• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berkaitan dengan aktivitas dan kegiatan bisnis masyarakat pengguna transaksi atau perdagangan elektronik (e-commerce), UU ITE merupakan Payung Hukum yang melingkupi kegiatan transaksi atau perdagangan elektronik di dunia maya (cyberspace) tersebut. Namun sejak kelahiran Undang-Undang No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut, permasalahan dalam undang-undang tersebut dan pasal-pasal pencemaran nama baik atau delik reputasi pada undang-undang tersebut memiliki banyak cacat bawaan, kesimpang siuran rumusan, dan inkonsistensi hukum pidana.

Sebenarnya undang-undang tersebut, khusus diperuntukkan mengatur perdagangan elektronik di internet, akan tetapi ternyata undang-undang ini ikut mengatur hal-hal yang sebenarnya telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya tentang penghinaan dan pencemaran nama baik.hal ini mengindikasikan adanya penduplikasian tindak pidana yang justru

rentan terhadap terjadinya ketidak pastian hukum sehingga menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Duplikasi ini akhirnya dapat merugikan masyarakat sendiri karena tidak tahu perbuatan mana yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan dilakukan menurut hukum. Khususnya yang dilakukan aparat hukum atas kasus pencemaran nama baik.

Seperti halnya kasus Prita Mulyasari pada tanggal 3 Juni 2009 Undang–Undang No.11 Tahun 2008 digunakan untuk membawa Prita Mulyasari terkena kasus masalah Informasi dan Transaksi Elektronik. Prita Mulyasari didakwa melakukan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional, Prita dijerat Pasal 27 ayat (3) Undang – Undang No.11 Tahun 2008 dengan sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimal 1 milyar rupiah. Tragisnya, terhadap Prita diberlakukan penahanan oleh pihak kejaksaan. Pihak kejaksaan mendasarkan penahanan Prita pada dakwaan tersier dalam Pasal 27 ayat (3) tersebut dan subsidier Pasal 311 KUHP. Sesungguhnya tidak akan ada menyeret Prita untuk merasakan kurungan.

Prita kemudian dilepaskan karena penahananya yang didasarkan pada Undang -Undang No.11 Tahun 2008 dianggap berlebihan. Paling tidak ada dua alasan untuk menjelaskannya. Pertama kata “tanpa hak” dimaknai

sangatlah sempit. Padahal, seorang Prita sebagai salah satu konsumen rumah sakit, dia memiliki hak untuk menyampaikan apa yang dikeluhkannya melalui email yang dibuatnya hak sebagai konsumen. Itu pun dijamin di dalam Undang

– Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kedua, dalam Undang – Undang No.11 Tahun 2008 pada Pasal 43 ayat 6 dijelaskan

secara nyata dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam. Sedangkan dalam kasus Prita tidak ditempuh cara - cara yang sudah ditetapkan dalam Undang

– Undang No.11 Tahun 2008.

Menurut Ronny, M.Kom, Keterangan Ahli Judicial Review di Mahkamah Kontitusi Undang – Undang No.11 Tahun 2008 di Mahkamah Konstitusi, dalam kaca mata hukum, penafsiran dan pemberlakuan Undang – Undang No.11 Tahun 2008 mutlak berpegangan pada putusan Mahkamah Konstitusi R.I Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang judicial review Undang – Undang No.11 Tahun 2008 terhadap Undang – Undang Dasar 1945, salah

satu pertimbangan Mahkamah berbunyi “keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27

ayat (3) Undang – Undang No.11 Tahun 2008 tidak dapat dipisahkan dari

norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP”.

Pertimbangan Mahkamah tersebut dapat diartikan penafsiran Pasal 27 ayat (3) Undang–Undang No.11 Tahun 2008 merujuk pada pasal–pasal penghinan dalam KUHP khususnya Pasal 310 dan pasal 311 yang berbunyi :

(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang

disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Dan Pasal 311 yang berbunyi :

(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran

tertulis diperbolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Pencabutan hak – hak berdasarkan Pasal 35 No 1 sampai dengan 3 dapat dijatuhkan.

Namun dalam hal ini prita yang mengekspresikan berkumpul dan berpendapat dianggap sebagai sebuah penghinaan, maka hal ini jelas merupakan sebuah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 28 Undang-Undang

Dasar 1945 yang menyatakan :”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya,ditetapkan dengan undang-undang”.

Kebebasan berpendapat juga dilegitimasi oleh Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menentukan :

”Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan

pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan,

ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa”.

Ketentuan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan :

”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau

pencemaran nama baik”34

.

Sedangkan ketentuan Pasal 45 ayat(1) Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan :

”Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3) atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

Dalam ketentuan pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), tidak terdapat definisi secara jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan atau pencemaran nama baik. Jika email

Prita yang berjudul ”Rumah Sakit Omni International Telah Melakukan Penipuan” hal tersebut dianggap sebagai pencemaran nama baik (penghinaan) bagi dokter dan rumah sakit, sebagaimana ditentukan pasal 27 ayat 3 UU ITE, perlu diingat bahwa email Prita tersebut bersifat pribadi dan ditujukan hanya kepada teman-teman terdekatnya. Artinya, Prita tidak bermaksud menyebarluaskan tuduhan itu kepada umum. Dengan demikian, unsur penyebar-luasan sebagaimana disyaratkan pada pasal dimaksud tidak terpenuhi.

Perbuatan Prita yang mengirimkan email tersebut mungkin tanpa motif sengaja mencemarkan nama baik, hanya bersifat keluhan pribadi, kecuali kalau teman-temannya sengaja mengirim kembali email tersebut kemudian menambah-nambahi, maka yang harus bertanggungjawab dalam permasalahan

34

Gradien Mediatama. Undang-Undang Internet & Transaksi Elektronik. Transmedia Pustaka , Jakarta, 2009, Hal., 53.

ini seharusnya tidak hanya Prita tapi juga teman-temannya tersebut. Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini cukup sulit pembuktiannya, oleh karena orang yang melanggar harus dibuktikan memiliki motif sengaja mencemarkan nama baik.

Jika hanya bersifat keluhan pribadi, tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Sama halnya, ketika kita mengirimkan sms keseseorang yang isinya bahwa si A telah melakukan penipuan. Terkecuali jika memang ada motif tertentu dalam mengirim email atau sms, maka harus dibuktikan motif tersebut, sedangkan membuktikan adanya motif tertentu sangatlah sulit dilakukan. Sehingga tidak segampang itu menerapkan pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut, oleh karena dunia maya sangat jauh berbeda dengan dunia nyata, setiap orang bisa dengan sangat mudah mengaku dia Prita, atau orang lain.

Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa pihak OMNI

International Hospital telah memberikan klarifikasi dan hak jawabnya pada

milis yang sama dengan Prita, namun ia masih tetap memproses permasalahan ini melalui jalur hukum pidana dan perdata, dan gugatan perdatanyapun dikabulkan. Pasal 45 ayat (1) UU ITE memang menjerat pelaku pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan hukuman pejara diatas 5 (lima) tahun, namun jika permasalahan ini dikenakan pasal-pasal tersebut, maka betapa lemahnya posisi konsumen (pasien), dan ini jelas merupakan kesulitan warga negara untuk berpendapat. Jika hal ini dibenarkan, maka akan banyak korban seperti Prita, karena di era keterbukaan seperti ini, betapa banyak konsumen yang mengikuti rubrik surat pembaca di massmedia maupun di blog untuk berkeluh kesah dan berdiskusi.

Pasal 27 ayat (3) Undang – Undang No.11 Tahun 2008 mempunyai syarat pembuktian yang cukup sulit. Seseorang yang melanggar harus dibuktikan memiliki motif sengaja mencemarkan nama baik. Oleh karenanya penyidik jangan gegabah menggunakan pasal tersebut jika belum mempunyai alat bukti yang cukup karena dunia maya sangat berbeda dengan dunia nyata.

2.6.4 PRINSIP PENGATURAN UU ITE

Membahas aturan hukum cyber crime merupakan satu hal yang memiiki tantangan tersendiri. Hal ini dikarenakan peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang kejahatan siber di Indonesia masih

“termasuk baru” aturan perundang-undanga telah dituangkan dalam Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transakai Elektronika.

Oleh karena itu, dengan usia UU yang masih sangat dini, maka dibutuhkan waktu untuk melakukan evaluasi terhadap Undang-Undang yang dimaksut, hal ini dikarenakan sebagai suatu UU baru, dibutuhkan waktu untuk mempelajari dan menganalisis keseluruhan pasal dalam proses penegakan hukum. Berikut maap cyber crime di Indonesia untuk menggambarka kompleksitas dan kebutuhan aturan hukum prinsip umum pengaturan tentang kebijakan telematika, cyber crime35.

a. Prinsip transparansi.

35

Prinsip transparansi artinya, proses pembuatan kebijakan harus dilakukan secara transparan dan terbuka. Setiap warga negara sebaiknya memeliki akses baik melalui media cetak atau iternet kepada semua peraturan dan perundangan, termasuk draft rancangan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaanya yang sedang diproses oleh Pemerintah dan DPR. Peraturan dan perundangan tidak dipublikasikan dapat dianggap tidak sah, dan oleh karenanya tidak seorang pun dapat dikenai sanksi bila melanggar peraturan yang tidak dipublikasikan tersebut.

Dalam prinsip ini jelas dikatakan bahwa proses perbuatan harus dilakukan secara transparan dan terbuka namun dalam hal kasus yang dialami oleh Prita mulyasari prinsip ini sepertinya tidak diterapkan karena dalam hal ini Prita yang menyampaikan keluhannya di sosial media yang dianggap mencemarkan nama baik RS OMNI oleh pihak kejaksaan melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Prita sementara jelas dikatakan dalm pasal 43 ayat 6 UU No 11 Tahun 2008 dijelaskan secaranyata dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam. Namum dalam hal ini Prita belum di putuskan oleh pengadilan dia sudah ditahan.

b. Prinsip liberalisasi telekomunikasi.

Hal ini ditandai dengan jaminan privatisasi dan kompetisi. Privatisasi merupakan dorongan global yang menghendaki agar kebijakan telekomunikasi mendorong proses privatisasi untuk menghentikan kepemilikan oleh negara.

Sedangkan kompetisi merupakan persyaratan terjadinya persaingan sehat dan medorong turunya harga, mempromosikan investasi dan meingkatkan tersedianya pelayanan-pelayanan bar yang terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Kompetisi sehat ini hendaknya tidak hanya untuk jenis pelayanan tertentu saja, namun mencaup semua jenis pelayanan telekomunikasi seperti sambungan telepon lokal, saluran sewa, jaringan backboan, jaringan wirelles dan antar ISP.

Dalam prinsip ini dikatakan jaminan privasi namun dalam hal kasus yang di alami Prita sepertinya prinsip ini tidak dihiraukan oleh pihak pengadilan maupun jaksa karena dalam hal ini jelas-jelas prita menyampaikan keluhannya itu dimedia sosial dengan maksud untuk menyampaikan keluhannya bukan bermaksut menghina atau mencemarkan nama baik dari pihak yang melaporkan namun dia dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik. Padahal jelas-jelas keluhan yang dibuat prita hanya untuk privasi sendiri bukan untuk umum.

c. Prinsip jaminan Undang-Undang tentang internet.

Untuk mencegah kerugian bagi masyarakat, hukum harus selalu menjadi pegangan dalam pemamfaatan telematika. Jika peraturan dan perundangan yang mengatur pemamfaatan telematika belum tersedia beberapa isu berikut dinggap sebagai isu universal yang harus tercantum dalam undang-undang internet/ITC, antara lain;

a. Hak kekayaan intelektual, yakni dengan adanya perlindungan yang memadai bagi kekayaan itelektual untuk mejamin terus munculnya inovasi dan pengembangan teknologi.

b. Perlindungan konsumen, yakni jaminan perlindungan terhadap konsumen dalam bentuk pemenuhan hak-hak konsumen dalam transaksi ekonomi menggunakan internet atau media elektronika lainnya dalam jangka panjang menjamin tumbuhnya perekonomian yang sehat.

c. Perlindungan privasi, yakni adanya jaminan kebebasan untuk memiliki dan mengelola informasipribadi harus dihormati36

36

Dokumen terkait