• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekstraksi Fitur dengan Gray Level Co-occurrence Matr

Pengujian Nilai Maksimum Epoch

2.4. Ekstraksi Fitur dengan Gray Level Co-occurrence Matr

Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM) adalah salah satu metode analisis tekstur orde kedua. Metode ini diperkenalkan oleh Haralick dkk pada tahun 1973. GLCM dapat juga disebut sebagai Gray level Dependency Matrix (Gadkari, 2004). GLCM adalah matriks yang berbentuk persegi yang menunjukkan distribusi spasial intensitas keabuan dari sebuah citra (Pathak & Barooah, 2013). GLCM merepresentasikan hubungan dua piksel yang bertetangga dimana dua piksel yang berhubungan tersebut memiliki intensitas keabuan tertentu serta memiliki jarak dan arah tertentu di antara keduanya. Jarak dinyatakan dengan piksel dan arah dinyatakan dalam sudut. Jarak dapat bernilai 1, 2, 3 dan seterusnya sedangkan arah dapat bernilai 0°, 45°, 90°, 135° dan seterusnya. Parameter dalam membuat GLCM adalah arah dan jarak di antara piksel referensi dengan piksel tetangga serta tingkat keabuan pada citra. Setiap piksel dapat memiliki piksel tetangga dari delapan arah, yaitu 0°, 45°, 90°, 135°, 180°, 225°, 270°, atau 315°. Namun, pemilihan sudut bernilai 0° akan menghasilkan nilai GLCM yang sama dengan pemilihan sudut yang bernilai 180°. Konsep tersebut juga berlaku bagi sudut 45°, 90°, dan 135° (Gadkari, 2004). Delapan arah ketetanggaan pada GLCM ditunjukkan pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10. Delapan arah ketetangaan piksel

Parameter selanjutnya adalah jarak. Jarak pada GLCM merupakan jumlah piksel yang berada di antara piksel referensi dan piksel tetangga (Ferguson, 2007). Gambar 2.11 menunjukkan contoh pemilihan beberapa jarak (jarak bernilai 1, 2, 3 dan 4) pada arah 0°. Pada jarak bernilai 1, piksel tetangga (nx) tepat berada di sisi kanan (arah 0°)

Gambar 2.11. Jarak pada arah 0° (Ferguson, 2007)

Langkah awal dalam membuat GLCM adalah membentuk matriks framework. Matriks framework adalah matriks yang menunjukkan hubungan ketetanggaan antara piksel referensi dengan piksel tetangga pada arah tertentu (Ferguson, 2007). Tingkat intensitas keabuan merupakan faktor yang penting dalam pembuatan GLCM karena dimensi dari matriks ditentukan oleh nilai tingkat keabuan pada piksel didalam citra (Gadkari, 2004). Sebuah citra grayscale 2 bit akan memiliki GLCM dengan ukuran dimensi 22 x 22. Begitu juga dengan citra grayscale 8 bit yang akan membentuk GLCM dengan ukuran dimensi 28 x 28. Gambar 2.12 menunjukkan matriks framework dari citra grayscale berukuran 2 bit. Matriks framework tersebut berdimensi 22 x 22 sehingga memiliki empat kolom dan empat baris. Baris menunjukkan piksel referensi sedangkan kolom menunjukkan piksel tetangga.

Setelah membuat matriks framework, langkah selanjutnya adalah mengisi entri dari matriks framework. Matriks framework yang telah diisi dinamakan matriks kookurensi. Matriks framework diisi dengan menghitung jumlah kombinasi piksel referensi dengan nilai intensitas r dan piksel tetangga dengan nilai intensitas n. Pada Gambar 2.12, kolom pertama baris pertama diisi dengan nilai kookurensi piksel referensi berintensitas 0 dapat bertetangga pada arah dan jarak tertentu dengan piksel tetangga berintensitas 0.

Sebelum mengisi matriks framework, terlebih dahulu dilakukan pemilihan arah dan jarak GLCM. Citra yang akan dijadikan contoh untuk dapat direpresentasikan ke dalam GLCM adalah citra grayscale berukuran 4x4 piksel dengan tingkat intensitas 2 bit serta jarak yang digunakan adalah 1 dan arah yang digunakan adalah 0°. Citra tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.13 (a). Setelah dilakukan pemilihan jarak dan arah, maka matriks kookurensi dapat dibuat. Pada Gambar 2.13 (b), akan ditunjukkan hasil representasi citra grayscale ke dalam bentuk matriks kookurensi dengan arah 0° dan jarak 1.

(a) (b)

Gambar 2.13. (a) Citra grayscale (b) representasi citra grayscale ke dalam matriks kookurensi dengan jarak 1 dan arah 0º

Setelah matriks kookurensi dibuat, maka langkah selanjutnya adalah menambahkan matriks kookurensi dengan transposenya. Hal tersebut dilakukan agar diperoleh matriks yang simetris. Penambahan matriks kookurensi dengan transposenya akan ditunjukkan pada Gambar 2.14.

Matriks Kookurensi

+

Matriks Transpose

=

Matriks Simetris

Gambar 2.14. Penambahan matriks kookurensi dengan transposenya

Langkah selanjutnya adalah melakukan nomalisasi terhadap nilai – nilai elemen GLCM. Matriks simetris perlu untuk dinormalisasi dengan tujuan untuk menghilangkan ketergantungan terhadap ukuran citra, dengan membagi setiap nilai elemen matriks sehingga total seluruh elemen berjumlah 1 (Kadir et al., 2011). Normalisasi matriks ditunjukkan pada Gambar 2.15.

4/24 2/24 1/24 0/24 2/24 4/24 0/24 0/24 1/24 0/24 6/24 1/24 0/24 0/24 1/24 2/24 0.167 0.083 0.041 0 0.083 0.167 0 0 0.041 0 0.25 0.041 0 0 0.041 0.083

Gambar 2.15. Normalisasi matriks

Setelah dilakukan normalisasi matriks, maka perhitungan fitur statistik dari matriks dapat dilakukan. Beberapa fitur statistik yang diusulkan oleh Haralick adalah sebagai berikut.

2.4.1. Energy

Energy atau Angular Second Moment (ASM) menyatakan ukuran keseragaman tekstural dari sebuah citra. Energi pada citra akan bernilai tinggi jika intensitas keabuan terdistribusi secara konstan (Kadir et al., 2011). Perhitungan energy ditunjukkan pada persamaan 2.2, dimana Pi,j adalah elemen matriks kookurensi yang telah dinormalisasi dan N merupakan banyaknya kolom atau baris pada matriks.

Energy = ∑ ∑ �, �− = �− = (2.2) 2.4.2. Entropy

Entropy menunjukkan ketidakteraturan pada citra. Entropy bernilai kecil jika citra memiliki derajat keabuan yang seragam (Kadir et al., 2011). Perhitungan entropy ditunjukkan pada persamaan 2.3.

Entropy = ∑ ∑ �, − ln �, �− = �− = (2.3) 2.4.3. Contrast

Contrast menunjukkan variasi pasangan keabuan pada sebuah citra. Contrast bernilai tinggi ketika terdapat variasi yang besar pada citra (Ferguson, 2007). Perhitungan contrast ditunjukkan pada persamaan 2.4.

Contrast = ∑ ∑ �, − �− = �− = (2.4)

2.4.4. Inverse difference moment

Inverse difference moment atau homogeneity menunjukkan kehomogenan citra. Homogeneity bernilai besar jika pasangan elemen pada matriks memiliki perbedaan tingkat keabuan yang kecil (Gadkari, 2004). Perhitungan homogeneity ditunjukkan pada persamaan 2.5.

Inverse Difference moment = ∑ ∑ �,

+ − �− = �− = (2.5) 2.4.5. Correlation

Correlation = ∑ ∑ �, [ − � − � √� � ] �− = �− = (2.6)

Dimana � dan � adalah perhitungan mean sedangkan � dan � adalah perhitungan variance. Perhitungan mean ditunjukkan pada persamaan 2.7 dan persamaan 2.8. Perhitungan variance ditunjukkan pada persamaan 2.9 dan persamaan 2.10.

� = ∑ ∑ �, �− = �− = (2.7) � = ∑ ∑ �, �− = �− = (2.8) � = ∑ ∑ �, − � �− = �− = (2.9) � = ∑ ∑ �, − � �− = �− = (2.10) 2.5. Normalisasi Data

Normalisasi adalah teknik pra pengolahan data yaitu dengan mentransformasikan nilai atribut suatu dataset sehingga berada pada range tertentu, misalnya diantara 0 sampai 1. Normalisasi dapat digunakan dalam persoalan klasifikasi data seperti neural network dan clustering (Atomi, 2012). Beberapa teknik normalisasi data adalah sebagai berikut.

2.5.1. Normalisasi Min-Max

Normalisasi Min-Max adalah normalisasi data dengan menskalakan data secara linier ke dalam range yang ditentukan. Persamaan normalisasi Min-Max ditunjukkan pada persamaan 2.11.

v’ = − �

Dimana minA dan maxA adalah nilai – nilai minimum dan maksimum dari atribut A, dan v adalah nilai atribut A yang akan dipetakan menjadi v’ dalam rentang [new_maxA; new_minA].

2.5.2. Normalisasi Z-Score

Normalisasi Z-Score menggunakan mean dan standar deviasi dalam menormalisasi nilai – nilai suatu atribut. Persamaan normalisasi Z-Score ditunjukkan pada persamaan 2.12.

v’ = − �

� (2.12)

Dimana v adalah nilai atribut A, � adalah mean dari A dan �adalah standar deviasi dari A.

2.5.3. Normalisasi Decimal Scaling

Normalisasi decimal scaling adalah normalisasi data dengan memindahkan titik desimal dari nilai suatu atribut. Besar pergeseran titik desimal ditentukan oleh nilai absolut maksimum dalam suatu atribut. Nilai v dari suatu atribut dinormalisasi menjadi

v’ dengan persamaan 2.13.

v’ = (2.13)

Dimana m adalah nilai integer terkecil sehingga Max (|v’|) < 1.

Dokumen terkait