi pemasukan atau pengeluarannya ke dalam dan dari daerah pabean. Dilarang adalah suatu barang impor sama sekali tidak boleh dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia. Dibatasi artinya suatu barang impor diizinkan dimasukkan ke wilayah Indonesia dengan berbagai persyaratan, seperti persyaratan kuota maupun persyaratan importir. Konsep Larangan dan Pembatasan ini adalah salah satu kebijakan non tarif yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk melindungi Indonesia dari hal–hal yang
merusak yang datangnya dari luar serta melakukan pengamanan barang-barang yang seharusnya tetap berada di Indonesia.
Begitu berbahayanya prekursor, mengharuskan pemerinah melakukan pengawasan secara ketat. Pengawasan dan pemantauan prekusor tersebut selama ini dilakukan oleh Badan POM berdasarkan Keputusan Badan POM RI No. HK 00.05.35.02771 tertanggal 4 September 2002. Namun, mengingat belakangan ini penyalahgunaan prekursor dalam pembuatan narkotika dan psikotropika telah menjadi ancaman yang sangat serius yang telah menimbulkan gangguan bagi kesehatan, instabilitas ekonomi, gangguan keamanan, serta kejahatan internasional, pada 5 April 2010 Presiden DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 tahun 2010 tentang prekursor.
Pengaturan prekursor tersebut bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan prekursor, mencegah dan memberantas peredaran gelap prekursor, mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan prekursor, dan menjamin ketersediaan prekursor untuk industri farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu dan pengetahuan dan teknologi.
Dalam PP 44 tahun 2010 juga diatur tentang penggolongan dan jenis
prekursor, mekanisme penyusunan rencana kebutuhan tahunan secara nasional,
pengadaan, impor dan ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, pengawasan serta ketentuan sanksi. Menurut PP ini, prekursor hanya dapat digunakan untuk tujuan industri farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Jenis Prekursor
PP no. 44 tahun 2010 menyebut 23 zat sebagai prekursor. Zat-zat tersebut dikelompokkan kedalam 2 kelompok. Zat-zat yang terdapat dalam kelompok I akan diawasi lebih ketat dibandingkan zat yang terdapat dalam kelompok II. Adapun zat-zat yag masuk dalam kelompok-kelompok tersebut adalah sebagai berikut:
Kelompok 1 terdiri dari:
1. Anhidrida asetat,
2. Asam Fenil asetat
3. Asam Lisergat
4. Asam N asetil antranilat
5. Ephedrin 6. Ergometrin 7. Ergotamin . 8. Fenil 2-propanon . 9. Isosafrol 10. Kalium Permanganat,
11. 3,4-Metilon dioksi fenil-2 propanon
12. Norefedrin 13. Piperonal 14. Pseudoefedrin 15. Safrol Kelompok 2 1. Asam antranilat 2. Asam klorida 3. Asam sulfat 4. Aseton 5. Etil eter
6. Metil etil keton 7. Piperidin
Karakteristik prekursor
Prekursor merupakan pencetus terbentuknya suatu senyawa, baik itu dari
gabungan sekelompok senyawa-senyawa sederhana yang membentuk senyawa baru yang berbeda baik dari sifat fisika maupun kimianya.
1). Prekursor alkaloid
Alkaloid Senyawa yang mempunyai satu atau lebih atom N (biasanya
dalam cincin heterosiklik) dan umumnya mempunyai aktifitas fisiologis baik terhadap manusia ataupun hewan. Zat ini mempunyai sifat sebagai berikut:
Mengandung atom nitrogen yang umumnya berasal dari asam amino Umumnya berupa kristal dan sebagian lagi berbentuk amorf.
Alkaloid berbentuk cair: koniin, nikotin dan spartein
Dalam tumbuhan berada dalam bentuk bebas, dalam bentuk N-oksida atau dalam bentuk garamnya.
Umumnya mempunyai rasa yang pahit.
Alkaloid bentuk bebas tidak larut dalam air, tetapi larut dalam kloroform, eter
dan pelarut organik lain yang bersifat relatif non polar. Alkaloid dalam bentuk garamnya mudah larut dalam air.
Alkaloid bebas bersifat basa karena adanya pasangan elektron bebas pada atom N-nya.
Alkaloid dapat membentuk endapan dengan bentuk iodida dari Hg, Au dan logam berat lainnya (dasar untuk identifikasi alkaloid):
Prekursor alkaloid adalah asam amino seperti : fenilalanin, tirosis, triptofan, histidin, antranilat acid ,lisin dan ornitin. Asam amino (prekursor alkaloid) ini yang akan mengalami reaksi dekarboksilasi (senyawa amin) dan Transaminasi (aldehid). Senyawa amin dan aldehid kemudian bereaksi membentuk basa. Basa kemudian bereaksi dengan karbanion dalam kondensasi hingga terbentuklah alkaloid.
2). Prekursor tanin
Tanin merupakan metabolit sekunder tanaman yang bersifat astrigen dengan rasa khas yang sepat. kelas tanin secara umum terbagi atas tanin (
proanthocyanidins) hidrolisis dan tanin kondensasi. Dimana untuk tanin hidrolisis
diprekursor oleh asam dehydroshikimic sedangkan untuk tanin kondensasi disintesa dari prekursor flavonoid.
3). Prekursor flavanoid
Flavanoid disintesis dari proses metabolisme phenylpropanoid sebagai proses utama. Dimana terdapat asam amino phenylalanine yang digunakan untuk menghasilkan 4-Coumaryl-CoA. Nantinya 4-Coumaril-CoA yang akan dikombinasikan dengan malonyl-CoA hingga terbentuklah dasar rangka flavanoid, yang merupakan sekelompok senyawa yang dikenal dengan nama
chalcones, yang berisi dua cincin pheny. Konjugasi cincin tertutup dari chalcones-chalcones yang akan membentuk Flavanoid. Jadi prekursor utama
dari Flavanoid adalah asam amino phenylalanine yang membentuk 4-Coumaryl CoA, selain itu prekursornya adalah malonyl CoA yang akan bereaksi sesuai dengan tahapan yang telah dijelaskan di atas.
4). Prekursor steroid
Biosintesis steroid adalah suatu proses anabolisme metabolit dalam membentuk sterod dengan prekursor sederhana. Proses ini berbeda-beda baik antara hewan maupun organisme lainnya. Biosintesis ini dimulai dai proses mevalonate dalam manusia, dimana adanya Acetyl-CoA sebagai dasar pembentuk (prekursor), yang membentuk Dimethylallyl pyrophosphate (or -diphosphate) atau DMAPP dan Isopentenyl pyrophosphate (IPP). Dalam beberapa langkah selanjutnya, DMAPP dan IPP yang akan membentuk
lanosterol, yaitu steroid pertama. Yang nantinya akan termodifikasi berdasarkan proses steroidogenesis selanjutnya.
5). Prekursor glikosida
Glikosida merupakan kelompok besar senyawa yang memiliki molekul gula dan non gula apabila terhidrolisis. Adapun biosintesis untuk golongan glikosida secara umum belum dapat dipastikan. Namun terdapat glikosida yang merupakan diterpenoid yang mengalami empat langkah sintesa yang kesemuanya secara umum dari pembentukan asam giberrelic atau asam giberelin sebagai prekursor. Dimana langkah awalnya berupa proses sintesis
aglycone hingga terjadi sejumlah proses glucosyltransferase hingga terbentuklah
glikosida.
6). Prekursor vitamin
Vitamin merupakan senyawa anorganik penting yang dalam kadar kecil sangat dibutuhkan dalam membantu proses metabolisme dalam tubuh. prekursor dari tiap vitamin berbeda-beda. Dilihat dari pembagian vitamin baik yang larut air maupun yang larut lemak terbagi lagi atas beberapa bagian masing-masing. Adapun mengenai prekursor utama dari vitamin itu sendiri adalah beberapa senyawa-senyawa yang tergolong karotenoid. Seperti pada vitamin A dengan
prekursor utama berupa beta-karotenoida.
Klasifikasi Barang
Untuk keperluan kepabeanan, bahan-hanan prekursor diklasifikasikan sesuai pengklasifikasian barang sebagaimana diatur oleh World Custom
Organization (WCO). Untuk ini setiap barang diberi nomor HS (Harmonized System) sebagai mana dapat dilihat dalm Tabel 2.1 dan Tabel 2.2.
Tabel 2.1
Bahan Prekursor Kelompok 1 dan Nomor Pos Tariff Dalam BTBMI
No. Jenis prekursor Nomor pos tariff dalam BTBMI
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Anhidrida asetat Asam Fenil asetat Asam Lisergat
Asam N asetil antranilat Ephedrin Ergometrin Ergotamin 1-fenil 2-propanon Isosafrol Kalium Permanganat
3,4-Metilon dioksi fenil-2 propanon Norefedrin Piperonal Pseudoefedrin Safrol 2915.24.000 2916.34.000 2939.63.000 2924.22.000 2939.41.000 2939.61.000 2939.62.000 2914.31.000 2932.91.000 2841.61.000 2932.92.000 2939.49.000 2939.93.000 2939.42.000 2939.94.000 Tabel 2.2
Bahan Prekursor Kelompok 2 dan Nomor Pos Tariff Dalam BTBMI No. Jenis prekursor Nomor pos tariff dalam BTBMI
1 2 3 4 5 6 7 8 Asam antranilat Asam klorida Asam sulfat Aseton Etil eter Metil etil keton Piperidin Toluene 2922.43.000 2806.10.000 2807.00.000 2914.11.000 2909.11.000 2914.12.000 2933.32.000 2902.30.000
2. Tata Niaga Prekursor
Tata niaga prekursor di Indonesia di atur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2010, Tentang prekursor. Adapun tata niaga terhadap barang tersebut adalah sebagai berikut:
1) Pengadaan
Pengadaan prekursor dapat dilakukan baik melalui produksi dalam negeri maupun impor. prekursor hanya dapat digunakan untuk tujuan industri farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu untuk jenis prekursor yang dapat disalahgunakan dalam pengadaan dan penggunaannya diatur oleh Menteri Kesehatan dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.
Produksi
Prekursor hanya dapat diproduksi oleh industri yang telah memiliki izin
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Produksi prekursor untuk industri farmasi harus dilakukan dengan cara produksi yang baik. prekursor untuk industri farmasi harus memenuhi standar Farmakope Indonesia dan standar lainnya. prekursor untuk industri non farmasi harus memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap prekursor wajib diberi label pada setiap wadah atau kemasan. Label pada wadah atau kemasan prekursor tersebut dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, ditempelkan atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya.
Impor dan Ekspor
Impor dan ekspor prekursor hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang memiliki izin usaha importir atau eksportir. Impor dan ekspor prekursor tersebut harus dilengkapi dengan dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap melakukan kegiatan impor dan ekspor
Impor atau Surat Persetujuan Ekspor. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor atau Surat Persetujuan Ekspor prekursor untuk industri farmasi diatur oleh Menteri Kesehatan, untuk industri non farmasi diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan, dan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggunakan prekursor di bidang farmasi diatur oleh menteri, atau yang menggunakan prekursor di bidang non farmasi diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
2) Penyimpanan
Prekursor wajib disimpan pada tempat penyimpanan yang aman dan
terpisah dari penyimpanan barang lainnya. prekursor yang disimpan tersebut harus dibuktikan diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ketentuan mengenai tata cara penyimpanan diatur oleh Menteri Kesehatan dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya. 3) Pengangkutan
Setiap pengangkutan prekursor harus disertai dan dilengkapi dengan dokumen pengangkutan prekursor yang sah. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan prekursor diatur oleh Menteri Kesehatan dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.
4) Transito
Transito prekursor harus dilengkapi dengan dokumen persetujuan impor atau persetujuan ekspor yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap perubahan negara tujuan ekspor prekursor harus mendapat persetujuan dari:
a) pemerintah negara pengekspor prekursor;
b) pemerintah negara pengimpor atau tujuan semula ekspor prekursor; dan c) pemerintah negara tujuan perubahan ekspor prekursor.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh persetujuan diatur oleh Menteri Kesehatan dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya. Pengemasan dan pengemasan kembali prekursor pada transito hanya dapat dilakukan pada prekursor yang kemasannya mengalami kerusakan. Pengemasan dan pengemasan kembali tersebut harus dilakukan di bawah pengawasan dan tanggung jawab pejabat yang berwenang. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengemasan dan pengemasan kembali prekursor diatur oleh Menteri Kesehatan dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya. 5) Peredaran
Prekursor untuk industri non farmasi yang diproduksi dalam negeri hanya
dapat disalurkan kepada industri non farmasi, distributor, dan pengguna akhir.
prekursor untuk industri non farmasi yang diimpor hanya dapat disalurkan
kepada industri non farmasi, dan pengguna akhir. prekursor untuk industri farmasi hanya dapat disalurkan kepada industri farmasi dan distributor.
Pedagang Besar Bahan Baku Farmasi, distributor atau importir terdaftar dapat menyalurkan prekursor kepada lembaga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap kegiatan penyaluran prekursor harus dilengkapi dengan dokumen penyaluran. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyaluran prekursor tersebut diatur oleh Menteri Kesehatan dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.
6) Penyerahan
Penyerahan prekusor dalam rangka peredaran harus dilakukan pencatatan. Ketentuan lebih lanjut mengenai penyerahan tersebut oleh Menteri Kesehatan dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.
7) Pencatatan dan pelaporan
Setiap orang atau badan yang mengelola prekursor wajib membuat pencatatan dan pelaporan. Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a) jumlah prekursor yang masih ada dalam persediaan; b) jumlah dan banyaknya prekursor yang diserahkan; dan c) keperluan atau kegunaan prekursor oleh pemesan.
Pencatatan wajib dilaporkan secara berkala. Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan dan pelaporan diatur secara terkoordinasi oleh Menteri Kesehatan dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.
8) Pengawasan
Pengawasan terhadap penggunaan prekursor dilakukan secara terpadu dengan pembinaan dan pengendalian. Menteri Kesehatan, menteri terkait, dan lembaga lain yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan prekursor secara terkoordinasi melakukan pengawasan sesuai dengan kewenangannya. Pengawasan tersebut diarahkan pada hal-hal berikut, yaitu:
a) terpenuhinya prekursor untuk kepentingan industri farmasi dan non farmasi;
b) terpenuhinya prekursor untuk kepentingan pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan
e) perlindungan kepada masyarakat dari bahaya penyalahgunaan prekursor; dan
f) pemberantasan peredaran gelap prekursor.
Pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Dalam melakukan pengawasan, petugas pengawas berwenang:
a) melakukan pemeriksaan setempat dan/atau mengambil contoh prekursor pada sarana
b) produksi, penyaluran, penyimpanan dan peredaran;
c) memeriksa surat/dokumen yang berkaitan dengan prekursor; dan
d) melakukan pengamanan terhadap prekursor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Petugas pengawas dalam melaksanakan setiap kegiatan pengawasan harus dilengkapi dengan surat tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur oleh Menteri Kesehatan dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.
Prekursor yang berasal dari produk tumbuh-tumbuhan atau hewan dapat
ditetapkan oleh Menteri sebagai bahan yang berada di bawah pengawasan. Penetapkan prekursor yang berasal dari produk tumbuh-tumbuhan atau hewan , Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait.
Dalam rangka pengawasan, Menteri Kesehatan dan menteri terkait dapat mengambil tindakan administratif yang berupa berupa:
a) teguran lisan; b) teguran tertulis;
c) penghentian sementara kegiatan; atau d) pencabutan izin.
Pemantauan dan Pengawasan prekursor dilakukan terhadap semua jenis
prekursor melalui :
a) Pemberian Surat Persetujuan Impor setiap kali mengimpor; b) Pemberian Surat Persetujuan Ekspor setiap kali mengekspor;
c) Pemberitahuan ekspor dari pemerintah negara pengekspor (pre ekspor notifikasi)
d) Kewajiban menyampaikan catatan dan laporan bagi sarana pengelola prekursor;
Impor prekursor hanya dapat dilakukan oleh importer yaitu industri farmasi atau kimia, pedagang besar bahan baku farmasi dan importer kimia yang telah mendapat ijin untuk mengimpor sesuai ketentuan yang berlaku.
Penggunaan Prekursor
Penggunaan prekursor di Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut: Non farmasi : Pembuatan cat Sol sepatu Tinta cetak Billboard Ilmu pengetahuan Farmasi : Pembuatan obat Ilmu pengetahuan
Penggunaan untuk di luar hal-hal di atas dianggap illegal dan merupakan tindakan pidana.
Importir Prekursor
Importir Produsen prekursor Farmasi (IP-prekursor Farmasi) : Perusahaan pemilik industri farmasi yang menggunakan prekursor sebagai bahan baku / bahan penolong proses produksi yang mendapat penunjukan untuk mengimpor sendiri prekursor
Importir Terdaftar prekursor Farmasi (IT-prekursor Farmasi) : Pedagang Besar Bahan Baku Farmasi yang mendapat penunjukan untuk mengimpor prekursor guna didistribusikan kepada industri farmasi sebagai pengguna akhir prekursor.
Persyaratan IP prekursor
Mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Binfar & Alkes dengan melampirkan dokumen :
a. Foto copy Ijazah Apoteker Penanggung Jawab b. Fotocopy SIK/SP Apoteker Penanggung Jawab c. Foto copy Izin usaha industri Farmasi
d. Foto copy Angka Pengenal Importir Produsen (APIP) e Foto copy Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
f. Foto copy Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP) g. Rencana produksi selama 1 (satu) tahun
h. Surat pernyataan dari Penanggung jawab produksi yang menyatakan kebutuhan prekursor selama 1 (satu) tahun
Pengajuan IP dilakukan secara elektronik melalui website www.e-pharm.depkes.go.id (sejak tanggal 17 Desember 2009)
Dirjen Binfar dan Alkes menerbitkan persetujuan dan atau penolakan sebagai IP prekursor paling lambat dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja terhitung berkas permohonan diterima lengkap
Penunjukan sebagai IP-prekursor berlaku 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang kembali. Bila tidak diperpanjang dinyatakan tidak berlaku.
Dikenakan biaya berdasarkan PP No. 13 Tahun 2009 (per 26 Mei 2009)
Prosedur Ekspor dan Impor Prekursur
Prosedur impor dan ekspor prekursor di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini.
Gambar 2.1
Prosedur Impor dan Ekspor precursor
Ekspor Prekursor Non Farmasi
Prekursor selain bermanfaat untuk bidang industri farmasi dan non
farmasi, juga dapat disalahgunakan sebagai bahan baku pembuatan narkotika secara ilegal. Dalam rangka keikutsertaan Indonesia memberantas peredaran narkotika internasional secara gelap maka Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 05/M-DAG/PER/1/2007 tentang Ketentuan Ekspor
farmasi. Adapun pokok-pokok pengaturan untuk ekspor prekursor adalah sebagai berikut:
1. prekursor hanya dapat diekspor oleh Eksportir Terdaftar (ET) prekursor 2. Untuk mendapat ET prekursor, perusahaan harus melampirkan
rekomendasi dari IAK
3. ET prekursor berlaku 3 tahun
4. Setiap pelaksanaan ekspor, ET prekursor wajib mendapat persetujuan ekspor setelah mendapat rekomendasi dari BNN dan Bareskrim
5. Persetujuan Ekspor berlaku 6 bulan
6. Untuk dapat merealisasi persetujuan ekspor, ET prekursor wajib memberitahukan setiap pengapalan kepada BNN
7. Setiap pelaksanaan ekspor prekursor wajib terlebih dahulu diverifikasi sebelum muat barang.
Kewajiban Pelaporan
1. ET prekursor wajib menyampaikan laporan realisasi ekspor kepada Dekintam dengan tembusan BNN, Bareskrim, IAK, dan BPOM setiap 3 bulan
2. Surveyor wajib menyampaikan:
- Laporan tertulis segala kegiatan verifikasi yang dilaksanakan setiap bulan
- Original copy LS yang telah diterbitkan
Impor Prekursor Non Farmasi
Impor prekursor non farmasi diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tentang Ketentuan Ekspor prekursor No. 647/MPP/Kep/10/2004 tentang Ketentuan Impor prekursor. Pokok-pokok pengaturan Impor prekursor adalah sebagai berikut:
1. prekursor hanya dapat diimpor oleh IP dan IT prekursor
3. Impor prekursor untuk kebutuhan industri nonfarmasi ditetapkan oleh Mendag
4. Untuk mendapat IP prekursor, perusahaan harus melampirkan rekomendasi dari IAK
5. Untuk mendapat IT prekursor, perusahaan harus melampirkan rekomendasi dari Bareskrim & BNN dan rencana pendistribusian ke pengguna akhir
6. Setiap impor prekursor oleh IT prekursor, wajib mendapat persetujuan impor setelah mendapat rekomendasi dari BNN dan Bareskrim
7. Setiap pelaksanaan impor prekursor oleh IP dan IT prekursor wajib terlebih dahulu diverifikasi di negara muat barang
Kewajiban Pelaporan
IP prekursor wajib menyampaikan laporan realisasi setiap bulan kepada Direktur Impor dengan tembusan IAK, BNN, dan Bareskrim POLRI. Selain itu, IT
prekursor wajib menyampaikan laporan realisasi setiap bulan kepada Direktur
Impor dengan tembusan IAK, BNN, BPOM, dan Bareskrim POLRI
Sanksi
Terhadap IP atau IT prekursor yang melanggar ketentuan dalam Kepmenperindag No. 647/MPP/Kep/10/2004 maka dikenakan sanksi pencabutan.
prekursor yang diimpor tidak sesuai dengan ketentuan, maka harus dimusnahkan
atau di reekspor.
Importasi Prekursor Farmasi
Setiap melakukan kegiatan impor dan ekspor prekursor harus memperoleh Surat Persetujuan Impor atau Surat Persetujuan Ekspor. Surat Persetujuan Impor dan Ekspor prekursor Farmasi dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan.
3. Perkembangan Kasus
Narkotika, Psikotropika dan prekursor (NPP) masih menjadi momok di Indonesia. Walaupun telah dilakukan pengawasan secara ketat, namun setiap tahun penggunaannya secara illegal oleh masyarakat semakin meningkat. Hasil penelitian Badan Narkoba Nasional (BNN) dan Universitas Indonesia menunjukkan bahwa pengguna narkoba di Indonesia berjumlah 3,2 juta jiwa atau sekitar 1,5% dari jumlah penduduk Indonesia (Warta Bea Cukai, Juli 2011).
Dalam beberapa tahun berbagai aparat terkait (termasuk DJBC) telah melakukan pengawasan terkait prekursor dan barang-barang turunannya secara lebih intensif, namun kenyataannya penyalahgunaan barang-barang tersebut berdasarkan penelitian di atas semakin meningkat. Berikut adalah daftar kasus narkoba Psikotropika dan prekursor dari tahun 2003-2009.
Tabel 2.3.
Jumlah Kasus Narkoba BerdasarkanvJenis Kasus Tahun 2003-2009
No TAHUN JENIS KASUS JUMLAH
KULTIVASI PRODUKSI DISTRIBUSI KONSUMSI
1 2003 23 8 3.628 3.481 7.140 2 2004 8 12 4.172 4.162 8.409 3 2005 55 12 7.616 8.569 16.252 4 2006 89 12 8.122 9.132 17.355 5 2007 85 17 11.677 10.851 22.630 6 2008 68 48 17.833 11.415 29.364 7 2009 72 77 20.449 10.280 30.878 JUMLAH 455 186 73.497 57.890 132.028
Sumber: Direktorat IV/TP Narkoba &KT Bareskrim POLRI sebagai mana dikutif oleh Warta Bea Cukai, Juli 2011.
Dari kasus-kasus di atas, kasus yang paling menghawatirkan adalah dimana saat ini Indonesia dijadikan tempat produksi barang-barang haram tersebut. Terungkapnya kasus Clandestin Laboratory di Batam pada tahun 2005 dan
pabrik ekstaksi di Tangerang pada tahun 2006 merupakan bukti nyata bahwa Indonesia saat ini bukan saja sebagai wilayah perdagangan akan tetapi juga sudah menjadi tempat produksi NPP tersebut.
Selain itu sejak tahun 1998 hingga 2010, Kepolisian telah banyak mengungkap adanya Laboratorium Gelap yang meproduksi narkoba dan/atau psikotropika diberbagai tempat di Indonesia sebagai mana nampak dalam tabel 2.2. Dari kasus-kasus tersebut jelaslah bahwa penggunaan prekursor sebagai bahan pembuat narkotika dan psikotropika dari tahun semakin meningkat. Oleh karenanya, sebagai salah satu instansi yang bertugas melakukan pengamanan dan pengawasan keluar masuknya prekursor dan barang-barang turunannya, DJBC tentunya diharapkan dapat bekerja seefektif mungkin agar importasi illegal atas barang tersebut tidak terjadi.
4. Pengawasan Importasi prekursor
Di DJBC, pada dasarnya sistem pengawasan importasi prekursor tidak jauh berbeda dengan sistem importasi barang-barang impor lain pada umumnya. Pengawasan importasi barang impor tersebut dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu pre-clearance, clearance dan post clearance. Bagian ini akan menguraiakan sistem pengawasan importasi barang di ketiga tahapan tersebut. Namun sebelum membahas masalah pengawasan prekursor oleh DJBC, terlebih dahulu akan diuraikan tentang tugas dan fungsi DJBC.
Sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan, DJBC diberi amanat untuk melaksanakan tugas dan fungsi sebagai fasilitator perdagangan (trade facilitator), Pengawasan (customs control), dan pengumpul penerimaan negara (revenue
collecting). Secara garis besar, ketiga fungsi tersebut dapat dibagi ke dalam 2
dituntut untuk melaksanakan kedua fungsi sekaligus tanpa mengurangi dan mengorbankan fungsi satu dan fungsi lainnya.
Model pengawasan dan pelayanan telah diterapkan dengan berbagai kombinasi. Berbagai kombinasi tersebut membawa perubahan paradigma dari waktu ke waktu. Namun demikian DJBC harus membuat keseimbangan antara fungsi pelayanan dan pengawasan, sehingga disamping memenuhi fungsi sebagai „trade facilitator‟ dan „industrial assisstence‟ DJBC juga tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai „community protector‟.
Tabel 2.4
Pengungkapan Laboratorium Gelap Tahun 1998-2010
1998 2 laboratorium gelap. Jakarta dan Jawa Barat
(1 di Jawa Barat: dengan kapabilitas memproduksi 1,8 juta tablet/ bulan)
1999 4 laboratorium lagi dibongkar di Jakarta
2000 1 laboratorium Jakarta
2001 1 laboratorium MDMA lagi dibongkar di Bali
2002 2 Lab gelap Kepri dan Tng (milik Ang Kim Soei, yang terungkap dlm sidik: puan prod
lebih dari 1 juta tablet/hari. (yg terbesar di dunia menurut pakar DEA)
2003 Laboratorium rumahan: yang dibongkar di Jakarta.
2004 2 Laboratorium dengan kemampuan produksi 10.000 tablet/hari di Jakarta dan Kalbar
2005 3 Laboratorium dengan kemampuan produksi 250.000 tablet/hari di Bogor, Cikande
dan Jatim, dan 7 lab di kalsel, Jakarta dan sumut
2006n 16 Laboratorium rumahan yg dibongkar di Jakarta, Surabaya, Malag, Bandar lampung,
dan Pangkal Pinang kemampuan produksi 6.000 tablet/hari
2007 14 Lab rumahan yg dibongkar di Jakarta, Surabaya, Riau, Medan, Banjarmasin dan
Pangkal Pinang puan prod 6.000 tablet/hari dan 1 lab gelap di Batam puan prod 50 kg shabu per minggu
2008 14 Lab rumahan yg dibongkar di Jakarta, Surabaya, Makassar dan Medan
2009 25 Lab rumahan yg dibongkar di Jakarta, Bogor, Jepara , Tulung Agung, Pontianak,
Lampung, Samarinda, Bandung dan Medan
2010 25 Lab rumahan yg dibongkar di Jakarta, Tangerang, Batam, Surabaya dan Medan
Fungsi Pelayanan
DJBC dalam perkembangan sejarah telah melakukan perubahan-perubahan maupun penyempurnaan-penyempurnaan kebijakan dalam rangka melaksanakan fungsi pelayanan. Dari sejak Ordonansi Bea sampai dengan saat ini telah banyak langkah kebijakan yang diambil pemerintah dalam rangka terus meningkatkan kelancaran arus barang dan dokumen. Langkah kebijakan tersebut tidak hanya bersifat penyempurnaan prosedur dan teknis pelayanan tetapi juga menyangkut peningkatan kemampuan dan profesionalisme pegawai.
Perkembangan langkah dan kebijakan dalam rangka peningkatan pelayanan tersebut antara lain sebagai berikut (Sofyan, 2010):
- Fasilitas Jalur Prioritas untuk Importir dengan reputasi sangat baik dan memenuhi kriteria;
- Fasilitas MITA (Mitra Utama); - Sistem baru penetapan jalur;
- Penyempurnaan Sistem Pembayaran secara online (Online Payment
System)
- Perbaikan sistem pengeluaran barang impor dan ekspor; - Perbaikan teknik pemeriksaan barang;
- Modernisasi sistem otomasi DJBC (Aplikasi Impor, Aplikasi Ekspor, EDI-Manifest).
Sistem pelayanan yang memiliki sifat mengedepankan unsur kecepatan dan kemudahan dokumen dan barang dirancang dalam rangka mewujudkan misi DJBC yang menyatakan “Pelayanan terbaik kepada industri, perdagangan dan masyarakat”. Namun demikian, peningkatan pelayanan arus barang dan dokumen melalui berbagai fasilitas kemudahan dan penyederhanaan tersebut diatas justru dapat mengakibatkan sesuatu yang merugikan baik negara maupun
masyarakat apabila tidak dibarengi dan diimbangi dengan system dan kebijakan disisi lainnya, yaitu fungsi pengawasan.
Fungsi Pengawasan
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa fungsi pengawasan wajib dilakukan oleh DJBC. Hal ini bukan sekedar memenuhi amanat yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan tetapi juga sebagai konsekuensi logis dari sistem pelayanan yang diberikan negara kepada pengguna jasa. Fungsi pengawasan menjadi penting karena bertujuan untuk melindungi masyarakat serta pengamanan penerimaan keuangan negara yang dibebankan kepada DJBC.
Demikian halnya kebijakan dalam mengemban fungsi pelayanan, kebijakan dari sisi pengawasan yang dilakukan oleh DJBC juga mengalami perkembangan kearah penyempurnaan dan peningkatan, baik secara sistem maupun teknik. Sistem pengawasan yang dilakukan DJBC di Indonesia maupun oleh institusi Kepabeanan di negara-negara di dunia secara umum dapat dibagi dalam 4 (empat) tahapan (Raharjo, 2009):
(1) Tahap sebelum clearance (Pre-clearance stage), yaitu Sistem RKSP / EDI Manifest dan Registrasi Importir;
(2) Tahap pada saat clearance barang (Clearance Stage), yaitu sistem penjaluran barang dan Hi-Co Scan;
(3) Tahap pasca clearance barang (Post Clearance Audit Stage), yaitu Audit di Bidang Kepabeanan dan Cukai; dan
(4) Tahap penyelidikan dan Penyidikan (Investigation Stage).
Lebih lanjut (Sofyan, 2010) menyatakan bahwa perkembangan langkah dan kebijakan dalam rangka peningkatan system pengawasan yang telah dan sedang dilakukan oleh DJBC antara lain sebagai berikut :
- Pengembangan Customs Intelligent system melalui Penyusunan profil, data pelanggaran dan analisis intelijen;
- Tertib Administrasi Importir melalui Registrasi Importir;
- Kampanye anti-penyelundupan melalui program pemberantasan penyelundupan (eksternal) dan peningkatan integritas pegawai (internal); - Optimasilisasi penggunaan Hi-Co Scan X-Ray System;
- Penyediaan tempat dan sarana pemeriksaan barang;
- Peningkatan fungsi unit intelijen dalam pengawasan termasuk pengembangan anjing pelacak.
a. Pengawasan pada tahap pre-clearance
Pada tahap pre-cclearance pengawasan dilakukan sebagai berikut: 1) Registrasi Import
Bagi perusahaan atau orang yang akan melakukan importasi, maka wajib bagi mereka melakukan registrasi impor terlebih dahulu. Selanjutnya Unit IKC (Informasi Kepabeanan dan Cukai) akan melakukan validasi atas permintaan registrasi impor tersebut. Bahkan untuk menghindari importir fiktif, Unit IKC dapat melakukan pemeriksaan ke kantor calon importir tersebut.
2) Sistem Pertukaran Data Elektronik di bidang Kepabeanan
Importir wajib memenuhi ketentuan larangan dan/atau pembatasan impor yang ditetapkan oleh instansi teknis. Penelitian pemenuhan ketentuan larangan dan/atau pembatasan tersebut dilakukan oleh:
Portal Indonesia National Single Window (INSW); atau
Pejabat yang menangani penelitian barang larangan dan/atau pembatasan.
Importir harus mengisi PIB secara lengkap dengan menggunakan program aplikasi Pemberitahuan Impor Barang (PIB), dengan mendasarkan pada data dan informasi dari dokumen pelengkap pabean. Selanjutnya, Importir