• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN SUMBER INFORMAS

II METODE PENELITIAN

2.5 Analisis data

3.1.7 Efisiensi Ekonom

Nilai efisiensi ekonomi produksi kepiting bakau cangkang lunak dengan metode pemotongan capit dan kaki jalan, popey, dan alami selama pemeliharaan 35 hari dihitung dalam jangka waktu satu tahun. Perbedaan nilai efisiensi bukan terletak dari harga jual kepiting tersebut, akan tetapi terletak pada jenis dan sarana pendukung kegiatan produksi yang dilakukan pada ketiga metode tersebut sehingga menghasilkan harga yang berbeda. Selain itu, penghitungan analisis usaha ini dilakukan dengan dua skenario. Skenario satu merupakan analisis ekonomi yang dihitung jika dilakukan sistem sewa pada lahan, kolam tambak, dan rumah jaga selama satu tahun. Skenario dua merupakan analisis ekonomi yang dihitung jika dilakukan pembelian tanah/lahan, pembuatan sendiri kolam dan rumah jaga berdasarkan harga-harga yang berlaku sekarang. Analisis usaha pada setiap perlakuan tertera pada Tabel 3 dengan asumsi yang digunakan dalam analisis usaha adalah sebagai berikut:

1) Harga faktor produksi dianggap tetap selama siklus produksi.

2) Masa budidaya kepiting bakau cangkang lunak perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan selama 15 hari persiapan awal dan 15-17 hari pemeliharaan pada siklus pertama, kemudian siklus kedua dan seterusnya yaitu 15-17 hari masa pemeliharaan. Untuk perlakuan alami dan popey masa budidaya selama 1,5 bulan dengan 15 hari persiapan awal dan 35 hari pemeliharaaan pada siklus pertama, kemudian siklus kedua dan seterusnya yaitu 35 hari

3) Selama 1 tahun dilakukan 17 siklus untuk perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan, 9 siklus untuk perlakuan popey dan alami (penjadwalan di Lampiran 7)

4) Break Even Point (BEPu) menggunakan asumsi berdasarkan perlakuan padat tebar 15 individu/m2 yaitu 6984 ekor dengan jumlah karamba/keranjang bambu sebanyak 97 unit dan keranjang plastik sebanyak 13.968 buah. (Perhitungan di Lampiran 8)

5) Jumlah benih yang ditebar sebanyak 6984 ekor untuk masing-masing perlakuan (pemotongan capit dan kaki jalan, popey, dan alami), sesuai dengan perhitungan BEPu (Lampiran 8).

33

6) Wadah pemeliharaan berupa karamba bambu dengan ukuran 150 cm x 120 cm dan karamba plastik dengan ukuran 26 cm x 9.

7) Biomassa panen pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan, popey, dan alami secara berturut-turut adalah 1090 kg, 1511 kg, dan 1637 kg.

8) Kelangsungan hidup kepiting dengan perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan, popey, dan alami secara berturut-turut 92,95%, 88,89%, dan 92,95%. 9) Jumlah tenaga kerja pada kegiatan produksi kepiting bakau cangkang lunak

ini sebanyak 2 orang. Satu orang manajer dan satu orang teknisi. Gaji tenaga kerja tersebut masing adalah Rp 4.500.000,00 dan Rp 1.250,000,00/bulan 10) Tambak yang digunakan disewa dengan tarif Rp 4.000.000,00/tahun.

11) Bobot rata-rata benih kepiting yang ditebar untuk masing-masing metode, pemotongan capit dan kaki jalan, popey, dan alami sebesar 105,93 g, 111,89 g, dan 113,73 g. Harga benih adalah Rp 19.000,00/kg

12) Asumsi skenario dua, harga tanah setiap satu meter persegi sebesar Rp 50.000,-, biaya pembuatan kolam dengan luas 5000 m2 sebesar Rp 10.000.000,- dan biaya pembuatan rumah jaga tambak berukuran 8 m x 5

m sebesar Rp 25.000.000,-

13) Harga jual kepiting bakau cangkang lunak yaitu Rp. 70.000,-/kg

Tabel 3 menunjukkan komponen analisis usaha budidaya kepiting bakau cangkang lunak menggunakan metode pemotongan capit dan kaki jalan, popey, dan alami yang meliputi : biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel, penerimaan, keuntungan, R/C rasio, payback period (PP), Harga Pokok Produksi (HPP), dan break even point (BEP).

Analisis usaha pada Tabel 3 menunjukkan gambaran efisiensi produksi kepiting bakau cangkang lunak dengan perhitungan menggunakan dua skenario. Berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan bahwa keuntungan terbesar skenario satu dan dua terdapat pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan, yaitu Rp 953.866.469,- dan Rp 951.483.136,- pada perlakuan popey sebesar Rp 715.111.865,- dan Rp 762.690.815,- per tahun, sedangkan pada perlakuan

alami yaitu sebesar Rp 792.038.018,- dan Rp 839.616.968,- per tahun. Nilai R/C tertinggi skenario satu dan dua terdapat pada perlakuan alami yaitu 4,31 dan 5,37 yang berarti setiap pengeluaran biaya sebesar Rp 1,00 diperoleh pendapatan

34

sebesar Rp 3,31 dan 4,37. Nilai R/C pada perlakuan popey dan pemotongan capit dan kaki jalan untuk skenario satu dan dua berturut-turut sebesar 4,01 ; 5,02 dan 377 ; 3,75. Hal ini berarti setiap pengeluaran biaya sebesar Rp 1,00 diperoleh pendapatan sebesar Rp 3,01; 4,02 dan 2,77 ; 2,75 .

Tabel 3. Analisis usaha budidaya kepiting bakau cangkang lunak menggunakan metode pemotongan capit dan kaki jalan, popey, dan alami

Komponen Rp (x 1000)

Perlakuan Pemotongan capit

dan kaki jalan Popey Alami

Skenario 1 Skenario 2 Skenario 1 Skenario 2 Skenario 1 Skenario 2 Investasi 38804 568804 62072 593072 62072 593072 Biaya tetap 89292 91675 90904 43325 90904 43325 Biaya variabel 254736 254736 146478 146478 148675 148675 Biaya total 344028 346411 237382 189803 239580 192001 Penerimaan 1297894 1297894 952494 952494 1031618 1031618 Keuntungan 953866 951483 715111 762690 792038 839616 R/C ratio 3,77 3,75 4,01 5,02 4,31 5,37 BEP 111097 114062 107424806 51199 106211 50621

BEP Unit (ekor) 1276 1310 1299 619 1299 619

PP (tahun) 0,04 0,60 0,09 0,78 0,08 0,71

HPP 26285,76 26467,86 19626,25 15692,53 18288,69 14656,68

- Rincian analisis biaya dicantumkan pada Lampiran 9 - Skenario 1 : Lahan, petak tambak, dan rumah jaga disewa

- Skenario 2 : Lahan, petak tambak dibeli dan rumah jaga dibuat sendiri

Dari nilai BEP pada Tabel 3 dinyatakan, bahwa titik impas pada perlakuan

alami skenario 1 dan 2 akan tercapai pada saat penerimaan sebesar Rp 106.211.729,- dan Rp 50.621.125,- dengan nilai produkasi 1.299 ekor dan 619

ekor. Pada perlakuan popey sebesar Rp 107.424.805,- dan Rp 51.199.284 dan BEPu sebanyak 1.299 ekor dan 619 ekor,- artinya titik impas dicapai pada saat penerimaan Rp 107.424.805,- dan Rp 51.199.284 dengan nilai produksi 1.299 ekor dan 619 ekor sedangkan pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan,

titik impas dicapai pada saat penerimaan sebesar Rp 111.097.052,- dan Rp 114.062.388,- dan produksi sebanyak 1.276 ekor dan 1.310 ekor.

Berdasarkan Tabel 3 diketahui nilai HPP pada perlakuan alami skenario 1 dan 2 sebesar Rp 18.288,- dan Rp 14.656,- yang artinya agar usaha tidak rugi maka harus menjual kepiting bakau cangkang lunak dengan harga lebih dari pada

35

Rp 18.288,- dan Rp 14.656,-. Pada perlakuan popey sebesar Rp 15.692,- dan Rp 19.626 dan pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan sebesar Rp 26.285,- dan Rp 26.467,- yang artinya agar usaha tidak rugi maka harus

menjual kepiting bakau cangkang lunak dengan harga lebih dari pada nilai HPP pada perlakuan popey dan pemotongan capit dan kaki jalan.

Nilai PP pada perlakuan alami skenario 1 dan 2 secara berturut-urut yaitu 0,08 tahun (1 bulan) dan 0,71 tahun (8 bulan); nilai PP perlakuan popey yaitu 0,09 tahun (1 bulan) dan 0,78 (9 bulan), sedangkan perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan bernilai PP terendah yaitu 0,04 tahun (0,48 bulan atau 15 hari) dan 0,60 (7 bulan). Berdasarkan nilai PP tersebut dapat diketahui bahwa pengembalian modal tercepat terdapat pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan.

3.2 Pembahasan

Dalam kegiatan budidaya kepiting, terutama kegiatan pembudidayaan kepiting cangkang lunak, jumlah dan biomassa kepiting saat panen sangat penting. Biomassa kepiting cangkang lunak saat panen penting dipertahankan. Oleh karena itu dibutuhkan cara yang dapat membuat kepiting mengalami pertumbuhan bobot yang signifikan selama proses budidaya berlangsung. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan bobot dan mempercepat molting antara lain dengan memberikan ekstrak daun bayam, pemotongan tangkai mata (ablasi), serta pemotongan kaki jalan dan capit. Ketiga metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam memberikan tingkat pertumbuhan pada kepiting cangkang lunak.

Dalam kegiatan penelitian ini dilakukan proses pemotongan capit dan kaki jalan sebagai perlakuan karena dapat meningkatkan laju pertumbuhan bobot dan laju pertumbuhan panjang. Hal ini sesuai dengan pendapat Syaripuddin et al. (2004) dalam Husni et al. (2006) yang menyatakan bahwa secara biologis pematahan capit dan kaki jalan dapat merangsang organ tubuh kepiting untuk tumbuh kembali. Setelah capit dan kaki jalan kepiting lepas, kepiting akan terangsang untuk memperbaiki fungsi morfologi tubuhnya dengan cara melakukan pergantian kulit sehingga akan terbentuk bagian tubuh yang baru berupa kepiting yang bercangkang lunak. Ada tiga perlakuan yang dilakukan, yakni perlakuan

36

pemotongan capit dan kaki jalan, popey, dan alami. Perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan dan popey dilakukan dengan memotong bagian tubuh, yakni kaki jalan dan capit, baik sempurna maupun sebagian. Sebagai pembanding dilakukan perlakuan pemeliharaan kepiting secara alami tanpa proses pemotongan capit dan kaki jalan.

Derajat kelangsungan hidup (SR) merupakan parameter utama dalam produksi biota akuakultur yang dapat menunjukkan keberhasilan produksi tersebut. Jika diperoleh nilai SR yang tinggi pada suatu kegiatan budidaya, maka dapat dikatakan bahwa kegiatan budidaya yang dilakukan telah berhasil. Pada penelitian ini perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan, popey dan alami tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap derajat kelangsungan hidup (SR). yaitu 88,89-92,59% (P>0,05). Tingginya nilai derajat kelangsungan hidup ini disebabkan karena faktor kondisi media pemeliharaan kepiting yang cocok dengan keadaan tempat kepiting hidup. Selain itu, tingkat stres yang dialami kepiting diduga masih berada pada level yang dapat ditoleransi sehingga tidak menyebabkan kepiting mati.

Pertumbuhan merupakan salah satu komponen yang penting dalam produktivitas. Dalam artian yang luas pertumbuhan merupakan ekspresi dari pertambahan volume, bobot basah, ataupun bobot kering terhadap suatu satuan waktu tertentu (Effendi 1979) dan Hartnoll (1982). Selain itu menurut Holdich dan Lowery (1988) dalam Nilamsari (2007) pertumbuhan pada krustase adalah pertambahan bobot dan panjang panjang tubuh yang terjadi saat setelah pergantian kulit sehingga pertambahan bobot dan panjang pada udang tidak akan terjadi tanpa didahului oleh pergantian kulit. Dalam kegiatan budidaya, pertumbuhan organisme akuatik biasanya dinyatakan dalam bentuk laju pertumbuhan bobot harian. Laju pertumbuhan bobot sangat berkaitan erat dengan kondisi fisiologis dari kepiting tersebut, yaitu proses metabolisme dan tingkat stres yang dialami oleh kepiting. Ketika kepiting dipotong capit dan kaki jalannya, baik sempurna maupun sebagian, maka kepiting tersebut diduga mangalami penurunan kondisi fisiologis akibat stres. Keadaan stres tersebut dapat memacu kepiting untuk melakukan proses molting secara cepat. Akan tetapi, tingkat stres yang dialami

37

oleh masing-masing kepiting berbeda-beda sehingga hasil dari proses molting tersebut akan memberikan perbedaan pada bobot yang dihasilkan.

Hasil pengukuran bobot tubuh selama pemeliharaan memperlihatkan bahwa, kepiting yang dipelihara mengalami pertambahan bobot. Pertambahan bobot ini berbeda antara perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan, popey dan alami, seperti yang terlihat pada Gambar 10. Effendi (1978) berpendapat bahwa pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar. Faktor dalam diantaranya ialah keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit, sedangkan faktor luar yang utama adalah makanan dan suhu perairan.

Penambahan bobot tubuh pada kepiting terjadi karena pengembangan bagian integumen yang tidak mengeras atau terjadi proses penyerapan kadar air, mineral dan ion-ion penting sebagai akibat dari perbedaan tekanan osmotik. Selain itu, pakan yang dimakan dapat dikonversi menjadi energi untuk molting dan tumbuh secara sempurna. Hal ini sesuai dengan pernyataan Fujaya (2004) yang menyatakan bahwa pertumbuhan jaringan atau organ, pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh kualitas pakan, hormon, dan faktor perangsang pertumbuhan.

Perbedaan pertambahan bobot pada masing-masing perlakuan seperti yang dijelaskan pada paragraf sebelumnya terjadi karena rangsangan atau stimulus yang berbeda pada masing-masing perlakuan. Perlakuan alami merupakan perlakuan yang memiliki laju pertumbuhan bobot yang rendah yakni sebesar 2,44% dan mengalami penambahan bobot yang signifikan dari bobot awal, hal ini disebabkan pada perlakuan alami tidak dilakukan proses pemotongan pada organ capit dan kaki jalan. Pemeliharaan kepiting dilakukan secara alami sehingga rangsangan untuk percepatan proses molting hampir tidak ada, proses molting berlangsung secara alami, sehingga peningkatan bobot tubuh pascamolting berlangsung secara sempurna dan bobot bertambah lebih besar.

Pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan dan popey, laju pertumbuhan bobot kepiting masing-masing sebesar 2,92% dan 2,57%. Hal ini disebabkan karena selain mempercepat proses molting, proses pemotongan capit dan kaki jalan juga memberikan efek pertambahan bobot tubuh pada kepiting. Hal ini sesuai dengan pernyataan Syaripuddin et al., (2004) dalam Husni et al.,

38

(2006) yang menyatakan bahwa pertambahan bobot yang dicapai setelah molting sebesar 20-25% dari bobot awal.

Pertumbuhan selalu dikaitkan dengan jumlah pakan yang diberikan dan kualitas air dalam wadah pemeliharaan karena suhu air, dan kadar oksigen dalam air mempengaruhi nafsu makan, proses metabolisme dan pertumbuhan (Goddard 1996). Kebutuhan oksigen bagi ikan mempunyai dua aspek yaitu kebutuhan lingkungan dan kebutuhan konsumsi yang bergantung pada keadaan metabolisme ikan. Selama penelitian berlangsung dilakukan pengukuran peubah kualitas air meliputi: suhu, salinitas, pH, dan DO (Tabel 2). Berdasarkan hasil pengukuran parameter kualitas air tersebut, didapatkan hasil yang secara umum masih mendukung untuk media produksi kepiting bakau cangkang lunak. Nilai suhu pada pagi dan sore hari berada pada kisaran 27,41°C pagi dan 32,23°C sore, pH berkisar antara 7,69 pagi dan 8,41 sore, DO memiliki kisaran antara 4,69 ppm pagi dan 6,03 ppm sore hari, sedangkan untuk salinitas berada pada kisaran 24,93 ppt pagi dan 26,33 ppt sore. Menurut William (2003) kriteria kualitas air yang harus dipenuhi dalam budidaya kepiting lumpur/bakau di tambak, adalah sebagai berikut pH 6,5 – 8,0 , salinitas 20 –25 ppt, suhu 25–30 0C, DO > 5 mg/l.

Selain parameter diatas diamati juga jumlah kepiting yang molting terhadap waktu pemeliharaan. Berdasarkan data yang diperoleh tampak bahwa pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan, kepiting mengalami proses ganti kulit lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan popey dan alami. Pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan rata-rata kepiting bakau molting pada hari ke-14 sampai hari ke-17, sedangkan pada perlakuan popey dan alami kepiting bakau molting pada hari ke-29 sampai hari ke-36 (Gambar 11). Hal ini disebabkan karena stimulus atau rangsangan yang diberikan pada masing-masing perlakuan berbeda. Kondisi ini sesuai pendapat Syarifuddin et al. (2004) dalam Husni et al. (2006) yang menyatakan bahwa teknik pemeliharaan kepiting bakau dengan cara pematahan capit dan kaki jalan kecuali kaki renang bertujuan untuk menghindari kepiting saling memangsa dan keluar dari keranjang dan secara biologis dengan pematahan capit dan kaki jalan tersebut dapat merangsang kepiting lebih cepat ganti kulit. Dengan demikian, pemotongan capit dan kaki jalan dapat merangsang

39

kepiting bakau untuk melakukan ganti kulit lebih cepat dibandingkan dengan pemeliharaan secara alami.

Kepiting bakau merupakan salah satu jenis krustase yang bersifat nokturnal atau aktif pada malam hari. Sehingga secara tidak langsung berpengaruh terhadap waktu molting pada setiap perlakuan yang diujikan. Berdasarkan data pada Gambar 12, terlihat bahwa rata-rata kepiting bakau mengalami proses ganti kulit pada waktu malam hari, berkisar antara pukul 22.00- 24.00, dan hanya sedikit kepiting yang molting pada waktu pagi dan sore hari. Puncak molting terjadi pada malam hari yang diakibatkan oleh faktor lingkungan terutama suhu. Zacharia dan Kakati (2004) menyatakan, suhu merupakan salah satu faktor abiotik penting yang mempengaruhi aktivitas, nafsu makan, konsumsi oksigen, dan laju metabolisme krustase. Selain itu, menurut Moosa et al., (1985) kepiting bakau tergolong nokturnal (hewan yang aktif dimalam hari), sehingga sebagian besar kegiatan hidupnya dilakukan pada waktu malam hari termasuk molting atau ganti kulit.

Pertumbuhan biomassa merupakan selisih antara biomassa akhir dengan biomassa awal terhadap waktu pemeliharaan. Pertumbuhan biomassa sangat berkaitan erat dengan efisiensi ekonomi karena produk akhir yang dihasilkan adalah kepiting bakau cangkang lunak dalam satuan kilogram. Perlakuan alami memiliki pertumbuhan biomassa tertinggi dibandingkan dengan perlakuan popey serta pemotongan capit dan kaki jalan. Pertumbuhan biomassa selama satu tahun ini secara langsung akan berpengaruh terhadap penerimaan dan R/C rasio. Perlakuan yang memiliki pertumbuhan biomassa tertinggi dapat memiliki penerimaan yang tinggi pula sehingga produksi menjadi semakin efisien. Pertumbuhan biomassa pada perlakuan alami menyebabkan kepiting bakau cangkang lunak mengalami proses ganti kulit yang sempurna karena tingkat stres yang dialami tidak setinggi pada perlakuan popey serta pemotongan capit dan kaki jalan.

Analisis usaha pada Tabel 1 menunjukkan efisiensi produksi kepiting bakau cangkang lunak dengan perhitungan menggunakan dua skenario. Perhitungan ini dibuat berdasarkan analisis resiko bisnis yang dianggap dapat terjadi dengan sistem sewa, sehingga untuk mengantisipasi hal tersebut dibuat skenario dua dengan asumsi tidak menggunakan sistem sewa tetapi lahan dan bangunan dibeli

40

dan di buat sendiri. Setiap perlakuan memiliki nilai yang berbeda untuk masing- masing parameter analisis ekonomi yang dihitung. Nilai keuntungan ditentukan oleh besarnya nilai penerimaan. Nilai keuntungan diperoleh dari selisih antara penerimaan dengan biaya total. Nilai keuntungan pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan paling tinggi dibandingkan perlakuan popey dan alami baik skenario satu dan dua, hal ini disebabkan selisih antara penerimaan dengan biaya total juga paling tinggi. Selain itu, perbedaan nilai keuntungan pada setiap perlakuan juga dipengaruhi oleh biaya variabel yang berbeda pada masing-masing perlakuan.

Selain itu untuk melihat kelayakan usaha, dilakukan perhitungan analisis R/C. Analisis R/C digunakan untuk melihat pendapatan relatif suatu usaha dalam 1 tahun terhadap biaya yang dipakai dalam kegiatan tersebut. Menurut Mahyuddin (2007), suatu usaha dikatakan layak jika nilai R/C lebih besar dari 1 (R/C > 1). Nilai R/C diperoleh dari perbandingan antara nilai penerimaan dengan biaya total. Nilai R/C pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan, popey dan alami lebih besar dari 1. Hal ini dikarenakan nilai penerimaan lebih besar dari biaya total (Tabel 3) sehingga dapat dikatakan bahwa budidaya kepiting bakau cangkang lunak dengan ketiga metode ini layak untuk dijadikan sebagai usaha.

BEP (Break Even Point) merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengetahui batas nilai produksi atau volume produksi suatu usaha mencapai titik impas, yaitu tidak untung dan tidak rugi (Rahardi et al., 1998). Nilai BEPp dan BEPu pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan memperoleh nilai tertinggi dibandingkan perlakuan popey dan alami baik skenario satu maupun skenario dua. Hal ini dikarenakan nilai penerimaan dan biaya variabel yang tinggi menyebabkan nilai BEP tinggi.

Harga Pokok Produksi (HPP) merupakan nilai atau biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi 1 unit produk (Rahardi et al., 1998). HPP diperoleh dari perbandingan antara biaya total dengan jumlah produksi. Hal mengandung arti seberapa besar biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi 1 kg kepiting bakau cangkang lunak. Perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan skenario satu dan dua memperoleh nilai HPP tertinggi dibandingkan perlakuan popey dan alami. Hal ini dikarenakan total biaya produksi pertahun pada perlakuan pemotongan capit dan

41

kaki jalan paling tinggi dibandingkan perlakuan popey dan alami. HPP harus lebih rendah dari harga jual agar dapat memperoleh keuntungan. Secara umum nilai BEP ketiga perlakuan masih berada dibawah harga jual, sehingga usaha ini tadak akan mengalami kerugian.

Payback period (PP) atau tingkat pengembalian investasi merupakan salah satu metode dalam menilai kelayakan suatu usaha yang digunakan untuk mengukur periode jangka waktu pengembalian modal. Semakin cepat modal itu dapat kembali, semakin baik suatu proyek untuk diusahakan karena modal yang kembali dapat dipakai untuk membiayai kegiatan lain (Husnan & Suwarsono, 2000). Nilai PP pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pengembalian modal tercepat terdapat pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan baik pada skenario satu maupun skenario dua. Hal ini dikarenakan nilai keuntungan pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan lebih tinggi dibandingkan perlakuan popey dan alami, selain itu perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan memiliki jumlah siklus produksi yang lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan popey dan alami.

Berdasarkan analisa teknis, perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan merupakan perlakuan yang ideal untuk usaha budidaya kepiting bakau cangkang lunak karena memiliki laju pertumbuhan bobot harian yang tinggi sehingga biomassa akhir yang diperoleh untuk penjualan akan tinggi. Selain itu perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan memiliki tingkat percepatan molting yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan popey dan alami. Hal ini berpenguruh terhadap siklus produksi, dalam satu tahun terdapat 17 siklus produksi pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan, jumlah siklus ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan perlakuan popey dan alami yang hanya mengalami 9 siklus dalam satu tahun. Sedangkan secara bioekonomis, perlakuan popey dan alami skanario 1 dan 2 memiliki tingkat efisiensi yang tinggi, hal ini berdasarkan dari nilai R/C rasio perlakuan popey dan alami yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai R/C rasio pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan. Tingginya nilai R/C rasio dikarenakan pertumbuhan biomassa pada perlakuan alami lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan popey serta pemotongan capit dan kaki jalan, sehingga penerimaan pada perlakuan alami tidak jauh berbeda dengan perlakuan

42

pemotongan capit dan kaki jalan. Selain itu, tingginya nilai R/C rasio pada perlakuan popey dan alami juga disebabkan biaya total produksi perlakuan popey dan alami lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan. Sehingga, berdasarkan analisis bioekonomis perlakuan popey dan alami memiliki tingkat efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan.

43

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Perlakuan alami pada budidaya kepiting bakau cangkang lunak tidak memberikan pengaruh nyata terhadap derajat kelangsungan hidup, namun berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan bobot harian. Derajat kelangsungan hidup untuk semua perlakuan berkisar antara 88,89-92,59%. Laju pertumbuhan bobot harian tertinggi terdapat pada perlakuan pemotongan capit dan kaki jalan yaitu sebesar 2,92%. Sedangkan pertumbuhan bobot tertinggi terdapat pada perlakuan alami yaitu sebesar 7.589 kg per tahun.

Performa metode alami lebih baik dibandingkan dengan metode pemotongan capit dan kaki jalan serta metode popey, baik dilihat dari parameter budidaya maupun parameter ekonomi. Produksi kepiting bakau cangkang lunak metode alami lebih efisien dibandingkan dengan melakukan pemotongan capit dan kaki jalan serta metode popey.

4.2 Saran

Budidaya kepiting bakau cangkang lunak sebaiknya dilakukan dengan

Dokumen terkait