• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Prinsip Pengaturan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) terhadap Pencemaran Nama Baik T1 312012051 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Prinsip Pengaturan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) terhadap Pencemaran Nama Baik T1 312012051 BAB II"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1

PENGERTIAN

INFORMASI

DAN

TRANSAKSI

ELEKTRONIKA (ITE)

Sebelum penulis menguraikan tentang prinsip pengaturan Undang-Undang Informasi dan Teknologi Elektronika (ITE) terhadap pencemaran nama baik. Penulis akan menguraikan terlebih dahulu mengenai pengertian informasi dan transaksi elektonika secara umum. Istilah telematika sendiri berasal dari bahasa perancis yang merupakan asal kata telematique yang menggambarkan berpadunya sistem jaringan komunikasi dan teknologi informasi1.

Berdasarkan ketentuan umum dalam Pasal 1 Bab I Undang - Undang No.11 Tahun 2008, pada angka I, yang dimaksud dengan Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Elektronik Data Interchange (EDI), surat elektronik (elektronik mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perfrasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

1

(2)

memahaminy2. Teknologi informasi adalah suatu teknik atau cara elektronika untuk megumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisa, dan meyebarkan informasi3. Sementara transaksi elektronika adalah setiap transaksi yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih melalui jaringan komputer atau media elektronik lainnya, dengan menggunakan sistem informasi elektroika yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada masing-masig pihak yang bertransaksi4.

Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on

eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini

dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Dengan kemajuan teknologi yang sangat berkembang khususnya media sosial elektronika cyberspace sebagai ruang aktivitas pengolahan data yang dilakukan oleh user. Perkembangan teknologi informasi memberikan dampak bagi kehidupan manusia diantaranya

a. Dampak Positif

(3)

kemudahan dalam berkomunikasi dari satu wilayah kewilayah lain dan dari sau negara dengan negara lainnya.

b. Dampak Negatif

Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat berpotensi menimbulkan penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi. Kemudahan dalam berkomunikasi melalui perangkat telekomunikasi modern memungkinkan orang berinteraksi tanpa harus berada ditempat yang sama sehingga teknologi informasi dapat digunakan sebagai sarana terjadinya kejahatan.

2.2

LATAR BELAKANG MUNCULNYA UU ITE

Pembangunan nasional adalah suatu proses berkelanjutan yang senantiasa harus tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat. Globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik ditingkat nasional. Pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar keseluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa, perkembangan dan kemajuan.

(4)

harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan Peraturan Perundang-undangan demi kepentingan nasional, pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah juga perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia5.

Dalam kaitan ini jika dilihat dalam peraturan perundang-undangan yang konvensional, maka perbuatan pidana yang dapat digunakan dibidang komputer dan siber adalah penipuan, kecurangan, pencurian, dan perusakan, yang pada pokoknya dilakukan secara fisik dan pikiran oleh sipelaku6.

Departement komunikasi dan informasi mengeluarkan Undang-Undang baru tentang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE). Hadirnya Undang -Undang ini disambut positif berbagai kalangan masyarakat namun tidak sedikit juga yang menentangnnya. Bagi yang tidak setuju, Undang-Undang ITE dianggap sebagai upaya untuk membatasi hak kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat serta bisa menghambat kreatifitas seseorang didunia maya. Bagi yang setuju, kehadirannya dinilai sebagai langkah yang tepat untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan

5

naskah akademik, Undang-undang Republik Indonesia, No. 11 Tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektonika.

6

(5)

penyalahgunaan internet yang tak terkendali sehingga bisa merugikan orang lain7.

Namun uraian ini tidak bermaksud memihak salah satu kelompok yang setuju dan tidak setuju, terhadap munculnya UU ITE tersebut melainkan ingin memberikan suatu gambaran pemikiran mengapa payung hukum itu dikaitkan dengan berbagai kasus penyalahgunaan internet yang berkembang belakangan ini.

UU ITE ini terlambat disahkan, sementara kasus-kasus penyalahgunaan internet sudah sering terjadi hingga pada taraf yang sangat menghawatirkan masyarakat dan bangsa Indonesia. Walaupun terlambat, kehadiran aturan hukum baru tersebut dapat dilihat sebagai bentuk respons pemerintah untuk menjerat orang-orang yang tidak bertanggungjawab dalam menggunakan internet hingga merugikan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Menurut Menkominfo Muhammad Nuh, sedikitnya ada tiga hal mendasar penyalahgunaan internet yang dapat menghancurkan keutuhan bangsa secara keseluruhan yakni pornografi, kekerasan, dan informasi yang mengandung hasutan sara8.

Kasus, melakukan akses-akses ke server tertentu atau ke internet yang tidak diizinkan oleh peraturan organisasi atau penyusupan ke web server sebuah situs kemudian mengganti halaman depan situs tersebut, tindakan penyalahgunaan kartu kredit orang lain di internet, penerapan aplikasi dalam

7

Shinta, Cyberlaw Praktik Negara-negara Dalam Mengatur Privasi Dalam E-Commerce, Widya Padjadjaran, 2009, hal., 2.

8

(6)

usaha membuka proteksi dan software atau sistem secara ilegal, pembuatan program ilegal dengan maksud menyebarkan dan menggandakan diri secara cepat dalam jaringan.

Biasanya melalui email liar dengan tujuan membuat kerusakan dan kekacauan sistem. Contoh-contoh kejahatan internet di atas menggambarkan bahwa teknologi internet mengalami pergeseran fungsi utamanya sebagai alat penyebarluasan informasi dari segi positifnya. Internet telah beralih fungsi menjadi media massa elektronik yang mampu membawa perubahan dalam kehidupan manusia dalam berbagai aspek dari yang positif hingga negatif. Internet bahkan digunakan sebagai alat propaganda politik untuk kepentingan

elite-elite politik tertentu atas nama hak asasi, kebebasan, dan demokrasi.9

Maka denngan demikian perkembangan internet sendiri sangat memberikan dampak negatif bagi penggunanya.

2.3

Pencemaran Nama Baik dan Implikasi Hukumnya

2.3.1 Pengertian pencemaran nama baik dan jenis-jenisnya.

Pencemaran nama baik pada dasarnya terdiri dari dua unsur, tindakan pencemaran dan objek tindakan berupa nama baik seseorang. Kata pencemaran dapat dimaknai sebagai perbuatan/tindakan seseorang terhadap suatu objek yang mengakibatkan perubahan kualitas terhadap objek tersebut. Sedangkan nama baik dapat dimaknai sebagai suatu

9

(7)

keadaan yang dimiliki seseorang berkaitan dengan eksistensi seseorang dalam masyarakat. Eksistensi tersebut mencakup harkat dan martabat seseorang dalam hubungannya dengan orang lain. Pencemaran terhadap nama baik seseorang merupakan suatu perbuatan yang mengakibatkan nama baik seseorang menjadi tercemar atau tidak lagi baik dalam pandangan orang lain, menimbulkan opini secara umum mengenai reputasi seseorang yang kurang baik, mengakibatkan kredibilitas seseorang menjadi turun dan lain-lain.

Perbuatan pencemaran yang dilakukan terhadap nama baik seseorang selalu didasari oleh niat pelaku untuk menimbulkan suatu akibat terhadap orang lain, dalam hal ini reputasi/nama baik seseorang. Pencemaran nama baik oleh KUHP diartikan sebagai serangan yang ditujukan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui10. Tindak pidana pencemaran nama baik dapat dikelompokkan berdasarkan sarana yang digunakan, diantaranya :

1) Pencemaran nama baik yang dilakukan secara konvensional

Pencemaran nama baik seperti ini cenderung dilakukan dengan cara-cara biasa, baik secara lisan maupun tertulis. Pencemaran nama baik secara lisan dilakukan dengan mengucapkan kata-kata yang dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang didepan orang lain. Pencemaran nama baik secara tertulis dilakukan dengan membuat

10

(8)

tulisan atau gambar manual yang ditujukan untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang pada sebuah media yang kemudian di sebarkan dengan maksud untuk diketahui oleh orang lain.

2) Pencemaran nama baik yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Pencemaran nama baik seperti ini dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi secara lisan maupun tertulis. Pencemaran nama baik secara lisan dapat dilakukan melalui telepon atau pentransmisian pesan suara dengan mengucapkan kata-kata yang dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Pencemaran nama baik tertulis dilakukan dengan mentransmisikan tulisan atau gambar berupa dokumen elektronik yang dimaksudkan untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Tindak pidana pencemaran nama baik digolongkan sebagai salah satu bentuk dari penghinaan sebagaimana diatur dalam KUHP.

Jenis penghinaan diatur dalam Bab XVI KUHP tentang penghinaan diantaranya :

1) Pasal 310 KUHP tentang Pencemaran Ketentuan Pasal 310 KUHP mendefinisikan pencemaran sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal agar diketahui umum. Ketentuan Pasal 310 KUHP membedakan pencemaran menjadi dua jenis, diantaranya :

(9)

b) Pencemaran nama baik yang dilakukan melalui tulisan atau gambar yang dipublikasikan

2) Pasal 311 KUHP tentang fitnah Ketentuan Pasal 311 mendefinisikan fitnah sebagai kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dengan menuduhkan suatu hal yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.

3) Pasal 315 KUHP tentang Penghinaan ringan Ketentuan Pasal 315 KUHP mendefinisikan penghinaan ringan sebagai tiap-tiap penghinaan yang dilakukan dengan sengaja tetapi tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang.

4) Pasal 317 KUHP tentang pengaduan fitnah Ketentuan Pasal 317 KUHP mendefinisikan pengaduan fitnah sebagai kesengajaan seseorang mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang.

5) Pasal 318 KUHP tentang perbuatan yang menimbulkan persangkaan palsu Ketentuan Pasal 318 KUHP mendefinisikan persangkaan palsu sebagai perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana.

(10)

mengatur mengenai perbuatan yang terkait dengan orang yang sudah meninggal dan apabila orang tersebut masih hidup dapat dikategorikan sebagai pencemaran atau pencemaran tertulis.

2.3.2 Karakteristik pencemaran nama baik

melalui media elektronik Tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik dapat dikenali dengan mencermati beberapa hal, diantanya :

a) Perbuatan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi b) Objek tindak pidananya berupa dokumen elektronik dan/atau

informasi elektonik

c) Objek tindak pidana tersebut didistribusikan atau ditransmisikan, melalui jaringan dan dapat atau telah diakses oleh orang lain

d) Isi dokumen elektronik dan/atau informasi elektronik tersebut bertujuan untuk menyerang kehormatan seseorang

e) Perbuatan tersebut telah melanggar kepentingan hukum orang lain.

(11)

tindak pidana yang semula berupa nama baik/ kehormatan seseorang menjadi dokumen elektronik dan/atau informasi elektronik yang mempunyai muatan pencemaran.

Perbedaan objek tindak pidana tersebut, mengakibatkan perubahan cara pengungkapan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik. Pengungkapan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik harus dilakukan dengan menggunakan metode tertentu yang mendasarkan kepada teori telematika karena tindak pidana yang terjadi dilakukan dengan teknik khusus dan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.

2.3.3 Konsep aturan pencemaran nama baik

Melalui media elektronik dan perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap potensi pencemaran nama baik Pencemaran nama baik melalui media elektronik merupakan perbuatan pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 310 ayat (1) namun dilakukan dengan menggunakan media elektronik. Pencemaran nama baik melalui media elektronik diatur tersendiri menggunakan pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sehingga kedua ketentuan tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

(12)

baik yang terjadi merupakan pencemaran nama baik biasa atau pencemaran nama baik yang dilakukan melalui media elektronik. Tahap mengklasifikasikakn perkara harus dilakukan secara tepat agar tidak terjadi kekeliruan menerapkan hukum.

Upaya penanggulangan tindak pidana pencemaran nama baik melalui media elektronik merupakan bentuk perlindungan terhadap kepentingan hukum individu. Kepentingan hukum individu meliputi11. :

a. Jiwa manusia (leven);

b. Keutuhan tubuh manusia (lyf);

c. Kehormatan seseorang (eer);

d. Kesusilaan (zede);

e. Kemerdekaan pribadi (persoonlyke vryheid);

f. Harta benda/kekayaan (vermogen)

2.4

TEORI HUKUM TERKAIT PENGATURAN UU ITE

Dalam skripsi ini penulis mengkaitkan beberapa toeri hukum yang menurut penulis berhubungan dengan pengaturan UU ITE yakni.

1. Teori Perlindungan Hukum

11

(13)

Teori perlindungan hukum merupakan salah satu teori yang sangat penting untuk dikaji, karena fokus kajian ini pada perlindungan hukum yang diberikan kepada masyarakat. Masyarakat yang disasarkan pada teori ini, yaitu masyarakat yang berbeda posisi yang lemah, baik secara ekonomis maupun lemah dari aspek yuridis .

Secara gramatikal, perlindungan adalah tempat berlindung, atau hal (perbutan) memperlindungi. Pengertian perlindungan dalam konsep ini difokuskan kepada: Tujuan, pihak yang melindungi korban, dan sifatnya

Tujuan dari perlindungan adalah memberikan rasa aman bagi korban. Rasa aman adalah bebas dari bahaya, bebas dari gangguan, tenteram, tidak merasa takut atau khawatir terhadap sesuatu hal. Sementara itu yang berhak memberikan perlindungan adala12. Pihak keluarga, advokad, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pihak lainnya

Sifat perlindungan dibagi menjadi dua macam, yaitu;

1. Perlindungan sementara 2. Adanya perintah pengadilan Perlindungan sementara adalah:

12

Salim dan erlies septiana nurbani, Penerapan TeoriHukum Pada Penelitian Thesis dan Disertasi,

(14)

“perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau

lembaga sosial atau pihak lain, sebeum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan”13.

Disamping rumusan itu, dalam pasal 1 angka 1 Peraturan Pemrintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran Hak AsasI Manusia yag berat telah disajikan rumusan perlindungan. Perlindungan adalah:

“suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak

hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik

maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror

dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada tahap

penyelidikan, penyidik, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang

pengadilan”14

.

Namun dalam kenyataannya dalam kasus yang dialami Prita sepertinya para penegak hukum megesampingkan teori perindungan hukum ini yang mana dalam perlindungan hukum dijelaskan agar penegak hukum memberikan perlindungan hukum bagi mereka yang membuthkan bantuan namun dalam kasus yang dialami oleh Prita teori ini tidak diterapkan sama sekali melainkan memberatkat Prita atas perbuatannya.

13

Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

14

(15)

2.5

PEMAPARAN KASUS

Mengingat kembali kasus yang pernah terjadi di dunia maya yang membuat gempar semua masyarakat Indonesia yaitu, kasus yang dialami oleh Ibu Prita Mulyasari yang dituduh telah mencemarkan nama baik sebuah rumah sakit di Jakarta yaitu rumah sakit OMNI Internasional. Yang kemudian dihadapkan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika.

Telah menimbulkan suatu suasana disharmoni, dimana rasa keadilan masyarakat kemudian terusik akibat adanya praktik ketidakadilan dalam penegakan hukum atas kaasus yang dialami oleh, Prita Mulyasari terhadap Rumah Sakit OMNI Internasional yang dituangkan dalam E-Mail, yang dianggap telah mencemarkan nama baik RS OMI Internasional15.

Kasus ini bermula dari surat elektronik Prita pada 7 Agustus 2008. Yang mana dalam sosial media Prita mengirimkan Email berisi keluhannya ketika dirawat di Omni. Surat yang semula hanya ditujukan ke beberapa temannya itu ternyata beredar ke berbagai milis dan forum di Internet, dan diketahui oleh manajemen Rumah Sakit Omni. PT Sarana Mediatama Internasional, pengelola rumah sakit lalu merespon dengan mengirim jawaban atas keluhan Prita ke milis dan memasang iklan di harian nasional. Belakangan, PT Sarana juga menggugat Prita, baik secara perdata maupun pidana, dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan perkara gugatan perdata nomor 300/PDG/6/2008/PN-TNG. Prita, dibidik oleh jaksa penuntut umum

15

(16)

dengan tiga dakwaan alternatif. Pertama, penuntut umum menjerat dengan Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sementara dakwaan kedua dan ketiga, penuntut umum menjerat dengan Pasal 310 ayat (2) dan pasal 311 ayat (1). Sebagaimana diketahui, ketiga pasal tersebut dirancang untuk menjerat bagi pelaku yang diduga melakukan pencemaran nama baik dan penghinaan. Prita kemudian dituntut oleh penuntut umum yang diketuai oleh jaksa Riyadi selama enam bulan penjara.

Dalam tuntutannya, terdapat hal yang memberatkan. Bahwa perbuatan Prita dengan mengirimkan surat elektronik (email) kepada 20 alamat dinilai tidak akan hilang terkecuali dihapus oleh penerima. Alasan kedua, bahwa tidak terjadi kesepakatan untuk berdamai di dalam persidangan meskipun ada upaya dari pihak Walikota Tangerang Selatan HM Sholeh dengan manajemen RS Omni.

Majelis hakim melihat unsur dalam dakwaan pertama. Untuk unsur setiap orang, dinilai majelis terpenuhi karena Prita diajukan ke persidangan dalam keadaan sehat. Lalu, unsur dengan sengaja, majelis berpendapat, perbuatan Prita dengan mengirimkan email berbunyi: ”Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM

buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini” adalah

(17)

sejumlah temannya. Namun majelis justru mempertanyakan apakah isi dari keluhan email tersebut berupa muatan pencemaran dengan judul “Penipuan

RS Omni Internasional”. Majelis hakim tentu menelaah dengan tidak

sepotong kalimat. “Tapi harus dilihat hubungan hukum terdakwa dengan dr

Hengki dan dr Grace,” ujarnya Arthur. Dalam uraian pertimbangannya,

majelis berpendapat Prita mengirimkan email kepada sejumlah temannya bukan pencemaran, melainkan sebatas kritikan kepada dokter Hengki dan dokter Grace. Setelah berpidah ke RS Bintaro Internasional, hasil deteksi menyatakan Prita menderita penyakit Gondongan dan menular. karena diagnosis itu Prita dimasukkan ke dalam ruang isolasi. Setelah tiga hari, Prita kembali ke rumah. Dengan demikian, pernyataan Prita dalam email hanya

sebatas kritikan kepada sang dokter. “Kalimat terdakwa merupakan satu cara

agar masyarakat terhindar dan tidak mendapat pelayanan medis dari dokter yang tidak baik. Demikian halnya kalimat terdakwa terhadap dr. Grace adalah kritikan sebagai customer service,” ujarnya.

Dengan demikian, menurut pendapat hakim, perbuatan dr Grace dapat dikatakan tidak profesional. Bahkan tidak menghargai hak seorang pasien yang berharap sembuh dari penyakit. Berdasarkan uraian unsur ketiga, majelis berpendapat bahwa email terdakwa Prita Mulya Sari tidak bermuatan penghinaan atau pun pencemaran nama baik. “Dalam kalimat tersebut adalah kritik dan demi kepentingan umum agar masyarakat terhindar dari praktek-praktek dari rumah sakit dan dokter yang tidak memberikan pelayanan medis

(18)

Dalam pertimbangannya, majelis tidak sependapat dengan penuntut umum, bahwa jika terdakwa tidak puas atas pernyataan dokter, pasien dapat mengadukan dokter bersangkutan ke majelis kehormatan kedokteran. Sebab, sambung Arthur, kasus ini telah menjadi perhatian publik. Namun sayangya, belum adanya tindakan dari majelis kehormatan kedokteran disiplin.

Dalam pertimbangannya, lantaran salah satu unsur dakwan pertama tidak terpenuhi, maka Prita tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan pertama. “Oleh karena itu

terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan tersebut,” ujarnya.

Sedangkan pada dakwaan kedua dan ketiga, yakni Pasal 310 ayat (2) dan Pasal 311 ayat (1) KUHP, dalam pertimbangan majelis pada pokoknya sama yakni tindak pidana menyerang kehormatan orang lain dengan tulisan. Sedangkan Dalam Pasal 310 ayat (2) menyerang kehormatan dengan tulisan

dan gambar. Dalam Pasal 310 ayat (3), sambung Arthur, menyebutkan “Tidak

termasuk pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas

dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”.

Majelis berpendapat perbuatan terdakwa semata-mata demi kepentingan umum. Majelis merujuk pada Pasal 310 ayat (3) KUHP. Sehingga, perbuatan Prita Mulya Sari tidak secara sah dan meyakinkan

sebagaimana dakwaan kedua dan ketiga. “Oleh karena itu terdakwa harus

dibebaskan dari kedua dakwaan tersebut,” ujarnya.

(19)

menghirup udara bebas. Prita mendengarkan dengan seksama ketika Arthur

membacakan putusan. “Menyatakan terdakwa Prita Mulyasari tidak terbukti

secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pencemaran nama baik. Membebaskan terdakwa Prita Mulyasari dari dakwaan,” ujar Arthur, di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang16.

2.6

PEMBAHASAN

2.6.1 Tinjauan Umum Tindak Pidana Teknologi Informasi

Kemajuan teknologi informasi telah mengubah pandangan manusia tentang berbagai kegiatan yang selama ini hanya dimonopoli oleh tentang berbagai kegiatan yang selama ini hanya dimonopoli oleh ativitas yang bersifat fisik belaka. Lahirnya internet mengubah paradigm komunikasi manusia dalam bergaul, berbisnis, dan juga berasmara. Internet mengubah konsep jarak dan waktu secara drastis sehingga seolah-olah dunia menjadi kecil dan tidak terbatas. Setiap orang bisa berhubungan, berbicara, dan berbisni dengan orang lain yang berada ribuan kilometer dari tempat dimana ia berada hanya dengan menekan tutstuts keyboard dan mouse komputer yang berada di hadapannya17.

Pada Masa Awalnya, tindak pidana siber didefinisikan sebagai kejahatan komputer. Mengenai definisi dari kejahatan computer sendiri, sampai sekarang para sarjana belum sependapat mengenai pengertian atau definisi dari kejahatan

16

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b3ac59e39184/pn-tangerang-vonis-bebas-prita-buka-perdamaian-dengan-rs-omni, di kunjungi pada tanggal 3 maret, 2016, pukul 14.30.

17

(20)

komputer18. Bahkan penggunaan istilah untuk kejahatan komputer dalam bahasa Inggris pun masih belum seragam. Namun para sarjana pada waktu itu, pada umumnya menggunakan istilah “computer crime” oleh karena dianggap lebih luas dan biasa digunakan dalam hubungan internasional.

The British Law Comission misalnya, mengartikan “computer fraud”

sebagai manipulasi komputer dengan cara apa pun yang dilakukan dengan itikad buruk untuk memperoleh uang, barang, atau keuntungan lainnya atau dimaksudkan untuk menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Mandell membagi “computer crime” atas dua kegiatan, yaitu :

a. Penggunaan komputer untuk melaksanakan perbuatan penipuan, pencurian atau penyembunyian yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan keuangan, keuntungan bisnis, kekayaan, atau pelayanan; b. Ancaman terhadap komputer itu sendiri, seperti pencurian perangkat

keras atau lunak, sabotase dan pemerasan19.

Perkembangan teknologi informasi termasuk internet di dalamnya juga memberikan tantangan tersendiri bagi perkembangan hukm di Indonesia. Hukum di Indonesia dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan sosial yang terjadi.perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum atau sebaliknya tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaan atau mungkin hal yang sebaliknya.

18

Budi Suharyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cyber Crime) : Urgensi Pengaturan dan Celah Hukumnya, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hal., 19.

19

(21)

Kejahatan pada dasarnya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tidak ada kejahatan tanpa masyarakat atau seperti ucapan lacassagne bahwa masyarakat mempunyai penjahat sesuai dengan jasanya. Betapapun kita mengetahui banyak tentang faktor kejahatan yang ada dalam masyarakat, namun yang pasti adalah bawa kejahatan merupakan salah satu bentuk perkembangan perilaku manusia yang perkembangannya terus sejajar dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu kejahatan telah diterima sebagai suatu fakta, baik pada masyarakat yang paling sederhana (primitive) maupun pada masyarakat yang modern, yang merugikan masyarakat20.

Begitu eratnya pengaruh perkembangan teknologi dengan kejahatan terkadang membuat hukum seakan terpana melihat pesatnya perkembangan tersebut. Seingga terkadang hukum terlambat untuk mengimbangi perkembangan teknologi. Dalam tindak pidana teknologi informasi ini juga, hukum seakan sempat tertinggal dalam pesatnya kemajuan internet. Sehingga seperti telah diuraikan di awal bab I dimana dunia internet atau dunia maya akan menjadi hutan belantara yang tak bertuan bila terus dibiarkan tanpa hukum yang mengatur secara khusus. Karena memang meskipun dunia tersebut virtual, tetap ada suatu kehidupan di dalamnya yang sempat belum ada aturan yang mengatur di dalamnya.

Untuk mengatasi hal tersebut di atas, jelas diperlukan tindakan legislatif yang cermat dengan mengingat suatu hal, yakni jangan sampai perundangundangan menjadi terpana pada perkembangan teknologi sehingga membuat peraturan menjadi overlegislate, yang pada gilirannya justru akan

20

(22)

membawa dampak negatif, baik di bidang hukum lainnya maupun di bidang sosial ekonomi.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang secara khusus mengatur tindak pidana teknologi informasi. Undang-undang ini memiliki sejarah tersendiri dalam pembentukan dan pengundangannya.

Rancangan undangundang ITE mulai dibahas sejak maret 2003 oleh Kementrian Negara Komunikasi dan Informatika dengan nama Rancangan Undang-Undang Informasi Komunikasi dan Transaksi Elektronik. Kemudian pada tanggal 5 September 2005 naskah UU ITE secara resmi disampaikan kepada DPR RI. Pada tanggal 21 April 2008, undang-undang ini disahkan; dengan demikian proses pengundangan undangundang ITE ini berlangsung selama 5 tahun. Oleh karena itu undang-undang ITE yang terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal ini merupakan undang-undang yang relatif baru baik dari segi waktu pengundangannya maupun segi materi yang diatur.

Sebagaimana telah kita ketahui adanya pengaturan pidana dalam

undangundang ITE ini, yang menjadi sorotan penulis adalah “Penggunaan

(23)

Dalam penerapannya, pasal 27 ayat (3) ini telah memberikan kekhuatiran kepada masyarakat. Masyarakat beranggapan bahwa adanya pengaturan ini hanya menjadikan kebebasan berekspresi dari masyarakat menjadi terkekang. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh aktivis blogger, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), serta Lembaga Bantuan Hukum Pers yang mengajukan permohonan uji materiil terhadap pasal 27 ayat (3) undang-undang ITE ini kepada Mahkamah Konstitusi (MK). MK sendiri telah menyatakan bahwa pengaturan tersebut konstitusional sebagaimana tertera dalam putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008 dan Nomor 2/PUU-VIII/2009.

Esensi penghinaan baik dalam dunia nyata maupun dalam dunia siber adalah sama, yaitu menyerang kehormatan atau nama baik orang lain untuk diketahui umum atau sehingga diketahui oleh umum. Oleh karena itu unsur

“mendistribusikan”, “mentransmisikan”, dan “membuat dapat diaksesnya” dalam

pasal 27 ayat (3) undang-undang ITE ialah tindakan-tindakan dalam dunia siber

yang dapat mencapai pemenuhan unsur “di muka umum” atau “diketahui umum”.

Tindakan “mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau mebuat dapat

diaksesnya” dilakukan dalam rangka atau agar informasi dan atau dokumen

elektronik dapat diketahui oleh umum. Dengan demikian unsur “di muka umum”

atau “diketahui umum” yang penjadi esensi pasal 310 KUHP menjadi satu ruh

(24)

2.6.2 Pegaturan pencemaran nama baik dalam UU ITE

Permasalahan yang terdapat dalam kasus yang dialami oleh Prita mulyasari tersebut, dapat mengakibatkan ketidak efektifannya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008.

Pada hakekatnya maksud dan tujuan pemerintah dan DPR membentuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik (UU ITE) adalah untuk memberikan dampak positif terhadap masyarakat. Sebagaimana yang tertera dalam Undang-undang tersebut, yaitu21.

a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia.

b. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

c. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan public.

d. Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan

e. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.

21 http://www.lawangpost.com, “asas

-asas dan tujuan UU Nomor 11 tahun 2008 internet dan

(25)

Selanjutnya maksud dan tujuan dari Undang-undang tersebut dijelaskan lebih lanjut didalam Pasal 4 yang berisikan tujuan dari Informasi dan Transaksi Elektronik yang memberikan keleluasaan dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial dan lain – lain. Sehingga dapat meningkatkan kemampuan dalam bidang Informasi dan Transaksi Elektronik. Selain itu pemerintah juga menjamin untuk memberikan rasa aman bagi pengguna dan penyelenggara teknologi informasi.

Kemajuan teknologi tidak hanya memberikan dampak positif tapi juga menimbulkan dampak negatif. Dampak negatifnya, yaitu membuka ruang terjadinya perdagangan gelap, penipuan dan pemalsuan, dapat merusak moral bangsa melalui situs-situs tertentu, menurunkan rasa nasionalisme, penyalahgunaan yang tidak memandang nilai-nilai agama dan sosial budaya dapat menimbulkan perpecahan serta terjadinya tindak pidana Pencemaran Nama Baik dan sebagainya.

Pasal 27, Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjelaskan larangan mengenai perbuatan yang nantinya dapat dianggap sebagai tindak pidana melalui media internet antara lain, pencemaran nama baik, melakukan perjudian secara online dan penghinaan22. Contohnya, tindak pidana melalui media internet yang sering kita dengar diberita yaitu, pencemaran nama baik atau penghinaan orang di jejaring sosial.

Menurut Prof. Muladi definisi Pencemaran nama baik adalah pihak yang diserang kehormatannya, direndahkan martabatnya, sehingga namanya

22

http://www.lawangpost.com, “asas-asas dan tujuan UU Nomor 11 tahun 2008 internet dan

(26)

menjadi tercela di depan umum23. sehingga, Pencemaran nama baik secara umum dapat diartikan sebagai tindakan mencemarkan nama baik seseorang dengan cara menyatakan sesuatu baik melalui lisan ataupun tulisan.

Sifat melawan hukum perbuatan menyerang nama baik atau kehormatan orang terletak pada dua hal, ialah24.

a. Secara subjektif, terletak pada “maksud terang supaya diketahui

umum”.

b. Secara objektif terletak pada “menuduhkan melakukan

perbuatan tertentu” yang memalukan orang dan yang diketahui

umum yang dilakukan melalui tulisan.

Pencemaran nama baik memuat 3 catatan penting didalamnya, yakni :

1. Delik dalam pencemaran nama baik merupakan delik yang bersifat subyektif yang artinya penilaian terhadap pencemaran sangat bergantung pada pihak yang diserang nama baiknya25. Oleh karenanya, delik dalam pencemaran merupakan delik aduan yang hanya bisa diproses oleh pihak yang berwenang jika ada pengaduan dari korban pencemaran.

2. Pencemaran nama baik merupakan delik penyebaran26. Yang dimaksud dengan delik penyebaran dalam hal tersebut adalah

23

http://www.hukumonline.com, “ancaman pencemaran nama baik mengintai”, dikunjungi pada tanggal 27 april 2016, pukul 23.00.

24

http://www.hukumonline.com, “ancaman pencemaran nama baik mengintai”, dikunjungi pada tanggal, 27 april 2006, pukul 22.00.

25

Wawan Tunggul Alam, Pencemaran Nama Baik di Kehidupan Nyata dan Dunia Internet, Warta Pena, 2012, Hal., 85.

26

(27)

yang berisi pencemaran disebarluaskan kepada umum atau dilakukan di depan umum oleh pelaku.

3. Orang yang melakukan pencemaran nama baik dengan menuduh suatu hal yang dianggap menyerang nama baik seseorang atau pihak lain harus diberi kesempatan untuk membuktikan tuduhan itu. Bagi bangsa Indonesia, Pasal pencemaran nama baik dianggap sesuai dengan karakter bangsa ini yang menjunjung tinggi adat dan budaya timur, pencemaran nama baik dianggap melanggar norma sopan santun bahkan bisa melanggar norma agama jika yang dituduhkan mengandung unsur fitnah.

Pencemaran nama baik sangat erat kaitannya dangan suatu kata penghinaan dimana penghinaan itu sendiri memiliki pengertian perbuatan menyerang nama baik dan kehormatan seseorang. Sasaran dalam pencemaran nama baik pun dapat digolongkan menjadi27.

a. Terhadap pribadi perorangan.

b. Terhadap kelompok atau golongan.

c. Terhadap suatu agama.

d. Terhadap orang yang sudah meninggal.

e. Terhadap para pejabat yang meliputi pegawai negeri, kepala negara atau wakilnya dan pejabat perwakilan asing.

27

(28)

Larangan memuat kata penghinaan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebenarnya dibuat untuk melindungi hak-hak individu dan institusi dikarenakan pada dasarnya informasi yang akan kita publikasikan seharusnya sudah mendapat izin dari yang bersangkutan agar yang bersangkutan tidak merasa dirugikan dengan perbuatan kita tersebut sehingga kita bisa mempertanggung jawabkannya.

Selain Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur pencemaran nama baik, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga telah mengatur tentang pidana penghinaan dan pencemaran nama baik. Pasal-pasal pidana mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik ini memang sudah ada di dalam dunia hukum sejak dahulu.

Untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencemaran nama baik, suatu perbuatan harus memenuhi beberapa unsur agar dapat dikatakan Tindak pidana pencemaran nama baik. Unsur-unsur tersebut yaitu28. Adanya kesengajaan, tanpa hak (tanpa izin), bertujuan untuk menyerang nama baik atau kehormatan, agar diketahui oleh umum.

Kejahatan di dunia maya merupakan kejahatan modern yang muncul seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Kejahatan di dunia maya mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kejahatan-kejahtan

28

(29)

konvensional yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Menurut R.Soesilo penghinaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ada 6 macam29. Menista secara lisan, menista secara tertulis, memfitnah, penghinaan ringan, menyadu secara memfitnah, tuduhan secara memfitnah.

Aspek pidana yang terdapat dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menimbulkan banyak permasalahan. Hal tersebut tentu saja memunculkan ketidakefektifan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam pelaksanaannya. Permasalahan tersebut muncul dari substansi dan struktur hukumnya.

Berdasarkan substansi hukum yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) , ada beberapa permasalahan antara lain30.

1. Adanya pengelompokan perbuatan yang dilarang yang berbeda-beda ke dalam satu Pasal. Padahal, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) perbuatan yang dilarang itu diatur sendiri-sendiri. Hal ini salah satunya bisa terlihat pada Pasal 27 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Ditemukan juga bahwa dalam satu pasal, antara ayat yang satu dengan yang lainnya terlihat berdiri sendiri (parsial) dan seperti tidak ada keterkaitannya

29

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, bogor, 1996, Hal., 225.

30

(30)

sama sekali (Vide Pasal 30 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

2. Adanya inkonsistensi dalam penulisan pada Pasal 31 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Meskipun tidak memberikan pengaruh besar terhadap ketidakefektifan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), namun tentu saja memberikan preseden buruk dalam penulisan suatu Peraturan Perundang-undangan.

3. Pasal 32 dan Pasal 34 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), dapat menimbulkan kesulitan dalam hal pembuktian. Hal ini dikarenakan ketidakjelasan unsur-unsur yang harus dibuktikan pada kedua Pasal tersebut. Pasal 32 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), apakah pembuktiannya harus semua unsur cara atau cukup salah satunya saja. Padahal kalau salah satu unsur saja tidak terbukti, maka tersangka harus dibebaskan dari segala tuduhan hukum. Sedangkan pada Pasal 34 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pengecualian Pasal 34 ayat (1) apakah hanya berlaku terhadap kegiatan penelitian atau pengujian sistem elektronik ataukah kegiatan penelitian dan pengujian sistem elektronik, untuk perlindungan sistem elektronik itu sendiri.

4. Adanya Pasal khusus yang mengatur tentang “mengakibat kerugian

(31)

Elektronik (UU ITE) hanya mengatur jika terdapat Pasal 27–34 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Serta Pasal 35 Undangundang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak termasuk dalam Pasal 36 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sehingga tertutup kemungkinan mengakibatkan kerugian bagi orang lain

5. Adanya Pengelompokan Ketentuan Pidana Dalam Satu Pasal Tertentu untuk Sejumlah Jenis Perbuatan yang Dilarang yang Berbeda-Beda (Vide Pasal 45 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

6. Adanya Penyamarataan Sanksi Pidana Terhadap Delik yang Sebenarnya Berbeda Satu Sama Lain (Vide Pasal 45 ayat (1) Undangundang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Adanya Pemberatan Pidana dari Pidana Pokok yang tidak mengikuti model pemberatan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pidana pokok ditambah sepertiganya (Vide Pasal 52 ayat (3) dan ayat (4) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

(32)

Transaksi Elektronik. Unsur-unsur perbuatan yang dilarang menurut Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)31.

1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Selain untuk menanggulangi agar tidak terjadinya unsur-unsur yang dilarang Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga mengatur peran pemerintah dan peran serta masyarakat dalam menunjang

31

(33)

penerapan keefektifitasan Peraturan tersebut. Peran pemerintah dalam menunjang penerapan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yaitu32.

a. Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

b. Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

c. Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi. 67 Pasal 27 Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 68 Pasal 40 Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

d. Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepentingan pengamanan data.

32

(34)

e. Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya.

f. Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Jadi, maksud dari Pasal 40 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) agar pemerintah dan instansi atau institusi terkait dapat memberikan kenyamanan terhadap dalam masyarakat dalam penggunaan teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

Peran masyarakat yang dimaksud dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)33.

1) Masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan Teknologi Informasi melalui penggunaan dan Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.

2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan melalui lembaga yang dibentuk oleh masyarakat.

3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memiliki fungsi konsultasi dan mediasi.

33

(35)

Berdasarkan Pasal 41 tersebut diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan yang diatur dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 41 Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

2.6.3

Analisis tindak pencemaran nama baik dalam UU No 11

Tahun

2008

tentang

Informasi

dan

Transaksi

Elektronika di kaitkan dengan kasus Prita Mulyasari

Berkaitan dengan aktivitas dan kegiatan bisnis masyarakat pengguna transaksi atau perdagangan elektronik (e-commerce), UU ITE merupakan Payung Hukum yang melingkupi kegiatan transaksi atau perdagangan elektronik di dunia maya (cyberspace) tersebut. Namun sejak kelahiran Undang-Undang No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut, permasalahan dalam undang-undang tersebut dan pasal-pasal pencemaran nama baik atau delik reputasi pada undang-undang tersebut memiliki banyak cacat bawaan, kesimpang siuran rumusan, dan inkonsistensi hukum pidana.

(36)

rentan terhadap terjadinya ketidak pastian hukum sehingga menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Duplikasi ini akhirnya dapat merugikan masyarakat sendiri karena tidak tahu perbuatan mana yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan dilakukan menurut hukum. Khususnya yang dilakukan aparat hukum atas kasus pencemaran nama baik.

Seperti halnya kasus Prita Mulyasari pada tanggal 3 Juni 2009 Undang–Undang No.11 Tahun 2008 digunakan untuk membawa Prita Mulyasari terkena kasus masalah Informasi dan Transaksi Elektronik. Prita Mulyasari didakwa melakukan pencemaran nama baik Rumah Sakit Omni Internasional, Prita dijerat Pasal 27 ayat (3) Undang – Undang No.11 Tahun 2008 dengan sanksi pidana penjara maksimum 6 tahun dan/atau denda maksimal 1 milyar rupiah. Tragisnya, terhadap Prita diberlakukan penahanan oleh pihak kejaksaan. Pihak kejaksaan mendasarkan penahanan Prita pada dakwaan tersier dalam Pasal 27 ayat (3) tersebut dan subsidier Pasal 311 KUHP. Sesungguhnya tidak akan ada menyeret Prita untuk merasakan kurungan.

Prita kemudian dilepaskan karena penahananya yang didasarkan pada Undang -Undang No.11 Tahun 2008 dianggap berlebihan. Paling tidak ada dua alasan untuk menjelaskannya. Pertama kata “tanpa hak” dimaknai sangatlah sempit. Padahal, seorang Prita sebagai salah satu konsumen rumah sakit, dia memiliki hak untuk menyampaikan apa yang dikeluhkannya melalui email yang dibuatnya hak sebagai konsumen. Itu pun dijamin di dalam Undang

– Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Kedua, dalam

(37)

secara nyata dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam. Sedangkan dalam kasus Prita tidak ditempuh cara - cara yang sudah ditetapkan dalam Undang

– Undang No.11 Tahun 2008.

Menurut Ronny, M.Kom, Keterangan Ahli Judicial Review di Mahkamah Kontitusi Undang – Undang No.11 Tahun 2008 di Mahkamah Konstitusi, dalam kaca mata hukum, penafsiran dan pemberlakuan Undang – Undang No.11 Tahun 2008 mutlak berpegangan pada putusan Mahkamah Konstitusi R.I Nomor 50/PUU-VI/2008 tentang judicial review Undang – Undang No.11 Tahun 2008 terhadap Undang – Undang Dasar 1945, salah

satu pertimbangan Mahkamah berbunyi “keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27

ayat (3) Undang – Undang No.11 Tahun 2008 tidak dapat dipisahkan dari

norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP”.

Pertimbangan Mahkamah tersebut dapat diartikan penafsiran Pasal 27 ayat (3) Undang–Undang No.11 Tahun 2008 merujuk pada pasal–pasal penghinan dalam KUHP khususnya Pasal 310 dan pasal 311 yang berbunyi :

(1) Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan suatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

(38)

(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Dan Pasal 311 yang berbunyi :

(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran

tertulis diperbolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Pencabutan hak – hak berdasarkan Pasal 35 No 1 sampai dengan 3 dapat dijatuhkan.

Namun dalam hal ini prita yang mengekspresikan berkumpul dan berpendapat dianggap sebagai sebuah penghinaan, maka hal ini jelas merupakan sebuah pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 28 Undang-Undang

Dasar 1945 yang menyatakan :”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,

mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya,ditetapkan dengan undang-undang”.

Kebebasan berpendapat juga dilegitimasi oleh Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menentukan :

”Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan

pendapat sesuai hati nuraninya secara lisan dan atau tulisan melalui media

cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan,

ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa”.

(39)

”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau

pencemaran nama baik”34

.

Sedangkan ketentuan Pasal 45 ayat(1) Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan :

”Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3) atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)”.

Dalam ketentuan pasal 27 ayat 3 dan pasal 45 ayat 1 Undang-Undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), tidak terdapat definisi secara jelas apa yang dimaksud dengan penghinaan atau pencemaran nama baik. Jika email

Prita yang berjudul ”Rumah Sakit Omni International Telah Melakukan

Penipuan” hal tersebut dianggap sebagai pencemaran nama baik (penghinaan)

bagi dokter dan rumah sakit, sebagaimana ditentukan pasal 27 ayat 3 UU ITE, perlu diingat bahwa email Prita tersebut bersifat pribadi dan ditujukan hanya kepada teman-teman terdekatnya. Artinya, Prita tidak bermaksud menyebarluaskan tuduhan itu kepada umum. Dengan demikian, unsur penyebar-luasan sebagaimana disyaratkan pada pasal dimaksud tidak terpenuhi.

Perbuatan Prita yang mengirimkan email tersebut mungkin tanpa motif sengaja mencemarkan nama baik, hanya bersifat keluhan pribadi, kecuali kalau teman-temannya sengaja mengirim kembali email tersebut kemudian menambah-nambahi, maka yang harus bertanggungjawab dalam permasalahan

34

(40)

ini seharusnya tidak hanya Prita tapi juga teman-temannya tersebut. Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini cukup sulit pembuktiannya, oleh karena orang yang melanggar harus dibuktikan memiliki motif sengaja mencemarkan nama baik.

Jika hanya bersifat keluhan pribadi, tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Sama halnya, ketika kita mengirimkan sms keseseorang yang isinya bahwa si A telah melakukan penipuan. Terkecuali jika memang ada motif tertentu dalam mengirim email atau sms, maka harus dibuktikan motif tersebut, sedangkan membuktikan adanya motif tertentu sangatlah sulit dilakukan. Sehingga tidak segampang itu menerapkan pasal 27 ayat (3) UU ITE tersebut, oleh karena dunia maya sangat jauh berbeda dengan dunia nyata, setiap orang bisa dengan sangat mudah mengaku dia Prita, atau orang lain.

Satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa pihak OMNI

International Hospital telah memberikan klarifikasi dan hak jawabnya pada

(41)

Pasal 27 ayat (3) Undang – Undang No.11 Tahun 2008 mempunyai syarat pembuktian yang cukup sulit. Seseorang yang melanggar harus dibuktikan memiliki motif sengaja mencemarkan nama baik. Oleh karenanya penyidik jangan gegabah menggunakan pasal tersebut jika belum mempunyai alat bukti yang cukup karena dunia maya sangat berbeda dengan dunia nyata.

2.6.4

PRINSIP PENGATURAN UU ITE

Membahas aturan hukum cyber crime merupakan satu hal yang memiiki tantangan tersendiri. Hal ini dikarenakan peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang kejahatan siber di Indonesia masih

“termasuk baru” aturan perundang-undanga telah dituangkan dalam

Undang-Undang No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transakai Elektronika. Oleh karena itu, dengan usia UU yang masih sangat dini, maka dibutuhkan waktu untuk melakukan evaluasi terhadap Undang-Undang yang dimaksut, hal ini dikarenakan sebagai suatu UU baru, dibutuhkan waktu untuk mempelajari dan menganalisis keseluruhan pasal dalam proses penegakan hukum. Berikut maap cyber crime di Indonesia untuk menggambarka kompleksitas dan kebutuhan aturan hukum prinsip umum pengaturan tentang kebijakan telematika, cyber crime35.

a. Prinsip transparansi.

35

(42)

Prinsip transparansi artinya, proses pembuatan kebijakan harus dilakukan secara transparan dan terbuka. Setiap warga negara sebaiknya memeliki akses baik melalui media cetak atau iternet kepada semua peraturan dan perundangan, termasuk draft rancangan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaanya yang sedang diproses oleh Pemerintah dan DPR. Peraturan dan perundangan tidak dipublikasikan dapat dianggap tidak sah, dan oleh karenanya tidak seorang pun dapat dikenai sanksi bila melanggar peraturan yang tidak dipublikasikan tersebut.

Dalam prinsip ini jelas dikatakan bahwa proses perbuatan harus dilakukan secara transparan dan terbuka namun dalam hal kasus yang dialami oleh Prita mulyasari prinsip ini sepertinya tidak diterapkan karena dalam hal ini Prita yang menyampaikan keluhannya di sosial media yang dianggap mencemarkan nama baik RS OMNI oleh pihak kejaksaan melakukan penangkapan dan penahanan terhadap Prita sementara jelas dikatakan dalm pasal 43 ayat 6 UU No 11 Tahun 2008 dijelaskan secaranyata dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam. Namum dalam hal ini Prita belum di putuskan oleh pengadilan dia sudah ditahan.

b. Prinsip liberalisasi telekomunikasi.

(43)

Sedangkan kompetisi merupakan persyaratan terjadinya persaingan sehat dan medorong turunya harga, mempromosikan investasi dan meingkatkan tersedianya pelayanan-pelayanan bar yang terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Kompetisi sehat ini hendaknya tidak hanya untuk jenis pelayanan tertentu saja, namun mencaup semua jenis pelayanan telekomunikasi seperti sambungan telepon lokal, saluran sewa, jaringan backboan, jaringan wirelles dan antar ISP.

Dalam prinsip ini dikatakan jaminan privasi namun dalam hal kasus yang di alami Prita sepertinya prinsip ini tidak dihiraukan oleh pihak pengadilan maupun jaksa karena dalam hal ini jelas-jelas prita menyampaikan keluhannya itu dimedia sosial dengan maksud untuk menyampaikan keluhannya bukan bermaksut menghina atau mencemarkan nama baik dari pihak yang melaporkan namun dia dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik. Padahal jelas-jelas keluhan yang dibuat prita hanya untuk privasi sendiri bukan untuk umum.

c. Prinsip jaminan Undang-Undang tentang internet.

(44)

a. Hak kekayaan intelektual, yakni dengan adanya perlindungan yang memadai bagi kekayaan itelektual untuk mejamin terus munculnya inovasi dan pengembangan teknologi.

b. Perlindungan konsumen, yakni jaminan perlindungan terhadap konsumen dalam bentuk pemenuhan hak-hak konsumen dalam transaksi ekonomi menggunakan internet atau media elektronika lainnya dalam jangka panjang menjamin tumbuhnya perekonomian yang sehat.

c. Perlindungan privasi, yakni adanya jaminan kebebasan untuk memiliki dan mengelola informasipribadi harus dihormati36

36

Gambar

gambar yang dipublikasikan

Referensi

Dokumen terkait

Sumber : Hamermesh dan Rees, (1987) Mereka menyimpulkan bahwa individu dengan pendidikan yang lebih tinggi awalnya mempunyai pendapatan yang lebih rendah dari pada

Tujuan pembelajaran merupakan acuan utama untuk membuat suatu media pembelajaran, dalam hal ini poster. Karena sebuah media pembelajaran harus sesuai dengan

Namun, kebijakan ini merupakan pukul rata yang tidak bisa dibuktikan untuk kasus Belanda, meski orang juga tahu bahwa mayoritas populasi Muslim di Belanda khususnya atau Eropa

Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian tentang “ Studi Variasi Komposisi Grafit Terhadap Proses Ekstraksi TiO 2 dari Pasir Besi Titanomagnetite dengan Memanfaatkan Pemanasan

Siagiaan (2005:102) menjelaskan lebih lanjut bahwa jika proses rekrutmen ditempuh dengan tepat dan baik, hasilnya adalah sekelompok orang yang kemudian diseleksi

Komunikasi pemasaran yang di lakukan oleh Elzatta terdapat beberapa dimensi yang terbagi dalam kategori above the line dan bellow the line yang masing masing memiliki beberapa

5,5.4 Menyusun materi layanan bimbingan klasikal dan bimbingan kelompok yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik. 5.6 Mengaplikasikan dalam praktek format pelayanan bimbingan

Namun, penulis mengamati bahwa sejak awal abad 20, ternyata telah terjadi perubahan pada fokus pengembangan penelitian yaitu saat ini tidak lagi berfokus pada