• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi Bantuan Hukum Pada Proses Peradilan Pidana

Dalam dokumen WAJAH HAK ASASI MANUSIA (Halaman 118-121)

Pada dasarnya setiap orang yang menghadapi persoalan hukum khususnya hukum pidana baik yang bersangkutan berstatus tersangka atau terdakwa akan mengalami goncangan jiwa sehingga membutuhkan bantuan hukum dari pihak lain. Adanya bantuan hukum dari seorang

advokat akan membantu tersangka atau terdakwa untuk

mempertahankan kepentingan hukumnya di hadapan para penegak hukum dan sekaligus keberadaan advokat bersama-sama para penegak hukum dalam menyelesaikan suatu perkara pidana sehingga terlaksananya peradilan pidana yang efektif dan efisien untuk terwujudnya keadilan substansial sebagaimana yang diamanatkan di

dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yaitu keadilan

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berkaitan dengan eksistensi bantuan hukum dalam proses peradilan pidana, menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa pada prinsipnya seorang terdakwa sudah didampingi seorang pembela selama pemeriksaan permulaan. Seorang terdakwa membutuhkan bantuan dari seorang pembela tersebut mengingat terdakwa mungkin sekali tidak dapat menyusun pembelaannya secara tepat. Untuk itu perlu sekali pikiran dan perasaan yang tenang, sedangkan ketenangan ini biasanya tidak

terdapat pada seorang yang tersangkut dalam perkara pidana sebagai terdakwa.114

Sedangkan menurut Soedjono bahwa bantuan hukum adalah suatu lembaga hukum yang penting peranannya dalam rangka mencari kebenaran materiil. Penasehat hukum yang memberi bantuan hukum merupakan pendamping yang sangat penting artinya bagi tersangka dan/atau terdakwa, sehingga menuntut kehati-hatian aparatur.115

Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Abdurrahman, bahwa bantuan hukum pada hakikatnya bukanlah hanya sekedar soal belas kasihan semata, melainkan merupakan hak yang dapat dituntut oleh setiap orang yang terlibat dalam suatu perkara. Disini secara tegas disebutkan bukan hanya sekedar “dapat” memperoleh bantuan hukum, akan tetapi “berhak” untuk memperoleh bantuan hukum. Jadi berarti eksistensinya harus benar-benar mendapat dukungan dalam ketentuan hukum positif dan dilaksanakan secara konsekuen.116

Sedangkan menurut Adnan Buyung Nasution bahwa pelaksanaan bantuan hukum di dalam praktik banyak menemui hambatan. Hal ini disebabkan para pejabat pemeriksa baik polisi maupun jaksa menolak memberikan hak bantuan hukum ini. Konkritnya menolak kehadiran penasehat hukum, dengan alasan formal yaitu karena belum ada peraturan-peraturan yang mengatur cara-cara bagaimana hak bantuan hukum ini diberikan. Sering pula dipakai alasan bahwa kehadiran

penasehat hukum dikhawatirkan dapat mempersulit proses

pemeriksaan suatu perkara.117

Salah satu bentuk bantuan hukum adalah Bantuan Hukum Prodeo yaitu bantuan hukum yang menjadi sasarannya adalah orang miskin yang minim mendapat akses keadilan. Berkaitan dengan itu berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan

114

Wirjono Prodjodikoro, 1985. Asas-Asas Hukum Acara Pidana, Jakarta. Hlm. 33, 46.

115 Abdurrahman, 1980. Pembaharuan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Pidana Baru, Bandung: Alumni. Hlm. 88.

116

Ibid. Hlm. 122.

pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penansehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Ketentuan tersebut belum dapat dilaksanakan dikarenakan beberapa sebab yaitu selain kurangnya pemahaman penyidik terhadap maksud ketentuan tersebut, juga dikarenakan kurang jelasnya pengaturan tentang bantuan hukum pada tahap penyidikan di dalam KUHAP. Hal ini terlihat dengan adanya ketidaksinkronan antara ketentuan Pasal 56 dengan Penjelasan Pasal 114 KUHAP yang menyatakan bahwa untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka sejak taraf penyidikan kepada tersangka sudah dijelaskan bahwa tersangka berhak didampingi penansehat hukum pada pemeriksaan di sidang pengadilan. Adanya ketidaksinkronan pengaturan bantuan hukum dalam KUHAP tersebut disebabkan belum jelasnya eksistensi bantuan hukum dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Hal ini mengingat pada saat lahirnya KUHAP, undang-undang yang menjadi dasar keberadaan bantuan hukum di Indonesia belum ada.

Perkembangan kebijakan pelaksanaan Pasal 56 KUHAP, berdasarkan Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (MAKEHJAPOL II Tahun 1992) ditentukan bahwa penyidik wajib menunjuk penasehat hukum untuk tersangka. Implementasi ketentuan ini pada daerah- daerah tertentu diwujudkan dalam bentuk BAP yang dibuat dengan tidak mengindahkan ketentuan Pasal 56 KUHAP dinyatakan batal demi hukum, sebagaimana “putusan sela” majelis hakim Pengadilan Negeri Magelang yang mengabulkan eksepsi penasehat hukum terdakwa dalam kasus Munarto alias Mame.118

Majelis hakim tersebut dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa BAP terdakwa yang dibuat oleh penyidik tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 56 KUHAP harus dinyatakan tidak sah, sehingga surat dakwaan penuntut umum yang dibuat berdasarkan BAP yang tidak sah harus dinyatakan tidak dapat diterima. Keputusan majelis hakim tersebut sesuai dengan pendapat Muladi bahwa mengenai BAP yang dianggap batal demi hukum karena proses

pembuatannya melanggar hak asasi manusia yang menjadi wewenang hakim belum menjadi tradisi di Indonesia. Pembatalan BAP demi hukum tersebut juga sesuai dengan pendapat H.L. Packer, yaitu:

We learn that coercion is often used to extract confessions from suspected criminals; we are then told that convictions based on coerced confessions may not be permitted to stand. We discover that the police often use methods in gathering evidence that violate the norms of privacy protected by the fourth Amandment; we are told that evidence obtained in this way must be excluded from the criminal trial.119

Dalam dokumen WAJAH HAK ASASI MANUSIA (Halaman 118-121)

Dokumen terkait