• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Ekstrak Kasar Petrosia nigricans dan Nilai Rendemen

Proses ekstraksi meliputi penghancuran sampel, maserasi dalam pelarut dengan penggoyangan menggunakan orbital shaker, penyaringan, dan evaporasi. Proses ini dilakukan untuk mendapatkan bagian – bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen – komponen aktif (Harborne, 1984). Metode yang digunakan dalam ekstraksi ini adalah ekstraksi bertingkat menggunakan 3 pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda, yaitu heksan (non polar), etil asetat (semi polar), dan metanol (polar).

Ekstrak kasar yang dihasilkan spons Petrosia nigricans berupa serbuk berwarna coklat tua pada ekstrak metanol, sedangkan ekstrak etil asetat dan heksan berupa pasta berwarna hitam yang memiliki aroma khas, baik ekstrak kasar dari spons Petrosia nigricans alami maupun transplantasi. Bobot ekstrak kasar dari tiap pelarut dari spons Petrosia nigricans alami maupun hasil transplantasi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Bobot ekstrak kasar dan rendemen spons Petrosia nigricans Jenis Sampel Pelarut

Bobot Ekstrak (gr) Rendemen (%) Alami Metanol 7,42 2,97 Etil asetat 4,17 1,67 Heksan 0,41 0,16 Tranplantasi Metanol 15,01 6 Etil asetat 4,79 1,92 Heksan 0,53 0,21

Bobot ekstrak kasar dari sampel spons Petrosia nigricans alami maupun hasil transplantasi beragam, berkisar antara 0,41 – 15,01 gram. Bobot terbesar pada masing – masing spons Petrosia nigricans alami dan transplantasi terdapat pada ekstrak metanol yaitu sebesar 7,42 gram pada spons Petrosia nigricans alami dan 15,016 gram pada spons Petrosia nigricans transplantasi. Bobot ekstrak etil asetat alami dan transplantasi juga tidak berbeda jauh, secara berurutan 4,17 gram dan 4,79 gram. Sama halnya dengan ekstrak etil asetat, ekstrak heksan antara spons Petrosia nigricans alami dan transplantasi tidak berbeda jauh, yaitu 0,41 gram pada Petrosia nigricans alami dan 0,53 gram pada spons Petrosia nigricans transplantasi.

Hasil bobot ekstrak yang berbeda menyebabkan nilai rendemen yang berbeda pula untuk setiap larutan. Rendemen ekstrak merupakan perbandingan antara julah ekstrak yang dihasilkan dengan jumlah sampel awal yang diekstrak. Rendemen ekstrak dinyatakan dalam bentuk persen (%). Hasil bobot ekstrak yang dihasilkan bervariasi menyebabkan nilai rendemen yang yang dihasilkan pun berbeda pada tiap larutan. Rendemen ekstrak merupakan perbandingan antara bobot ekstrak yang dihasilkan dengan bobot sampel awal yang diekstrak. Nilai rendemen ekstrak dinyatakan dalam persen. Analisis statistik dengan uji

kelompok menunjukkan Fhit > Ftab, dapat disimpulkan bahwa perbedaan larutan memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot ekstrak maupun rendemen. Perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Perbedaan tingkat kepolaran jenis pelarut yang digunakan akan

menghasilkan rendemen yang berbeda pula. Nilai rendemen tertinggi terdapat pada ekstrak metanol spons Petrosia nigricans transplantasi dengan nilai 6%

sedangkan nilai rendemen terkecil terdapat pada ekstrak heksan sampel alami yaitu sebesar 0,16%. Nilai rendemen ekstrak metanol yang dihasilkan paling tinggi, sehingga menunjukkan bahwa komponen bioaktif yang terkandung dalam spons Petrosia nigricans bersifat polar karena mampu larut dalam larutan

metanol. Metanol merupakan larutan yang dapat melarutkan hampir semua senyawa organic yang ada pada sampel baik senyawa polar maupun non polar. Namun, semakin besar bobot ekstrak dan rendemennya tidak dapat diasumsikan bahwa bioaktif yang terkandung didalamnya besar pula.

4.2. Kandungan Antioksidan

Peranan antioksidan dalam tubuh sangat penting dalam menetralkan dan menghancurkan radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan sel dan juga merusak biomolekul, seperti DNA, protein, dan lipoprotein di dalam tubuh yang akhirnya dapat memicu terjadinya penyakit degeneratif,seperti kanker, jantung, artritis, katarak, diabetes dan hati (Soeksmanto et al, 2007). Keberadaan senyawa antioksidan pada suatu bahan dapat diketahui dengan melakukan uji aktivitas antioksidan. Uji aktivitas antioksidan yang digunakan pada sampel spons Petrosia nigricans adalah dengan menggunakan radikal bebas

diphenylpicrylhydrazyl (DPPH). DPPH merupakan radikal yang stabil yang dapat diukur intensitasnya pada panjang gelombang 515 nm (Rohman dan Riyanto, 2005).

Gambar 4. Uji Antioksidan dengan DPPH

Metode ini dipilih karena sederhana, mudah, dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dengan waktu yang singkat. Perubahan warna ungu menjadi warna kuning pada larutan menunjukkan adanya aktivitas antioksidan yang terjadi. Pengukuran aktivitas antioksidan dengan metode DPPH

menggunakan prinsip spektrofotometri dengan panjang gelombang 517 nm. Contoh perhitungan konsentrasi uji aktivitas antioksidan dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil pengukuran absorbansi metode DPPH dengan menggunakan spektrofotometer dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai absorbansi spons Petrosia nigricans Jenis Sampel Pelarut

Absorbansi Abs Blanko 200 ppm 400 ppm 600 ppm 800 ppm Alami 1 Metanol 0,349 0,365 0,382 0,379 0,903 Etil Asetat 0,505 0,462 0,332 0,572 0,903 Heksan 0,462 0,568 0,462 0,48 0,903 Transplantasi 1 Metanol 1,004 0,314 0,426 1,015 1,541 Etil Asetat 0,807 0,129 0,127 0,142 1,541 Heksan 1,436 1,308 1,206 1,289 1,541 Alami 2 Metanol 1,843 1,564 1,767 1,671 2,97 Etil Asetat 1,419 0,881 0,298 0,16 2,97 Heksan 1,987 1,98 1,899 1,881 2,97 Transplantasi 2 Metanol 1,191 0,321 0,418 1,52 2,97 Etil Asetat 1,391 0,586 0,13 0,131 2,97 Heksan 1,992 2,285 1,917 1,778 2,97

Nilai absorbansi spons Petrosia nigricans yang ditampilkan Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai absorbansi secara keseluruhan memiliki pola yang berbeda beda, hal ini dipengaruhi oleh tingkat penghambatan radikal bebas DPPH oleh ekstrak kasar spons pada tiap konsentrasinya. Dalam perhitungannya

dilakukan uji kuantitatif metode DPPH dengan cara menghitung nilai persen inhibisi dan dilanjutkan dengan perhitungan nilai IC50. Persen inhibisi adalah kemampuan suatu bahan untuk menghambat aktivitas radikal bebas, yang berhubungan dengan konsentrasi suatu bahan. Nilai IC50 diartikan sebagai

konsentrasi substrat yang dapat menyebabkan berkurangnya 50% aktivitas DPPH. Aktivitas antioksidan akan semakin tinggi seiring dengan mengecilnya nilai IC50 (Molyneux, 2004). Proses perhitungan % inhibisi dapat dilihat pada Lampiran 3. Nilai IC50 ulangan pertama dari sampel spons Petrosia nigricans alami dan transplantasi dapat dilihat pada Gambar 5.

Diagram batang diatas dapat dilihat nilai IC50 dari ekstrak sampel spons Petrosia nigricans dalam tiga jenis pelarut. Ekstrak etil asetat pada sampel transplantasi memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua pelarut lainnya, hal ini ditandai dengan nilai IC50 yang dihasilkan kecil, yaitu sebesar 0,2328 ppm sedangkan esktrak heksan pada sampel alami memiliki nilai IC50 terbesar yaitu sebesar 12.1508 ppm yang mengindikasikan aktivitas antioksidan yang dimilikinya lemah. Ekstrak spons Petrosia nigricans transplantasi memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dibandingkan dengan yang alami.

Menurut Nurhayati et al. (2009), aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat dari spons Petrosia sp. mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi atau nilai IC50 yang lebih rendah dibandingkan dengan aktivitas antioksidan yang berasal dari tumbuh- tumbuhan maupun dengan antioksidan dari spons jenis lain.

Rendemen ekstrak etil asetat lebih sedikit dari rendemen ekstrak metanol, namun aktivitas antioksidannya lebih kuat. Hal ini diduga karena pada ekstrak etil asetat terdapat komponen flavonoid yang terdeteksi melalui uji fitokimia.

Flavonoid sangat efektif untuk digunakan sebagai antioksidan (Astawan dan Kasih, 2008).

Dari hasil ulangan pertama dan kedua dapat dilihat bahwa sampel spons Petrosia nigricans hasil transplantasi memiliki aktivitas antioksidan yang lebih kuat dibandingkan dengan sampel spons Petrosia nigricans alami dilihat dari besarnya nilai IC50. Menurut Harper et al. (2001) in Murniasih (2005), senyawa bioaktif yang dihasilkan oleh spons ini berguna untuk mencegah infeksi bakteri, membantu proses reproduksi, dan mencegah sengatan ultraviolet. Maka dapat

diduga semakin tidak seimbang lingkungan perairan tempat habitatnya,

banyaknya predator, dan kompetitor maka semakin tinggi senyawa bioaktif yang dihasilkan. Analisis statistik faktorial uji antioksidan menunjukkan bahwa kedua sampel yang digunakan (alami dan transplantasi) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas antioksidan, sedangkan untuk pelarut yang digunakan serta ulangan yang dilakukan memberikan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas antioksidan yang dihasilkan. Analisis ini dapat dilihat pada Lampiran 4.

4.3. Kandungan Bioaktif

Untuk mengetahui komponen – komponen bioakif yang terdapat dalam spons Petrosia nigricans dilakukan uji fitokimia. Uji ini dapat mendeteksi komponen bioaktif yang tidak terbatas hanya pada metabolit sekunder saja, tetapi juga termasuk metabolit primer yang memberikan aktivitas biologis fungsional , seperti protein dan peptide (Kannan et al, 2009). Uji Fiokimia yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi meliputi uji alkaloid, uji steroid, uji flavonoid, uji saponin, uji fenol hidrokuinon, uji molisch, uji benedict, uji biuret dan uji ninhidrin. Uji ini dilakukan terhadap dua jenis sampel, yaitu alami dan

transplantasi dengan pelarut etil asetat, mengingat hasil uji aktivitas antioksidan tertinggi dengan metode DPPH dihasilkan oleh spons Petrosia nigricans ekstrak etil asetat. Hasil uji fitokimia dari sampel spons Petrosia nigricans dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji fitokimia spons Petrosia nigricans

Uji Fitokimia Jenis Sampel Standar

Alami Transplantasi

Alkaloid

a. Dragendorff +++ ++ Endapan merah atau jingga

b. Meyer ++ ++ Endapan putih kekuningan

c. Wagner + ++ Endapan coklat

Steroid +++ +++ Perubahan dari merah ke biru/hijau Flavonoid + + Lapisan amil alkohol berwarna

merah/kuning/hijau

Saponin + + Terbentuk busa

Fenol

Hidrokuinon ++ ++ Warna hijau atau biru

Molisch + + Warna ungu antara 2 lapisan

Benedict - - Warna hijau/kuning/endapan merah bata

Biuret - - Warna ungu

Ninhidrin - - Warna biru

Keterangan:

+++ sangat kuat, ++ kuat, + lemah, - tidak terdeteksi

Hasil pengujian fitokimia pada Tabel 3 menunjukkan bahwa dari sembilan uji yang dilakukan, terdapat enam yang menghasilkan reaksi positif. Keenam uji tersebut terdapat dalam kedua sampel spons Petrosia nigricans baik alami maupun hasil transplantasi. Keenam uji tersebut antara lain uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, dan molisch. Dari uji ini dapat

disimpulkan bahwa senyawa bioaktif yang terkandung dalam spons Petrosia nigricans alami dan transplantasi relatif sama sekali berbeda pada tingkat kekuatannya. Hasil transplantasi menunjukkan kandungan bioaktif spons terutama pada uji alkaloid lebih stabil sehingga memiliki kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan spons Petrosia nigricans alami.

Alkaloid yang ditemukan diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu oritin dan lisin yang menurunkan alkaloid alisiklik, fenilalanin dan

tirosin yang menurunkan alkaloid jenis isokuinolin dan triptopan yang

menurunkan alkaloid indol. Reaksi utama yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi mannich, dimana menurut reaksi suatu aldehid

berkondensasi dengan suatu amina menghasilkan suatu ikatan karbon-nitrogen dalam bentuk imina tau garam iminium, diikuti oleh serangan suatu atom karbon nukleofilik yang dapat berupa suatu enol atau fenol (Lenny, 2006 in Susanto, 2010). Senyawa kimia dalam spons yang mempunyai aktivitas antioksidan secara kualitatif dan lanjutan yaitu alkaloid (Hanani et al., 2005).

Komponen steroid atau triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang umumnya berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Senyawa tersebut tidak berwarna, kristalin, memiliki titik lebur yang tinggi, dan umumya sulit untuk dikarakterisasi karena secara kimia tidak reaktif (Harborne, 1984). Selain itu, steroid juga dapat digunakan sebagai antiinflamatori dan untuk konsumsi minum, pembius lokal, insektisida, serta relaksan oto yang digunakan pada operasi bedah (Houghton dan Raman, 1998).

Flavonoid yang dihasilkan pada spons menurut Ruiz et al. (2005) in Nurhayati (2009) mempunyai banyak aktifitas sebagai enzim dan memproduksi sistem sel, antitumor, pelindung hati, serta antiinflamantori. Flavonoid juga mempunyai komponen formulasi atiacne dan beberapa diantaranya, seperti kaempferol, menunjukkan aktifitas ani luka nanah. Beberapa flavonoid, seperti quercetin dan hesperedin atau neohesperidin, diketahui sebagai inhibitor lipase.

Keberadaan saponin sangat mudah diketahui dengan pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil. Saponin dapat berfungsi sebagai antimikroba, antiinflamatori, serta mempunyai toksisitas rendah. Selain itu, saponin juga diketahui mempunyai aktifitas melawan luka nanah dan patogenik pada Candida spp. Pada manusia (Ruiz et al., 2005 in Nurhayati, 2009).

Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan

mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Flavonoid merupakan golongan fenol yang terbesar, selain itu juga terdapat fenol monosiklik sederhana, fenilpropanoid, dan kuinon fenolik (Harborne, 1984). Peranan beberapa golongan fenol sudah diketahui, isalnya lignin sebagai bahan pembangun dinding sel, antosianin sebagai pigmen bunga, selain itu dengan mengkonsumsi fenol dipercaya dapat mengurangi resiko beberapa penyakit kronis karena bersifat sebagai antioksidan, anti-inflamasi, detoksifikasi karsinogen, dan antikolesterol (Chen dn Blumberg, 2007 in Andriyanti 2009).

Reaksi positif yang terjadi pada uji molisch menunjukkan adanya

karbohidrat. Karbohidrat berperan dalam penyimpanan energi (pati), transportasi energi (sukrosa), serta membangun dinding sel (selulosa) (Harborne, 1984) dan menurut Winarno (2008) in Susanto (2010) pada tubuh manusia, karbohidrat berguna untuk mencegah ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral dan berguna untuk membantu metabolisme lemak dan protein.

Pada penelitian sebelumnya mengenai kandungan senyawa bioaktif spons Petrosia nigricans menghasilkan beberapa senyawa dari kelompok poliasetilen

yang berpotensi sebagai antimikroba, antifungi, antifouling, inhibitor TP-ase dan inhibitor HIV, selain itu metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spons memiliki keragaman yang sangat tinggi. Senyawa – senyawa tersebut antara lain adalah deriva asam amino, dan nukleosida hingga makrolida, porphyrine, terpenoid, hingga ikatan alifaik peroksida, dan sterol (Ismet, 2007). Penelitian yang dilakukan Rasyid (2009) menunjukkan bahwa spons Petrosia nigricans mengandung senyawa bioakif petrocortynes dan petrosiacetylenes yangdapat berfungsi sebagai sitotoksik.

4.4. Pengaruh Transplantasi

Pengujian antioksidan pada penelitian ini menggunakan dua jenis sampel (alami dan transplantasi) spons Petrosia nigricans untuk membandingkan antara perlakuan transplantasi dengan alami terhadap antioksidan yang dihasilkan. Hasil pengujian yang didapatkan dengan metode DPPH yaitu aktivitas antioksidan tertinggi terdapat pada spons Petrosia nigricans hasil transplantasi ekstrak etil asetat baik pada ulangan pertama maupun kedua. Hal ini membuktikan besarnya nilai rendemen tidak membuktikan aktifitas antioksidan yang terjadi besar pula, mengingat ekstrak metanol spons Petrosia nigricans hasil transplantasi memiliki nilai rendemen tertinggi. Perlakuan transplantasi pada spons diduga dapat

meningkatkan aktivitas antioksidan.

Metabolit sekunder yang terbentuk pada spons Petrosia nigricans

transplantasi lebih tinggi dibanding alami diduga karena proses bertahan hidup di perairan alam (alami) dan perlakuan transplantasi. Proses bertahan hidup antara lain, mempertahankan diri dari serangan predator, media kompetisi, reproduksi,

dan sengatan sinar ultraviolet. Selain itu, lingkungan perairan yang sebagai habitatnya juga dapat memberikan pengaruh. Pada perairan dangkal, spons berkompetisi dengan alga dan karang untuk mendapat ruang dan cahaya, sehingga spons harus beradaptasi dengan perairan yang lebih dalam (Lesser, 2005 in

Suparno et al., 2009).

Pengujian fitokimia dilakukan pada ekstrak etil asetat spons Petrosia nigricans alami dan transplantasi. Hasil pengujian dari kedua sampel tersebut bereaksi positif terhadap uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol

hidrokuinon, dan molisch. Kandungan bioaktif seperti komponen karbohidrat, gula pereduksi, peptida, dan asam amino merupakan hasil metabolit primer sedangkan alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, dan fenol hidrokuinon termasuk metabolit sekunder. Dapat disimpulkan bahwa spons Petrosia nigricans memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder. Hal ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan Nurhayati et al. (2009) bahwa spons Petrosia nigricans

mengandung senyawa kimia alkaloid, flavonoid, dan karbohidrat. Namun tidak ditemukan adanya kandungan asam amino.

Senyawa-senyawa kimiawi dalam metabolit sekunder bermanfaat untuk mempertahankan diri dari tekanan kompetitor, reaksi antagonisme, infeksi maupun predasi oleh organisme laut lainnya (Ismet, 2007) sedangkan metabolit primer adalah metabolit yang dibentuk selama masa pertumbuhan dan digunakan dalam proses-proses metabolisme esensial bagi organisme. Metabolit sekunder dapat diproduksi setelah kebutuhan metabolit primer terpenuhi. Karakteristik senyawa metabolit sekunder diantaranya (Madigan et al., 2000 in Ismet, 2007):

a. Masing-masing senyawa metabolit sekunder dihasilkan oleh beberapa organisme tertentu saja

b. Metabolit sekunder bukan merupakan senyawa yang essensial bagi pertumbuhan dan reproduksi.

c. Pembentukan senyawa metabolit sekunder sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan organisme.

d. Beberapa senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan organisme merupakan kelompok senyawa yang berkerabat (memiliki kesamaan struktur).

e. Beberapa organisme membentuk berbagai substansi yang berbeda sebagai metabolit sekundernya.

f. Regulasi biosintesis metabolit sekunder sangat berbeda dengan metabolit primer.

g. Produksi metabolit sekunder seringkali dapat terjadi secara berlebihan jika terkait dengan produksi metabolit primer.

h. Produk metabolit sekunder dapat berasal dari hasil samping produk

metabolit primer atau disebut juga berasal dari beberapa produk intermedia yang terakumulasi selama metabolisme primer.

32 5.1. Kesimpulan

Spons Petrosia nigricans memiliki aktivitas antioksidan, baik alami maupun hasil transplantasi. Nilai IC50 terkecil terdapat pada spons Petrosia nigricans hasil transplantasi yaitu sebesar 0, 2328 ppm.

Uji fitokimia terhadap kedua jenis spons pada ekstrak etil asetat menunjukkan bahwa golongan bioaktif dari hasil transplantasi dan alami mengandung; alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, dan karbohidrat.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian serupa dengan pengambilan spons Petrosia nigricans hasil transplantasi pada umur transplantasi yang berbeda, sehingga dapat diketahui laju optimum aktivitas antioksidannya.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, I dan A. Budiyanto. 1996. Mengenal Spons Laut (Demospongiae) secara Umum. Oseana. 21(2):15-31.

Andriyanti, R. 2009. Ekstraksi Senyawa Aktif Antioksidan dari Lintah Laut (Discodoris sp.) asal Perairan Kepulauan Belitung [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anggraini, S.A.C.I. 2008. Pengaruh Waktu Fragmentasi Koloni Spons Petrosia sp. Terhadap Kandungan Senyawa Bioaktif [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Arief, S. 2005. Radikal Bebas. Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kesehatan, Universitas Airlangga. Surabaya.

Astawan, M dan Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-Warni Makanan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

De Voogd, N.J. 2005. Indonesian Sponges: Biodiversity and Mariculture Potential [tesis]. University of Amsterdam. Amsterdam.

Guyot, M. 2000. Intricate Aspects of sponge Chemistry. Zoosystema. 22(2):419- 431.

Haefner, B. 2003. Drug from The Deep: Marine Natural Product Drug Candidates. Drug Disc. Today. 6(12):536-544.

Hanani, E., A, Mun’im, dan R, Sekarini. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam spons Callyspongia sp. dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian 2(3):127-133.

Harbonne, J.B. 1984. Phytochemical Methods. Chapman and Hall. New York. Hardiningtyas, S.D. 2009. Aktivitas antibakteri ekstrak karang lunak Sarcophyton

sp. yang difragmentasi dan tidak difragmentasi di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu [skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Perairan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Halliwell, B and Gutteridge, J.M.C., 2000. Free Radical in Biology and Medicine.

Oxford University Press. New York.

Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of Natutal Extracts. Chapman and Hall. London.

Ismet, M.S. 2007. Penapisan senyawa bioaktif spons Aaptos aaptos dan Petrosia sp. dari lokasi yang berbeda [tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Kannan, A., N. Hettiarachchy, S. Narayan. 2009. Colon dan Breast Ani-cancer Effect of Peptide Hydrolysates Derived from Rice Bran. The Open Bioactive Coumpounds Journal. 2:17-20.

Lindgren, N.G. 1987. Beitrag zur Kenntniss der Spongienfauna des Malaiischen Archipels und der Chinesischen Meere. Zoologische Anzeiger. 547:480- 487.

Molyneux, P. 2004. The use of the stable free radical diphenylpicrylhidrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. Songklanarin Journal of Science Technology. 26(2):211-219.

Murniasih, T. 2003. Metabolit Sekunder dari Spons sebagai Bahan Obat-Obatan. Oseana. 28(3):27-33.

Murniasih, T. 2005. Substansi Kimia untuk Pertahanan Diri dari Hewan Laut Tak Berulang Belakang. Oseana. 30(2):19-27.

Munifah, I., T. Wikanta, dan M. Nursid. 2004. Sponge: Biota Laut Penghasil Senyawa Bioaktif yang Potensial. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. 10(7):12-16.

Nurhayati, T., D. Aryanti, dan Nurjanah. 2009. Kajian Awal Potensi Ekstrak Spons Sebagai Antioksidan. Jurnal Kelautan Nasional. 2:43-51.

Proksch P, R.A. Edrada, R. Ebel, 2002. Drugs from the seas-current status and microbiological implications. Appl. Microbiol. Biot. 59:125-134.

Rasyid, A. 2009. Senyawa – Senyawa Bioaktif dari Spons. Oseana. 34(2):25-32. Rohman, A. dan S. Riyanto. 2005. Daya antioksidan ekstrak etanol daun

kemuning (Murraya paniculata (L) Jack) secara in vitro. Majalah Farmasi Indonesia. 16(3):136-140.

Romimohtarto, K. dan S. Juwana 1999. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta.

Soediro, I.S. 1999. Produk Alam Hayati Bahari dan Prospek Pemanfaatannya di Bidang Kesehatan dan Kosmetik. Prosiding Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I’98. Jakarta 14 – 15 Oktober 1998:41 52. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta.

Soeksmanto, A., Y. Hapsari, dan P. Simanjuntak. 2007. Kandungan Antioksidan pada Beberapa Bagian Tanaman Mahkota Dewa, Phaleria macrocarpa (Sceff) Boerl. (Thymelaceae). Biodiversitas. 8(2):92-95.

Suparno, D. Soedharma, N.P. Zamani, dan R. Rachmat. 2009. Transplantasi Spons Laut Petrosia nigricans. Ilmu Kelautan. 14(4):234-241.

Susanto, I.S. 2010. Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif pada Keong Mas (Pomacea canaliculata Lamarck) [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Torssell K. B. G. 1983. Natural product chemistry: Aistryof the genus Sideritis from the CanaryIslands. Mechanistic and Biosynthetic Approach to Secondary Biochem. System. Ecol. 7, 115Ð120. Metabolism. John Wiley& Son, Chichester, U. K.

Trilaksani, W. 2003. Antioksidan : Jenis, Sumber, Mekanisme Kerja, dan Peran Terhadap Kesehatan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Kanisius. Yogyakarta. www.marinespecies.org [di akses pada tanggal 26 April 2011]

http://www.flickr.com/photos/homoaquaticus/4820784083/ [di akses pada tanggal 26 April 2011]

Lampiran 1. Uji RAK (Rancangan Acak Kelompok) terhadap pelarut

Dokumen terkait