• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Tinjauan Mengenai Pendidikan Inklusif

2. Elemen-elemen Dasar Pendidikan Inklusif

interaksi sosial, dan konsep diri serta visi misi sekolah. Dalam hal ini, anak-anak yang memiliki hambatan harus dipandang oleh semua pendidik sebagai hak dan tanggung jawab bersama dan yang paling utama adalah bahwa semua anak harus mempunyai tempat dan diterima di kelas-kelas reguler.

Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan inklusif adalah pendidikan yang mempersatukan layanan pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus dengan pendidikan reguler dalam sebuah sistem pendidikan atau dengan kata lain memberikan tempat bagi siswa luar biasa di sekolah reguler atau sekolah biasa. Dengan adanya pendidikan inklusif ini diharapkan agar semua siswa luar biasa atau berkebutuhan khusus dapat bersekolah di sekolah terdekat yang mampu menerima semua siswa baik siswa normal maupun siswa dengan kebutuhan khusus sehingga tidak lagi terjadi deskriminasi bagi siswa berkebutuhan khusus dalam bidang pendidikan. Dengan demikian, siswa berkebutuhan khusus dapat mengoptimalkan potensi yang terdapat dalam dirinya dibalik kekurangan yang mereka miliki.

2. Elemen-elemen Dasar Pendidikan Inklusif

Penyelenggaraan pendidikan inklusif bukalah suatu pekerjaan yang mudah. Menurut Wahyu Sri Ambar Arum (2005: 115), setidaknya ada 10 elemen dasar yang memungkinkan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Sepuluh elemen dasar tersebut adalah sikap positif terhadap keragaman, interaksi promotif, kompetensi akademik dan sosial yang

24

seimbang, pembelajaran adaptif, konsultasi kolaboratif, hidup dan belajar dalam masyarakat, hubungan kemitraan antara sekolah, keluarga dan masyarakat, pemahaman kebutuhan individual siswa, belajar dan berpikir independen, serta prinsip belajar sepanjang hayat.

a. Sikap positif terhadap keragaman

Johnson dan Johnson (Wahyu Sri Ambar Arum, 2005: 115) menjelaskan, sikap guru terhadap keragaman kebutuhan siswa dapat ditingkatkan melalui pemberian informasi yang akurat tentang kondisi siswa dan cara penanganannya.

b. Interaksi promotif

Wahyu Sri Ambar Arum (2005: 115) menjelaskan, interaksi promotif merupakan upaya untuk saling menolong dan saling mendorong atau memberi motivasi dalam belajar. Hal tersebut dapat terjadi jika terdapat rasa saling menghargai dan saling memberikan dukungan untuk meraih keberhasilan belajar bersama.

c. Kompetensi akademik dan sosial yang seimbang

Wahyu Sri Ambar Arum (2005: 117) mengemukakan, pendidikan inklusif tidak hanya menekankan pada pencapaian tujuan pembelajaran dalam bentuk kompetensi akademik saja akan tetapi juga dalam bentuk kompetensi sosial. Oleh karena itu, dalam perencanaan pembelajaran tidak hanya untuk pencapaian tujuan akademik tetapi juga keterampilan sosial yaitu bekerjasama yang

25

mencakup keterampilan untuk memimpin, memahami perasaan dan pemikiran orang lain, serta tenggang rasa.

d. Pembelajaran adaptif

Program pembelajaran adaptif dalam pendidikan inklusif ini dinamakan Program Pembelajaran Individual (PPI) yang berupa program remidiasi, akselerasi, eskalsi, atau program-program lain sesuai kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Program tersebut bertujuan untuk mempertemukan kebutuhan-kebutuhan khusus siswa yang membutuhkan layanan pendidikan luar biasa di kelas reguler. Penyusunan program tersebut melibatkan guru kelas dan atau guru bidang studi, guru PLB, konselor, orang tua, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya.

e. Konsultasi kolaboratif

Wahyu Sri Ambar Arum (2005: 118) menjelaskan konsultasi kolaboratif merupakan kegiatan saling tukar infrmasi antara profesional dari semua disiplin terkait untuk memperoleh keputusan legal dan instruksional yang berhubungan dengan siswa yang membutuhkan layanan PLB. Profesional yang dimaksud dalam hal ini adalah guru PLB, guru kelas, guru bidang studi, konselor, psikolog, dan ahli-ahli lain yang terkait.

f. Hidup dan belajar dalam masyarakat

Dalam pendidikan inklusi, hendaknya kelas diseting sebagai suatu bentuk mini dari kehidupan masyarakat yang diidealkan. Di dalam

26

kelaspun harusnya diciptakan suasana yang saling mencerdaskan, saling menghargai, mencintai, dan tenggang rasa. Melalui suasana belajar semacam itu diharapkan siswa akan memiliki kebiasaan hidup bersama yang baik sehingga dapat memudahkannya ketika kelak memasuki kehidupan di masyarakat. Siswa juga diajarkan untuk memandang siswa lain sebaga individu yang unik dan memiliki potensi kemausiaan yang harus dikembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan.

g. Hubungan kemitraan antara sekolah, keluarga dan masyarakat

Sekolah, keluarga, dan masyarakat pada hakikatnya memiliki fungsi yang sama maka hendaknya sekolah, keluarga, dan masyarakat dapat menjalin kemitraan yang erat dalam upaya memberdayakan semua potensi kemanusiaan siswa agar dapat berkembang secara optimal dan terintegrasi. Hal tersebut karena keluarga memiliki informasi yang akurat mengenai keunikan, kekuatan, kelemahan, dan minat anak, sedangkan sekolah memiliki informasi akurat mengenai prestasi akademik siswa. Informasi tersebut, baik dari keluarga maupun sekolah, menjadi landasan penting dalam penyekenggaraan pendidikan inklusi.

h. Pemahaman kebutuhan individual siswa

Seluruh tenaga kependidikan yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah harus memahami bahwa setiap siswa itu unik, memiliki kebutuhan individual yang berbeda antara seorang

27

siswa dengan siswa lainnya. Seluruh tenaga kependidikan juga hendaknya memahami kebutuhan individu siswa sehingga layanan pendidikan yang bersifat umum harus diimbangi dengan layanan yang bersifat individual.

i. Belajar dan berpikir independen

Dari hasil-hasil penelitian mengenai anak berkesulitan belajar, Wong (Wahyu Sri Ambar Arum, 2005: 121) memaparkan, guru hendaknya mengetahui bahwa anak berkesulitan belajar menunjukkan bahwa mereka umumnya pasif dalam belajar, cenderung bergantung pada orang lain, dan kurang memiliki strategi untuk belajar, serta kurang mampu dalam mengontrol diri. Oleh karena itu, seiring semakin cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam pendidikan inklusif, guru hendaknya mendorong siswa agar memiliki keterampilan belajar dan kreatif sehingga siswa mampu berpikir independen.

j. Prinsip belajar sepanjang hayat.

Pendidikan inklusif memandang bahwa bahwa manusia belajar sepanjang hayatnya, sedangkan belajar di sekolah hanya merupakan bagian dari perjalanan hidup manusia. Belajar sepanjang hayat tidak hanya untuk menguasai berbagai kompetensi yang menjadi tuntutan kurikulum untuk dapat naik kelas atau lulus ujian, tetapi juga belajar untuk dapat berpikir kritis untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan inklusif menekankan

28

pada pengalaman belajar yang bermanfaat bagi kelangsungan proses belajar siswa kelak dalam kehidupan masyarakat.

Dokumen terkait