• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekspresi dan purifikasi RNA helikase HCV (Utama et al 2000)

AKSAR CHAIR LAGES C3408

DAFTAR LAMPIRAN

2 TINJAUAN PUSTAKA

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Ekspresi dan purifikasi RNA helikase HCV (Utama et al 2000)

Ekspresi RNA helikase protein NS3 HCV dilakukan berdasarkan metode Utama et al. (2000). Ekspresi dilakukan pada skala 400 mL. Sebanyak 10 µ L stok gliserol bakteri E. coli BL21 (DE3) pLysS yang membawa vektor ekspresi pET- 21b/HCV NS3 helikase diinokulasi ke dalam 10 mL medium LB cair yang mengandung 1 µg/mL ampisilin, kemudian dikultur selama satu malam dalam inkubator goyang (shaker incubator) pada suhu 37 °C dengan kecepatan 150 rpm.

Hasil kultur diinokulasikan ke dalam 400 mL medium LB yang mengandung ampisilin, selanjutnya dikultur dalam inkubator berpenggoyang pada suhu 37 °C dengan kecepatan 150 rpm, selama 30 menit sampai dengan 1 jam hingga OD600 mencapai ±0,3. Apabila OD600 telah mencapai ±0,3 maka

ditambahkan 0,3 M isopropil β-D-thiogalaktopiranosidase (IPTG). Kultur E. coli BL21 (DE3) pLysS kemudian diinkubasi selama 3 jam dalam inkubator goyang pada suhu 37 °C dengan kecepatan 150 rpm selama 3 jam atau hingga OD600

Gambar 11 Diagram alir prosedur kerja penelitian. Mikroalga BTM 11 Kultivasi mikroalga BTM 11 Biomassa Mikroalga BTM 11 Ekstraksi polisakarida Ekstrak polisakarida Pemurnian polisakarida (kromatografi gel filtrasi)

Pemurnian polisakarida (kromatografi ion-exchange)

Uji ATPase Analisis total gula

Analisis total

gula Uji ATPase

Fraksi paling aktif polisakarida terpurifikasi

Analisis kemurnian (kromatografi lapis tipis)

Analisis kemurnian (kromatografi cair kinerja tinggi)

Uji ATPase

E.coli BL 21(DE3) pLysS pembawa gen

helikase

Ekspresi dan purifikasi enzim helikase RNA helikase terpurifikasi SDS PAGE Uji ATPase

Hasil kultur disentrifugasi pada suhu 4 °C dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Pelet diresuspensi dengan sisa medium LB cair, kemudian disentrifugasi kembali. Pelet yang diperoleh disimpan pada suhu -20 °C.

Pelet E. coli BL21 (DE3) pLysS dipecah dengan metode freeze & thaw sebanyak 3 kali ulangan yaitu dengan membekukan pelet pada suhu -20 °C selama 30 menit, lalu dicairkan pada suhu ruang selama 30 menit. Pelet kemudiian

diresuspensi dengan 20 mL larutan bufer B (Tris HCl 10 mM pH 8,5; NaCl 100 mM, Tween 20 0,25%). Tahap kedua pemecahan sel dilakukan dengan

metode sonikasi (Amplitudo 40; siklus 0,5; waktu 3x15 detik; interval waktu 1 menit). Suspensi sel disentrifugasi pada suhu 4 °C dengan kecepatan 10.000 rpm selama 20 menit. Supernatan diambil untuk tahapan selanjutnya, sedangkan pelet disimpan untuk analisis SDS-PAGE.

Enzim RNA helikase yang diduga berada dalam supernatan dipurifikasi menggunakan metode kromatografi afinitas. Supernatan ditambahkan dengan 300 µ L resin TALON, kemudian dilakukan tahap pengikatan (binding) menggunakan rotator selama 3 jam dalam ruang pendingin (4 °C). Sampel selanjutnya disentrifugasi pada suhu 4 °C dengan kecepatan 3.500 rpm selama 7 menit. Supernatan (inner volume) disimpan pada suhu 4 °C untuk analisis SDS-PAGE. Pelet (resin binding) diresuspensi dengan 10 mL larutan bufer B dan disentrifugasi pada suhu 4 °C dengan kecepatan 3.500 rpm selama 5 menit. Tahapan ini dilakukan sebanyak 2 kali sehingga diperoleh 2 larutan supernatan (washing 1 & washing 2) yang disimpan pada suhu 4 °C dan digunakan untuk analisis SDS-PAGE.

Resin binding dari hasil washing 2 kemudian dielusi untuk melepaskan enzim yang terikat pada resin. Elusi dilakukan dengan menambahkan 150 µ L larutan bufer elusi (imidazol 400 mM dalam bufer B), kemudian diinkubasi menggunakan rotator dalam ruangan pendingin (4 °C) selama satu malam. Sampel disentrifugasi pada suhu 4 °C dengan kecepatan 3.000 rpm selama 1 menit. Supernatan yang mengandung enzim dipindahkan dalam eppendorf yang baru (E1), sedangkan pelet ditambahkan 75 µ L larutan bufer elusi, kemudian diinkubasi dengan menggunakan rotator selama 1 jam. Sampel kembali

disentrifugasi sehingga diperoleh supernatan (E2). Supernatan (E1 dan E2) disimpan pada suhu 4 °C dan digunakan untuk analisis ATPase dan SDS-PAGE.

3.3.2 Kultivasi dan pemanenan mikroalga BTM 11

Kultivasi BTM 11 dilakukan dengan media IMK-SW. Namun sebelum dikultivasi, inokulum disegarkan terlebih dahulu dengan media IMK. Media IMK-SW digunakan untuk membuat suatu kondisi yang sama dengan media awal pertumbuhan mikroalga tersebut. Penyegaran stok mikroalga dilakukan dalam keadaan aseptik pada erlenmeyer 500 mL dengan penyinaran lampu 4800 lux, dan diberi aerasi. Mikroalga dikultur selama 14 hari sebelum dipindahkan ke kultur dengan skala yang lebih besar. Komposisi media IMK-SW dapat dilihat pada Lampiran 1. Pemanenan dilakukan dengan teknik filtrasi, yaitu hasil kultur disaring menggunakan kain filtrasi sehingga didapatkan biomassa basah. Biomassa basah tersebut dikeringkan menggunakan oven pada suhu 60 °C selama 2 hari. Biomassa kering yang didapatkan kemudian dilakukan pengecilan ukuran menjadi bentuk serbuk dengan menggunakan mortar.

3.3.3 Ekstraksi polisakarida BTM 11 (modifikasi Wang et al.2004)

Serbuk mikroalga BTM 11 sebanyak 5 g dilarutkan dalam 100 mL etanol absolut. Sampel dimaserasi selama 6 jam, kemudian disaring untuk didapatkan peletnya. Pelet tersebut dilarutkan dalam 100 mL aseton dan dimaserasi kembali selama 6 jam. Hasil maserasi tersebut disaring dan diambil peletnya untuk kemudian dilarutkan dalam NaCl 0,9%. Maserasi sampel dilakukan selama satu malam, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 4.500 rpm selama 15 menit. Supernatan hasil sentrifugasi diambil 15 µ L untuk analisis ATPase. Supernatan yang telah didapatkan kemudian dilakukan presipitasi dengan trichloroacetic acid (TCA) 10%. Hasil pengendapan disentrifugasi selama 15 menit pada kecepatan 7.500 rpm. Supernatan hasil sentrifugasi diambil 15 µ L untuk analisis ATPase. Supernatan dipekatkan dengan freeze dryer untuk mendapatkan ekstrak kasar polisakarida. Ekstrak kasar polisakarida diresuspensi dengan Tris HCl dan diambil 15 µ L untuk analisis ATPase.

3.3.4 Pemurnian polisakarida dari mikroalga BTM 11

1) Kromatografi gel filtrasi (Amersham 1999)

Matriks gel Sepharose 4B dimasukkan secara perlahan ke dalam kolom kromatografi. Ekstrak kasar polisakarida BTM 11 dilarukan dalam buffer (Tris HCl 10mM pH 8) dan sebanyak 5% dari volume kolom dimasukkan ke kolom gel filtrasi. Sampel dielusi dengan eluen etanol 30%, dengan laju alir 1 mL/menit tiap fraksi. Masing-masing fraksi hasil pemurnian diuji aktivitas penghambatannya terhadap RNA helikase virus hepatitis C dengan uji ATPase. 2) Kromatografi ion-exchange(modifikasi Baumgartner dan Chrispeels 1976)

Kolom kromatografi dibilas dengan menggunakan kation-anion exchange. Setelah itu, sebanyak 1 mL sampel polisakarida inhibitor diinjeksikan ke dalam kolom kromatografi. Eluen yang digunakan adalah NaCl 0,1-1 M. Hasil elusi ditampung dalam tabung vial dengan volume masing-masing 1 mL. Masing- masing fraksi diuji aktivitas inhibisinya dengan uji ATPase.

3.3.5 Profil kemurnian fraksi aktif polisakarida inhibitor RNA helikase

Fraksi yang memiliki aktivitas paling tinggi dari masing-masing teknik pemurnian dibandingkan dan dipilih fraksi paling aktif untuk dilihat profil kemurniannya menggunakan kromatografi lapis tipis, dan diperjelas kembali menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi.

1) Kromatografi lapis tipis (modifikasi Putri 2011)

Plat silika F254 disiapkan dan diatur jarak antara garis penotolan dengan

garis akhir. Bejana (chamber) KLT diisi dengan eluen asetonitril : etanol dengan perbandingan 3:7 dan diinkubasi selama beberapa menit hingga jenuh. Plat yang telah ditotol dengan sampel hasil pemurnian yang memiliki aktivitas inhibisi tertinggi dikembangkan dalam bejana sampai eluen mencapai garis akhir. Hasil KLT kemudian divisualisasi menggunakan sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm, setelah itu disemprot dengan penampak bercak serium sulfat dan dipanaskan hingga terlihat spot hasil kromatografi.

2) Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) / HPLC

Sampel atau fraksi paling aktif diambil sebanyak 20 µ L untuk diinjeksikan ke dalam HPLC. Kondisi HPLC yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Fase Gerak : H2SO4 0,008 N

b. Kolom : Aminex® HPX-87H, 300 mm x 7.8 mm c. Detektor : Refractive Index

d. Flow rate : 1 mL/min e. Suhu kolom : 35 ºC f. Back Pressure : 1553 psi

3.4 Prosedur Analisis

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi (1) penentuan bobot molekul RNA helikase murni menggunakan SDS-PAGE, (2) uji aktivitas penghambatan RNA helikase HCV terhadap ekstrak polisakarida dan fraksi polisakarida termurnikan, (3) penentuan kandungan gula pada fraksi polisakarida murni yang memiliki aktivitas penghambatan yang tinggi terhadap RNA helikase HCV.

3.4.1 Analisis enzim RNA helikase dengan SDS-PAGE (Speicher 1997)

Analisis menggunakan alat SDS-PAGE. Glass plate sandwich (short plate & spacer plate) dibersihkan dengan etanol. Short plate ditempatkan di depan kaca spacer plate. Kedua kaca kemudian dimasukkan ke dalam casting frame dengan posisi bagian bawah kedua kaca sama rata lalu dikunci dengan menekan cams. Casting frame dipasang pada casting stand. Setelah peralatan siap, larutan gel separating dibuat sesuai dengan prosedur (Lampiran 2a). Larutan tersebut dimasukkan di antara celah short plate & spacer plate sampai duapertiga bagian lalu ditambah akuades sampai dengan batas atas kaca, ditunggu ±20 menit sampai terbentuk gel. Selama menunggu 20 menit, larutan gel stacking dibuat sesuai dengan prosedur (Lampiran 2b). Sebelum larutan gel stacking dimasukkan, air yang ada pada gel separating dibuang. Larutan gel stacking dituang sampai batas atas kaca, comb dimasukan, ditunggu ±20 menit sampai gel terbentuk.

Gel dipindahkan dari casting frame dengan cara menekan cams pada casting frame.Gel cassette sandwich ditempatkan pada electrode assembly dengan posisi short plate menghadap dalam, lalu ditempatkan ke dalam clamping frame, kemudian ditutup kedua camp levers pada clamping frame. Lower inner chamber

dimasukan ke dalam tank elektroforesis lalu diisi dengan working solution (Buffer Elektroforesis SDS 1X pH 8,3).

Masing-masing sampel diambil 4 µ L lalu dicampur dengan 2 µ L loading dye (Lampiran 2c). Campuran didenaturasi pada suhu 95 °C selama 15 menit. Marker protein (BIORAD®) sebanyak 4 µ L/gel dimasukkan ke dalam well. Masing-masing sampel yang sudah dicampur dengan loading dye, dimasukkan ke dalam well sebanyak 5 µ L/well.Gel dielektroforesis selama 90 menit dengan arus 40 mA. Gel diangkat lalu direndam dalam Commasie Blue G-250 staining solution (Lampiran 2d) selama 1 jam sambil digoyang-goyang di atas rocker. Gel dibilas dengan Commasie Blue G-250 destaining solution (Lampiran 2e) ±20 menit, dilakukan dua kali. Gel dibilas dengan H2O sampai bau asamnya hilang

dan disimpan pada suhu 4 °C.

Gel menunjukkan elektroforegram dari RNA helikase HCV berupa pita protein dengan bobot molekul 54 kDa. Perhitungan bobot molekul (BM) dilakukan terlebih dahulu dengan menghitung retardation factor (Rf) dari masing-

masing pita protein marker dan pita protein target menggunakan rumus :

Nilai Rf pada pita-pita protein marker digunakan untuk memperoleh kurva

standar terhadap log standar BM dari marker. Bobot molekul dihitung melalui persamaan regresi linier kurva standar yang diperoleh, yaitu y = ax + b. Nilai “x” yang dimasukkan merupakan nilai Rfdari pita protein target, sedangkan nilai “y”

merupakan nilai log BM dari pita protein target. Nilai bobot molekul diperoleh dari antilog BM pita protein target.

3.4.2 Uji aktivitas ATPase RNA helikase HCV (Utama et al. 2000)

Pengujian aktivitas inhibisi enzim helikase virus hepatitis C dengan sampel hasil pemurnian polisakarida BTM 11 menggunakan uji ATPase kolorimetri (Utama et al. 2000), yaitu dengan mengukur jumlah fosfat yang dilepaskan dari hidrolisis senyawa ATP menjadi ADP dan fosfat anorganik (Pi). Konsentrasi akhir reaksi adalah sebesar 175 µ L/sumur.Sistem reaksi enzim selengkapnya untuk satu sampel dengan volume total 175 µ L dapat dilihat pada Tabel 2.

Rf =Jarak dari titik awal elektroforesis ke pita protein Jarak dari titik awal ke titik akhir elektroforesis

Tabel 2 Sistem reaksi enzim untuk satu sampel dengan volume total 175 µ L Blanko (µ L) Enzim (µ L) Kontrol (-) (µ L) Sampel (µL) Sampel Pelarut H2O Buffer (MOPS) Kofaktor (MgCl2) Substrat (ATP) RNA helikase - - 43,5 5 0,5 1 - - - 38,5 5 0,5 1 5 - 5 33,5 5 0,5 1 5 5 - 33,5 5 0,5 1 5 Inkubasi pada suhu ruang selama 45 menit

Dye solution* 100 100 100 100 Inkubasi pada suhu ruang selama 5 menit

Na-sitrat 25 25 25 25 Pembacaan pada λ 620 nm dengan referensi 405 nm (Abs. 620 nm – 405 nm) *H2O : hijau malakit : polivinil alkohol : amonium molibdat (2 : 2 : 1 : 1)

Persentase aktivitas penghambatan senyawa inhibitor terhadap RNA helikase ditentukan dengan rumus:

Keterangan :

A = Absorbansi RNA helikase tanpa senyawa inhibitor

I = Absorbansi RNA helikase dengan adanya senyawa inhibitor

3.4.3 Analisis kandungan gula fraksi polisakarida BTM 11 (Dubois et al.

1956)

Analisis ini bertujuan untuk memastikan bahwa fraksi aktif dari kromatografi gel filtrasi dan ion-exchange terdapat kandungan polisakarida dengan cara mendeteksi komponen gula penyusunnya menggunakan metode fenol-asam sulfat. Langkah awal yaitu membuat kurva standar dengan glukosa (1 mg/mL) sebagai standar dari konsentrasi tertinggi hingga terendah. Sebanyak 0; 0,1; 0,3; 0,5; 0,8; dan 1 mg/mL glukosa dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan akuades hingga mencapai volume 100 µ L. Sebanyak 0,5 mL larutan fenol 5%; 2,5 mL H2SO4 pekat dicampurkan ke dalam tabung tersebut dan

dicampur rata. Standar glukosa diganti dengan akuades untuk blanko, sedangkan untuk analisis sampel, standar diganti dengan (polisakarida 1%). Setelah itu campuran diinkubasi selama 15 menit di ruang asam. Lalu tabung berisi campuran diinkubasi dalam waterbath (40 °C) selama 15-30 menit, dan diamati perubahan warna yang terjadi. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 490 nm. Kandungan gula dihitung melalui persamaan regresi linier kurva standar yang

% Inhibisi = A−I

diperoleh, yaitu y = ax + b. Nilai “y” yang dimasukkan merupakan absorbansi yang terbaca dari sampel, sedangkan nilai “x” merupakan kandungan gula dalam sampel.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ekspresi dan Pemurnian RNA Helikase Virus Hepatitis C

Ekspresi dan pemurnian RNA helikase HCV dilakukan untuk memperoleh RNA helikase HCV murni yang dapat digunakan dalam pengujian aktivitas polisakarida inhibitor terhadap aktivitas ATPase. Ekspresi RNA helikase HCV dilakukan pada bakteri Escherichia coli BL21 (DE3) pLysS dalam plasmid pET 21b. Sambrook & Russell (2001) menjelaskan bahwa E. coli BL21 (DE3) pLysS merupakan sel kompeten yang bersifat resisten terhadap antibiotik kloramfenikol dan berperan sebagai sel inang pada ekspresi gen, sedangkan pET 21b pada ekspresi gen berperan sebagai vektor ekspresiyang memiliki sifat resisten terhadap antibiotik ampisilin.

Ekspresi RNA helikase diawali dengan penumbuhan bakteri E. coli BL21 (DE3) pLysS yang membawa gen NS3 RNA helikase virus hepatitis C dalam plasmid pET 21b ke dalam 10 mL media Luria-Bertani (LB) yang sudah ditambahkan ampisilin. Penggunaan media ini dipilih karena media LB merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan bakteri, termasuk E.coli

dikarenakan pertumbuhan yang relatif cepat dan rendemen yang lebih baik (Sezonov et al. 2007). Penambahan ampisilin bertujuan sebagai penanda seleksi

untuk membedakan E. coli rekombinan yang membawa gen NS3 helikase HCV dengan bakteri lain yang tidak membawa gen NS3 helikase HCV. Tahap ini merupakan pembuatan prekultur yang bertujuan untuk menyegarkan kembali stok biakan bakteri ke dalam media baru sehingga dapat tumbuh dengan optimal ketika dikultur ke skala yang lebih besar. Prekultur diinkubasi selama satu malam di inkubator berpenggoyang dengan suhu 37 °C pada kecepatan 150 rpm. Warna kultur yang berubah menjadi kuning keruh menunjukkan bahwa bakteri E.coli BL21 (DE3) pLysS berhasil ditumbuhkan.

Prekultur yang telah siap, dipindahkan ke dalam LB yang sudah ditambahkan ampisilin dengan volume yang lebih besar. Kultur diinkubasi pada inkubator berpenggoyang dengan suhu 37 °C dan kecepatan 150 rpm hingga optical density (OD600) mencapai 0,3. Pada nilai tersebut diperkirakan kultur

bakteri E. coli yang ditumbuhkan pada media LB memasuki fase pertumbuhan eksponensial pada saat nilai OD600 sebesar 0,2 atau 0,3; dan mengakhiri fase

tersebut ketika nilai OD600 sebesar 0,6 hingga 1.

Pembelahan sel E. coli yang mengekspresikan RNA helikase pada fase logaritmik terjadi sangat cepat, sehingga diperlukan penambahan isopropil β-D- thiogalaktopiranosidase (IPTG) yang akan menginduksi gen NS3 RNA helikase HCV agar terjadi ekspresi berlebih. Utama et al. (2000) menjelaskan bahwa ekspresi berlebih pada gen NS3 menyebabkan pembentukan enzim RNA helikase dalam jumlah yang lebih banyak dari fase logaritmik hingga fase awal stasioner.

Koleksi sel E. coli menggunakan sentrifugasi dilakukan setelah nilai OD600

mencapai ±1 (±3 jam), yang menunjukkan bahwa kultur sudah memasuki fase awal stasioner. Sentrifugasi dilakukan pada suhu rendah untuk menghindari protein mengalami denaturasi. Sentrifugasi akan memisahkan E. coli dengan media LB. Bakteri E. coli akan mengendap sebagai pelet, dan disimpan pada suhu -20 °C untuk menjaga stabilitas sel bakteri.

Enzim RNA helikase HCV terekspresi secara intraseluler pada sel E.coli BL21 (DE3) pLysS, sehingga untuk memurnikannya harus dilakukan pemecahan dinding sel agar komponen intraseluler termasuk RNA helikase HCV dapat keluar dari dalam sel E. coli. Pemecahan sel dilakukan dengan metode freeze-thaw dan sonikasi. Proses freeze-thaw dilakukan dengan mengkondisikan sel E. coli selama ±30 menit secara bergantian di suhu ruang dan suhu beku (-20 °C) sebanyak tiga kali ulangan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya pembentukan kristal es pada sel E. coli, sehingga sel akan lebih mudah untuk dipecah. Pemecahan sel selanjutnya adalah dengan sonikasi. Pada tahap sonikasi, sel E. coli dilarutkan dalam bufer B, dengan komponen penyusunnya yaitu Tween 20, NaCl dan Tris HCl.

Tween 20 merupakan detergen non-ionik yang dapat menghancurkan lipid bipolar pada membran sel. Rusaknya lipid bipolar akan menyebabkan disosiasi membran sel dengan bagian hidrofobik dari RNA helikase yang sebelumnya menempel pada lipid bipolar tersebut (SIGMA-ALDRICH 2008). NaCl berperan sebagai penghilang kontaminan dan asam nukleat yang berikatan tidak spesifik

dengan RNA helikase (Vanz et al. 2008), sedangkan Tris HCl berfungsi sebagai larutan penyangga.

Hasil pemecahan sel bakteri (cell lysate) diduga telah mengandung enzim RNA helikase HCV, sehingga harus dimurnikan menggunakan kromatografi afinitas. Metode ini didasarkan pada pengikatan spesifik logam Ni2+ atau Co2+ yang dimiliki resin TALON dengan label 6xHis-tag (tag protein dengan enam histidin) yang terdapat pada ujung RNA helikase. Petty (1996) menjelaskan bahwa histidin akan berikatan secara selektif ke logam Co2+ resin TALON meskipun dalam resin tersebut terdapat ion metal bebas lainnya. BD Bioscience Clontech (2003) menjelaskan bahwa resin TALON menggunakan tetradentate metal chelator untuk purifikasi protein rekombinan polyhistidine-tagged. Chelator tersebut mengikat kuat logam elektropositif pada kantung elektronegatif yang ideal untuk pengikatan ion logam seperti kobalt. Kantung pengikatan tersebut adalah sebuah struktur oktahedral yaitu 4 dari 6 situs logam kobalt berikatan dengan ligan resin TALON, sedangkan dua situs yang bebas akan berikatan dengan 6xHis-tag. Tetradendate metal berarti tidak ada logam yang tidak berikatan selama purifikasi protein dalam berbagai kondisi. Pengikatan resin TALON dengan 6xHis-tag dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Pengikatan resin TALON (A) dengan 6xHis-tag (B) (BD Bioscience Clontech 2003).

Resin yang telah mengikat dengan protein target, dimurnikan kembali dengan pencucian dalam bufer B. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan protein non target. Pemisahan protein target dari ikatan resin dilakukan dengan penambahan imidazol yang terdapat dalam bufer elusi. BD Bioscience Clontech (2003) menjelaskan bahwa konsentrasi imidazol hingga lebih dari 200 mM menyebabkan protein yang memiliki residu His-tag terdisosiasi karena tidak mampu lagi bersaing untuk berikatan dengan resin.

Analisis kemurnian protein target menggunakan pengukuran bobot molekul dengan SDS-PAGE. Hasil pelisisan sel, pencucian dari hasil pengikatan dengan resin TALON dan hasil elusi dengan imidazol dilihat kemurniannya berdasarkan ada atau tidaknya protein target pada masing-masing tahapan tersebut. Elektroforesis dilakukan menggunakan gel akrilamid dengan konsentrasi 8%. Hal ini dikarenakan protein target (enzim) memiliki bobot molekul yang besar, sehingga dibutuhkan gel akrilamid dengan konsentrasi rendah agar terjadi pemisahan pita protein yang optimal. Elektroforegram SDS-PAGE dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Analisis SDS-PAGE pemurnian RNA helikase HCV. P: pelet sel, S: supernatan hasil lisis, IV: inner volume (supernatan binding), W1: pencucian pertama, W2: pencucian kedua, E1&E2: RNA helikase HCV, M: marker protein.

Hasil SDS-PAGE menunjukkan pita protein tunggal dengan bobot 54 kDa pada hasil elusi dengan imidazol, sehingga dapat dikatakan bahwa RNA helikase HCV telah berhasil dipurifikasi. Hal ini sesuai dengan hasil yang telah dilaporkan Utama et al.(2000) yang menyatakan bahwa bobot molekul RNA helikase yang dimiliki oleh virus hepatitis C adalah sebesar 54 kDa. Hasil pencucian binding resin TALON (W1 dan W2) tidak menunjukkan terdapatnya pita protein, hal ini dikarenakan yang terdapat pada tahap itu hanya buffer B. Jalur hasil pelisisan sel menunjukkan pita protein target yang dalam hal ini diduga adalah RNA helikase, sehingga dapat dikatakan bahwa sebelumnya RNA helikase telah terekspresi pada sel bakteri.

4.2 Kultivasi Mikroalga BTM 11

Mikroalga BTM 11 merupakan salah satu ganggang atau fitoplankton yang diisolasi dari perairan laut Batam, dengan lokasi spesifik yaitu pada titik/stasiun ke-11 di area pengamatan. Kultur mikroalga BTM 11 dilakukan dengan media IMK-SW. Penggunaan media ini disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi mikroalga BTM 11 yang mengacu kepada habitat asal isolat mikroalga tersebut. Kultur tersebut berwarna hijau pekat. Warna ini berhubungan dengan pigmen yang dimiliki oleh BTM 11. Warna kultur semakin pekat seiring dengan lamanya waktu kultur. Kepekatan warna yang terjadi menunjukkan kepadatan biomasa pada kultur tersebut. Kondisi kultur mikroalga BTM 11 dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Kondisi kultivasi mikroalga BTM 11.(A: prekultur pada galon, B: Scale-up kultur, C: Hasil panen).

Pertumbuhan BTM 11 diketahui dengan mengukur kepadatan sel menggunakan spektrofotometer. Hal ini dikarenakan morfologi sel dari BTM 11 yang berbentuk filamen, sehingga tidak memungkinkan untuk dihitung secara manual menggunakan hemasitometer. Kepadatan sel diukur pada serapan panjang gelombang 630 nm dikarenakan mikroalga BTM 11 memiliki serapan optimum pada panjang gelombang tersebut. Andersen (2005) menjelaskan bahwa besarnya serapan gelombang cahaya monokromatik pada pengukuran kepadatan sel kultur mikroalga didasari oleh warna yang dihasilkan oleh mikroalga tersebut.

Kultivasi dilakukan pada suhu ruang dengan intensitas pencahayaan sebesar 4800 lux, sehingga mikroalga BTM 11 berhasil tumbuh dengan baik. Kultur yang ditumbuhkan di bawah cahaya secara kontinyu akan tumbuh dengan cepat. Arad & Richmond (2004) menjelaskan bahwa faktor lingkungan yang penting untuk kultur mikroalga adalah cahaya, yang merupakan faktor utama pada fotosintesis. Morfologi sel mikroalga BTM 11 dapat dilihat pada Gambar 15.

Gambar 15 Mikroalga BTM 11 dengan perbesaran 1000x. (Dokumentasi Laboratorium Biorekayasa Lingkungan 2010).

Biomassa hasil panen mikroalga BTM 11 diperoleh dari Laboratorium Biorekayasa Lingkungan, Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI dengan umur panen 14 hari. Kultur mikroalga BTM 11 sebanyak 30 liter menghasilkan biomassa basah hasil panen sebesar 338 g (kering 38 g). Kurva pertumbuhan mikroalga BTM 11 dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Kurva pertumbuhan mikroalga BTM 11.

Mikroalga BTM 11 dipanen sebelum mencapai fase stasioner (fase pertumbuhan) (Gambar 16). Hal ini berdasarkan pada waktu pembentukan

makromolekul polisakarida dalam sel mikroalga. Arad et al. (1985) menjelaskan bahwa aktivitas optimum pembentukan polisakarida terjadi pada fase stasioner. Namun pada fase stasioner, pembentukan optimal polisakarida bersamaan dengan sekresi polisakarida tersebut oleh mikroalga ke media tumbuh yang dapat dilihat dari peningkatan viskositas media tumbuh mikroalga. Hasil penelitian Putri (2011) menunjukkan bahwa biomassa mikroalga BTM 11 yang dipanen pada

Dokumen terkait