• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Uraian Teoritis

3. Makro Ekonomi

Lingkungan makro ekonomi adalah lingkungan yang mempengaruhi operasi perusahaan sehari-hari. Kemampuan investor dalam memahami dan meramalkan kondisi makro ekonomi di masa datang, akan sangat berguna dalam pembuatan keputusan investasi yang menguntungkan. Untuk itu, seorang investor harus mampu memperhatikan beberapa indikator makro ekonomi yang dapat membantu dalam memprediksi kondisi makro ekonomi.

Faktor makro merupakan faktor yang berada diluar perusahaan, tetapi mempunyai pengaruh terhadap kenaikan atau penurunan kinerja perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor makro terdiri dari makro ekonomi dan makro non-ekonomi. Pada uraian teoritis ini akan dijelaskan faktor makro yaitu makro ekonomi.

Perubahan makro ekonomi tidak akan dengan seketika mempengaruhi kinerja perusahaan, tetapi secara perlahan dalam jangka panjang. Sebaliknya, harga saham akan terpengaruh dengan seketika oleh perubahan makro ekonomi karena para investor akan mengkalkulasikan dampaknya baik yang positif maupun negatif terhadap kinerja perusahaan beberapa tahun ke depan, kemudian mengambil keputusan membeli atau menjual saham yang bersangkutan. Oleh karena itu, harga saham lebih cepat menyesuaikan diri daripada kinerja perusahaan terhadap perubahan variabel-variabel makro ekonomi (Samsul, 2006:200).

Prasetyantoko (2008:220) mengatakan hampir semua analisis tentang krisis ekonomi dikawasan Asia selalu mengatakan bahwa krisis adalah sesuatu yang tidak terduga. Karena hampir semua indikator makro ekonomi

menunjukkan kinerja yang baik, tetapi tidak tahan ketika krisis datang dan akhirnya meruntuhkan yang sudah ditata dengan rapi. Hal ini ditunjukkan oleh kebijakan utang perusahaan-perusahaan yang terlalu eksesif pada utang luar negeri dan dalam bentuk pinjaman jangka pendek, mengingat risiko pinjaman ke negara sedang berkembang sangat tinggi (risk premium). Lalu, perusahaan juga memilih utang dalam bentuk mata uang asing karena suku bunga pinjaman di luar negeri masih lebih murah bila dibandingkan dengan pinjaman dalam negeri.

Bodie, Kane, dan Marcus (dalam Utami dan Rahayu, 2003:125) menyatakan dalam bukunya Investment ada tujuh indikator makro ekonomi yang mempengaruhi perubahan harga saham, yaitu Gross Domestic Product (GDP), inflasi, tingkat pengangguran, suku bunga, nilai tukar, transaksi berjalan, dan defisit anggaran. Selain itu, ditempat berbeda, Samsul (2006:200) mengatakan faktor makro ekonomi yang secara langsung dapat mempengaruhi kinerja saham maupun kinerja perusahaan antara lain: Tingkat bunga umum domestik (suku bunga), tingkat inflasi, peraturan perpajakan, kebijakan khusus pemerintah terkait dengan perusahaan tertentu, kurs valuta asing (nilai tukar), tingkat bunga pinjaman luar negeri, kondisi perekonomian internasional, siklus ekonomi, paham ekonomi, dan peredaran uang. Namun tidak semua faktor tersebut dapat digunakan sebagai variabel penelitian, antara lain: tingkat pengangguran, transaksi berjalan, dan defisit anggaran. Oleh sebab itu, indikator makro ekonomi yang dinilai relevan adalah GDP, suku bunga dan nilai tukar, hal ini di jelaskan sebagai berikut:

a. Gross Domestic Product (GDP)

Gross Domestic Product (GDP) / Produk Domestik Bruto (PDB),

diartikan sebagai nilai keseluruhan semua barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu tertentu (biasanya per tahun). Menurut Mankiw (2006 : 5) PDB adalah nilai pasar dari semua barang dan jasa akhir (final) yang diproduksi dalam sebuah negara pada suatu periode. PDB berbeda dari produk nasional bruto karena memasukkan pendapatan faktor produksi dari luar negeri yang bekerja di negara tersebut. Sehingga PDB hanya menghitung total produksi dari suatu negara tanpa memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi dalam negeri atau tidak. Sebaliknya, PNB memperhatikan asal usul faktor produksi yang digunakan.

Ketika menilai apakah perekonomian berlangsung dengan baik atau buruk, yang dilihat adalah total pendapatan yang diperoleh semua orang dalam perekonomian. Inilah tugas dari PDB. PDB mengukur dua hal pada saat bersamaan: total pendapatan semua orang dalam perekonomian dan total pembelanjaan negara untuk membeli barang dan jasa hasil dari perekonomian. Alasan PDB dapat melakukan pengukuran total pendapatan dan pengeluaran adalah karena kedua hal ini benar-benar sama persis. Untuk suatu perekonomian secara keseluruhan, pendapatan pasti sama dengan pengeluaran. Kita dapat menghitung PDB perekonomian dengan menggunakan salah satu dari dua cara: menambahkan semua pengeluaran rumah tangga atau menambahkan semua pengeluaran (upah, sewa, dan keuntungan) yang dibayar perusahaan.

PDB Nominal (atau disebut PDB Atas Dasar Harga Berlaku) merujuk kepada nilai PDB tanpa memperhatikan pengaruh harga. Sedangkan PDB riil (atau disebut PDB Atas Dasar Harga Konstan) mengoreksi angka PDB nominal dengan memasukkan pengaruh dari harga.

PDB dapat dihitung dengan memakai dua pendekatan, yaitu pendekatan pengeluaran dan pendekatan pendapatan. Rumus umum untuk PDB dengan pendekatan pengeluaran adalah:

PDB =

Di mana tangga, pemerintah, da

Sementara pendekatan pendapatan menghitung pendapatan yang diterima faktor produksi:

PDB =

Di mana tanah, untuk pengusaha.

Secara teori, PDB dengan pendekatan pengeluaran dan pendapatan harus menghasilkan angka yang sama. Namun karena dalam praktek menghitung PDB dengan pendekatan pendapatan sulit dilakukan, maka yang sering digunakan adalah dengan pendekatan pengeluaran.

GDP adalah ukuran produksi barang dan jasa total suatu negara. Pertumbuhan GDP yang cepat merupakan indikasi terjadinya pertumbuhan ekonomi. Jika pertumbuhan ekonomi membaik, maka daya

beli masyarakat pun akan meningkat, dan ini merupakan kesempatan bagi perusahaan untuk meningkatkan penjualannya. Dengan meningkatkan penjualan perusahaan, maka kesempatan perusahaan memperoleh keuntungan juga akan semakin meningkat (Tandellilin, 2001:12).

b. Suku Bunga

Suku bunga ternyata merupakan salah satu sumber goncangan finansial menurut Mishkin (dalam Prasetyantoko, 2008:149). Peningkatan suku bunga mendorong instabilitas finansial. Jika suku bunga pasar meningkat, maka kemungkinan para peminjam (kreditor) mengalami risiko kredit akan meningkat pula. Apalagi bagi kreditor yang memang pada dasarnya risiko investasinya tinggi. Dengan peningkatan suku bunga pasar, maka risiko menjadi bangkrut menjadi tinggi pula. Kadangkala, peminjam sengaja menyembunyikan informasi yang sesungguhnya berkaitan denga kondisi keuangan perusahaan serta risiko investasinya (masalah adverse selection) untuk mendapatkan komitmen pinjaman baru setelah terjadi kenaikan bunga. Sehingga, secara teknis perusahaan tersebut tidak mampu menanggung beban utang baru. Tetapi, mengingat kebutuhan yang mendesak untuk menutup kewajiban yang lampau, maka banyak perusahaan yang melakukan hal tersebut. Jika banyak melakukan tindakan ini, maka secara makro perekonomian berada pada posisi yang berbahaya.

Suku bunga dan prakiraan nilainya dimasa depan merupakan salah satu masukan yang penting dalam keputusan investasi. Secara sederhana,

dapat diketahui faktor-faktor penting yang menentukan tingkat suku bunga yaitu:

1. Suplai dana dari para penabung, terutama sektor rumah tangga. 2. Permintaan terhadap dana dari sektor bisnis untuk keperluan

pembiayaan investasi dalam bentuk pabrik, peralatan dan persediaan (aset riil atau pembentukan modal).

3. Penawaran dan permintaan bersih pemerintah terhadap dana yang terlihat dari tindakan-tindakan bank sentral.

4. Tingkat inflasi yang diharapkan. Suku bunga nominal, yaitu suku bunga yang sebenarnya kita lihat, adalah bunga riil ditambah tingkat inflasi yang diharapkan. (Bodie, 2006 : 180)

Irving Fisher (1930) dalam Bodie (2006 : 183) menyatakan bahwa bunga nominal harus meningkat dengan tingkat yang sama dengan kenaikan inflasi yang diharapkan. Jika kita gunakan notasi E(i) sebagai simbol dengan inflasi sekarang yang akan berlanjut ke masa depan maka kita bisa membuat persamaan Fisher sebagai: R = r + E(i) dimana R sebagai suku bunga nominal dan r sebagai suku bunga riil. Persamaan ini menunjukkan bahwa jika tingkat bunga riil cukup stabil, maka kenaikan tingkat bunga nominal memprediksi tingkat inflasi yang lebih tinggi.

Mankiw (2003 : 187) mendeskripsikan Teori Kuantitas dan persamaan Fisher sebagai pertumbuhan uang yang mempengaruhi tingkat bunga nominal. “Menurut teori kuantitas, kenaikan dalam tingkat pertumbuhan uang sebesar 1 persen menyebabkan kenaikan 1 persen dalam tingkat inflasi, sebaliknya menyebabkan kenaikan 1 persen dalam tingkat bunga

nominal. Hubungan satu-untuk-satu antara tingkat inflasi dan tingkat bunga nominal disebut efek Fisher (Fisher effect)”

Kenaikan tingkat bunga pinjaman memiliki dampak negatif terhadap setiap emiten, karena akan meningkatkan beban bunga kredit dan menurunkan laba bersih. Penurunan laba bersih akan mengakibatkan laba per saham juga menurun dan akhirnya akan berakibat turunnya harga saham di pasar. Di sisi lain, naiknya suku bunga deposito akan mendorong investor untuk menjual saham dan kemudian menabung hasil penjualan itu dalam deposito. Penjualan saham secara besar-besaran akan menjatuhkan harga saham di pasar. Oleh karena itu, kenaikan suku bunga pinjaman atau suku bunga deposito akan mengakibatkan turunnya harga saham.

Sebaliknya, penurunan suku bunga pinjaman atau suku bunga deposito akan meningkatkan harga saham dipasar dan laba bersih per saham, sehingga mendorong harga saham meningkat. Penurunan bunga deposito akan mendorong investor mengalihkan investasinya dari perbankan ke pasar modal. Investor akan memborong saham sehingga saham terdorong naik akibat meningkatnya permintaan saham (Samsul, 2006:201).

Menurut Tandelilin (2001:213), tingkat suku bunga yang terlalu tinggi akan mempengaruhi nilai sekarang (present value) aliran kas perusahaan. Sehingga kesempatan-kesempatan investasi yang ada tidak akan menarik lagi. Tingkat bunga yang tinggi juga akan meningkatkan biaya modal yang harus ditanggung perusahaan. Di samping itu, tingkat bunga yang tinggi juga akan menyebabkan return yang disyaratkan investor dari suatu investasi akan meningkat.

c. Nilai Tukar

Kurs nilai tukar akan berubah sepanjang waktu karena perubahan kurva permintaan dan penawaran. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan kurva permintaan dan penawaran tersebut (Madura, 2006:128- 135) adalah:

1. Perubahan Tingkat Inflasi Realtif dapat mempengaruhi aktivitas perdagangan internasional yang akan mempengaruhi permintaan dan penawaran suatu mata uang dan karenanya mempengaruhi nilai tukar.

2. Perubahan pada Suku Bunga Relatif mempengaruhi investasi pada sekuritas asing, yang akhirnya mempengaruhi permintaan dan penawaran mata uang asing dan karenanya juga akan mempengaruhi nilai tukar.

3. Tingkat Pendapatan Relatif juga mempengaruhi kurs mata uang. Hal ini dikarenakan pendapatan mempengaruhi jumlah permintaan barang impor, maka pendapatan dapat mempengaruhi kurs mata uang.

4. Pengendalian Pemerintah. Pemerintah negara asing dapat mempengaruhi kurs keseimbangan dengan berbagai cara, termasuk mengenakan batasan atas pertukaran mata uang asing, mengenakan batasan atas perdagangan asing, mencampuri pasar mata uang asing (dengan membeli atau menjual), dan mempengaruhi variabel makro seperti inflasi, suku bunga, dan GDP.

5. Faktor kelima yang mempengaruhi kurs mata uang adalah prediksi pasar mengenai kurs mata uang di masa depan. Seperti pasar keuangan lain, pasar mata uang asing juga bereaksi terhadap berita yang memiliki dampak masa depan, yang akan memberikan tekanan menurunkan atau menaikkan nilai tukar mata uang.

6. Faktor yang juga mempengaruhi kurs nilai tukar adalah Interaksi Faktor. Transaksi dalam pasar mata uang asing memfasilitasi baik arus perdagangan maupun arus keuangan. Seringkali faktor-faktor terkait perdagangan maupun keuangan berinteraksi dan mempengaruhi pergerakkan mata uang secara simultan.

Nilai tukar merupakan harga mata uang suatu negara yang dinyatakan dalam mata uang negara lainnya (Utami dan Rahayu, 2003:126). Melemahnya nilai rupiah memungkinkan beban utang badan usaha semakin besar jika dinilai dengan rupiah, dan akhirnya berujung pada menurunnya profitabilitas badan usaha. Fakta di BEI menunjukkan bahwa pada akhir tahun 1997 sebanyak 210 badan usaha dari 279 badan usaha publik mengalami penurunan laba dibandingkan tahun 1996. bahkan tercatat 75% dari 210 badan usaha publik yang menyampaikan laporan keuangan mengalami rugi bersih cukup besar. Menurunnya kinerja badan usaha akan direspon oleh investor di pasar modal yang akhirnya akan mempengaruhi harga saham. Menurut Tandelilin (2001:214) menguatnya kurs rupiah terhadap mata uang asing merupakan sinyal positif bagi perekonomian yang mengalami inflasi. Menguatnya kurs rupiah terhadap mata uang asing akan menurunkan biaya impor bahan baku untuk

produksi, menurunkan tingkat suku bunga yang berlaku dan pemodal asing akan mempercayai ekonomi Indonesia lagi sehingga modal asing akan mengalir masuk.

Dokumen terkait