• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Indeks Bahaya Kekeringan Agro-Hidrologi 1. Faktor Indeks Bahaya Kekeringan

5.2.2. Eksposur Masyarakat

Eksposur merupakan nilai elemen risiko. Wilayah yang mengalami bencana kekeringan sangat berefek kerugian hilangnya properti, aset atau nilai tambah yang dimiliki oleh masyarakat petani. Kepadatan petani di wilayah tertentu di mana semakin tinggi jumlahnya menggambarkan wilayah tersebut memiliki elemen risiko yang tinggi. Peta kepadatan petani disajikan pada Gambar 18. Kepadatan petani yang tinggi terdapat di desa Mallongi-longi, Ammassangang, Padaidi, Manarang, Bentengnge, Pammase, Sipodeceng, Marawi, Pakkie, Mamminasae, Tiroang, Paseno, Duampanua, Mario, Rijang Panua dan Madenra.

Gambar 18. Peta Kepadatan Petani di lokasi penelitian 5.2.3. Kemampuan Sosial, Ekonomi dan Budaya

Kemampuan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat merupakan kekuatan atau sumber daya yang dimiliki dalam masyarakat yang dapat mengurangi nilai risiko bencana di lingkungan masyarakat. Parameter yang digunakan adalah kelembagaan terlibat, kemampuan risiko dan bantuan. Dari hasil wawancara dan

temuan di lapangan kemampuan sosial, ekonomi dan budaya di lokasi penelitian yang terkait dengan pengurangan risiko bencana disajikan dalamTabel 15.

Tabel 15. Kemampuan sosial, ekonomi dan budaya

Parameter Objek Kekeringan

Lahan pertanian Pemukiman/Penduduk

Kelembagaan terlibat Gapoktan/Poktan Badan penyuluh

Kecamatan

Karang taruna Lembaga desa Lembaga swasta Kemampuan & Respon  Pompanisasi/ Borisasi

 Penampungan/embung  Pengairan irigasi desa

Pipanisasi (selang air) Sumur &penampungan

umum

Pengolahan air laut menjadi air tawar

Bantuan  Mesin bor & pompa

 Bibit & pupuk  Uang tunai

 Sumur & penampungan umum

Dalam analisis parameter kerentanan, nilai rentan parameter kemampuan berbeda dengan nilai rentan parameter kerentanan penduduk dan eksposur masyarakat yang pemberian nilai berdasarkan jumlahnya. Sedangkan nilai parameter kemampuan berdasarkan pada 2 kategori ada dan tidak ada. Dalam pemberian nilai ini diasumsikan bahwa kategori ada dengan nilai rentan 0.3 tidak sepenuhnya mampu mengurangi nilai kerentanan melainkan menekan laju meningkatnya kerawanan suatu wilayah terhadap bahaya bencana kekeringan. Sedangkan nilai tidak ada dengan nilai rentan 0.7 diasumsikan bukan berarti tidak ada sama sekali upaya kemampuan dalam menekan atau mengatasi dampak bahaya kekeringan. Setiap individu, kelompok mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda-beda terhadap bahaya (Barus, 2011).

1. Kelembagaan terlibat

Kelembagaan terlibat dalam mengurangi bencana kekeringan didasarkan pada objek kekeringannya. Untuk objek lahan pertanian, masih terdapat budaya gotong royong dalam bentuk organisasi petani yang disebut kelompok tani

(POKTAN)/gabungan kelompok tani (GAPOKTAN). Badan Penyuluh

Kecamatan juga sangat membantu dalam upaya pengurangan risiko bencana yang akan menimpa lahan pertanian termasuk bencana kekeringan (Gambar 19 a, b dan c). Beberapa program yang dilakukan salah satunya dengan program sekolah lapang pertanian tanaman terpadu (SLPTT) dimana para petani diberikan materi

tentang pemahaman pola penanaman disesuaikan dengan musim tanam yang tepat untuk menghindari kecaman gagal panen yang dikarenakan musim panen jatuh pada pertengahan musim kemarau.

Gambar 19. Kelembagaan terlibat dalam mengurangi ancaman bahaya kekeringan di lahan pertanian dan area pemukiman

Pada objek kekeringan di area pemukiman terdapat organisasi pemuda yang digerakkan oleh lembaga desa sebagian besar melakukan penyambungan selang ke mata air gunung yang mengalirkan air ke rumah penduduk dengan pungutan biaya untuk perawatan dan petugas penjaga air tiap bulan. Selain itu, di beberapa desa juga terdapat perusahaan swasta (Gambar 19 d) yang menyambungkan air kerumah penduduk dengan pengelolaan seperti yang dilakukan PDAM dimana pembayaran sesuai dengan jumlah pemakaian air.

Sebaran kelembagaan terlibat disajikan pada Gambar 20. Di lokasi penelitian desa Lalebata tidak terdapat kelembagaan yang terlibat dalam upaya pengurangan bahaya kekeringan dikarenakan keterlibatan lembaga tetangga desa berpengaruh di desa Lalebata.

2. Kemampuan dan Respon Penanggulangan

Kemampuan/respon penanggulangan yang ditemui di lokasi penelitian sangat beragam. Di lahan pertanian dengan upaya pompanisasi/borisasi dari jaringan sungai/irigasi maupun air tanah memompa air untuk dialirkan ke lahan-lahan sawah. Selain itu juga terdapat wadah panen air/penampungan yang dibuat

a

b

d

permanen oleh masyarakat untuk persediaan kebutuhan air lahan sawah dan kebun petani (Gambar 21 a dan b).

Gambar 20.Peta Kelembagaan Terlibat di lokasi penelitian

Gambar 21. Kemampuan dan respon penanggulangan yang dilakukan masyarakat dalam mengurangi risiko kekeringan

c

d

e b a

Pada areal pemukiman upaya yang dilakukan berupa pipanisasi untuk daerah hulu di mana sumber airnya berasal dari gunung (Gambar 21 d). Bila musim kemarau suplai air berkurang dan terkadang harus mengantri untuk penjatahan pengaliran air ke bak penampungan penduduk. Sebagian juga terdapat sumur galian/bor (Gambar 21 c) yang mengalirkan air dengan mesin pompa dengan pipa-pipa yang menyambungkan bak penampungan rumah penduduk. Selain itu pada daerah hilir Kecamatan Suppa, kepala desa Lero memanfaatkan teknologi pengolahan air asin menjadi air tawar (Gambar 21 e) untuk memenuhi kebutuhan air untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat setempat dengan biaya tertentu.

Sebaran kemampuan dan respon penanggulangan disajikan pada Gambar 22. Desa yang tidak terdapat dan ditemui kemampuan respon dalam menghadapi kekeringan adalah desa Lotang Salo, Ammassangang, Pananrang, Watang Pulu, Pananrang, Arawa, Mamminasae, Maccirina, Padang loang, Bina Baru, Madenra, Kulo, Batu Mila, Bonto Malangga, Mengkawai, Karrang, Pariwang, Limbuang, Kaluppang, dan desa Palakka.

3. Bantuan Kekeringan

Terkait bantuan terhadap lahan sawah yang puso mendapatkan bantuan tunai langsung masuk ke rekening petani (Gambar 23 a). Besarnya bantuan tergantung dari luas lahan sawah petani yang puso. Bantuan ini tidak merata ke petani-petani yang mengalami puso, pihak pemerintah punya standarisasi sendiri dalam menetapkan lahan sawah petani yang dianggap puso dan berhak di ajukan memperoleh bantuan. Selain itu petani-petani yang diajukan adalah hanya petani yang terdaftar dalam poktan/gapoktan.

Gambar 23. Bantuan dari pemerintah terkait bencana kekeringan pada lahan sawah dan kekurangan air bagi penduduk

Area pemukiman yang kesulitan dalam kebutuhan air di musim kemarau, di lokasi penelitian ditemukan bantuan fisik berupa penampungan air yang diisi dalam waktu tertentu untuk suatu area tertentu dalam mendistribusikan air ke penduduk (Gambar 23 b). Selain itu juga terdapat sumur galian dan bak kolam (Gambar 23 c) yang dibuat oleh pemerintah setempat dalam program PNPM.

Sebaran bantuan kekeringan di sajikan pada Gambar 24. Desa yang tidak mendapatkan bantuan adalah Desa Lero, Ujung Labuang, Wiring Tasi, Tasiwalie, Watang Suppa, Lotang Salo, Lanrisang, Barang Palie, Marannu, Makkawaru, Pacongang, Sawitto, Penrang, Bata, Uluale, Bangkai, Ciro-Ciroe, Arawa, Manisa, Panreng, Macorawalie, Lalebata, Rappang, Cipotakari, Paseno, Tonronge, Abbokkongeng, Kulo, Madenra, Bina Baru, Maccirina, Batu Mila, Bonto Malangga, Mengkawani, Kaluppang, Limbuang, Pariwang, Taulan, Malalin, dan Palakka.

Gambar 24. Peta Bantuan Kekeringan di lokasi penelitian

Nilai kerentanan dikelompokkan menjadi 3 kelas yaitu rendah, sedang dan tinggi. Sebaran kerentanan di desa lokasi penelitian disajikan (Gambar 25 dan Tabel 16). Dari hasil analisis kerentanan yang dibuat 5 Kecamatan yang sebaran desanya bernilai kerentanan tinggi. Hasil analisis ini menggambarkan lokasi penelitian dengan sebaran desa bernilai tinggi di Kecamatan tertentu akan meningkatkan risiko bencana kekeringan.

Tabel 16. Kelas Kerentanan Kekeringan beserta unit desa Nilai

Interval

Kelas

Kerentanan Unit Desa

1.5 – 1.6 Rendah

Benteng, Timoreng Panua, Bentengnge, Sipatokkong, Samaulue, Lerang, Temmassarangnge, Pakkie, Mattiro deceng, DUampanua, Padaelo, Lawawoi, Bangkala, Padakkalawa, Sipodeceng, Mario, Salo, Mallongi-longi, Padaidi, Bulo, Bunga, Benteng Sawitto, Rijang Panua, Manarang, Pammase, Tiroang, Marawi, Malimpung, Patandon Salu, Lainungan, Alitta.

1.6 – 2.1 Sedang

Maccorawalie, Sawitto, Rappang, Pacongang, Macorawalie, Tonronge, Baranti, Manisa, Panreng, Bulo Watang, Marannu, Bata, Polewali, Padangloang, Malalin, Ciro-ciroe, Abbokkongeng, Pananrang, Bangkai, Taulan, Ammassangang, Cipotakari, Paseno, Barangpalie, Uluale, Lanrisang, Makkawaru, Karrang, Maminasae.

2.1 – 2.7 Tinggi

Panreng, Lero, Lalebata, Ujung Labuang, Tasiwalie, Lotang salo, Limbuang, Watang Suppa, Wiringtasi, Kaluppang, Kulo, Pariwang, Bonto Malangga, Arawa, Madenra, Palakka, Maccirina, Watang palu, Mengkawani, Bina baru, Batu mila

Gambar 26. Peta Sebaran Kerentanan Kekeringan DAS Kariango

Dokumen terkait