• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSASERBASI AKUT

Dalam dokumen Laporan Tutorial Skenario B Blok 16 L8 (Halaman 26-33)

Kasus AKUT KRONIS

EKSASERBASI AKUT KRONIS Tonsil hiperemis + + - Tonsil edema + + +/- Kriptus melebar + + + Destruitus + + + Perlengketan - + +

d. Apa WD dari kasus ini?

Rhinitis akut dan tonsilofaringitis kronis eksaserbasi akut: rhinotonsilofaringitis yang sudah lama dan kembali ke fase akut (muncul gejala akut, recurren) sebagai tanda peningkatan keparahan dari suatu penyakit dengan tanda :

1. tonsil hiperemis dan edema 2. Kripta melebar

3. Detritus + 4. perlengketan

e. Apa etiologi dari diagnosis ini?

Rhinitis: pemicu rhinitis nonallergic meliputi:

 iritasi lingkungan atau pekerjaan. Debu, asap, asap rokok atau bau yang kuat, seperti parfum, dapat memicu rhinitis alergi. Uap kimia, seperti yang Anda mungkin terpapar dalam pekerjaan tertentu, mungkin juga untuk menyalahkan.

 Perubahan Cuaca. Perubahan suhu atau kelembaban dapat memicu membran dalam hidung Anda membengkak dan menyebabkan hidung berair atau tersumbat.

24

 Infeksi. Penyebab umum dari rhinitis nonallergic adalah infeksi virus - pilek atau flu, misalnya. Jenis rhinitis nonallergic biasanya akan hilang setelah beberapa minggu, tetapi dapat menyebabkan berlama-lama lendir di tenggorokan (postnasal drip). Kadang-kadang, jenis rhinitis dapat menjadi kronis, menyebabkan sedang berlangsung berubah warna hidung debit, nyeri wajah dan tekanan (sinusitis).

 Makanan dan minuman. Rhinitis nonallergic mungkin terjadi saat Anda makan, terutama ketika makan makanan panas atau pedas. Minum minuman beralkohol juga dapat menyebabkan selaput dalam hidung Anda membengkak, menyebabkan hidung tersumbat.

 Obat-obat tertentu. Beberapa obat dapat menyebabkan rhinitis alergi. Ini termasuk aspirin, ibuprofen (Advil, Motrin IB, orang lain), dan tekanan darah tinggi (hipertensi) obat-obatan seperti beta blockers. Rhinitis nonallergic juga bisa dipicu pada beberapa orang dengan obat penenang, antidepresan, kontrasepsi oral atau obat yang digunakan untuk mengobati disfungsi ereksi. Terlalu sering menggunakan semprotan hidung dekongestan dapat menyebabkan jenis rhinitis nonallergic disebut rhinitis medicamentosa.

 Perubahan hormon. Perubahan hormon akibat kehamilan, menstruasi, penggunaan kontrasepsi oral atau kondisi hormonal lainnya seperti hipotiroidisme dapat menyebabkan rhinitis alergi. • Stres. Stres emosional atau fisik dapat memicu rhinitis nonallergic pada beberapa orang.

Faringotonsilitis:

 Virus (rhinoviruses, coronaviruses, influenza, adeno, herpes, EBV dan lain-lain) adalah penyebab utama faringotonsilitis, hadir dalam 70-80% kasus.

 faringotonsilitis bakteri agak jarang. Grup A streptokokus hemolitik beta (s.pyogenes) adalah agen penyebab utama dalam kasus-kasus. Dalam beberapa kasus yang jarang penyakit mungkin disebabkan oleh staphylococcus atau gonococcus (yang menyebabkan gonore).

f. Apa epidemiologi dari diagnosis ini?

Dapat mengenai semua umur dengan insiden tertinggi pada anak-anak usia 5-15 tahun. Pada anak-anak, Group A streptococcus menyebabkan sekitar 30% kasus tonsilofaringitis akut, sedangkan pada orang dewasa hanya sekitar 5-10%. Tonsilofaringitis akut yang disebabkan oleh Group A streptococcus jarang terjadi pada anak berusia 2 tahun ke bawah.

Faringitis: terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi jenis kelamin, tetapi frekuensi yang paling tinggi terjadi pada anak-anak

25 Rinitis: diperkirakan sekitar 20% – 30% populasi orang dewasa Amerika dan lebih dari 40% anak-anak menderita penyakit ini.

Tonsilitis: sering terjadi pada anak-anak pada umur 5-10 tahun dan dewasa mudaantara 15-25 tahun.

g. Apa faktor resiko dari diagnosis ini?

Faktor resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza, konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan, gejala predormal dari penyakit scarlet fever , dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita sakit tenggorokan atau demam.

 inhalasi droplet dan kontak lansung dengan mukosa yang terinfeksi.

 hygine mulut yang buruk pengaruh cuaca,perokok pasif.

h. Apa patogenesis dari diagnosis ini?

Nasofaring dan orofaring adalah tempat untuk organisme ini, kontak langsung dengan mukosa nasofaring atau orofaring yang terinfeksi atau dengan benda yang terkontaminasi seperti sikat gigi merupakan cara penularan yang kurang berperan, demikian juga penularan melalui makanan.

Bakteri maupun virus dapat secara langsung menginvasi mukosa faring yang kemudian menyebabkan respon peradangan lokal. Rhinovirus menyebabkan iritasi mukosa faring sekunder akibat sekresi nasal. Sebagian besar peradangan melibatkan nasofaring, uvula, dan palatum mole. Perjalanan penyakitnya ialah terjadi inokulasi dari agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan lokal, sehingga menyebabkan eritema faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi streptokokus ditandai dengan invasi lokal serta penglepasan toksin ekstraselular dan protease. Transmisi dari virus yang khusus dan SBHGA terutama terjadi akibat kontak tangan dengan sekret hidung dibandingkan dengan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek, yaitu 24-72 jam.

Setelah terjadi proses infeksi yang tidak ditangani dengan adekuat dan atau sistem imun yang menurun, maka mo masih akan tetap berada di dalam tubuh dan sebabkan peradangan. Saat terdapat faktor predisposisi/pencetus maka proses peradangan akan terjadi kembali sehingga akan muncul tanda infeksi akut pada proses peradangan yang sebelumnya telah terjadi.

26 i. Apa manifestasi klinis dari diagnosis ini?

Rhinitis: Signs and symptoms dari nonallergic rhinitis termasuk:

Stuffy nose (hidung tersumbat)

Runny nose (ingusan)

Sneezing (bersin bersin)

Mucus (phlegm) pada tenggorokan (postnasal drip)

Faringotonsilitis: Sign and symptoms pada faringotonsilitis adalah: demam, hilang nafsu makan, nausea, sakit ketika menelan, sakit tenggorokan, muntah, sakit kepala.

Yang sering muncul pada faringitis adalah:

 Nyeri tenggorok dan nyeri menelan

 Tonsil (amandel) membesar

 Mukosa yang melapisi faring mengalami peradangan berat atau ringan dan tertutup oleh selaput yang berwarna keputihan atau mengeluarkan pus (nanah).

 Demam, bisa mencapai 40ºC.

 Pembesaran kelenjar getah bening di leher.

 Setelah bakteri atau virus mencapai sistemik maka gejala-gejala sistemik akan muncul,

 Lesu dan lemah, nyeri pada sendi-sendi otot, tidak nafsu makan dan nyeri pada telinga.

 Peningkatan jumlah sel darah putih.

Gejala tonsillitis kronis menurut Mawson (1977), dibagi menjadi :

1. gejala local, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan

2. gejala sistemik, rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian

3. gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsillitis folikularis kronis), edema atau hipertrofi tonsil (tonsillitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotic dan kecil (tonsillitis fibrotic kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.

Pada tonsilofaringitis streptokokus akan dijumpai gejala dan tanda berikut: 1. Obstruktive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)

27 2. Faring hiperemis

3. Demam

4. Nyeri tenggorokan

5. Tonsil bengak dengan eksudasi

6. Kelenjar getah bening anterior bangkak dan nyeri 7. Uvula bengkak dan merah

8. Ekskoriasi hidung disertai lasi impetigo sekunder 9. Paetekie palatum molae

j. Apa tatalaksana dari diagnosis ini?

Kasus ini etiologinya belum jelas apakah virus atau bakteri. Untuk tahu etiologi harus periksa kultur jaringan dan melihat hasil diff count darah. Berdasarkan tanda klinis yang ditimbulkan kemungkinan pada kasus ini etiologinya adalah bakteri. Tetapi karena jenis bakterinya belum bisa diketahui karna kurangnya pemeriksaan maka diberi Antibiotik berupa broadspectrum selama 5 hari. Setelah itu lihat kondisi pasien. Jika pasien tidak membaik maka harus periksa kultur, tetapi jika pasien mengalami perbaikan maka lanjutkan broadspectrum sampai hari ke 14. Tetapi jelaskan pasien bahwa pemakaian antibiotic harus teratur.

Untuk gejala batuk dan pilek berikan obat simptomatik seperti Antihistamin , Antitusif.

Dalam kasus ini penyebab infeksi belum diketahui, maka dari itu diperlukan kultur apusan tenggorok untuk menentukan tatalaksana yang tepat. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi.

Faringitis streptokokus grup A merupakan satu-satunya faringitis yang memiliki indikasi kuat dan aturan khusus dalam penggunaan antibiotik selain difteri.

Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada faringitis virus karena tidak akan mempercepat waktu penyembuhan atau mengurangi derajat keparahan. Istirahat cukup serta pemberian cairan yang sesuai merupakan terapi yang baik. Pemberian gargles (obat kumur) dan lozenges (obat hisap) pada anak yang cukup besar dapat mengurangi gejala nyeri tenggorok. Apabila terdapat demam atau nyeri berlebih, dapat diberikan parasetamol atau ibuprofen.

28 Pemberian aspirin tidak dianjurkan, terutama pada infeksi influenza karena seringnya insiden sindrome Reye.

a. Terapi antibiotik

Pemberian antibiotik pada faringitis harus berdasarkan gejala klinis dan hasil kultur positif pada pemeriksaan apusan tenggorok. Akan tetapi, hingga saat ini masih terdapat pemberian antibiotik yang tidak rasional untuk kasus faringitis akut. Salah satu penyebabnya adalah terdapat overdiagnosis faringitis menjadi faringitis akut streptokokus karena kekhawatiran pada salah satu komplikasinya, yaitu demam reumatik.

Antibiotik pilihan pada terapi faringitisakut streptokokus grup A adalah Penisilin V oral 15-30 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis selama 10 hari atau Bnezatin Penisilin G IM dosis tunggal dengan dosis 600.000 IU (BB<30 kg) dan 1.200.000 IU (BB>30 kg). Amoksisilin dapat digunakan sebagai pengganti penisilin pada anak yang lebih kecil karena selain efeknya sama, amoksisilin memiliki rasa yang lebih enak. Amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 2 selama 6 hari, efektivitasnya sama dengan Penisilin V oral selama 10 hari.

Untuk anak dengan alergi penisilin dapat diberikan eritromisin etil suksinat 40 mg/kgBB/hari , eritomisin estolat 20-40 mg/kgBB/hari dengan pemberian 2, 3, atau 4 kali sehari selama 10 hari. Atau makrolid generasi terbaru seperti azitromisin dosis tunggal 10 mg/kgBB/hari selama 3 hari berturut-turut. Antibiotik golongan sefalosporin generasi I dan II juga dapat memberikan efek yang sama tapi jarang diberikan karena selain mahal, risiko resistensinya lebih besar.

Kegagalan terapi adalah terdapatnya streptokokus persisten setelah terapi selesai yang terjadi pada 5-20% populasi, dan lebih sering ditemukan pada populasi dengan pengobatan penisilin oral dan bukannya suntik. Hal ini dapat disebabkan oleh komplians yang kurang, infeksi ulang, atau adanya flora normla yang memproduksi β–laktamase.

Kultur ulang apusan tenggorok hanya dilakukan pada keadaan dengan risiko tinggi, misalnya pada pasien dengan riwayat demam reumatik atau infeksi berulang streptokokus. Apabila hasil kultur kembali positif, beberapa kepustakaan menyarankan terapi kedua, klindamisin 20-30 mg/kgBB/hari selama 10 hari, amoksisilin-klavulanat 40 mg/kgBB/hari terbagi 3 dosis dalam 10 hari, atau injeksi Bnezathine Penisilin G IM dengan dosis 600.000 IU (BB<30 kg) dan 1.200.000 IU (BB>30 kg). Akan tetapi, bila setelah terapi

29 ketiga pasien tetap positif, kemungkinan pasien merupakan karier yang risiko ringan terinfeksi demam reumatik.

b. Tonsilektomi

Pembedahan elektif adenoid dan tonsil telah dilakukan secara luas untuk mengurangi frekuensi tonsilitis rekuren walaupun dasar ilmiah tindakan ini masih belum jelas. Terapi dengan adenoidektomi dan tonsilektomi telah menurun dalam dua dasawarsa terakhir ini. Ukuran tonsil dan adenoid bukan lah indikator yang tepat. Tonsilektomi biasanya dilakukan pada tnsilofaringitis berulang atau kronis.

Terdapat beberapa indikator klinis yang digunakan, salah satunya adalah kriteria yang digunakan Children’s Hospital of Pittsburgh Study, yaitu tujuh atau lebih infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik pada tahun sebelumnya, lima atau lebih infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik setiap tahun selama 2 tahun sebelumnya, dan tiga atau lebih infeksi tenggorokan yang diterapi dengan antibiotik setiap tahun selama 3 tahun sebelumnya. American Academy Otolaryngology and Head and Neck Surgery mneetapkan terdapatnya tiga atau lebih infeksi tenggorokan yang diterapi dalam setahun sebagai bukti yang cukup untuk dilakukan pembedahan. Indikator klinis di atas tidak dapat diterapkan di Indonesia dan memerlukan pemikiran lebih lanjut.

Keputusan tonsilektomi harus didasarkan pada tanda dan gejala yang terkait secara langsung terhadap hipertrofi, obstruksi, dan infeksi kronis pada tonsil dan struktur terkait. Ukuran tonsil anak relatif lebih besar daripada orang dewasa. Infeksi tidak selalu menyebabkan hipertrofi tonsil. Tonsilektomi sedapat mungkin dihindari pada anak usia di bawah 3 tahun. Bila ada infeksi aktif, tonsilektomi harus ditunda selama 2-3 minggu.

Adenoidektomi sering direkomendasikan sebagai terapi tambahan pada otitis media kronis dan rekuren. Sebuah RCT menunjukkan bahwa adenoidektomi dan miringotomi bilateral (tanpa timpanoplasti) memberikan keuntungan pada anak berusia 4-8 tahun yang menderita otitis media kronis dengan efusi.

Indikasi lain tonsiloadeoidektomi adalah terjadinya obstructive sleep apnea akibat pembesaran adenotonsil.

30 INDIKASI ABSOLUT:

1. Tonsil (amandel) yang besar hingga mengakibatkan gangguan pernafasan, nyeri telan yang berat, gangguan tidur atau sudah terjadi komplikasi penyakit-penyakit kardiopulmonal.

2. Abses peritonsiler (Peritonsillar abscess) yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan. Dan pembesaran tonsil yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan wajah atau mulut yang terdokumentasi oleh dokter gigi bedah mulut.

3. Tonsillitis yang mengakibatkan kejang demam.

4. Tonsil yang diperkirakan memerlukan biopsi jaringan untuk menentukan gambaran patologis jaringan.

Dalam dokumen Laporan Tutorial Skenario B Blok 16 L8 (Halaman 26-33)

Dokumen terkait