• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status dan Peran Advokat Dalam Penegakan Hukum

Dalam dokumen WAJAH HAK ASASI MANUSIA (Halaman 121-124)

Penegakan hukum akan dapat dicapai lebih sempurna kalau saja peran dan profesi advokat serta statusnya telah diatur oleh undang- undang sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, sehingga dalam kiprahnya sehari-hari dalam rangka menjalankan tugasnya seorang advokat dapat bertindak sesuai dengan fungsinya dan tidak lagi ragu-ragu akan kedudukan hukumnya dalam masyarakat. Sebaliknya masyarakatpun tahu persis apa fungsi, dan tugas seorang advokat. Berdasarkan undang-undang para penegak hukum lainnya pun tahu apa tugas seorang advokat sehingga salah paham tentang status dan profesi advokat yang selama ini terjadi dapat dihindari (Rambe, 2001: 9). Oleh karena itu sudah sewajarnyalah kita sambut kehadiran dasar hukum tentang keberadaan profesi advokat di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003.

Perkembangan Bantuan Hukum Prodeo di Indonesia menunjukkan kearah yang ideal, ini terlihat dengan diundangkannya: (1) Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; dan (2) Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

Diundangkannya kedua undang-undang tersebut, mengingat

keberadaan bantuan hukum prodeo sangat dibutuhkan bagi para pencari keadilan dalam hal ini tersangka atau terdakwa yang termasuk rakyat miskin.

119

Adanya bantuan hukum prodeo tersebut hak-hak atau kepentingan hukum rakyat miskin dapat diperjuangkan dalam proses peradilan. Selain itu adanya kewajiban bantuan hukum prodeo dalam kedua undang-undang tersebut, mengingat dalam praktik khususnya pada proses penyidikan masih banyak dijumpai perlakuan terhadap tersangka yang sewenang-wenang oleh aparat penyidik. Ini terbukti masih seringnya dijumpai dalam pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa menolak keras Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat penyidik dengan alasan bahwa pada waktu diperiksa oleh penyidik merasa dipaksa dengan perlakuan yang kurang manusia. Berdasarkan hasil penelitian Fakultas Hukum Universitas Diponegoro tahun 1988 bahwa terjadinya kondisi tersebut salah satunya dikarenakan tidak adanya penasehat hukum dalam proses penyidikan perkara yang bersangkutan. Walaupun berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penansehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Namun kenyataannya ketentuan tersebut belum dapat dilaksanakan dikarenakan beberapa sebab yaitu selain kurangnya pemahaman penyidik terhadap maksud ketentuan tersebut, juga dikarenakan kurang jelasnya pengaturan tentang bantuan hukum pada tahap penyidikan di dalam KUHAP. Hal ini terlihat dengan adanya ketidaksinkronan antara ketentuan Pasal 56 dengan Penjelasan Pasal 114 KUHAP yang menyatakan bahwa untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka sejak taraf penyidikan kepada tersangka sudah dijelaskan bahwa tersangka berhak didampingi penansehat hukum pada

pemeriksaan di sidang pengadilan. Adanya ketidaksinkronan

pengaturan bantuan hukum dalam KUHAP tersebut disebabkan belum jelasnya eksistensi bantuan hukum dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Hal ini mengingat pada saat lahirnya KUHAP, undang- undang yang menjadi dasar keberadaan bantuan hukum di Indonesia belum ada.

Berkaitan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor: 18 Tahun 2003 tentang Advokat, pelaksanaan bantuan hukum secara Cuma-Cuma (Prodeo) khususnya yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga bantuan hukum nirlaba seperti yang dilaksanakan oleh Biro Bantuan Hukum di setiap Perguruan Tinggi Ilmu Hukum yang dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.02. UM.09.08 tanggal 1 Juli 1980 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bantuan Hukum Juncto Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.01.UM.08.10 tahun 1981 tanggal 13 Oktober 1981 tentang Petunjuk Pelaksanaan Proyek Konsultasi dan Bantuan Hukum melalui Fakultas Hukum Negeri, mengalami kendala atau tidak dapat dilaksanakan lagi.

Larangan tersebut secara tegas dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1) point c Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 yang berbunyi “Untuk dapat diangkat sebagai advokat harus memenuhi persyaratan; tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara”. Ketentuan dalam pasal di atas dipertegas dengan Pasal 31 yang menyatakan “ Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi advokat dan bertindak seolah-oleh sebagai advokat tetapi bukan advokat sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 mendefinisikan advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan jasa hukum menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 adalah jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.

Bila ditelaah lebih jauh pengertian di atas dan persyaratan untuk menjadi advokat, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tidak saja melarang profesi advokat merangkap Pegawai Negeri Sipil, tetapi juga telah “membunuh” kehadiran badan bantuan hukum yang ada di setiap perguruan tinggi yang dalam praktiknya memberikan konsultasi dan bantuan hukum secara Cuma-Cuma (prodeo) kepada masyarakat baik di dalam maupun di luar pengadilan. Mengingat ketentuan Pasal 31

menjadi hambatan bagi masyarakat yang tidak mampu menggunakan jasa advokat baik karena alalsan jasa finansial maupun wilayah tertentu karena belum ada advokat di wilayahnya, akibatnya akses masyarakat terhadap keadilan menjadi semakin sempit bahkan tertutup pada hal akses pencari keadilan adalah bagian tak terpisahkan dari ciri negara hukum yakni harus transparan dan dapat diakses oleh semua orang (accessible to all).

Sehubungan dengan itu maka Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 006/PUU-II/2004 tanggal 13 Desember 2004 membatalkan ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003. Walaupun Pasal 31 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi namun dalam praktik pelaksanaan bantuan hukum secara prodeo belum dapat dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan. Sehubungan dengan itu mengingat negara mempunyai kewajiban untuk menjamin hak konstitusional setiap warga negara untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana perlindungan hak asasi manusia. Oleh sebab itu negara bertanggungjawab terhadap pemberian bantuan hukum bagi orang

miskin sebagai perwujudan akses terhadap keadilan, maka

diundangkanlah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.

Dalam dokumen WAJAH HAK ASASI MANUSIA (Halaman 121-124)

Dokumen terkait