• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TANGGUNG JAWAB YAYASAN PENGELOLA TANAH

B. Eksistensi Yayasan Sebagai Badan Hukum Sosial

Setelah 56 tahun Indonesia Merdeka, tepatnya 6 Agustus 2001, barulah dapat dibuat Undang-Undang yang mengatur mengenai yayasan yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 112 Tahun 2001 dan Tambahan Lembaran Negara 4132. Itu pun baru diberlakukan tanggal 6 Agustus 2002 Juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Sebelumnya, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan yang

49

mengatur secara khusus tentang yayasan di Indonesia. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa di Indonesia sama sekali tidak ada ketentuan yang mengatur tentang yayasan. Secara sporadik dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti KUH Perdata, Rv, Undang-undang kepailitan atau faillissements verordening, undang-undang perpajakan, perundang-undangan agraria, telah tersebar beberapa ketentuan yang menyinggung tentang yayasan. 50

Ketentuan perundang-undangan yang ada pada waktu itu, tidak satu pun yang memberikan rumusan mengenai defenisi yayasan, serta cara mendirikan yayasan. Berbeda halnya dengan di Belanda, yang secara tegas di dalam undang-undangnya menyebutkan bahwa yayasan adalah badan hukum.

Walaupun tidak disebutkan secara tegas, yayasan di Indonesia telah diakui pula sebagai badan hukum. Pengakuan sebagai badan hukum didasarkan pada kebiasaan dan yurisprudensi. Untuk diakui sebagai badan hukum, yayasan hanya perlu memenuhi syarat tertentu, yaitu:

1. Syarat materil yang terdiri dari harus ada suatu pemisahan harta kekayaan, adanya suatu tujuan dan mempunyai organisasi.

2. Syarat formil yaitu harus dengan akta otentik.

Di dalam praktik hukum yang berlaku di Indonesia, pada umumnya yayasan didirikan dengan akta notaris. Akta notaris ini ada yang didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Berita Negara dan ada pula yang tidak didaftarkan di Pengadilan Negeri, dan tidak pula diumumkan dalam Berita Negara. Hal ini

50

dikarenakan tidak ada ketentuan yang mengaturnya sehingga masih bebas bentuk. Dengan demikian, yayasan dapat pula didirikan dengan akta dibawah tangan.51

Setelah keluarnya undang-undang yayasan, secara otomatis penentuan status badan hukum yayasan harus mengikuti ketentuan yang ada didalam Undang-Undang Yayasan tersebut. Dalam Undang-Undang Yayasan disebutkan bahwa yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian memperoleh Pengesahan dari Menteri.

Dari ketentuan Undang-Undang yayasan dapat disimpulkan bahwa ada beberapa syarat pendirian yaitu;

1. Didirikan oleh 1 (satu) orang atau lebih.

2. Ada kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendirinya.

3. Harus dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam Bahasa Indonesia. 4. Harus memperoleh Pengesahan Menteri.

5. Diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.

6. Tidak boleh memakai nama yang telah dipakai secara sah oleh yayasan lain, atau bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan. 7. Nama yayasan harus didahului dengan kata yayasan.52

Dari ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Yayasan dapat disimpulkan bahwa yayasan yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang yayasan tetap diakui sebagai badan hukum, asal saja memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Yayasan. Persyaratan yang dimaksud, antara lain yayasan tersebut telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia atau didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin operasi dari instansi terkait.

51

Ibid., hal. 3.

52

Ketentuan ini belum menuntaskan permasalahan, sebab di satu sisi yayasan yang ada selama ini sebagian besar tidak terdaftar di Pengadilan Negeri. Di sisi lain, pengaturan lebih lanjut mengenai penyelesaian yayasan yang tidak terdaftar, tidak ditemukan di dalam pasal serta penjelasan undang-undang yayasan tersebut sehingga masih dipersoalkan tentang eksistensi yayasan yang tidak terdaftar tersebut.

Jika hanya dilihat dari bunyi ketentuan Undang-Undang Yayasan, dapat disimpulkan bahwa yayasan yang tidak terdaftar di Pengadilan Negeri, tidak tercakup dalam ketentuan tersebut sehingga sulit untuk mencarikan jalan keluarnya. Dengan kata lain, yayasan tersebut tidak diakui sebagai badan hukum, dan juga tidak disediakan sarana penyelesaiannya. Untuk mencapai tujuan hukum perlu dicari jalan keluar agar kepastian, keadilan dan kemanfaatannya dapat tercapai.

Jalan keluar yang dapat ditempuh di antaranya, sebagaimana yang dikemukakan Sugiono berikut ini:

Sebenarnya ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ini, antara lain dengan mengambil perbandingan dengan Negara lain. Seperti halnya di Belanda, ketika Undang-Undang yayasan atau stichting wet diberlakukan, maka yayasan-yayasan yang telah ada sebelum mulai berlakunya stichting wet tetap diakui. Hanya saja persyaratannya harus mengadakan penyesuaian dengan Undang-Undang tersebut, antara lain untuk menyusun kembali anggaran dasarnya dalam suatu akta otentik atau akta notaries, dengan tetap mempertahankan sebagai badan hukum.53

Selain cara yang dilakukan di Belanda, sebenarnya dapat juga dilakukan dengan mengambil model di Amerika dan Inggris. Di kedua Negara tersebut, bagi organisasi nonprofit yang tidak memenuhi syarat sebagaimana yang dientukan di

53

dalam undang-undang organisasi nonprofit, organisasi tersebut dapat tidak berbentuk badan hukum, tetapi keistimewaan-keistimewaan yang diberikan kepada organisasi nonprofit yang berbadan hukum diperlakukan juga terhadap organisasi nonprofit yang tidak berbadan hukum, seperti pengganguran pajak dan sebagainya.

Sayangnya di Indonesia, pengecualian dan pengurangan pajak tidak lagi sepenuhnya dapat dinikmati oleh yayasan. Oleh karena itu, cara terbaik yang dapat dilakukan adalah bagi yayasan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Yayasan tanpa melihat daftar atau tidak sekalipun fungsi pendaftaran itu penting hendaknya tetap diakui sebagai Badan hukum. Kemudian yayasan tersebut diberi kesempatan untuk menyesuaikan dengan Undang-Undang yayasan seperti halnya yang pernah terjadi di Belanda.54

Bagi yayasan yang belum terdaftar, harus melakukan pendaftaran lebih dahulu, kemudian menyesuaikan anggaran dasarnya, sedangkan bagi yang sudah terdaftar hanya menyesuaikan anggaran dasarnya. Dengan demikian, bagi yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya akan dibubarkan. Cara pembubaran serta penyelesaiannya dapat berpedoman/dilakukan berdasarkan cara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang yayasan.

Persyaratan pendaftaran merupakan suatu hal yang kontradiktif, karena justru di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan tidak ada kewajiban bagi yayasan yang baru untuk didaftarkan setelah mendapatkan

54

pengesahan dari Menteri. Kewajiban yang dibebankan kepada yayasan setelah disahkan hanyalah kewajiban untuk memgumumkan dalam Berita Negara.

Seharusnya penekanan aturan peralihan bukan pada pendaftaran, melainkan pada syarat jumlah minimal kekayaan yang dimilkinya serta prospek kegiatan yayasan itu sendiri. Bagi yayasan yang tidak memenuhi syarat jumlah minimal kekayaan yang harus dimiliki oleh yayasan dan atau prospek kegiatan yayasan tidak mungkin untuk dikembangkan, yayasan tersebut dapat dibubarkan. Dengan demikian kerugian yang mungkin timbul baik bagi organ yayasan maupun dengan pihak ketiga dapat diminimalisir.55

Cara lain yang ditempuh adalah mengubah bentuk yayasan menjadi perkumpulan. Pengubahan bentuk ini tidak menimbulkan persoalan yang lebih besar, sebab selain perkumpulan merupakan badan hukum, juga karakter perkumpulan tidak jauh berbeda dengan yayasan di masa sebelum Undang-Undang Yayasan. Pada perkumpulan tidak ada larangan bagi pengurus untuk memgambil manfaat dari keuntungan yang diperoleh perkumpulan tersebut. Dengan demikian, bagi pengurus yang memiliki motif mendirikan badan hukum tidak semata-mata untuk tujuan sosial, dapat mewujudkan keinginannya dengan mengambil memfaat tanpa merasa was-was atau takut akan sanksi hukum.56

55

Ibid., hal. 5.

56

Anwar Borahima, Problematika Pendirian Yayasan di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2005, hal. 5.

Dokumen terkait