• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. KESIMPULAN DAN PEMBAHASAN

15. Ekspor Minyak Atsiri Berdasarkan Negara Tujuan

RINGKASAN

RUDY HADIANTO. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aliran Perdagangan Beberapa Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Dibawah bimbingan MUHAMMAD FIRDAUS).

Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat didalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan dari sumberdaya hutan dapat berupa manfaat ekologi dan ekonomi. Salah satu manfaat ekologi yang yang dimiliki hutan dan berpotensi untuk menambah devisa negara adalah sebagai penyerap emisi karbon. Kemampuan hutan ini bermanfaat didalam menanggulangi masalah perubahan iklim yang tengah terjadi saat ini. Perdagangan karbon (carbon trade) merupakan mekanisme pasar yang diperuntukkan untuk menanggulangi pemanasan global. Salah satu pengaruh langsung yang terjadi sebagai implikasi dari diratifikasinya mekanisme ini adalah penurunan total volume ekspor komoditas hasil hutan kayu.

Pemanfaatan potensi sumberdaya hutan, dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu: hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan lainya. Istilah Hasil Hutan Bukan Kayu atau yang semula disebut Hasil Hutan Ikutan merupakan hasil hutan yang bukan kayu berasal dari bagian pohon atau tumbuh-tumbuhan yang memiliki sifat khusus yang dapat menjadi suatu barang yang diperlukan oleh masyarakat, dijual sebagai komoditi ekspor atau sebagai bahan baku untuk suatu industri.

Dengan semakin kritisnya kondisi hutan tropis Indonesia, disertai dengan desakan dari dunia internasional untuk melakukan upaya konservasi terhadap kawasan hutan tropis yang ada dan reformasi paradigma sistem pengelolaan di bidang kehutanan, menuntut agar pengelolaan hutan yang dilakukan memperhatikan kaidah keberlanjutan atau kelestarian hasil atau yang biasa dikenal dengan sistem pengelolaan hutan secara lestari (Sustainable Forest Management). Sebagai implikasi dari perubahan paradigma tersebut, maka fokus pembangunan kehutanan tidak lagi tertuju pada pemanfaatan hasil hutan berupa kayu, melainkan pada pemanfaatan hasil hutan lainnya yang dapat meningkatkan nilai tambah dan manfaat (multiplier effect) dari hutan tersebut, termasuk hasil hutan bukan kayu (HHBK).

Permintaan ekspor untuk sebagian jenis komoditas HHBK unggulan yang memiliki nilai jual tinggi meliputi beragam (variasi) bentuk. Akan tetapi, perkembangan kuantitas (volume) dari komoditas ini mengalami kecenderungan yang berfluktuasi. Dalam rangka mengantisipasi permintaan ekspor yang cenderung mengalami fluktuasi dan dapat meningkatkan volume dan nilai ekspor komoditas HHBK secara optimal, maka perlu adanya kajian yang mengamati dan menganalisis mengenai aliran perdagangan komoditas HHBK dari negara Indonesia menuju berbagai negara tujuan yang memiliki keragaman karakteristik.

Aliran perdagangan komoditas HHBK yang terjadi dari negara Indonesia sebagai negara produsen menuju negara tujuan ekspor pada penelitian ini diduga dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu, seperti : produk domestik bruto negara tujuan ekspor, harga komoditas HHBK di negara tujuan ekspor, jarak ekonomi

antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor, populasi negara tujuan ekspor dan nilai tukar mata uang negara tujuan ekspor terhadap mata uang Dollar Amerika.

Penelitian ini menggunakan data sekunder selama enam tahun pengamatan (2001-2006). Lima komoditas HHBK yang menjadi obyek penelitian adalah komoditas yang memiliki volume permintaan ekspor terbesar pada tahun 2006 secara berturut-turut adalah Meubel Rotan, Anyaman Rotan, Rotan Setengah Jadi, Gambir dan Minyak Atsiri. Jumlah negara tujuan ekspor yang diamati pada penelitian ini disesuaikan dengan keberlanjutan permintaan ekspor yang terjadi selama periode pengamatan.

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, adalah mendeskripsikan kecenderungan ekspor beberapa komoditas HHBK Indonesia dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan beberapa komoditas HHBK Indonesia. Analisis data menggunakan metode analisis deskriptif dan kuantitatif. Analisis deskriptif dipergunakan dalam menjelaskan informasi yang terkandung dalam data hasil analisis dan kecenderungan volume ekspor beberapa komoditas HHBK Indonesia. Analisis kuantitaf digunakan untuk melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan HHBK Indonesia dengan analisis regresi data panel model gravitasi menggunakan tools STATA.

Pada kelima komoditas yang diamati, secara umum menunjukkan pola kecenderungan volume ekspor yang fluktuatif. Negara-negara dengan volume permintaan ekspor terbesar untuk masing-masing komoditas, adalah sebagai berikut: Negara Uni Eropa dan Amerika Serikat merupakan negara yang memiliki permintaan ekspor terbesar untuk komoditas meubel dan anyaman rotan; Negara Cina dan Singapura merupakan negara yang memiliki permintaan ekspor terbesar untuk komoditas rotan setengah jadi; Negara India, Pakistan dan Banglades merupakan negara yang memiliki permintaan ekspor terbesar untuk komoditas gambir; sedangkan Negara Singapura dan Thailand merupakan negara yang memiliki permintaan ekspor terbesar untuk komoditas minyak atsiri

Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan untuk masing- masing komoditas hasil hutan bukan kayu yang diteliti, adalah sebagai berikut: Komoditas meubel rotan dipengaruhi secara signifikan oleh harga ekspor, nilai tukar, produk domestik bruto dan jarak ekonomi; Komoditas anyaman rotan dipengaruhi secara signifikan oleh harga ekspor, produk domestik bruto, jarak ekonomi dan populasi negara tujuan; Komoditas rotan setengah jadi dipengaruhi secara signifikan oleh harga ekspor dan populasi negara tujuan; Komoditas gambir dipengaruhi secara signifikan oleh harga ekspor; Komoditas minyak atsiri dipengaruhi secara signifikan oleh harga ekspor dan produk domestik bruto.

Kecenderungan volume aliran perdagangan komoditas hasil hutan bukan kayu memiliki pola kecenderungan yang beragam untuk masing-masing negara. Keragaman ini perlu mendapatkan perhatian, terutama bagi pihak produsen agar dapat menentukan tujuan dan besarnnya volume yang optimal.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

ALIRAN PERDAGANGAN BEBERAPA KOMODITAS

HASIL HUTAN BUKAN KAYU INDONESIA

RUDY HADIANTO A 14105601

PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan dari sumberdaya hutan dapat berupa manfaat ekologi dan manfaat ekonomi. Manfaat ekologi yang dimaksud mencakup tingkat lokal, regional maupun global, sedangkan manfaat ekonomi sumberdaya hutan dapat diperoleh dari produksi hasil hutan sebagai salah satu sumber devisa negara, pengembangan wilayah, penyerapan tenaga kerja serta sebagai sumber penghasilan masyarakat sekitar hutan.

Salah satu manfaat ekologi yang yang dimiliki hutan dan berpotensi untuk menambah devisa negara adalah sebagai penyerap emisi karbon. Kemampuan hutan ini bermanfaat dalam menanggulangi masalah perubahan iklim yang tengah terjadi saat ini. Perdagangan karbon (carbon trade) merupakan mekanisme pasar yang diperuntukkan untuk menanggulangi pemanasan global, dimana salah satu unsur penyebab terbesar pemanasan global adalah emisi gas karbon dioksida (CO2). Mekanisme ini merupakan salah satu kesepakatan yang dihasilkan pada KTT Bumi 1992 di Rio de Janeiro melalui Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi pencemaran udara (gas rumah kaca).

Indonesia merupakan salah satu Negara yang telah meratifikasi kebijakan yang terkandung dalam protocol Kyoto. Salah satu pengaruh langsung yang terjadi yaitu pada penurunan total volume ekspor komoditas hasil hutan kayu. Ilustrasi mengenai kecenderungan total volume ekspor hasil hutan kayu dapat dilihat pada gambar berikut.

Luasan daratan kawasan hutan dan perairan Indonesia berdasarkan keputusan menteri kehutanan tentang penunjukkan kawasan hutan dan perairan serta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dalam Statistik Kehutanan (2006) adalah seluas 137.090.468,18 ha, termasuk 3.395.783 ha kawasan perairan didalam kawasan suaka alam dan pelestarian alam. Kawasan hutan tersebut terdiri dari kawasan hutan lindung seluas 31,60 juta ha, hutan produksi terbatas seluas 22,50 juta ha, hutan produksi tetap seluas 36,65 juta ha, hutan produksi yang dapat dikonservasi seluas 22,79 juta ha dan hutan dengan fungsi khusus seluas 0,23_juta ha. Dengan luasan tersebut, sumberdaya hutan Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan negara.

Pemanfaatan potensi sumberdaya hutan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan. Pemanfaatan hutan alam di Indonesia yang telah dilakukan selama dua setengah dasarwarsa terakhir masih bertumpu pada hasil hutan berupa kayu. Dari komoditas kayu tersebut, pemerintah dan masyarakat telah memperoleh manfaat yang besar baik secara ekonomi maupun sosial. Sementara itu hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang biasanya disebut non-timber forest products atau minor forest products, belum dapat diusahakan secara optimal.

Hastoeti (2008) menyatakan bahwa Indonesia memiliki keanekaragam hayati yang luar biasa, terbesar ketiga setelah Brazilia dan Zaire. Di indonesia tumbuh sekitar 30.000 – 40.000 jenis tumbuhan yang menyebar di seluruh hutan- hutan kepulauan Indonesia. Diantara ribuan jenis tumbuhan yang tumbuh di Indonesia, sebagian diantaranya merupakan penghasil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang memiliki nilai jual yang cukup potensial, dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan masyarakat lokal dan sebagai sumber devisa negara.

Hasil Hutan Bukan Kayu yang selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil hutan hayati (nabati dan hewani) beserta produk turunan dan budidayanya kecuali kayu yang berasal dari hutan. Yusliansyah dan Kholik (2006) menyatakan bahwa, keunggulan pengusahaan HHBK dibandingkan dengan kayu antara lain pemanenannya tidak merusak hutan atau ekosistem, dapat diusahakan dengan teknologi yang sederhana, tidak memerlukan modal yang besar, ketersediaannya

dapat dijaga dan untuk beberapa jenis HHBK nilainya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kayu.

Sebagian jenis komoditas HHBK yang memiliki nilai jual tinggi, telah dipasarkan ke luar negeri dalam beragam bentuk. Pemilihan jenis variasi produk yang akan diekspor ke berbagai negara tujuan ditentukan dengan beberapa pertimbangan, seperti peningkatan nilai tambah dengan pengolahan lebih lanjut, keterbatasan keterampilan dari pihak produsen dan permintaan konsumen luar negeri. Kecenderungan nilai ekspor selama enam tahun terakhir berdasarkan komoditas HHBK pilihan tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Kecenderungan Nilai Ekspor Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia Tahun 2001 - 2006

No Uraian Nilai Ekspor (US$)

2001 2002 2003 2004 2005 2006 1 Meubel rotan 256.948.021 270.933.516 292.040.098 335.021.351 354.584.802 344.808.970 2 Sirlak,Damar 1.866.317 1.508.696 2.057.142 2.524.467 4.667.529 7.692.080 3 Gambir 18.040.735 15.731.464 9.689.247 20.492.980 22.669.944 22.234.897 4 Terpentin 1.625.571 2.555.658 2.277.210 4.024.094 3.141.975 7.376.042 5 Anyaman rotan 64.254.088 57.418.857 48.765.214 37.455.605 29.357.688 25.657.782 6 Rotan setengah jadi 13.844.480 13.692.736 20.588.536 23.050.888 16.513.932 21.105.707 7 Arang kayu tempurung kelapa 6.224.699 4.641.210 5.504.771 2.748.127 607.097 120.636 8 Minyak atsiri 72.562.385 71.003.920 66.407.001 78.591.712 103.689.542 109.393.578 9 Bambu 1.231.506 1.067.645 1.885.934 2.183.483 1.844.370 3.008.922 10 Gabus 1.320.276 610.628 305.839 170.117 182.949 7.711

Sumber : Departemen Kehutanan (2008), diolah

Berdasarkan data yang terdapat dalam Tabel 1, dapat dilihat lima komoditas HHBK yang memiliki nilai ekspor terbesar secara berturut-turut adalah meubel rotan, rotan setengah jadi, gambir, anyaman rotan dan minyak atsiri. Kecenderungan ekspor memperlihatkan nilai ekspor yang berfluktuasi dari tahun ke tahun, namun sebagian diantaranya memiliki kecenderungan nilai dan volume ekspor yang meningkat.

Beberapa komoditas HHBK yang telah dipasarkan ke berbagai negara tujuan ekspor ini ada yang telah dikenal dengan baik oleh konsumen luar negeri, seperti komoditas rotan, gambir dan berbagai macam komoditas minyak atsiri.

National Chemical Laboratory India (2001) menyatakan, terdapat 3000 jenis tumbuhan yang dapat menghasilkan minyak atsiri. Indonesia sendiri memiliki 40 jenis minyak atsiri (sekitar 11 jenis telah dikembangkan), sedangkan di dunia sekarang ini beredar sekitar 70 jenis minyak atsiri.

Manfaat strategis dalam pengembangan minyak atsiri diantaranya adalah minyak atsiri merupakan usaha yang bersifat padat karya sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan, dapat meningkatkan peluang usaha dan peningkatan pendapatan masyarakat, meningkatkan devisa negara dari ekspor produk minyak atsiri dan pengembangan potensi unggulan daerah mengingat potensi minyak atsiri ini tersebar di berbagai daerah dengan jenis minyak atsiri tertentu bahkan bersifat spesifik.

Potensi lain yang tidak kalah penting adalah rotan. Indonesia memiliki 332 jenis rotan dengan jumlah spesies terpenting sebanyak 290 spesies dari 1500_spesies rotan. Rotan di Indonesia tumbuh hampir di semua pulau yang masih berhutan dan di areal perkebunan rakyat. Daerah yang terpenting adalah Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi.

Beragamnya komoditas HHBK yang berpeluang untuk menghasilkan manfaat (baik secara ekonomi maupun sosial), memerlukan adanya perhatian lebih dalam hal aspek perdagangan agar dapat lebih meningkatkan beragam manfaat dan nilai tambah yang dapat diperoleh.

I.2. Perumusan Masalah

Peranan sektor kehutanan sebagai salah satu penyumbang devisa negara, ternyata tidak diimbangi dengan keberlanjutan manfaat yang dihasilkannya. Hal ini dapat dilihat dari semakin tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi selama kurun waktu yang cukup lama. Menurut data statistik Departemen Kehutanan (2006), jumlah deforestasi yang terjadi selama kurun waktu lima tahun terakhir adalah sebesar 5.447.800 ha, dengan laju rata-rata sebesar 1,089 juta ha pertahunnya. Ilustrasi mengenai kecenderungan laju deforestasi di Indonesia pada tahun pengamatan 2000 – 2005 dapat dilihat pada gambar berikut

0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 2000 - 2001 2001 - 2002 2002 - 2003 2003 - 2004 2004 - 2005 Tahun He kt ar

Gambar 2. Laju Deforestasi di Indonesia Tahun 2000 – 2005

Sumber : Statistika Departemen Kehutanan (2006), diolah.

Dengan semakin kritisnya kondisi hutan tropis Indonesia, disertai dengan desakan dari dunia internasional untuk melakukan upaya konservasi terhadap kawasan hutan tropis yang ada serta adanya reformasi paradigma sistem pengelolaan di bidang kehutanan, menuntut agar pengelolaan hutan yang dilakukan memperhatikan kaidah keberlanjutan atau kelestarian hasil atau yang biasa dikenal dengan sistem pengelolaan hutan secara lestari (Sustainable Forest Management). Reformasi sistem pengelolaan hutan yang terjadi, merubah sistem pengelolaan hutan yang semula bertumpu atau memfokuskan pada hasil hutan berupa kayu (Timber Based Management) dan negara (State Based Forest Management) menjadi pengelolaan hutan yang berazaskan pada sumberdaya hutan yang berkelanjutan (Resources Based Management) dan berbasis masyarakat (Community Based Management).

Implikasi dari perubahan paradigma tersebut menyebabkan fokus pembangunan kehutanan tidak lagi tertuju pada pemanfaatan hasil hutan berupa kayu, melainkan pada pemanfaatan hasil hutan lainnya yang dapat meningkatkan nilai guna dan manfaat (multiplier effect) dari hutan tersebut, termasuk hasil hutan bukan kayu (HHBK). Pengembangan pengusahaan HHBK selain diharapkan dapat mencegah kerusakan hutan (deforestasi) dan pencurian kayu (illegal logging) juga dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja, terutama tenaga kerja yang berdomisili di sekitar hutan.

Sebagian jenis komoditas HHBK unggulan yang memiliki nilai jual tinggi telah dipasarkan ke luar negeri dalam beragam bentuk, akan tetapi aliran

perdagangan (permintaan ekspor) dari komoditas ini memiliki kecenderungan yang berfluktuasi. Ilustrasi kecenderungan aliran perdagangan beberapa komoditas utama hasil hutan bukan kayu Indonesia, disajikan pada gambar berikut.

Gambar 3. Kecenderungan Aliran Perdagangan Lima Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu Indonesia Tahun 2001 - 2006

Hastoeti (2008) menyatakan bahwa harga HHBK komoditi ekspor biasanya ditentukan oleh para buyer di luar negeri, karenanya para eksportir sebaiknya dapat mengetahui dan mampu memasarkan produk ke negara yang menerima nilai tinggi. Agar dapat mengantisipasi permintaan ekspor yang cenderung mengalami fluktuasi dan dapat meningkatkan volume dan nilai ekspor komoditas HHBK secara optimal, maka perlu adanya kajian yang mengamati dan menganalisis mengenai aliran perdagangan komoditas HHBK dari negara Indonesia menuju berbagai negara tujuan yang memiliki keragaman karakteristik.

Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah penelitian ini dapat disederhanakan, sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kecenderungan volume ekspor HHBK Indonesia?

2. Faktor-Faktor apa sajakah yang mempengaruhi volume ekspor komoditas HHBK Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, adalah :

1. Mendeskripsikan kecenderungan volume ekspor beberapa komoditas HHBK Indonesia.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan beberapa komoditas HHBK Indonesia.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang memiliki minat dalam pengelolaan dan pengembangan potensi sumberdaya hutan tropis Indonesia, khususnya komoditas hasil hutan bukan kayu.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Melihat beragamnya jenis komoditas HHBK yang termasuk kategori ekspor, keterbatasan data dan waktu penelitian, maka fokus penelitian ini diarahkan untuk mengamati kecenderungan aliran perdagangan yang terjadi pada periode tahun 2001-2006 dengan beberapa jenis komoditas HHBK yang memiliki volume dan nilai ekspor terbesar pada tahun 2006, yaitu : meubel rotan, rotan setengah jadi, anyaman rotan, gambir dan minyak atsiri. Variabel penelitian yang diamati meliputi harga ekspor, produk domestik bruto, nilai tukar, populasi dan jarak ekonomi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hasil Hutan Bukan Kayu

Istilah Hasil Hutan Bukan Kayu atau yang semula disebut Hasil Hutan Ikutan merupakan hasil hutan yang bukan kayu berasal dari bagian pohon atau tumbuh-tumbuhan yang memiliki sifat khusus yang dapat menjadi suatu barang yang diperlukan oleh masyarakat, dijual sebagai komoditi ekspor atau sebagai bahan baku untuk suatu industri. Hasil hutan bukan kayu pada umumnya merupakan hasil sampingan dari sebuah pohon (misalnya getah, daun, kulit, buah dan lain-lain) atau berupa tumbuhan-tumbuhan yang memiliki sifat khusus seperti rotan, bambu dan lain-lain.

Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada umumnya merupakan kegiatan tradisional dari masyarakat yang berada di sekitar hutan, bahkan di beberapa tempat, kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu merupakan kegiatan utama sebagai sumber kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebagai contoh, pengumpulan rotan, pengumpulan berbagai getah kayu seperti getah kayu agathis atau kayu shorea dan lain-lain yang disebut damar.

Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu merupakan kegiatan yang padat- karya karena sejak dipungut dari hutan, pengangkutan, pengolahan tahap pertama memerlukan tenaga kerja yang cukup banyak dan dapat berbentuk industri kerajinan rakyat. Sebelum dimanfaatkan, hasil hutan bukan kayu pada umumnya harus diolah terlebih dahulu. Sebagai contoh, sebelum dimanfaatkan, rotan harus dibersihkan dahulu kemudian diasap dengan asap belerang sehingga kelihatannya menjadi putih.

Selain contoh pengolahan pada rotan, ada hasil hutan bukan kayu yang diolah dengan cara destilasi, ada pula yang diolah secara khusus, misalnya produksi benang sutera alam yang merupakan produksi kepomgpong dari ulat sutera yang diberi makan daun murbei (Morus sp.). Madu yang dipungut dari sarang lebah madu yang terdapat di dalam hutan yang sekarang sudah dapat diproduksi dengan jalan memelihara lebah madu, pemeliharaan kutu yang memproduksi shirlak dan lain-lain.

Hasil hutan bukan kayu merupakan barang yang telah dipungut secara rutin sejak hutan dikenal manusia, manfaatnya untuk berbagai tujuan. Oleh karena itu, hasil hutan bukan kayu telah berperan penting dalam membuka kesempatan kerja bagi anggota masyarakat disekitar hutan, merupakan komoditi perdagangan yang dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No: P.35/Menhut-II/2007 telah ditetapkan jenis- jenis hasil hutan bukan kayu yang terdiri dari sembilan kelompok hasil hutan bukan kayu yang terdiri dari 557 spesies tumbuhan dan hewan.

2.2. Tinjauan Studi Terdahulu

Penelitian terdahulu yang terkait dengan aliran perdagangan telah banyak dilakukan dengan beragam jenis data dan jenis komoditas yang berbeda-beda. Beberapa penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan untuk jenis data cross section, telah dilakukan oleh Sunenti, Pulungan, Handayani dan Yolanda.

Sunenti (2005) melakukan penelitian mengenai analisis aliran perdagangan dan faktor–faktor yang mempengaruhi ekspor meubel rotan di Indonesia. Berdasarkan unsur-unsur gravity yang dianalisis, maka pendapatan per kapita berpengaruh positif dan nyata pada taraf lima persen. Variabel lainnya yang memiliki pengaruh bersifat negatif dan nyata pada taraf lima persen adalah biaya transportasi dan jumlah penduduk di negara tujuan ekspor, sedangkan jarak Indonesia dengan negara tujuan dan nilai tukar tidak berpengaruh nyata pada taraf lima persen.

Penelitian berikutnya adalah penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan arang tempurung kelapa (Coconut Shell Charcoal) yang dilakukan oleh Pulungan (2005). Berdasarkan hasil uji statistik-t dari enam varibel bebas yang ada, hanya variabel jarak, harga arang tempurung kelapa itu sendiri dan harga arang aktif yang berpengaruh nyata pada taraf lima persen atau signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen dan memiliki pengaruh negatif terhadap volume ekspor arang tempurung kelapa Indonesia. Variabel lain yang berpengaruh potitif adalah PDB negara tujuan, jumlah penduduk negara

tujuan dan nilai tukar. Faktor-faktor lain yang tidak terdapat dalam model adalah tarif, selera dan pesaing.

Handayani (2008) melakukan penelitian mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan dan strategi pengembangan ekspor kertas Indonesia. Variabel-variabel yang berpengaruh nyata adalah PDB per kapita negara tujuan, populasi negara tujuan, jarak antara Indonesia dengan negara tujuan ekspor dan harga kertas Indonesia di negara tujuan. Varibel dummy yaitu tuduhan dumping terhadap produk kertas Indonesia memberikan pengaruh negatif dan tidak nyata terhadap aliran perdagangan kertas Indonesia.

Alternatif strategi yang menjadi pertimbangan bagi pengembangan ekspor kertas Indonesia adalah peningkatan ekspor kertas Indonesia khususnya ke negara tujuan ekspor, peningkatan produksi bahan baku kertas, membuka peluang masuknya investor asing dalam industri kertas Indonesia, peningkatan keamanan dan hukum oleh pemerintah, kerjasama antara pemerintah dan para pengusaha untuk membentuk peraturan hukum yang lebih pasti serta pemerintah dan asosiasi pulp dan kertas Indonesia (APKI) membuat program promosi industri kertas Indonesia.

Penelitian selanjutnya adalah mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi aliran perdagangan biji pala Indonesia oleh Yolanda (2008). Variabel-variabel bebas yang berpengaruh positif adalah nilai tukar mata uang negara tujuan dengan rupiah Indonesia dan volume ekspor biji pala dari Indonesia ke negara tujuan satu tahun sebelumnya. Variabel bebas yang berpengaruh negatif adalah PDB total negara tujuan, harga biji pala Indonesia di negara tujuan, populasi negara tujuan dan jarak antara Indonesia dengan negara tujuan.

Variabel yang menunjukkan nilai elastisitas yang bersifat elastis adalah

Dokumen terkait