• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Efisiensi Perombakan Zat Warna Pada Variasi Kondis

Pertumbuhan dan aktivitas bakteri sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Bakteri dalam merombak bahan organik untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan energinya memerlukan bantuan enzim. Aktivitas enzim dalam peranannya sebagai katalis dipengaruhi oleh faktor lingkungan, di mana enzim mempunyai aktivitas tinggi pada kondisi tertentu dan bersifat nonaktif pada kondisi yang tidak menguntungkan. Faktor lingkungan mempengaruhi efisiensi perombakan yang dianalisis di antaranya adalah pH, konsentrasi glukosa, konsentrasi zat warna dan lama waktu inkubasi.

4.2.1 Efisiensi Perombakan Pada Variasi pH

Data efisiensi perombakan 200 mg/L zat warna reaktif azo jenis remazol selama 5 hari inkubasi pada kondisi pH yang berbeda-beda (pH 5-9) disajikan pada Lampiran 2. Berdasarkan data kemampuan dari masing-masing bakteri untuk melakukan perombakan dipilih 5 bakteri yang mempunyai efisiensi perombakan tertinggi dari masing-masing zat warna. Kelima bakteri tersebut terdiri dari 3 bakteri termasuk Aeromonas sp. (Aeromonas sp.ML6, Aeromonas sp.ML14 dan Aeromonas sp.ML24), Pseudomonas sp.ML8, dan bakteri Flavobacterium sp.ML 20. Hasil perombakan 200 mg/L zat warna reaktif azo oleh kelima bakteri tersebut selama 5 hari inkubasi pada kondisi pH yang berbeda-beda disajikan pada Gambar 24.

Gambar 24 Efisiensi perombakan zat warna pada kondisi anaerob selama 5 hari inkubasi diberbagai kondisi pH.

75 80 85 90 95 100 1 2 3 4 5 pH E fi s iens i per om bak an ( % ) Aeromonas sp. ML6 Pseudomonas sp. ML8 Aeromonas sp. ML14 Flavobacterium sp. ML20 Aeromonas sp. ML24 5 6 7 8 9

Gambar 24 menunjukkan bahwa efisiensi perombakan masing-masing zat warna dipengaruhi pH lingkungan. Efisiensi perombakan zat warna oleh bakteri meningkat dengan naiknya kondisi pH lingkungan dari 5 sampai 7 kemudian cendrung stabil pada pH 7-8 dan menurun pada pH 9. Analisis faktor pH terhadap efisiensi perombakan zat warna menggunakan one-way Anova selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perlakuan perombakan zat warna azo pada kondisi pH yang berbeda menghasilkan efisiensi perombakan yang berbeda pula (Lampiran 3). Kondisi pH optimum untuk berlangsungnya proses perombakan 200 mg/L zat warna azo selama 5 hari inkubasi pada kisaran pH 7-8 dengan efisiensi perombakan berkisar 89,19 sampai 94,38%. Hasil penelitian ini memperkuat simpulan HeFang et al. (2004) dan Moosvi et al. ( 2005), yang menyatakan bahwa perombakan zat warna azo menggunakan bakteri sangat dipengaruhi oleh kondisi pH lingkungan. Hasil kajian HeFang et al. (2004) tentang perombakan zat warna azo direct fast scarlet 4BS menggunakan konsorsium yang terdiri dari white-rot fungus dan Pseudomonas 1-10 yang diisolasi dari air limbah tekstil selama 4 hari inkubasi menunjukkan efisiensi perombakan warna pada pH 3 adalah 73%, pH 4 adalah 83%, pH 7 adalah 95% sedangkan pada pH 8 dan 10 masing-masing 90% dan 76%. Pseudomonas 1-10 menstimulasi produksi enzim ekstraseluler lignolitik peroksidase dari white-rot fungus 8-4 yang berperan dalam perombakan zat warna azo tersebut. Hasil kajian Moosvi et al. (2005) tentang perombakan zat warna azo reactive violet 5 menggunakan konsorsium bakteri RVM 11.1 yang diisolasi dari tanah yang terkontaminasi limbah tekstil selang waktu 37 jam melaporkan bahwa efisiensi perombakan warna pada pH dibawah 5,5 sangat rendah sedangkan efisiensinya 90% diperoleh pada kisaran pH 6,5 sampai 8,5.

Perbedaan efisiensi perombakan zat warna pada variasi kondisi pH disebabkan oleh perubahan aktivitas pertumbuhan bakteri. Beberapa bakteri dapat tumbuh dan beraktivitas baik pada lingkungan asam dan beberapa bakteri juga tumbuh baik pada lingkungan basa. Namun, kebanyakan bakteri hidup dan beraktivitas baik pada kondisi pH netral (Cutright 2001). Pada kondisi lingkungan tidak menguntungkan, pertumbuhan bakteri menjadi terganggu bahkan mati. Terganggunya pertumbuhan bakteri menyebabkan efisiensi perombakan zat warna menjadi rendah. Disamping pertumbuhan bakteri, aktivitas enzim yang terlibat pada proses perombakan juga sangat dipengaruhi oleh pH. Enzim pada sistem biologi sebagian besar merupakan protein yang mempunyai gugus aktif

64

yang bermuatan positif (+) dan negatif (-). Aktivitas enzim akan optimum jika terjadi keseimbangan antar kedua muatannya. Bila proses perombakan berlangsung pada pH tidak optimum, maka aktivitas enzim akan menurun akibat terjadinya perubahan ionisasi gugus-gugus pada sisi aktif enzim. Pada kondisi asam (pH rendah), enzim lebih bermuatan positif sedangkan pada kondisi basa (pH tinggi), maka enzim lebih bermuatan negatif.

4.2.2 Efisiensi Perombakan pada Variasi Konsentrasi Glukosa

Penambahan glukosa pada proses perombakan zat warna reaktif azo menggunakan bakteri ditujukan untuk mempercepat laju perombakan. Hal ini disebabkan karena zat warna reaktif azo sulit digunakan secara langsung sebagai sumber karbon dan energi untuk pertumbuhannya. Data perombakan 200 mg/L zat warna remazol menggunakan bakteri Aeromonas sp.ML6, Aeromonas sp.ML14, Aeromonas sp.ML24, Pseudomonas sp.ML8 dan Flavobacterium sp.ML20 pada kondisi anaerob selama 5 hari inkubasi pada variasi penambahan konsentrasi glukosa (0-4 g/L) disajikan pada Gambar 25. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 4.

Gambar 25 Efisiensi perombakan zat warna azo pada kondisi anaerob selama 5 hari inkubasi diberbagai konsentrasi glukosa.

Gambar 25 memperlihatkan penambahan glukosa sebagai sumber karbon dan energi dapat meningkatkan efisiensi perombakan zat warna reaktif azo pada kondisi anaerob. Efisiensi perombakan zat warna remazol yellow, remazol red, remazol black, remazol blue dan remazol campuran tanpa penambahan glukosa

50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 Glukosa (g/L) E fis iens i per om ba k an ( % ) Aeromonas sp. ML6 Pseudomonas sp. ML8 Aeromonas sp. ML14 Flavobacterium sp. ML20 Aeromonas sp. ML24 0 1 2 3 4

selama 5 hari inkubasi secara berturut-turut adalah 82,78%, 79,71%, 73,72%, 73,86% dan 55,40%. Efisiensi perombakan zat warna tersebut pada penambahan 2 g/L glukosa meningkat menjadi 94,70%, 95,17%, 94,33%, 91,16% dan 90,90%. Akan tetapi, dengan penambahan 4 g/L glukosa efisiensi perombakan menurun menjadi 89,90%, 92,38%, 91,93%, 84,11% dan 89,16%. Kebutuhan glukosa optimum untuk merombak 200 mg/L zat warna azo adalah berkisar 2-3 gram per liter limbah.

Hasil penelitian ini memperkuat kajian Chinwetkitvanich et al. (2000), Padmavathy et al. (2003), Mendez et al. (2004) dan Shin et al. (2002) yang melaporkan bahwa perombakan zat warna azo pada kondisi anaerob menggunakan mikrob memerlukan kosubstrat berupa senyawa karbon organik yang berfungsi sebagai sebagai elektron donor. Mendez et al. (2004) dalam kajiannya melaporkan untuk merombak 0,06 mM zat warna azo acid orange 7 pada kondisi anaerob tanpa penambahan glukosa diperlukan waktu selama 19 hari sedangkan dengan penambahan 1,8 g/L glukosa diprlukan waktu selama 5 hari. Dalam kajian Shin et al. (2002) juga dilaporkan perombakan 100 mg/L zat warna amaranth menggunakan biofilm Trametes versicolor pada polyethylene teraphthalate fiber membutuhkan waktu 16-20 jam dengan laju perombakan 3- 3,8 mg/L per jam. Disamping glukosa, beberapa senyawa organik yang dapat digunakan sebagai elektron donor pada proses perombakan zat warna azo di antaranya asetat, sukrosa, laktosa, dan tapioka. Namun, glukosa dilaporkan paling efektif digunakan sebagai sumber elektron donor karena glukosa lebih mudah dan cepat mengalami glikolisis dibandingkan dengan sukrosa, laktosa dan tapioka.

Menurut Yoo (2000), perombakan zat warna reaktif azo menggunakan bakteri pada dasarnya merupakan reaksi reduksi-oksidasi (redoks) yang dikatalisis oleh enzim. Bakteri memerlukan kosubstrat berupa senyawa karbon organik seperti glukosa untuk mempercepat proses perombakan zat warna azo. Glukosa dalam sistem biologi mengalami proses glikolisis dengan bantuan enzim dehidrogenase menghasilkan koenzim nikotinamida adenin dinukleotida (NADH). Glikolisis mengubah molekul glukosa menjadi dua molekul piruvat yang kemudian diubah menjadi asetil koenzim A yang siap memasuki siklus asam sitrat. Pada proses glikolisis 1 molekul glukosa dihasilkan 2 molekul NADH sedangkan pada siklus asam sitrat dihasilkan tiga molekul NADH dan satu molekul FADH2. NADH dan flavin adenin dinukleotida (FADH) merupakan

66

koenzim yang bertindak sebagai pembawa elektron. Koenzim-koenzim ini berperan penting dalam proses perombakan zat warna azo. Peranan NADH dan FADH2 pada perombakan zat warna azo dijelaskan melalui 2 hipotesis mekanisme perombakan azo secara biologi yaitu perombakan dengan melibatkan enzim secara langsung (direct enzymatic) dan perombakan dengan melibatkan enzim secara tidak langsung (indirect enzymatic) yang dilaporkan oleh Wuhrmann (1980) dan Van der Zee (2002).

Mekanisme perombakan zat warna azo menurut hipotesis direct enzymatic, koenzim NADH yang dihasilkan dari proses glikolisis glukosa mentransfer elektron ke zat warna azo yang dikatalisis oleh enzim azoreductase. Koenzim NADH mengalami reaksi oksidasi sedangkan zat warna azo mengalami reduksi menghasilkan senyawa amina aromatik (Gambar 26). Putusnya ikatan azo menyebabkan warna menjadi hilang.

R-N=N-R’ R-NH2 + R’-NH2

Glukosa Asetil CoA Gambar 26 Mekanisme perombakan zat warna azosecara direct enzymatic

Mekanisme perombakan zat warna azo menurut hipotesis indirect enzymatic, flavin adenin dinukleotida dalam keadaan tereduksi (FADH2) berperan sebagai mediator redoks pada proses perombakan zat warna azo. NADH mereduksi flavin adenin dinukleotida dalam keadaan teroksidasi (FAD2+) dikatalisis oleh enzim azoreductase menghasilkan FADH2. Hal ini terjadi karena NADH memiliki nilai potensial reduksi lebih negatif dibandingkan dengan FADH2 (NAD+/NADH+H+ Eo= -320 mV dan FAD/FADH2 Eo=-220 mV). FADH2 hasil reduksi tersebut selanjutnya mentransfer elektron secara langsung ke senyawa azo tanpa bantuan enzim azoreductase.

Gambar 27 Perombakan zat warna azo menggunakan mediator redoks

2[NAD(P)H + H+ ] 2NAD(P)

Dehidrogenase

FAD FADH2

Enzim + 2 NADH + 2 H+ Enzim + 2 NAD+ FAD FADH2

FADH2 FAD

Enzim + R1 N=N R2 Enzim + R1 NH2 + R2 NH2 FADH2 FAD

Jumlah glukosa yang digunakan menjadi kontrol terhadap proses berlangsungnya perombakan. Jumlah glukosa yang sedikit akan menghasilkan reducing equivalents yang sedikit sehingga efisiensi perombakan rendah, sedangkan bila jumlah glukosa berlebih mengakibatkan efisiensi perombakan menjadi menurun. Penurunan efisiensi perombakan zat warna pada penambahan glukosa berlebih disebabkan glukosa terurai menghasilkan asam- asam yang menyebabkan terjadinya penurunan pH pada lingkungan. Penurunan pH menyebabkan aktivitas enzim menjadi tidak maksimum (Chen et al. 2003).

Analisis pengaruh faktor konsentrasi glukosa terhadap efisiensi perombakan zat warna azo menggunakan one-way Anova pada selang kepercayaan 95% (Lampiran 5) menunjukkan bahwa penambahan glukosa secara signifikan mempengaruhi efisiensi perombakan. Efisiensi perombakan maksimum pada perombakan 200 mg/L zat warna reaktif azo selama 5 hari inkubasi diperoleh sebesar 91,02 sampai 95,20% dengan penambahan 2 sampai 3 gram glukosa pada setiap satu liter limbah.

4.2.3 Efisiensi Perombakan pada Variasi Konsentrasi Zat Warna

Menurut Cutright (2001), aktivitas bakteri dalam merombak substrat dipengaruhi oleh faktor besarnya konsentrasi substrat yang akan dirombak. Untuk substrat pada rentang konsentrasi rendah, aktivitas perombakan umumnya berlangsung cepat dengan meningkatnya konsentrasi substrat. Berdasarkan data hasil perombakan zat warna pada konsentrasi yang berbeda-beda (Lampiran 6) diperoleh pola efisiensi perombakan zat warna meningkat dengan naiknya konsentrasi zat warna dari 50 sampai 200 mg/L kemudian menurun pada konsentrasi dari 200 sampai 400 mg/L (Gambar 28). Efisiensi perombakan 50 mg/L zat warna azo salama 5 hari inkubasi berkisar antara 88,94 sampai 90,43% sedangkan untuk 200 mg/L meningkat menjadi 91,28-94,36% dan pada konsentrasi 400 mg/L turun menjadi 82,90-88,92%. Perbedaan efisiensi perombakan di berbagai konsentrasi zat warna azo berhubungan dengan faktor toksisitas zat warna dan kinetika reaksi perombakan (Pandey et al. 2007).

Toksisitas zat warna azo berhubungan dengan struktur dan jenis gugus yang terikat pada zat warna tersebut. Zat warna azo dengan katagori toksisitas moderat atau sangat toksik lebih sulit dirombak dan memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan zat warna azo yang memiliki toksisitas rendah atau tidak toksik. Disamping itu, produk hasil peruraian zat warna azo pada

68

kondisi anaerob berupa senyawa amina aromatik umumnya bersifat lebih toksik dibandingkan dengan zat warna azo sendiri. Amina aromatik tersebut meningkatkan toksisitas sehingga menghambat pertumbuhan bahkan sampai membunuh bakteri. Efek toksik zat warna azo semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi zat warna, hal ini menyebabkan efisiensi perombakan cendrung menurun. Di lain pihak, efisiensi perombakan zat warna azo yang tidak toksik atau toksik rendah cendrung meningkat sampai pada konsentrasi tertentu dan selanjutnya menurun sejalan dengan meningkatnya toksisitas dan jenuhnya gugus aktif dari enzim.

Gambar 28 Efisiensi perombakan zat warna pada kondisi anaerob selama 5 hari inkubasi diberbagai konsentrasi zat warna.

Perombakan zat warna azo oleh bakteri merupakan reaksi enzimatik. Pada umumnya reaksi enzimatik dengan konsentrasi substrat rendah, jika konsentrasi substrat dinaikkan dua kali, maka kecepatan reaksi perombakan zat warna meningkat dua kali lipat. Ini berarti pada konsentrasi substrat rendah kecepatan reaksi enzimatik berorde satu. Hasil analisis terhadap kinetika perombakan zat warna pada penelitian ini menunjukkan kinetika reaksi orde 1 (Lampiran 7). Hasil temuan ini, memperkuat simpulan Wuhrmann et al. (1980) dan Mendez et al. (2003), yang melaporkan bahwa pada umumnya reaksi perombakan zat warna azo secara biologi mengikuti reaksi orde 1. Temuan ini juga sejalan dengan kajian Sani et al. (1999) yang melaporkan bahwa perombakan zat warna azo pada konsentrasi 1-10 μM berlangsung cepat sedangkan pada konsentrasi 30 μM berlangsung lambat. 75 80 85 90 95 100 1 2 3 4 5 6 7 8

Konsentrasi zat warna (mg/L)

E fis ien s i per om bak a n (% ) Aeromonas sp. ML6 Pseudomonas sp. ML8 Aeromonas sp. ML14 Flavobacterium sp. ML20 Aeromonas sp. ML24 50 100 150 200 250 300 350 400

4.2.4. Efisiensi Perombakan pada Variasi Lama Waktu Inkubasi

Aktivitas perombakan zat warna pada kondisi anaerob oleh bakteri selama 1 sampai 10 hari dilakukan secara statik dengan teknik batch. Aktivitas bakteri dalam merombak zat warna dipengaruhi oleh lama waktu kontak antara bakteri dengan zat warna tersebut. Data perombakan zat warna reaktif azo selang waktu 1 sampai 10 hari disajikan pada Lampiran 9. Penurunan konsentrasi zat warna menggunakan 5 jenis bakteri yaitu Aeromonas sp.ML6, Aeromonas sp.ML14 dan Aeromonas sp.ML24, Pseudomonas sp.ML8 dan Flavobacterium sp.ML20 selang waktu 1 sampai 10 hari disajikan pada Gambar 29. Pada 1 hari inkubasi terjadi penurunan konsentrasi zat warna dari 200 mg/L menjadi 65,21-27,33 mg/L (75,98-83,95%), setelah 2 hari turun menjadi 55,04-19,46 mg/L (80,45-90,27%) dan setelah 10 hari inkubasi menjadi 13,56-6,43 mg/L ( 95,78-96,78%). Gambar 29 memperlihatkan bahwa efisiensi perombakan zat warna reaktif azo meningkat dengan lamanya waktu inkubasi. Pada tahap awal, bakteri melakukan fase adaptasi kemudian melakukan fase pertumbuhan eksponensial. dan fase pertumbuhan konstan serta fase kematian yang disebabkan oleh terbentuknya produk senyawa amina aromatik yang memberikan efek toksik bagi kehidupan bakteri.

Gambar 29 Perombakan 200 mg/L zat warna pada kondisi anaerob dengan lama waktu 1-10 hari inkubasi.

4. 3 Pengolahan Limbah Tesktil Buatan

Limbah tekstil buatan yang digunakan mempunyai konsentrasi zat warna sebesar 175,18 mg/L. Pengolahan limbah tekstil buatan dilakukan dengan dua

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Lama inkubasi (hari)

E fis ie n s i p e ro m b a k a n ( % ) Aeromonas sp. ML6 Pseudomonas sp. ML8 Aeromonas sp. ML14 Flavobacterium sp. ML20 Aeromonas sp. ML24

70

tahap, yaitu tahap pengolahan anaerob dan tahap pengolahan aerob. Masing- masing tahap menggunakan proses tersuspensi dan pertumbuhan terlekat.

Tahap Pengolahan Anaerob

Bakteri yang digunakan untuk mengolah limbah pada tahap anaerob adalah bakteri kultur tunggal dan konsorsium. Bakteri kultur tunggal masing-masing adalah Aeromonas sp.ML6, Aeromonas sp.ML14, Aeromonas sp.ML24, Pseudomonas sp.ML8, Flavobacterium sp.ML20, sedangkan konsorsium bakteri yang digunakan terdiri dari Aeromonas sp.ML6, Aeromonas sp.ML14, Aeromonas sp.ML24, Pseudomonas sp.ML8 dan Flavobacterium sp.ML20. Penurunan konsentrasi zat warna pada perombakan limbah tekstil buatan menggunakan bakteri kultur tunggal dan konsorsium pada kondisi anaerob selang waktu 1-4 hari inkubasi disajikan pada Gambar 30. Data selengkapnya disajikan pada Lampiran 11.

Gambar 30 Penurunan konsentrasi zat warna pada limbah tekstil buatan selang 1-4 hari inkubasi proses pertumbuhan tersuspensi dan terlekat. Gambar 30 memperlihatkan efisiensi perombakan zat warna pada pengolahan limbah tekstil buatan selang waktu 1; 2; 3 dan 4 hari menggunakan proses pertumbuhan tersuspensi secara berturut-turut adalah 59,85-63,91%; 77,63-82,52%; 77,75-85,41% dan 79,69-88,49% sedangkan menggunakan pertumbuhan terlekat adalah 61,27-63,91%; 78,11-87,65%; 78,32-90,24% dan 83,08-90,90%. Efisiensi perombakan menggunakan pertumbuhan terlekat lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tersuspensi, sedangkan untuk pertumbuhan terlekat, efisiensi perombakan dengan konsorsium bakteri lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan kultur tunggal. Dalam keadaan

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

Awal 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari Lama inkubasi K o ns e nt ras i z a t w a rn a (m g /L )

Pertumbuhan tersuspensi Pertumbuhan terlekat 1 2 3 Aeromonas sp. ML14 Pseudomonas sp. ML6 Flavobacterium sp. ML20 Aeromonas sp. ML24 Konsorsium

substrat mencukupi, hubungan antar bakteri pada sistem konsorsium dalam melakukan aktivitas perombakan tidak saling mengganggu, bahkan masing- masing bakteri beraktivitas membentuk suatu urutan yang saling menguntungkan. Fenomena hubungan sinergisme antar bakteri ini menjadi keunggulan dalam pemanfaatannya untuk pengolahan limbah. Hal ini disebabkan karena konsorsium bakteri dapat hidup saling bersinergi sehingga menghasilkan efisiensi perombakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tersuspensi. Perombakan zat warna azo pada kondisi anaerob, menghasilkan amina aromatik yang lebih toksik dari sebelumnya. Produk intermediate hasil perombakan anaerob tersebut akan mengganggu pertumbuhan bakteri. Pengaruh toksisitas dari amina aromatik lebih tinggi pada sistem pertumbuhan tersuspensi dibandingkan sistem pertumbuhan terlekat karena pada sistem pertumbuhan terlekat, bakteri membentuk lapisan tipis yang berfungsi untuk melindungi diri dari pengaruh lingkungan yang kurang menguntungkan. Pembentukan biofilm pada batu vulkanik sebagai strategi mempertahankan diri dari pengaruh kondisi lingkungan ekstrim (Prakash et al. 2003).

Gambar 31 memperlihatkan penampakan batu vulkanik dengan banyak rongga-rongga sehingga mempermudah pelekatan bakteri, memperkokoh biofilm dan melindungi mikrob dari abrasi akibat aliran limbah. Barus (2007), yang melaporkan bahwa batu vulkanik sangat baik digunakan untuk mengamobil bakteri pada pengolahan limbah mengandung merkuri.

Gambar 31 Scanning electron micrograph penampakan batu vulkanik dengan pembesaran 10.000 X. Tanda panah menunjukkan rongga batu vulkanik.

72

Perlakuan dengan kontrol negatif (batu vulkanik tanpa penambahan bakteri) terhadap adsorpsi zat warna menunjukkan bahwa batu vulkanik disamping sebagai bahan pengamobil juga mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi zat warna tekstil sebesar 5,67%. Kemampuan batu vulkanik mengadsorpsi zat warna disebabkan oleh adanya interaksi fisika antara pori dengan zat warna. Batu vulkanik setelah diamobilisasi menggunakan bakteri terlihat penampakan struktur permukaannya menjadi semakin tertutup. Hal ini menunjukkan bahwa biofilm bakteri sudah terbentuk pada permukaan batu vulkanik. Pembentukan biofilm konsorsium bakteri selama 3 hari pada batu vulkanik secara visual diamati menggunakan scanning electron microscope dan hasilnya disajikan pada Gambar 32.

Gambar 32 Scanning electron micrograph biofilm konsorsium bakteri pada batu vulkanik pada kondisi anaerob dengan pembesaran 10.000 X. Tanda panah menunjukkan biofilm pada permukaan batu vulkanik. Proses pembentukan biofilm bakteri pada permukaan batu vulkanik kemungkinan melalui adsorpsi. Bakteri pertama-tama mendekat pada permukaan batu vulkanik selanjutnya terjadi proses adsorpsi sel ke dalam pori. Bakteri pada permukaan batu vulkanik mengalami kolonisasi dengan mengeluarkan senyawa polimer ekstraseluler. Menurut Prakash et al. (2003), biofilm terutama terdiri dari sel mikrob dan matriks polimer ekstraseluler. Polimer eksopolisakarida (EPS) sekitar 50-90% merupakan senyawa karbon organik. Adanya EPS memperkokoh pelekatan bakteri pada batu vulkanik sehingga dapat menjaga stabilitas populasi dalam reaktor. Hasil pemeriksaan jumlah populasi bakteri yang

terlekat pada batu vulkanik dalam reaktor anaerob menggunakan metode total plate count diperoleh sebesar 4,68 x 109 – 20,5 x109 cfu/g (Tabel 7). Jumlah air limbah tekstil yang diolah dalam reaktor adalah 900 mL sedangkan jumlah batu vulkanik yang digunakan adalah 757 gram. Jadi perkiraan jumlah total bakteri yang terdapat dalam reaktor anarobik untuk mengolah 900 mL limbah tekstil berkisar 3,54 x 1012- - 15,52 x 1012 cfu. Jumlah bakteri dalam bioreaktor sudah memadai digunakan untuk pengolahan limbah tekstil. Menurut Cutright, (2001) jumlah populasi bakteri minimum yang dianggap memadai untuk digunakan dalam pengolahan limbah adalah 108 cfu/L limbah.

Tabel 7 Jumlah koloni bakteri teramobil pada batu vulkanik

No Isolat

Berat batu vulkanik

(g)

Jumlah koloni terhitung Jumlah koloni (cfu/gram) Petri 1 Petri 2 Petri 3 Petri 4

1 Kontrol 25 - - - - - 2 Aeromonas ML6 25 120x109 72x109 34x1010 12x1010 6,52x109 3 Aeromonas ML14 25 148x109 276x109 24x1010 40x1010 10,64x109 4 Pseudomonas ML8 25 108x109 93x109 15x1010 24x1010 5,91x109 5 Flavobacterium ML20 25 102x109 86x109 11x1010 17x1010 4,68x109 6 Aeromonas ML24 25 105x109 129x109 40x1010 28x1010 9,14x109 7 Konsorsium 25 260x109 240x109 85x1010 70x1010 20,50x109

Dari ke-enam bakteri yang dicobakan, diperoleh tiga bakteri yang menghasilkan efisiensi perombakan zat warna tinggi. Ketiga bakteri tersebut adalah Aeromonas sp.ML6, Aeromonas sp.ML14 dan konsorsium. Efisiensi perombakan zat warna pada reaktor anaerob dengan waktu tinggal limbah 3 hari dalam reaktor menggunakan bakteri Aeromonas sp.ML6, Aeromonas sp.ML14 dan konsorsium menggunakan proses pertumbuhan terlekat adalah 90,00%; 89,41% dan 90,24%. Hasil perombakan limbah tekstil buatan secara anaerob menggunakan ketiga bakteri tersebut, diukur parameter pH, bau, TDS, TSS, nitrat, nitrit, BOD5, COD dan warna. Hasil pengukuran parameter kualitas limbah tersebut disajikan pada Lampiran 12. Nilai BOD5, COD, warna, TDS dan TSS dari limbah tekstil buatan sebelum diolah masing-masing sebesar 945 mg/L, 4.000 mg/L, 2.130 CU, 4.380 mg/L dan 1.220 mg/L. Setelah diolah menggunakan konsorsium bakteri sistem pertumbuhan terlekat dengan waktu tinggal limbah selama 3 hari, nilai BOD5 dan COD turun menjadi 454 mg/L dan 2.117 mg/L atau efisiensi penurunan sebesar 51,96% dan 47,08%. Warna turun menjadi 192 CU atau efisiensinya sebesar 90.99%. TDS dan TSS masing-masing turun menjadi 2.152 mg/L dan 719 mg/L.

74

Analisis terhadap sistem pengolahan pada reaktor anaerob menunjukkan bahwa pada reaktor anaerob terjadi perombakan warna yang tinggi, akan tetapi nilai COD dan BOD masih tinggi jika dibandingkan dengan baku mutu nilai COD dan BOD yang dipersyaratkan pada KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995. Tingginya nilai COD dan BOD pada pengolahan anaerob menunjukkan perombakan zat warna tekstil tidak berlangsung sempurna. Hal ini berarti, pada kondisi anaerob bakteri hanya mampu merombak molekul zat warna yang berukuran besar menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana. Konsentrasi BOD5 dan COD pada limbah tekstil buatan secara empirik digunakan sebagai pendekatan untuk mengetahui ketersediaan sumber hara bagi kehidupan mikrob (Brault, 1991). Hal tersebut dilakukan dengan menghitung nisbah COD terhadap BOD5,. Nisah COD terhadap BOD5 semakin mendekati nilai 1,46 berarti penguraian limbah dikatagorikan semakin sempurna. Lebih lanjut, Utami (1992) menyatakan bahwa bila nisbah COD terhadap BOD5 lebih kecil dari 1,7 digolongkan sebagai limbah yang mudah terurai, bila berkisar antara 1,7 sampai 10 merupakan limbah yang tidak terurai secara sempurna dan bila lebih besar dari 10, maka limbah masuk ke dalam katagori limbah yang sangat sulit terurai.

Nisbah COD terhadap BOD5 pada limbah tekstil buatan setelah dilakukan

Dokumen terkait