• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2. PERDAGANGAN INTERNASIONAL 1. Pengertian Perdagangan Internasional

2.3.2. Industrialisasi dan Peningkatan Ekspor

Kebijakan industrialisasi bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Resiko kegagalan dari kebijakan ini sangat besar, terutama apabila sebuah negara gagal mengenali potensi industrinya. Apabila sebuah negara gagal mencari benang merah yang menghubungkan sektor tradisionalnya (sektor pertanian) dengan sektor modern (sektor industri) maka kegagalan industrialisasi sudah berada di depan mata. Kegagalan untuk mensinergikan sektor tradisional dengan sektor modern akan memunculkan dualisme ekonomi seperti dikemukakan Boeke (lihat

Jefri Sibuea : Pengaruh Nilai Restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan Penanaman Modal (Investasi) terhadap Ekspor Sektor Industri di Sumatera Utara, 2010.

Koencoro, 2000). Dualisme ekonomi adalah suatu keadaan dimana sektor modern dan sektor tradisional berjalan sendiri-sendiri tanpa ada sinergi diantara keduanya. Artinya sektor pertanian di sebuah negara tidak mendukung sektor industrinya. Gejala yang sering muncul sebagai akibat dualisme ekonomi adalah adanya pengangguran struktural dan munculnya sektor informal. Indonesia adalah salah satu negara yang mengalami dualisme ekonomi. Hal ini bisa kita lihat dari maraknya kemunculan sektor informal di negara ini.

Dampak negatif dari dualisme ekonomi adalah rendahnya pertumbuhan ekonomi dari negara bersangkutan. Selain itu, dualisme ekonomi mengakibatkan adanya disparitas dalam distribusi pendapatan (Garcia-Penalosa dan Turnovsky, 2004). Thailand adalah salah satu negara yang dianggap berhasil melakukan sinergi antara sektor pertanian dengan sektor industri. Negara ini mampu memperbaiki kesalahan yang dilakukakannya sebelum krisis ekonomi tahun 1998. Industri manufaktur di Thailand sebelum tahun 1997 didominasi oleh industri otomotif yang tidak memiliki keterkaitan dengan potensi negara ini yaitu dibidang pertanian. Kesalahan investasi yang dilakukan ini harus ditebus dengan mahal, yaitu kebangkrutan industri manufaktur di Thailand. Pemerintah Thailand kemudian melakukan reformasi dan penyesuaian mendasar di bidang manufaktur yang ternyata berhasil dengan baik (Dollar dan Hallward-Driemeier, 2000). Thailand menyadari bahwa potensi mereka adalah dalam sektor pertanian, mereka kemudian mengubah orientasi industrinya menjadi agrobisnis. Keberhasilan ini menjadikan negara ini sebagai salah satu negara di Asia Tenggara yang paling cepat pulih dari krisis. Bahkan, berdasarkan hasil survei dari UNCTAD tahun 2004, Thailand adalah negara tujuan investasi ketiga di Asia setelah RRC dan

Jefri Sibuea : Pengaruh Nilai Restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan Penanaman Modal (Investasi) terhadap Ekspor Sektor Industri di Sumatera Utara, 2010.

India. Indonesia saat ini dihadapkan pada masalah ekonomi yang serius yaitu lambannya pertumbuhan ekspor. Pertumbuhan ekspor yang lamban di Indonesia salah satunya disebabkan karena ketidakjelasan kebijakan industrialisasi. Sebagai buktinya, meskipun saat ini semua indikator ekonomi makro menunjukkan adanya perbaikan, namun sektor riil tidak mampu pulih. Bahkan ada gejala de-industrialisasi Ekspor Indonesia sebagian besar masih bergantung dari minyak bumi dan gas. Selain itu ekspor non-migas yang menjadi andalan adalah komoditas elektronik, kayu lapis, karet dan tekstil. Adapun negara tujuan ekspor terbesar Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat, Singapura, Korsel, China dan Malaysia. Dari sektor yang menjadi andalan ekspor ternyata juga tidak menunjukkan keterkaitan dengan potensi Indonesia yaitu di sektor pertanian dan perikanan. Apabila tidak ada perbaikan maka sulit mengharapkan pemulihan sektor riil dengan cepat. Kebijakan industrialisasi yang disarankan adalah membangun industri yang sesuai dengan potensi ekonomi Indonesia. Jawaban yang kemudian muncul adalah membangun industri yang terkait dengan sektor pertanian. Akan tetapi, membangun sebuah industri perlu memperhatikan beberapa hal,

Pertama, apakah produk yang dihasilkan mampu diserap oleh pasar internasional.

Tidak ada gunanya mengembangkan sebauh industri apabila produk yang dihasilkan tidak bisa dijual.

Kedua,apakah industri yang baru dibangun memerlukan perlindungan.

Memberikan proteksi terhadap sebuah industri adalah bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas. Namun demikian, trend yang terjadi dalam

Jefri Sibuea : Pengaruh Nilai Restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan Penanaman Modal (Investasi) terhadap Ekspor Sektor Industri di Sumatera Utara, 2010.

perdagangan internasional saat ini adalah pemberian proteksi pada industri tertentu yang dianggap strategis oleh negara bersangkutan. Kita bisa melihat kegagalan perundingan WTO di Cancun beberapa waktu lalu adalah implikasi dari masalah proteksi perdagangan ini. Riset empirik yang dilakukan Konigs dan Vandenbussche (2004) menunjukkan bahwa poteksi antidumping memberikan dampak positif terhadap perkembangan industri yang bersangkutan. Setting penelitian ini adalah pada industri manufaktur di beberapa negara Eropa. Riset lain yang dilakukan oleh Zhu dan Trefler (2004) memperkuat perlunya proteksi industri yang masih infant di negara berkembang karena negara berkembang secara teknologi tertinggal jauh dari negara maju.

Ketiga, keterkaitan dengan kebijakan investasi.

Kebijakan industrialisasi juga terkait dengan kebijakan investasi di sebuah negara. Pentingnya kebijakan investasi adalah untuk membangun mitra strategis dengan investor. Penelitian yang dilakukan Blonigen, Ellis dan Fausten (2004), menunjukkan bahwa pengelompokan industri PMA tergantung dari siapa mitra strategisnya. Menurut Dornbusch (1993) ada lima prinsip yang mempengaruhi daya tarik investasi di negara berkembang, yaitu:

1. Kesempatan. Tidak semua negara mempunyai kesempatan untuk menjadi daerah tujuan investasi. Beberapa negara di Afrika dan Amerika Latin yang tergolong miskin, tidak mempunyai sumber daya dan stabilitas kondisi politik tidak akan menarik investor.

2. Prospek. Sebuah negara akan menjadi tujuan investasi apabila prospek ekonomi negara tersebut bisa diandalkan. Kotler dan Kertajaya (2000) mengemukakan sebuah contoh transformasi struktur ekonomi Jepang

Jefri Sibuea : Pengaruh Nilai Restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan Penanaman Modal (Investasi) terhadap Ekspor Sektor Industri di Sumatera Utara, 2010.

pasca PD II yang berubah dari pertanian menjadi industri manufaktur dengan biaya rendah. Model Jepang ini kemudian diadopsi oleh negara-negara lain di Asia seperti Korsel, Taiwan, Singapura, Malaysia, Thailand dan Indonesia. Model pembangunan negara-negara industri baru ini yang menjadi penyebab mereka mempunyai prospek ekonomi yang lebih baik. 3. Koordinasi. Pasca krisis ekonomi pemerintah belum mampu memberikan

sinyal positif kepada pengusaha yang terpaksa “memarkir” modalnya di luar negeri untuk kembali ke tanah air. Sebuah usaha membangun kondisi politik dan kemanan yang stabil serta eliminasi ekonomi biaya tinggi bisa menjadi sebuah sinyal bagi proses koordinasi ini.

4. Kebijakan pemerintah dan regulasi. Kebijakan pemerintah dalam investasi merupakan hal yang mutlak diperlukan. Menurut Hamid (1999) kebijakan pemerintah dalam perekonomian mutlak diperlukan, namun fleksibel dan perlu dukungan institusi. Salah satu keluhan investor saat ini adalah ketidakjelasan regulasi pemerintah baik pusat maupun daerah.

5. Kondisi keuangan. Kondisi keuangan ini terkait dengan tiga aspek penting yaitu utang pemerintah, masalah APBN dan kondisi sektor keuangan. Investasi (asing) di negara berkembang berkembang diperlukan karena masalah umum yang terjadi di negara berkembang adalah angka pengangguran yang tinggi, ketimpangan distribusi pendapatan dan ketidakseimbangan struktural (Koncoro, 2000).

2.3.3. Investasi

Investasi akan mendorong pertumbuhan PDB. Investasi yang diharapkan adalah investasi langsung (Foreign Direct Investment atau FDI) karena investasi

Jefri Sibuea : Pengaruh Nilai Restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan Penanaman Modal (Investasi) terhadap Ekspor Sektor Industri di Sumatera Utara, 2010.

ini memberikan dampak berupa pembukaan lapangan kerja baru sekaligus adanya kemungkinan transfer teknologi. Indonesia sejak masa orde baru berusaha untuk mengundang investor asing demi kepentingan pertumbuhan ekonomi. Menurut Chandra (1996) ada beberapa faktor yang mempengaruhi investasi langsung, yaitu permintaan, perubahan struktur perekonomian, kebijakan ekonomi makro dan ekonomi daerah, akses terhadap biaya faktor yang lebih rendah, akses terhadap SDM dan local sourcing dan akses terhadap lokasi input produksi dan penghematan eksternal. Pemerintah harus memfokuskan perhatiannya pada faktorfaktor tersebut. Investasi terdiri dari dua jenis, yaitu investasi portofolio dan investasi langsung. Investasi portofolio adalah penanaman modal melalui bursa saham. Investasi jenis ini tidak mempunyai multiplier effect yang luas, karena perpindahan modal hanya terjadi di bursa saham dan tidak berimplikasi terhadap sektor riil. Selain itu, investasi jenis ini rentan terhadap perubahan. Aliran modal masuk dan keluar bisa terjadi setiap saat. Investasi langsung adalah proses investasi dimana penanaman modal dilakukan dengan membangun pabrik di negara tujuan investasi. Investasi langsung mempunyai multiplier effect luas, yaitu penyediaan lapangan pekerjaan dan bergeraknya industri pendukung.

Sejak krisis ekonomi melanda Indonesia lima tahun lalu, terjadi penurunan realisasi investasi di Indonesia, terutama investasi langsung. Realisasi investasi akan menyelesaikan salah satu masalah krusial dalam perekonomian yaitu, penyediaan lapangan kerja. Dalam sebuah artikel utama majalah Far Eastern Economic Review edisi 1 Agustus 2002 diulas masalah pengangguran di Indonesia. Dalam artikel itu disebutkan bahwa untuk mengatasi masalah pengangguran, maka dibutuhkan angka pertumbuhan yang tinggi. Tentu saja,

Jefri Sibuea : Pengaruh Nilai Restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan Penanaman Modal (Investasi) terhadap Ekspor Sektor Industri di Sumatera Utara, 2010.

pertumbuhan ekonomi yang diharapkan adalah dengan kontribusi besar dari eksport dan angka investasi. Orientasi pemulihan ekonomi dengan mengejar peningkatan angka investasi bukannya tanpa kritik. Beberapa ekonom terutama mereka yang berasal dari mazhab strukturalis menganggap keputusan untuk mengundang investor asing bisa berdampak negatif. Hal ini terkait dengan kepentingan nasional negara bersangkutan. Kelompok ekonom strukturalis percaya bahwa investasi asing yang berarti aliran modal masuk ke Indonesia lebih kecil jumlahnya dibandingkan dengan nilai repatriasi yang selisihnya sering disebut dengan net transfer (Arief, 2001).

Tabel 2.3.3.a

Perkembangan Persetujuan Penanaman Modal

Tahun PMDN PMA Proyek Nilai (Rp. Miliar) Proyek Nilai (US $ juta) 1997 723 119.877,2 781 33.788,8 1998 327 57.973,6 1.034 13.649,8 1999 237 53.540,7 1.177 10.884,5 2000 392 93.897,1 1.541 16.075,9 2001 264 58.816 1.334 15.056,3 2002 188 25.230,5 1.151 9.795,4 2003 181 48.484,8 1.024 13.207,2

Sumber: Jetro (Kompas, 2006).

Tabel diatas menunjukkan penurunan angka persetujuan investasi di Indonesia dalam preiode krisis ekonomi sampai sekarang. Penurunan angka ini terjadi baik pada penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN). Pada periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2003, persetujuan investasi mengalami kenaikan namun demikian belum bisa kembali seperti persetujuan investasi sebelum krisis. Investasi langsung akan berpengaruh terhadap penyediaan lapangan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Lipsey dan Sjoholm (2004) dengan setting industri manufaktur di Indonesia menunjukkan

Jefri Sibuea : Pengaruh Nilai Restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan Penanaman Modal (Investasi) terhadap Ekspor Sektor Industri di Sumatera Utara, 2010.

adanya kecenderungan bahwa perusahaan manufaktur PMA lebih diminati oleh tenaga kerja Indonesia.

Hal ini dikarenakan perusahaan manufaktur PMA memberikan tingkat upah yang lebih tinggi dan memberikan penghargaan terhadap tingkat pendidikan karyawannya daripada perusahaan manufaktur PMDN. Penelitian lain yang dilakukan Markusen (2001) menyimpulkan bahwa proses investasi langsung dalam bentuk MNC (multi national company) atau perusahaan multinasional mempunyai dampak positif terhadap negara berkembang berupa transfer teknologi dan penghargaan terhadap hak cipta intelektual. Maraknya relokasi industri negara maju ke negara berkembang dalam wujud investasi langsung di negara berkembang memicu munculnya perusahaan multinasional. Perusahaan multinasional tersebut ada kalanya melakukan kerja sama dalam bentuk joint

venture dengan mitra perusahaan lokal.

Ada beberapa faktor sukses joint venture perusahaan multi nasional dengan perusahaan lokal yaitu, hubungan antar perusahaan yang bermitra, konflik antar perusahaan yang bermitra, komitmen antar perusahaan yang bermitra, kinerja perusahaan joint venture dan kepuasan perusahaan induk (Demirbag dan Mirza, 2000). Secara teoritis investasi akan mempengaruhi pendapatan nasional sebuah negara. Pendapatan nasional suatu negara biasanya diukur dengan PDB atau GDP. Komponen lain dari GDP adalah konsumsi, investasi, belanja pemerintah apabila asumsi yang digunakan adalah sistem perekonomian tertutup. Bila asumsi yang digunakan adalah sistem perekonomian terbuka maka ditambah dengan angka ekspor dikurangi angka impor.

Jefri Sibuea : Pengaruh Nilai Restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan Penanaman Modal (Investasi) terhadap Ekspor Sektor Industri di Sumatera Utara, 2010.

Fenomena di negara berkembang yang mempunyai beberapa aspek khsusus menyebabkan kritik terhadap indikator ekonomi dengan GDP ini. Kasliwal (1995) mengemukakan sebuah ukuran yang lebih tepat untuk menghitung pendapatan nasional negara berkembang, yaitu dengan formula berikut NI= GDP-(B+K+P+A). NI adalah pendapatan nasional dalam harga pasar. Dalam formula diatas GDP konvensional masih harus dikurangi dengan angka pembayaran bunga hutang luar negeri (B), keuntungan yang dibawa investor asing ke luar negeri (K), penyusutan (P) dan pembayaran cicilan pokok hutang luar negeri (A).

Ada beberapa isu penting yang menjadi focus kerja pemerintah berkaitan dengan program investasi yang direncanakan kedepan, antara lain : kelembagaan, regulasi, Bea cukai, Pajak, tenaga kerja, dan UKMK. Paket Kebijakan dan Program yang dijalankan pemerintah dapat dilihat pada table di bawah. Selain Program, pemerintah juga menurunkannya dalam bentuk poin-poin tindakan yang akan direalisasikan. Dari sekian program tersebut maka ada kurang lebih 85 tindakan yang akan diambil untuk mendorong keberhasilan investasi. Beberapa program tersebut antara lain revisi terhadap regulasi yang ada, membuat regulasi kembali, evaluasi terhadap wewenang pemerintah daerah sebagai daerah otonom, koordinasi serta pengawasan dan pengendalian.

Tabel 2.3.3.b.

Paket Kebijakan Investasi Indonesia

Kebijakan Program

UMUM

A.Memperkuat kelembagaan

pelayanan investasi.

1. Mengubah Undang-Undang (UU)

Penanaman Modal yang memuat prinsip-prinsip dasar, antara lain: perluasan definisi modal, transparansi, perlakuan sama investor

Jefri Sibuea : Pengaruh Nilai Restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan Penanaman Modal (Investasi) terhadap Ekspor Sektor Industri di Sumatera Utara, 2010.

domestik dan asing (di luar Negative List) dan Dispute Settlement.

2. Mengubah peraturan yang terkait dengan penanaman modal.

3. Revitalisasi Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi. 4. Percepatan perizinan kegiatan usaha dan

penanaman modal serta pembentukan perusahaan

B.Sinkronisasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah (Perda).

Peninjauan Perda-Perda yang Menghambat investasi. C.Kejelasan Ketentuan mengenai kewajiban analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL).

Perubahan keputusan Menteri Negara

(Kepmeneg) Lingkungan Hidup tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan Wajib AMDAL.

Dokumen terkait