• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 Dendogram hasil analisis filogenetik setiap lokus SNP_MNBS pada

10 kultivar pisang ... 167 2 Dendogram hasil analisis filogenetik setiap lokus SNP_MChi pada 10

kultivar pisang ... 168 3 Prosedur isolasi DNA berdasarkan metode CTAB (Doyle & Doyle

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu sentra primer keragaman pisang, baik pisang segar, olahan, dan pisang liar. Lebih dari 200 jenis pisang terdapat di Indonesia. Tingginya keragaman ini, memberikan peluang pada masyarakat untuk dapat memanfaatkan dan memilih jenis pisang komersial yang dibutuhkan oleh konsumen.

Selain untuk konsumsi segar, beberapa kultivar pisang di Indonesia juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri olahan pisang misalnya industri keripik, sale dan tepung pisang. Perkembangan kebun rakyat dan industri olahan di daerah sentra produksi, dapat memberikan peluang baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perluasan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja.

Pengembangan komoditas pisang di Indonesia mengalami kendala perkembangan hama dan penyakit yang semakin komplek. Beberapa penyakit penting seperti banana bunchy top virus (BBTV), layu bakteri dan layu Fusarium

telah menyebar di daerah sentra produksi pisang (Nurhadi & Setyobudi 2000; Buddenhagen 2009; Hermanto et al. 2011; Molina et al. 2010). Beberapa kultivar komersial seperti Barangan, Ambon Hijau dan Ambon Kuning sangat rentan terhadap BBTV dan layu Fusarium, sedangkan Kepok rentan terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum.

Berbagai usaha pengendalian penyakit pisang baik secara kultur teknis, kimia (Nel et al. 2006) dan biologis (Cao et al. 2004) telah dilakukan namun belum memberikan hasil yang maksimal (Huang et al. 2012). Oleh karena itu, pengendalian penyakit menggunakan kultivar tahan adalah alternatif yang dapat ditempuh. Untuk mendapatkan kultivar tahan penyakit dapat ditempuh dengan melakukan seleksi terhadap sumber daya genetik lokal, mendatangkan kultivar dari luar (introduksi) atau melakukan pemuliaan tanaman secara konvensional (persilangan) ataupun non-konvensional (induksi mutasi dan rekayasa genetika).

Pemuliaan tanaman pisang secara konvensional menghadapi kendala sterilitas dan inkompatibilitas bunga pisang, serta waktu yang diperlukan relatif lama. Pemuliaan secara non-konvensional dengan induksi mutasi telah banyak dilakukan, namun sebagian besar mutasi yang diperoleh tidak bisa dikendalikan. Perbaikan kultivar dengan teknik rekayasa genetika merupakan teknologi yang menjanjikan, namun demikian memerlukan pemahaman tentang gen-gen yang bertanggungjawab pada ketahanan terhadap penyakit serta interaksi antara tanaman dengan patogen.

Dengan ditemukannya struktur DNA pada tahun 1953 oleh Watson & Crick (1953), serta teknologi rekombinasi DNA pada tahun 1973 oleh Cohen et al. (1973), bioteknologi mengalami perkembangan yang sangat pesat, terutama yang berhubungan dengan biologi molekuler dan selanjutnya menjadi dasar dari bioteknologi modern. Selain itu dengan dikembangkannya teknologi polymerase

2

penemuan enzim polimerase yang tahan pada suhu tinggi asal bakteri Thermus

aquaticus (Taq) (Saiki et al. 1988), perkembangan teknologi berbasis biologi

molekuler semakin pesat termasuk identifikasi gen-gen yang berhubungan dengan karakter spesifik seperti identifikasi gen-gen yang berhubungan dengan mekanisme ketahanan dan pertahanan terhadap penyakit tanaman, serta perkembangan teknologi marka molekuler.

Salah satu teknologi marka molekuler yang terbaru adalah marka berdasarkan substitusi satu situs nukleotida tertentu atau disebut single nucleotide

polymorphism (SNP). Perubahan satu situs nukleotida bisa secara langsung atau

tidak langsung berhubungan dengan perubahan ekspresi suatu gen (Sunyaev et al.

2001). Marka SNP secara intensif telah digunakan dalam bidang kedokteran terutama untuk mendeteksi sel-sel kanker pada manusia (Schaid et al. 2004; Engle

et al. 2006), sedangkan di bidang pertanian, marka SNP juga sudah dimanfaatkan

untuk identifikasi kultivar dan seleksi lokus-lokus yang berasosiasi dengan karakter tertentu dalam pemuliaan tanaman (Yang et al. 2004; Sun et al. 2011). Marka SNP juga sudah mulai digunakan pada tanaman pisang, yaitu di bidang taksonomi dan pengembangan teknologi MAS pada pemuliaan pisang (Umali & Nakamura 2003; Adesoye et al. 2012). Namun demikian masih belum ada informasi mengenai pemanfaatan marka berbasis SNP untuk ketahanan tanaman pisang terhadap penyakit.

Tanaman Pisang (Musa spp.) Taksonomi

Pisang dan kerabatnya termasuk dalam genus Musa, ordo Zingiberales, dan family Musaceae. Genus Musa terdiri atas 30-40 spesies yang berasal dari Asia Tenggara (Stover & Simmond 1987). Berdasarkan jumlah kromosom, orientasi dan susunan pembungaan, Musa dikelompokkan ke dalam 5 seksi (Karamura 1998). Terdapat 2 seksi yang beranggotakan spesies dengan jumlah kromosom dasar 10 (2n=20) adalah Callimusa dan Australimusa, dan 2 seksi lainnya yang mempunyai kromosom dasar 11 (2n=22) adalah Eumusa dan

Rhodochlamys. Seksi yang terakhir adalah Incerta sedis yang terdiri atas Musa

ingens Simmond, Musa boman dan Musa lasiocarpa (Daniells et al. 2001) yang

mempunyai jumlah kromosom dasar yang berbeda dan masih memerlukan pengkajian lebih lanjut untuk pengelompokkannya.

Spesies yang termasuk dalam anggota seksi Callimusa dan Rhodochlamys

hanya sebagai tanaman hias dan tidak menghasilkan buah yang dapat dimanfaatkan untuk konsumsi. Spesies yang merupakan anggota dari Callimusa

adalah Musa salaccensis, Musa coccinea, Musa gracilis dan Musa violascens, sedangkan yang termasuk dalam seksi Rhodochlamys adalah Musa laterita, Musa

ornata, Musa sanguinea dan Musa velutina (Karamura 1998).

Seksi Australimusa beranggotakan Musa textilis Nees (Abaca) yang seratnya mempunyai nilai ekonomis tinggi, Musa lolodensis di Halmahera dan Papua (Nasution 1993), Musa maclayi, Musa peekelii, Musa jakeyi dan beberapa jenis Fe’i banana (pembawa genom T) yang penyebarannya mulai dari Maluku, Papua seperti Tongka Langit (Musa troglodytarum L.), Papua Nugini sampai wilayah Pasifik (Englberger 2003; Sharrock 2002).

Seksi Eumusa adalah merupakan seksi yang mempunyai anggota terbesar, yaitu sebanyak 13-15 spesies (Karamura 1998). Sebagian besar pisang yang dapat dimakan adalah termasuk dalam seksi Eumusa yang merupakan hibrida alami diploid atau triploid dari Musa acuminata (pembawa genom A) sendiri atau dengan Musa balbisiana (pembawa genom B) (Simmond 1962), sehingga menghasilkan kultivar-kultivar diploid (AA) dan triploid (AAA, AAB dan ABB). Sejarah dan Sebaran

Evolusi tanaman pisang dari liar menjadi kultivar melibatkan proses supresi produksi biji dan perkembangan partenokarpi (Simmond 1962). Keragaman Musa acuminata sangat tinggi dan telah dikelompokkan ke dalam beberapa sub-spesies (Perrier et al. 2009). Nasution (1991) telah mengidentifikasi sebanyak 15 varietas Musa acuminata di Indonesia. Berdasarkan hasil analisis pigmen antosianin setidaknya ada 3 sub-spesies dari Musa acuminata yang terlibat dalam pembentukan kultivar diploid (AA) maupun triploid (AAA), yaitu ssp. malaccensis, ssp. zebrina, dan ssp. banksii (Horry & Jay 1988). Namun demikian hasil analisis restriction fragment length polymorphism (RFLP) dari kloroplas dan mitokondria menyarankan spp. errans juga terlibat dalam pembentukan kultivar pisang modern (Carrel et al. 2002).

Sumber: Perrier et al. (2011)

Gambar 1 Asal dan penyebaran kultivar pisang subgroup triploid. Garis putus biru menunjukkan migrasi M. balbisiana dari Asia Utara dan bertemu dengan spp. banksii membentuk plantain dan triploid ABB. Garis putus merah meunjukkan migrasi spp. banksii dan bertemu dengan spp. zebrina (daerah pertemuan selatan) yang membentuk diploid dan triploid. Garis putus hijau menunjukkan migrasi diploid kultivar AA ke Afrika dan ke Asia Utara yang membentuk triploid AAA di wilayah pertemuan utara dan AAB maupun ABB di Asia Utara. Garis ungu menunjukkan migrasi plantain ke Afrika dan Pasifik. Garis hijau menunjukkan migrasi triploid AAA dari Asia Tenggara ke Afrika.

banksii zebrina microcarpa malaccensis M. balbisiana Wilayah pertemuan Utara Wilayah pertemuan Timur Wilayah pertemuan Selatan errans burmanica AAA Highland AAB Plantains AAB Popoulu AAA AA AAA cvs AAB ABB East ABB West AAB Pome AAB Others

4

Selanjutnya Perrier et al. (2011) menyatakan bahwa terdapat 3 wilayah pertemuan antar sub-spesies, yaitu wilayah pertemuan selatan antara New Guinea sampai Jawa merupakan pertemuan antara spp. banksii dan spp.

zebrina/microcarpa, wilayah pertemuan utara antara Filipina dan Kalimantan

sampai Thailand merupakan pertemuan antara spp. malaccensis/microcarpa

dengan spp. errans, dan wilayah pertemuan timur antara New Guinea sampai Filipina merupakan pertemuan antara spp. banksii dengan M. balbisiana yang berasal dari Asia Utara, Filipina dan membentuk kultivar ABB dan AAB (termasuk plantain dan pacific plantain). Dari hasil hibridisasi secara alami tersebut diperoleh progeni-progeni yang dengan campur tangan manusia diseleksi dan disebarkan ke berbagai wilayah di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya sampai ke Afrika (Blench 2009). Ilustrasi asal dan sebaran kultivar pisang triploid ditampilkan pada Gambar 1.

Keragaman Pisang

Sebagaimana dinyatakan oleh Perrier (2011), bahwa sebagian besar wilyah pertemuan antara spesies/subspesies liar Musa berada di wilayah Indonesia, menjadikan kawasan Indonesia sumber keragaman (centre of diversity) dari kultivar pisang. Dengan ditemukannya kembali 15 subspesies liar Musa

acuminata dan 2 spesies liar yaitu Musa salaccensis dan Musa lolodensis

(Nasution 1991; 1993), membuktikan bahwa Indonesia juga merupakan sumber asal (centre of origin) pisang dan kerabatnya (Musa spp.). Setidaknya lebih dari 200 kultivar pisang ada di Indonesia (Edison et al. 2001)

Keragaman kultivar pisang di Indonesia ditunjukkan dengan ditemukannya semua jenis pisang berdasarkan genomnya, seperti yang bergenom BB: Klutuk Awu dan Klutuk Wulung, bergenom AA: Emas, Berlin/Lampung, Rejang, Lilin/Lidi, Jari Buaya/Rotan, Ketan/Ketip/Uli dan lain-lain, sedangkan yang bergenom AAA seperti Ambon Hijau, Ambon Kuning, Barangan, Ampyang, bergenom AAB seperti Raja Bulu, Raja Serai, Tanduk, Candi, dan yang bergenom ABB seperti Kepok, Sobo, Awak (Edison et al. 2001). Selain itu hampir semua subgroup pisang yang telah teridentifikasi terdapat di Indonesia, dan bahkan masih banyak lagi kultivar yang belum masuk ke dalam kategori subgroup yang sudah ada karena memiliki karakter yang berbeda dari subgroup tersebut (Valmayor et al. 2000). Selain kultivar tersebut di atas, sedikitnya ditemukan juga 3 variasi genetik pisang Tongka Langit (Musa

troglodytarum L.) di Maluku dan Irian Jaya (Sutanto et al. 2009). Pisang Tongka

Langit adalah jenis pisang yang mempunyai kandungan karoten yang tinggi, ditandai dengan daging buahnya warna berwarna oranye.

Produksi dan Kendala

Pisang dan plantain merupakan salah satu komoditas penting baik di Indonesia maupun di dunia. Produksi pisang dunia menempati urutan kedua setelah jeruk dengan produksi total 106.54 juta ton pada tahun 2011 (http://www.statista.com/statistics/ 264001/worldwide-production-of-fruit-by-variety/). Produksi pisang Indonesia menempati urutan keenam setelah India, Cina, Filipina, Brazil dan Equador, dengan produksi sebesar 6 132 695 ton (http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel= 1&daftar=1&id_subyek=55&notab=2), dan menyumbang sebesar 5.8% produksi pisang dunia. Di Indonesia, produksi pisang menempati urutan pertama dan berkonstribusi sebesar 32% produksi buah nasional (Gambar 2).

Gamba Luasnya daya dapat tumbuh di be pisang menghadapi penggerek batang da penggulung daun (Chr

bunchy top virus (BB

streak virus (BSV) (D Fusarium oxysporum solanacearum (dulu Xanthomonas campes Dari beberapa Fusarium (FOC) da

sangat serius di Indon wilayah Indonesia menghancurkan pert Kalimantan Selatan, Kendari dan Maluku. Cavendish di Mojoke Aceh, pisang Ambon Timur, Jawa Tengah lama endemik di Jawa Jawa Timur, Sumater

Penyakit Layu Fusa Dari semua pe adalah penyakit yang yang sangat mudah keberadaannya dalam Salak 6% Pepaya 5% Durian 5% Rambutan 4% Nangka

Lain-lain termasuk: Alpu beli

bar 2 Produksi buah nasional pada tahun 2011 ya adaptasi tanaman pisang menyebabkan t berbagai kondisi lingkungan. Namun demiki pi banyak kendala hama dan penyakit ta

dan bonggol (stem dan corm borer) (Sm Christie et al. 1989), nematode (Marin et al.

BBTV), cucumber mozaik virus (CMV) (Jone (Dahal et al. 2000), bercak daun sigatoka (Stove

um fsp. cubense (Ploetz 2000), layu ba dulu Pseudomonas solanacearum) (Haywar

pestris/vasicola pv. Musacearum (Tushemereirw

apa penyakit pisang tersebut di atas, virus dan bakteri Ralstonia solanacearum menjadi ndonesia. Ketiga penyakit tersebut telah ditem

dengan intensitas yang beragam. Layu pertanaman pisang Kepok di Sumatera Ba n, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sul

luku. Layu fusarium menghancurkan pert okerto dan Lampung, pisang Barangan di Sum bon Hijau di Sumatera Barat, pisang Ambon K

h dan Jawa Barat (Hermanto 2008). Virus BB wa Barat dan Lampung, dan sudah menyebar ke era Barat, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.

sarium pada Tanaman Pisang dan Usaha Pe penyakit yang menyerang tanaman pisang, ang paling sulit ditanggulangi, karena selain h melalui saluran irigasi, tanah, peralatan da am tanah dapat bertahan puluhan tahun tanpa

Pisang 32% Mangga 11% Jeruk 9% Jeruk Siam 9% Nenas 8% ngka/Cempedak 3% Lain-lain 8%

Alpukat, jambu biji, duku/langsat, markisa, sawo, manggis, jambu air, belimbing, blewah, sirsak, semangka dan melon

hun 2011 n tanaman pisang ikian pertanaman tanaman seperti: mith 1995), ulat al. 1998), banana ones 1991), bract Stover 1980), layu bakteri Ralstonia ard 1991) dan irwe et al. 2003). virus BBTV, layu

adi masalah yang mukan di seluruh yu bakteri telah Barat, Lampung, ulawesi Selatan, rtanaman pisang umatera Utara dan bon Kuning di Jawa BTV sudah sejak r ke Jawa Tengah,

engendaliannya ng, layu fusarium

in penyebarannya dan bahan tanam, a megurangi daya

6

infeksinya (Agrios 2005).

Penyakit layu ini pertama kali ditemukan di Queensland bagian tenggara pada tahun 1874 menyerang kultivar Sugar (Silk). Namun demikian penelitian yang lebih intensif tentang penyakit layu ini diadakan di Costa Rica dan Panama pada awal tahun 1890, karena menyerang perkebunan komersial Grosh Michel untuk tujuan ekspor (Ploetz 1994). Oleh karena itu penyakit layu fusarium pada tanaman pisang lebih dikenal dengan Panama disease.

Perkembangan cendawan Fusarium oxysporum f.sp. cubense (FOC) penyebab penyakit layu tanaman pisang akibat dari interaksi antara patogen, genotipe tanaman dan pengaruh dari kondisi lingkungan (Moore et al. 1993). Sampai saat ini FOC telah berkembang menjadi 4 ras. Tiap ras menyerang kultivar atau kerabat pisang yang berbeda. Cendawan FOC ras 1 menyerang Ambon Kuning dan Raja Serai, ras 2 menyerang Bluggoe dan beberapa kultivar pisang olah (Moore et al. 1995), ras 3 menyerang Helicona. Ras 4 dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu ras 4 subtropika dan tropika. Ras 4 subtropika menyerang Cavendish dan kultivar yang rentan ras 1 dan ras 2 di Afrika Selatan, Australia, Taiwan dan Canary Island (Gerlach et al. 2000; Su et al. 1986), sedangkan ras 4 tropika menyerang hampir seluruh kultivar komersial di Asia Tenggara dan Australia (Pegg et al. 1994; Ploetz 1994).

Berdasarkan sifat kompatibilitas antar isolat, cendawan FOC

dikelompokkan menjadi VCG (vegetative compatibility group) (Leslie 1993). Saat ini telah diidentifikasi sebanyak 21 VCG yang menyerang tanaman pisang (Ploetz 1990) dan 15 di antaranya berasal dari Asia Tenggara, 10 VCG telah ditemukan di Indonesia (Pegg et al. 1996).

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh peneliti Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, diperoleh informasi cendawan FOC VCG 01213/16 (ras 4 tropika) ditemukan pada pertanaman pisang di hampir seluruh propinsi di Indonesia (Hermanto et al. 2011). Bukti-bukti tersebut menunjukkan betapa pentingnya FOC pada pertanaman pisang dan memerlukan langkah-langkah pengendalian yang lebih efektif dan efisien.

Berbagai usaha pengendalian penyakit layu fusarium pada tanaman pisang telah banyak dilakukan, baik melalui pendekatan kimiawi, agronomis maupun pemuliaan tanaman. Usaha pengendalian secara kimia melalui metode injeksi, perlakuan tanah yang melibatkan fumigasi dan aplikasi amelioran dapat mengurangi serangan, tetapi sulit diaplikasikan dalam skala komersial (Pegg et al.

1993). Selanjutnya Pegg et al. (1996) menyatakan bahwa pestisida, fumigan, penggenangan, rotasi tanaman dan pemanfaatan bahan organik sedikit memberikan pengendalian jangka panjang pada daerah produksi pisang.

Penelitian tentang pengendalian secara biologi (biocontrol) menggunakan agensia hayati seperti cendawan Trichoderma dan bakteri Pseudomonas

fluorescence (Fishal et al. 2010), atau bakteri endofit yang berasal dari

pertanaman pisang (Jie et al. 2009) juga sudah dilakukan dan memberikan hasil yang positif pada lingkungan rumah kaca, namun demikian penerapan secara luas dan skala komersial masih perlu dikaji.

Salah satu strategi pengendalian penyakit tanaman pisang yang sangat efektif adalah dengan menggunakan kultivar pisang yang tahan terhadap penyakit (Rowe & Rosales 1996), karena tidak memerlukan bahan kimia sebagai bahan pestisida sehingga aman bagi lingkungan sekitarnya. Penggunaan kultivar tahan

terhadap penyakit bisa berasal dari sumber daya genetik yang telah ada ataupun berasal dari program pemuliaan tanaman atau perbaikan kultivar.

Perbaikan Kultivar Tanaman Pisang

Pengembangan kultivar tahan penyakit dapat dilakukan dengan cara menseleksi sumber daya genetik yang ada (Orjeda et al. 2000) dan menciptakan kultivar baru baik secara induksi variasi somaklonal (Tang 2005), persilangan konvensional (Rowe & Rosales 1996) maupun transformasi genetika (Becker et al. 2000; Maziah et al.2007; Sreeramanan et al. 2010).

Pemuliaan Konvensional

Pemuliaan tanaman pisang secara konvensional dimulai pada tahun 1984 oleh Fundación Hondureña de Investigación Agrícola (FHIA), Honduras, melalui program perbaikan pisang diploid dari spesies liar yang berasal dari Papua Nugini, Indonesia, Malaysia dan Filipina dan telah menghasilkan sejumlah tanaman diploid superior, salah satunya adalah SH-2095 yang digunakan sebagai tetua persilangan beberapa kultivar FHIA. Salah satu tanaman hibrida yang dihasilkan adalah FHIA-18 (AAAB) yang tahan terhadap bercak daun sigatoka, layu

Fusarium dan nematoda Radopholus similis tetapi mempunyai hasil yang masih

rendah yaitu 28.5 kg. Sehingga dilakukan seleksi terhadap hibrida lain dan menghasilkan FHIA-01 (AAAB), FHIA-03 (AABB) dan FHIA-23 (AAAA) yang juga tahan terhadap layu Fusarium dan toleran terhadap hama penggerek batang/bonggol (Rowe & Rosales 1996).

Program perbaikan kultivar secara konvensional untuk menghasilkan tanaman yang tahan penyakit juga dilakukan oleh International Institute of

Tropical Agriculture (IITA) Nigeria sejak 1991 (Vuylsteke et al. 1993) yang

bertujuan untuk menghasilkan tanaman pisang tahan terhadap penyakit bercak daun sigatoka dan hama serta penyakit lainnya, terutama pada jenis plantain dan

East African Highland Banana (EAHB) (Lorenzen et al. 2010). Strategi yang

ditempuh sama seperti yang dilakukan oleh FHIA yaitu menghasilkan tanaman diploid superior terlebih dahulu yang digunakan sebagai tetua untuk persilangan selanjutnya. Hasil persilangan antar diploid lokal dan introduksi diperoleh 2 hibrida yang tahan terhadap bercak daun sigatoka dan nematoda, yaitu TMB2x5105-1 dan TMB2x9128-3 (Tenkouano et al. 2003).

Induksi dan Seleksi Variasi Somaklonal

Kelemahan perbaikan kultivar pisang secara konvensional adalah sulitnya mendapatkan tanaman hibrida karena masalah poliploidi dan fertilitas dari kultivar komersial sebagai salah satu tetua persilangan serta tahapan seleksi yang membutuhkan waktu yang relatif lama (Roux et al. 2004). Oleh karena itu beberapa lembaga penelitian seperti Taiwan Banana Research Institute (TBRI) Taiwan (Hwang & Ko 2004), United Plantation (UP) dan Universiti Malaya

(UM) Malaysia (Chai et al. 2004), menerapkan teknik induksi mutasi untuk program perbaikan kultivar pisang. Beberapa kultivar hasil mutasi tersebut antara lain Formosana dari Taiwan, yang merupakan variasi somaklonal Giant Cavendish, Novaria dan Mutiara dari Malaysia yang merupakan variasi

8

somaklonal dari Grande Naine dan Rasthali. Kultivar-kultivar tersebut menunjukkan sifat ketahanan terhadap layu FOC.

Transformasi Genetika

Transformasi genetika adalah teknologi alternatif yang mulai banyak dikaji dan dilakukan baik untuk tanaman pisang secara khusus maupun tanaman lain pada umumnya, karena dengan transformasi genetika, gen spesifik yang dikehendaki dapat disisipkan ke dalam tanaman (Escalant et al. 2004). Dengan makin berkembangnya teknologi regenerasi tanaman pisang melalui teknik kultur jaringan seperti embriogenesis somatik (Meenakshi et al. 2011), perbanyakan mikro (Lee 1993) dan kultur protoplas (Assani et al. 2001), dukungan untuk perbaikan kultivar pisang dengan teknik bioteknologi akan semakin besar karena keberhasilan transformasi genetika juga dipengaruhi oleh daya regenerasi tanaman hasil transformasi.

Transformasi genetika pada tanaman pisang telah banyak dilakukan baik menggunakan teknologi particle bombardment (Sagi et al. 1995; Becker et al.

2000) maupun menggunakan teknik Agrobacterium-mediated transformation

(May et al. 1995; Ganapathi et al. 2001; Sreeramanan et al. 2010; Paul et al.

2011). Penelitian-penelitian tersebut tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi keberhasilan transformasi saja tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan ketahanan tanaman pisang terhadap patogen seperti BBTV dengan menyisipkan

gen Replicase-associated protein (Rep) (Borth et al. 2011), sedangkan untuk

ketahanan terhadap Fusarium Sreeramanan et al. (2010) menyisipkan gen

chitinase dan Paul et al. (2011) menyisipkan gen anti-apoptosis, yaitu gen Bcl-2

3′ UTR.

Interaksi Tanaman dan Penyakit

Interaksi antara tanaman dan patogen terdiri atas interaksi kompatibel, apabila tanaman rentan menjadi sakit pada saat terjadi serangan patogen yang virulen, dan interaksi non-kompatibel, apabila gejala penyakit tidak berkembang pada tanaman tahan pada saat adanya serangan patogen yang tidak virulen. Prinsip dari mekanisme yang berhubungan dengan pertahanan tanaman terhadap patogen tersebut disebut konsep gene-for-gene (Fhlor 1946). Mekanisme ketahanan tersebut melibatkan interaksi molekuler secara langsung ataupun tidak langsung antara produk gen avirulence (avr) sebagai elisitor dengan produk gen ketahanan (R) (Dangl & Jones 2001).

Interaksi spesifik dari pengenalan produk gen avr/R menghasilkan pemicuan satu atau lebih sinyal transduksi yang akan mengaktifkan respon pertahanan tanaman untuk mencegah pertumbuhan dan perkembangan patogen dalam tanaman. Aktivasi pertahanan tanaman menyebabkan respon pada areal yang terinfeksi dengan menghasilkan reactive oxygen species (ROS), nitric oxide

(NO) (Bowell 1999), akumulasi senyawa fenol, yang sering disebut juga

hypersensitive response (HR) dan terjadinya penguatan dinding sel (Gurr & Rushton

2005). Reaksi pertahanan juga termasuk dihasilkannya pathogenesis-related

proteins (protein PR) (van Loon & Strien 1999), phytoalexin dan akumulasi etilen

(Hammond-Kosack & Parker 2003). Selain itu dihasilkannya asam salisilat (SA) yang akan menyebabkan terjadinya systemic acquired resistance (SAR), sebuah bentuk pertahanan yang terjadi secara menyeluruh pada bagian tanaman (Punja 2001).

Gen Ketahanan (R gene) Klasifikasi Gen Ketahanan (R gene)

Berdasarkan runutan asam amino dan/atau adanya motif/domain terkonservasi, gen ketahanan (R gene) dikelompokkan menjadi 8 kelas. Kelas terbesar pertama adalah cytoplasmiccoiled coil-NBS-LRR (CC-NBS-LRR). Kelas CC-NBS-LRR terdapat pada tanaman dikotil dan monokotil (Meyers et al. 2005). Contoh dari kelompok ini adalah RPS2 dan RPM1 yang berasal dari Arabidopsis

untuk gen ketahanan terhadap P. syringe (Mindrinos et al. 1994; Grant et al.

1995) dan I2 asal tomat untuk gen ketahanan terhadap Fusarium oxysporum (Ori

et al. 1997). Kelas kedua adalah cytoplasmictoll-interleukin-1-receptor-NBS-LRR

(TIR-NBS-LRR). TIR-NBS-LRR hanya ditemukan pada tanaman dikotil (Miller

et al. 2008). Gen N asal tembakau (Whitham et al. 1994) dan L6 asal linseed

(Lawrence et al. 1995) adalah contoh dari TIR-NBS-LRR. Kelas ketiga adalah

extracytoplasmic LRR (eLRR) yang melekat pada transmembran domain (TrD).

Gen Cf asal tomat untuk ketahanan terhadap Cladosporium fulvum termasuk dalam kelompok ini (Thomas et al. 1998).

Kelas keempat adalah gen ketahanan yang mengandung eLRR, TrD dan

cytoplasmic serine-threonine kinase (KIN) atau disebut eLRR-TrD-KIN. Contoh

dari kelas ini adalah Xa21 asal padi untuk ketahanan terhadap Xanthomonas

Dokumen terkait