FENOMENA GOLPUT DI IDONESIA PADA PEMILU 2004
D. Eksistensi Golput pada Pemilu 2004 sebagai Dampak Liberalisasi Politik Pasca Orde Baru
- " / " 6 " / CC%%% &$/ (&$C &$/ 2
Teorisasi yang dikemukakan oleh Guillermo O’Donnel dan Philippe C.
Schmitter, Indoensia sepeninggal Soeharto memasuki fase “liberalisasi politik awal.” Fase ini secara teoritis sebagai fase “transisi dari otoritarianisme entah ke
mana.” Menurut kedua pakar tersebut, transisi adalah interval antara suatu rezim
politik dan rezim yang lain. Transisi dimulai dengan proses perpecahan sebuah
rezim otoritarian dan pengesahan beberapa bentuk demokrasi; atau kembalinya
bentuk pemerintahan otoriter atau kemunculan aktor revolusioner. Ciri yang
menandai fase ini adalah ketika para penguasa otoriter, memulai memodifikasi
peraturan-peraturannya sendiri sebagai jaminan yang lebih kuat bagi hak-hak
individu dan kelompok.164
Sedangkan liberalisasi adalah proses pendefinisian ulang dan perluasan
hak-hak. Liberalisasi merupakan proses mengefektifkan hak-hak yang melindungi
individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindasan sewenang-wenang yang
dilakukan oleh negara atau pihak ketiga. Liberalisasi politik pasca Orde Baru antar lain ditandai dengan terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat, setiap
kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama bertahun-tahun
dikekang. Dengan adanya tuntutan tersebut yang terjadi kemudian adalah adanya luapan kebebesan, yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan
membentuk organisasi.165
Pada tataran akar rumput, ledakan partisipasi politik banyak mengambil
bentuk huru-hara, kekerasan massa, atau paraktek penjarahan kolektif. Di
kalangan mahasiswa terjadi demonstrasi dan protes di mana-mana. Sementara
ledakan partisipasi politik di tataran elit-elit politik di tandai dengan maraknya
-: ! $ " ; &$ " /& ; B 5
2 -3
pendirian partai politik.166
Pada masa-masa akhir sebelum tumbangnya kekuasaan Orde Baru, partisipasi masyarakat dalam bentuk kekerasan, huru-hara terjadi di mana-mana,
faktor pemicunya dikarenakan terjadinya krisis ekonomi, kenaikan BBM, listrik,
transportasi, sembako dan sebagainya memancing mahasiswa protes turun ke
jalan. Radikalisasi gerakan mahasiswa serta situasi yang antagonistik tercipta dan
pada akhirnya terjadi kerusuhan massa di luar kampus yang penuh dengan
kekerasan, bercorak anti kemapanan (pemerintahan Orba) dan berbau SARA
seperti terjadi di Medan dan sekitarnya (April 1998), di Jakarta (13 dan 14 Mei
1998) dan di Solo (14 Mei 1998).167
Akumulasi kemuakan masyarakat terhadap elit-elit politik terjadi ketika
elit-elit politik hasil pemilihan umum tahun 1999 tidak bisa memberikan
perubahan yang berarti, semakin meningkatnya angka pengangguran, kemiskinan,
korupsi merajalela di semua lini. Banyak orang kemudian mengeluh putus asa dan berpikir kembali bahwa keadaan di masa Soeharto lebih baik. Paling tidak di masa
Soeharto orang mudah mencari pekerjaan, makan dan kebutuhan pokok
lainnya.168
Menurut penulis, meningkatnya angka golput pada pemilu 2004 juga
disebabkan oleh dampak dari liberalisasi politik, yakni adanya kebebasan di
segala bidang, masyarakat bisa bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendak
hati nuraninya, termasuk bebas menentukan pilihan politik sekalipun golput
pilihannya. Berbeda dengan masa Orde Baru, hak-hak politik rakyat banyak yang
---* $ #' " $ 1 1 , $ ) / $+ 2
F &+ 664 3
dikekang termasuk hak dalam menentukan pilihan, masyarakat banyak yang
dimobilisasi untuk memenangkan salah satu kontestan peserta pemilu pendukung pemerintah, pemilu terkesan merupakan kewajiban daripada sebagai hak warga
negara.
Hal tersebut bisa terlihat dari tingginya partisipasi politik rakyat pada masa
Orde Baru. Pada pemilu 1971, jumlah suara yang sah mencapai 94,02% dari
pemilih terdaftar. Selanjutnya pada pemilu 1977, 1982, 1987 dan 1992 jumlah
suara yang sah juga masih tinggi yaitu berturut-turut mencapai 90,93%, 92,03%,
91,31%, dan 91% dari pemilih terdaftar. Dengan demikian, rezim Orde Baru dapat
mengajukan klaim kepada publik bahwa legitimasi politik yang diperoleh dari
rakyat sangat kokoh. Dengan dasar klaim tersebut, maka kebijakan dan
program-program yang dibuat pemerintah juga mendapatkan legitimasinya pula dari
rakyat.169
Berbeda dengan masa Orde Baru, pada era Reformasi, yakni pasca tumbangnya Soeharto, semua tatanan politik berubah total. Di saat era transisi
dimulai—seperti teorinya O’Donell dan Schmitter—maka protes terjadi di
mana-mana, tuntutan terhadap hak politik yang selama bertahun-tahun dikekang oleh rezim Orde Baru terus disuarakan. Golkar yang saat itu banyak diprotes oleh
masyarakat yang dianggap sebagai kepanjangan tangan rezim Orde Baru mulai
memperbaiki diri untuk mendapatkan kepercayaan kembali dari konstituennya,
kebebasan dalam segala hal pada masa ini terlihat jelas dan justru terkesan
kebablasan.
Tentu saja dalam hal ini liberalisasi politik atau melonggarnya kontrol dan
-6: $$ " * $ # $ " ; ) $ & , " $ ! $ "" "
) 2 , 0 3 ) 0 1 ' @ ! F+& "& 664
kekangan terhadap kehidupan politik tidak sama dengan demokrasi. Kebebasan
menyampaikan pendapat bisa dibalas dengan kebebasan untuk tidak mendengarkan pendapat orang lain. Kebebasan dalam situasi ketimpangan dengan
mudah bisa berkembang menjadi tirani kelompok yang kuat terhadap yang lemah,
mayoritas terhadap minoritas, kebebasan memilih pun tidak ada artinya ketika
hanya orang dengan dukungan politik dan finansial cukup saja yang bisa
bertarung dalam arena pemilihan umum. Liberalisasi ini pada dasarnya lebih
banyak memberi pihak berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya.170
Hal ini nampak dalam ketimpangan sosial ekonomi yang semakin tajam.
Tidak adanya peningkatan kerja serius dari pemerintah untuk menangani
permasalahan pengangguran. Tercatat tahun 2003 angka pengangguran di
Indonesia sebesar 5,1 juta jiwa atau sekitar 5,46% dari angka kerja yang
berjumlah 92,7 juta jiwa dan jumlah 40 juta jiwa pengangguran terselubung.
Realitas ini menunjukkan begitu timpangnya keadaan ekonomi politik kita. Di satu sisi, begitu banyak uang yang terhambur dalam arena politik, begitu
tingginya political cost terbuang di negeri ini, sementara di sisi lain pemerintah tidak mampu mengelola urusan publik dan memberikan lapangan kerja yang layak bagi warganya, dan sebagian rakyat hidup dengan standar kehidupan yang jauh
dari kelayakan.171
Kemudian dampak liberalisasi politik di era Reformasi, dibuktikan dengan
semakin menjamurnya partai-partai politik. Elit-elit politik bebas mendirikan
partai politik dengan berbagai macam asas dan ideologinya. Tercatat ada 48 partai
politik yang mengikuti pemilu 1999. Fenomena yang sama muncul kembali pada
#?" & ,# 0
)) # % $ & " $ $ , #
-pemilu 2004, walaupun sebelumnya muncul perdebatan saat membicarakan
mengenai terlalu loggarnya UU No. 2 tahun 1999 tentang persyaratan partai
politik.172 Walaupun demikian berbagai partai politik kembali marak. Pada pemilu
2004 tercatat partai yang lolos mengikuti pemilu sebanyak 24 partai politik.
Munculnya partai-partai baru itu memang tidak terlepas dari semakin
terbukanya keran kebebasan sejak bergulirnya rezim Orde Baru. Dalam konteks
ini juga dipertegas dengan hasil temun Demos tentang maslah-masalah dan
pilihan-pilihan demokratisasi di Indonesia, diantaranya adanya peningkatan
kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan mengeluarkan pendapat sejak 1999
(78,9%) diakui oleh para aktivis pro demokrasi cukup memberikan peluang bagi
para aktor, khususnya politisi dalam rangka memasuki kembali arena politik.173
Pada masa Orde Baru, hak-hak masyarakat terutama dalam politik di
kekang. Oposisi tidak dibenarkan pada masa itu, kelembagaan oposisi tidak diakui
keberadaannya dalam struktur kelembagaan formal sehingga tidak memiliki saluran politik. Organisasi baik politik maupun non politik hanya diizinkan untuk
memakai satu asas yaitu pancasila. Sebagaimana yang dikutip oleh Eep Sefullah
Fatah, Presiden Soeharto sendiri dalam otobiografinya mengungkapkan sebagai berikut:
“Dalam Demokrasi Pancasila tidak ada tempat untuk oposisi ala Barat….tentu saja ada kontrol atas pelaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Kesalahan yang dikaukan oleh pemerintah harus dibetulkan. Tetapi semua harus ingat atas kesepakatan yang telah kita ambil di sini. Oposisi yang asal saja menentang, asal saja berbeda, tidak kita kenal di sini.”174
172
“Partai Kagetan,” berita diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia
.org/pdf/3Demos25Jan05.
? / 1 & B ) , 0 < " ) . $
Penelitian R. William Liddle tentang pemilu-pemilu Orde Baru menunjukkan betapa partisipan pada pemilu Orde Baru lebih banyak disebabkan
oleh mobilisasi birokrasi negara, baik pusat maupun lokal. Pemilih lebih banyak
dikendalikan oleh “komando” pamong atau pejabat birokrasi dan militer. Ini
menunjukkan bahwa apa yang disebut Huntington dan Nelson sebagai partisipasi
politik otonom kurang terlihat secara berarti, sebaliknya mobilisasi terkesan lebih
kuat.175Maka dari itu jangan heran apabila angka partisipasi selalu tertinggi.
Pasca Orde Baru, masyarakat sudah diberikan kebebasan dalam berbagai
hal, termasuk kebebasan dalam bidang politik. Hal yang patut disanyangkan di sini adalah bawah euporia politik yang terjadi tidak disertai dengan tersedianya
politisi-politisi yang memadai, hal ini terlihat betapa partai-partai politik tersebut
masih tetap menjadi perebutan kekuasaan semata dibandingkan dengan
memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakat.176Misalnya dalam jajak
pendapat kompas (1/12) pernah menyimpulkan psimisme masyarakat, disebutkan
dalam jajak pendapat tersebut, publik meragukan kiprah partai-partai baru mampu
mengadakan perubahan. Bahkan hampir dua pertiga bagian responden merasa
tidak yakin partai baru mampu memperjuangkan aspirasi rakyat.177 Begitu juga
dengan partai-partai yang sudah ada sebelumnya. Hasil Polling yang dilakukan CESDA-LP3ES seperti yang sudah penulis bahas di atas menunjukkan lebih dari
separuh (51%) di sepuluh kota besar di Indonesia menyatakan bahwa tidak ada
satu partai politik pun yang memperhatikan suara rakyat.
Dengan melihat realitas yang ada selama ini, ketidakpercayaan publik
3 3
176
Diakses pada 13 Oktober 2008 dari http://www.demosindonesia.org/pdf/3Demos25Jan 05
4-tersebut terbukti pada pemilu 2004 terhadap parpol-parpol yang dianggapnya
tidak mampu membawa perubahan, alih-alih memperjuangkan kepentingan rakyat, partai-partai politik ternyata masih asyik dengan kepentingannya sendiri.
Dengan demikian, tidak heran masyarakat yang merasa kecewa memprotes
elit-elit tersebut mengungkapakannya dengan cara tidak ikut memilih.
Selain kecewa terhadap partai-partai yang ada, banyaknya partai politik
juga menyebabkan masyarakat tidak sedikit yang merasa kesulitan menentukan
pilihannya. Di satu sisi menjamurnya partai politik memang cermin dari
demokrasi karena adanya kebebasan termasuk kebebasan mendirikan partai
politik. Akan tetapi, di sisi lain banyaknya partai politik kerap membingungkan
pemilih. Kebingungan dimulai dari pengenalan gambar dan nama parpol yang
bisa dikatakan ada kemiripan dengan yang lainnya. Visi misi serta isu yang
disusung juga tidak sedikit ada kemiripan. Dengan banyaknya jumlah parpol, tidak dapat dihindari bahwa ideologi dan isu-isu yang mereka tawarkan juga tidak
jauh berbeda dengan parpol-parpol yang ada. Oleh karena itu, masyarakat akan
semakin bingung untuk memilih partai mana yang memang benar-benar sesuai dengan hati nuraninya. Kebingungan ini akan melahirkan sebuah sikap untuk
tidak memilih,178 atau memilih dengan cara asal-asalan yang pada akhirnya
mengakibatkan kertas suara menjadi tidak sah. Kebingungan tersebut bisa dilihat
dari hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Metro TV, dalam hal ini pertanyaan
yang diajuakan kepada responden adalah “Apa pendapat anda dengan adanya
peserta pemilu yang puluhan partai?” Sebanyak 85% responden menjawab
178
Diakses pada 17 Januari 2009 dari http://www.lembagarisetinformasi.com/artikel/sosial-dan-politik/11-huru-hara-golput.html
‘membingungkan,’ 7% ‘lebih baik’ dan 8% ‘tidak peduli.’179 Ini artinya dengan
banyaknya partai masyarakat semakin bingung dalam menentukan pilihannya. Menurut penulis, demokrasi tidak mesti selamnya dicirikan dengan
banyaknya kontestan partai politik. Banyaknya partai yang bermunculan pasca
Orde Baru memang bisa dipahami, mengingat selama kurang lebih 32 tahun
bangsa Indonesai dikekang secara politik. Pengurangan terhadap jumlah partai
harus terus dilakukan asalkan tidak dengan cara pemaksaan sebagaimana yang
dipraktekkan Orde Baru. Pembatasan terhadap partai-partai politik dalam pemilu
merupakan penyelewengan terhadap prinsip demokrasi. Demikianlah jumlah
parpol (PPP, Golkar, dan PDI) yang boleh mengikuti pemilu semasa Orde Baru.180
Ketentuan threshold dan verifikasi untuk menjaring partai peserta pemilu
perlu diperketat lagi dan harus terus diapresiasi, sehingga ke depannya
partai-partai politik yang dapat mengikuti pemilu benar-benar partai-partai yang memenuhi
syarat sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Penyeleksian dengan cara ini terhadap partai-partai politik sudah sangat demokratis mengingat pengurangan
tersebut berdasarkan kompetisi perolehan suara partai bukan karena paksaan.
Dalam hal ini partai yang tidak mendapatkan dukungan masyarakat akan sendirinya tereliminasi. Dengan demikian masyarakat tidak kebingungan lagi
dalam memilih partai.
6 ! 8 9) '
4 < ) $ ) , 0 0 ! 1 " +
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Golput atau golongan putih adalah sebutan yang dialamatkan kepada orang
yang tidak mau menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Atau sebutan yang
dialamatkan kepada sekelompok orang yang tidak mau memilih salah satu peserta
pemilu. Intinya, golput adalah sebutan yang dialamatkan kepada orang atau
sekelompok orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu.
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, golput baru lahir menjelang pemilu
1971 sebagai sikap kekecewaan sekelompok orang terhadap rezim Orde Baru
yang dimotori oleh Arief Budiman dan kawan-kawan sebagai gerakan moral dalam rangka memboikot pemilu yang dianggapnya tidak jurdil, tidak
demokratis, dan banyak dimanipulasi oleh pemerintah. Bagi pandangan kelompok
ini, pemilu hanyalah alat untuk melanggengkan kekuasaan Orde Baru agar
mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Pada masa ini banyak masyarakat yang
dimobilisasi untuk mengikuti pemilu, seperti pegawai negeri sipil yang tergabung
dalam korpri diharuskan memilih Golkar. Pada masa ini memilih terkesan sebagai
kewajiban.
Walaupun golput bukan sebuah organisasi, pada waktu itu golput seperti
halnya partai-partai lain yaitu melakukan pendidiakan politik, membuat
pernyataan-pernyataan di media cetak, dan menempelkan tanda gambar golput
berupa segi lima hitam di atas kertas/kain dengan warna dasar putih dengan tulisan golput di bagian bawahnya berdekatan dengan tanda gambar peserta
pemilu lain. Dengan melihat cara-cara seperti ini, maka gerakan ini tidak hanya
sebagai gerakan moral, akan tetapi sudah menyerupai kekuatan politik.
Pasca tumbangnya Orde Baru, memilih tidak memilih merupakan hak dan
tidak ada sanksi apapun bagi yang tidak memilih. Memilih atau tidak sama saja
nilainya manakala dilakukan dengan bertanggung jawab. Dalam hal memilih
merupakan hak, maka fenomena ini (golput) sudah tidak lagi mewakili
homogenitas sekelompok orang yang secara sadar memboikot pemilu. Lagi pula
banyak/beragam alasan mengapa seseorang tidak memilih dan banyak alasan pula
kenapa seseorang tidak ikut pemilu atau tidak memilih. Pada realitasnya golput
juga oleh kebanyakan orang sering ditujukan untuk menggeneralisir suara yang
tidak sah dan tidak memilih. Dengan arti kata, secara umum golput dipakai untuk
menggambarkan banyak fenomena misalnya tidak hadir ke bilik suara, kartu suara
rusak baik disengaja maupun tidak, dan kartu suara kosong.
Mengenai golput pasca Orde Baru, seperti yang sudah penulis jelaskan pada bab II, beberapa tokoh/pengamat membagi golput kepada beberapa kategori:
Indra J. Piliang mengelompokkan golput pada tiga jenis yaitu golput ideologis,
politis dan pragmatis; Arief Budiman mengelompokkan golput menjadi tiga jenis yaitu golput karena politis, apatis, dan karena kecelakaan; adapun Eep Saefulloh
Fatah mengelompokkan golput menjadi empat jenis yaitu golput teknis-teknis
tertentu, golput teknis-politis, golput politis, dan golput ideologis.
Sesuai dengan pengelompokkan golput di atas, penulis mengambil benang
merahnya bahwa faktor-faktor penyebab mengingaktnya golput pada pemilu 2004
sesuai dengan temuan penulis berdasarkan data-data yang didapatkan menjadi tiga
Dari rumusan dan uraian yang sudah penulis jelaskan di bab sebelumnya,
penulis menyimpulkan bahwa meningkatnya angka golput pada pemilu 2004
disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, sebagai sikap kekecewaan masyarakat
terhadap elit-elit yang berkuasa, pemerintah, dan parlemen baik di pusat maupun
di daerah meningkat tajam. Pemerintah dalam hal ini tidak mampu memberikan
perubahan yang sangat berarti: kemiskinan, korupsi merajalela, krisis lapangan
pekerjaan yang tidak selesai-selesai. Juga anggota dewan di parlemen yang
disebut wakil rakyat kurang memperhatikan yang diwakilinya, malah mereka
lebih setia kepada partai ketimbang kepada rakyat yang memilih.
Di samping kekecewaan terhadap pemerintah dan parlemen, masyarakat
juga menjadi antipati terhadap partai-partai yang ada. Banyaknya partai politik
dengan berbagai macam asas dan ideologinya tidak dapat memperjuangkan
kepentingan rakyat. Alih-alih memperjuangkan kepentingan masyarakat, elit-elit
politik malah asyik dengan kepentingan kelompok-kelompoknya. Harapan dan aspirasi masyarakat dibiarkan begitu saja. Fungsi partai yang disebut sebagai
wadah aspirasi rakyat, sebagai pereda konflik, sebagai artikulasi dan agregasi
kepentingan rakyat seolah-oleh tidak berfungsi.
Tidak hanya itu, munculnya aktor-aktor lama pada pemilu presiden juga
menjadi pemicu menurunnya tingkat partisipasi masyarakat. Bagi pemilih
rasional, elit-elit lama tersebut dirasa tidak akan mampu memberikan perubahan
yang signifikan. Mereka melihat bahwa fugur-figur yang bertarung ternyata
figur-figur yang mempunyai track record kelam di masa lalu, sehingga mereka
beranggapan bahwa diadakannya pemilu juga tidak akan membawa perubahan
Kedua, meningkatnya golput juga disebabkan karena kendala teknis, baik administratif maupun non administratif. Teknis administratif misalnya pencatatan pendataan pemilih yang kurang akurat. Data-data yang dipakai rupanya tidak
didukung dengan data-data baru dari RT/RW di lapangan, sehingga yang terjadi
adalah banyaknya pemilih yang tidak terdaftar. Pendataan yang kurang akurat
mengakibatkan suara berharga dari masyarakat hilang begitu saja. Adapun teknis
administratif, misalnya disebabkan oleh tingkat moblitas masyarakat yang tinggi
di kota-kota besar, pada saat pemungutan suara 5 Juli bertepatan dengan final
Euro 2004, buruknya cuaca di sejumlah tempat, dan ada juga kemungkinan karena
kasus salah coblos.
Mengenai kesalahan pencoblosan menurut penulis terjadi disebabkan oleh
dua faktor. Pertama, adanya tata cara pencoblosan yang rumit dan berbeda dengan
pemilu sebelumnya, yakni adanya sistem proporsional terbuka, dalam hal ini
nama-nama calon terpampang dengan jelas. Tata cara pemilihan seperti ini, untuk pertama kalinya menyulitkan bagi pemilih apakah hanya memilih lambang partai
saja atau kedua-duanya atau memilih nama calonnya saja. Dengan sistem yang
baru ini, ditambah kurangnya sosialisasi mengakibatkan masyarakat bingung dalam menentukan pilihan yang pada akhirnya pilihannya menjadi asal coblos.
Kenyataan tentang kurangnya pemahaman terhadap tata cara pencoblosan sudah
nampak pada saat simulasi di beberapa tempat, banyak surat suara yang
dinyatakan tidak sah. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, masyarakat hanya
memilih lambang partai, sehingga mereka lebih mudah dalam menentukan
adanya pengaruh banyak partai membuat masyarakat juga bingung harus memilih
partai yang mana.
Ketiga, meningkatnya golput juga disebabkan oleh karena adanya dampak dari liberalisasi politik pasca Orde Baru. Adanya liberalisasi politik antar lain
ditandai dengan terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat. Dalam hal ini setiap
kalangan menuntut kembali hak-hak politiknya yang selama bertahun-tahun
dikekang. Dengan adanya tuntutan tersebut yang terjadi kemudian adalah adanya
luapan kebebasan, yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan
membentuk organisasi, termasuk kebebasan untuk menentukan pemimpin.
Liberalisasi politik pada tataran akar rumput ditandai dengan adanya
kebebasan dalam segala hal, bebas dalam menentukan pemimpin, termasuk bebas
untuk tidak memilih (golput). Dengan kondisi seperti ini rakyat akan lebih leluasa
dalam menentukan pemimpinnya pada saat pemilu tiba. Mereka akan memilih jika
elit-elit politik di matanya bisa membawa perubahan dan memperhatikan aspirasinya. Akan tetapi, mereka bisa golput jika elit-elit politik di matanya tidak
bisa membawa perubahan yang berarti. Berbeda dengan masa Orde Baru
kebebesan dikekang, sehingga tidak memilih kerap sering berhadapan dengan koersi dan refresi dari pemerintah. Masyarakat diwajibkan loyal pada negara, PNS
tidak dibuat netral dan diwajibkan menyalurkan aspirasinya kepada Golkar.
Dengan kata lain kebebasan dalam berpolitik tidak ada.
Liberalisasi politik dalam tataran elit-elit politik dibuktikan dengan
semakin menjamurnya partai-partai politik. Elit-elit politik bebas mendirikan
partai dengan berbagai asas dan ideologinya. Akan tetapi sayangnya euporia
banyak terjadi pragmentasi partai-partai politik, pertikaian di tubuh parpol sering
terekspos oleh media. Dampak dari tidak adanya elit-elit yang baik di mata publik tersebut yang terjadi kemudian adalah hilangnya rasa kepercayaan masyarakat,
masyarakat menjadi antipati terhadap partai yang ada.
B. Saran-saran
Penelitian terhadap fenomena golput masih sangat minim, penulis
mengalami kesulitan dalam mencari referensi-referensi yang berkaitan dengan
judul tersebut. Kajian-kajian mengenai golput walaupun ada, baru dalam bentuk
opini pada artikel-artikel yang kurang memberikan penjelasan lebih mendalam.
Buku yang khusus mengkaji golput yang penulis temukan hanya empat buku:
Presiden Golput yang ditulis oleh Muhammad Asfar, Politik Golput di Indonesia; Kasusu Peristiwa Jogja 1992 yang ditulis oleh Priyambudi Sulistianto, Golput Aneka Pandangan dan Fenomena Politik yang disunting oleh Drs. Arbi Sanit, dan
keempat Islam dan Demokrasi Mengungkap Fenomena Golput yang ditulis oleh
Badri Khaeruman, dkk.
Penelitian tentang golput yang penulis lakukan ini baru penelitian yang sifatnya deskriptif. Untuk itu kepada para peneliti, penulis menyerankan agar
fenomena ini tidak dilewatkan begitu saja. Harus ada penelitian-penelitian yang