• Tidak ada hasil yang ditemukan

Elemen-elemen Pokok Dalam Bisnis Franchise

BAB III PEMBAHASAN KONSEP FRANCHISE SECARA UMUM

D. Elemen-elemen Pokok Dalam Bisnis Franchise

Dari pengertian yang telah dipaparkan diatas, menunjukkan bahwa

franchise pada dasarnya mengandung elemen-elemen pokok sebagai berikut: 1. Pemberi waralaba (franchisor) yaitu badan usaha atau perorangan yang

memberikan hak kepada pihak lain (franchisee) untuk memanfaatkan segala ciri khas usaha dan segala kekayaan intelektual, seperti nama, merk dagang, dan sistem usaha yang dimilikinya.

2. Penerima waralaba (franchisee) adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan atau menerima hak untuk memanfaatkan dan menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau ciri khas usaha yang dimiliki oleh franchisor.

3. Adanya penyerahan hak-hak secara eksklusif (dalam praktik meliputi berbagai macam hak intelektual) dari franchisor kepada franchisee.

4. Adanya penetapan wilayah tertentu. Franchise area dimana franchisee

diberikan hak oleh franchisor untuk beroperasi di wilayah tertentu.

5. Adanya imbal-prestasi dari franchisee kepada franchisor yang berupa

franchisee fee, sebagai imbalan atas pemberian hak pemanfaatan dan

penggunaan hak intelektual yang dimiliki oleh franchisor yang dibayarkan hanya sekali untuk hak yang di peroleh franchisee, biasa disebut juga sebagai

yang dibayarkan oleh franchisee secara periodik kepada franchisor, biasanya secara bulanan dari besarnya omzet penjualan.

6. Adanya standar mutu yang ditetapkan oleh franchisor kepada franchisee,

biasanya tertuang dalam buku petunjuk operasional/operating manuals yang berisikan metode dalam bentuk tertulis yang lengkap untuk menjalankan bisnis franchise, serta supervise secara berkala dalam rangka mempertahankan mutu.

7. Adanya bentuk-bentuk pelatihan yang diselenggarakan oleh franchisor guna meningkatkan keterampilan yaitu pada pelatihan awal, maupun pelatihan yang berkesinambungan.

E. Jenis-Jenis Perjanjian Dalam Bisnis Franchise

Dalam bentuknya sebagai bisnis, waralaba memiliki dua jenis kegiatan: 1. Waralaba Produk dan merk dagang

2. Waralaba format bisnis

Waralaba produk dan merk dagang adalah bentuk waralaba yang paling sederhana. Dalam waralaba produk dan merk dagang, pemberi waralaba memberikan hak kepada penerima waralaba untuk menjual produk yang dikembangkan oleh pemberi waralaba yang disertai dengan pemberian izin untuk menggunakan merk dagang milik pemberi waralaba. Pemberian izin pengguanan merk dagang tersebut diberikan dalam rangka penjualan produk yang

diwaralabakan tersebut.42 Atau franchise produk dapat diartikan bahwa pemegang franchise mendistribusikan barang yang dibuat oleh pemilik franchise dan memakai merk pemilik franchise. Pemilik franchise mempelajari pengendalian penting dalam metode operasi pemegang franchise.43 Dalam bentuknya yang sederhana ini, waralaba produk dan merk dagang sering kali mengambil bentuk keagenan maupun distributor.

Sedangkan pengertian waralaba (franchise) format bisnis adalah pemberian sebuah lisensi oleh seseorang (franchisor) keapda pihak lain (franchisee), lisensi tersebut memberi hak kepada franchisee untuk berusaha dengan mengguanakan merk dagang/ nama dagang franchisor, dan untuk keseluruhan paket, yang terdiri dari seluruh elemen yang diperlukan untuk membuat seseorang yang sebelumnya belum terlatih dalam bisnis, dan untuk menjalankannya dengan bantuan yang terus menerus atas dasar-dasar yang telah ditentukan sebelumnya.

Format bisnis ini terdiri atas:44 1. Konsep bisnis yang mnyeluruh.

2. Sebuah proses permulaan dan pelatihan mengenai seluruh aspek pengelolaan bisnis, sesuai dengan konsep franchisor.

3. Proses bantuan dan bimbingan yang terus menerus.

42

Gunawan Widjaja, Op. Cit., hal. 13 43

Stephen Fox, Membeli dan Menjual Bisnis; Membeli Franchise, (Jakarta, PT. Elex Media Komputindo, 1993), hal. 232

44

Martin Mandelsohn, Franchising; Petunjuk Praktis Bagi Franchisor dan Franchisee, (Jakarta, PT. Pustaka Binaman Pressindo, 1993), hal. 4

Berdasarkan pengertian waralaba menurut Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1997 diatas, dapat diketahui bahwa waralaba termasuk kedalam suatu perikatan yang menurut pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu perikatan dapat lahir baik karena persetujuan atau pun Undang-undang. Pengertian “perjanjian” menurut Subekti adalah “Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.45

Dari peristiwa ini akan menimbulkan suatu hubungan antara dua orang tersebut dinamakan perikatan. Oleh karena itu, suatu perjanjian dapat menerbitkan suatu perikatan bagi mereka yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan maupun di tulis. Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu persetujuan karena dua pihak atau mereka yang membuat ikatan setuju untuk melakukan sesuatu.

Dengan demikian “perjanjian” maupun “persetujuan” memiliki sama arti, yaitu persetujuan ataupun perjanjian merupakan kesepakatan antara kedua belah pihak yang bertujuan untuk mengikatkan diri mereka masing-masing untuk melaksanakan isi perjanjian atau persetujuan bagi kedua belah pihak. Suatu perjanjian yang dibuat oleh mereka yang bersepakat mengenai suatu hal sehingga menimbulkan hak dan kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu hal tertentu dapat terjadi dengan tulisan, perjanjian yang tertulis inilah

45

yang disebut “kontrak”. Istilah “kontrak” maupun “perjanjian” menurut hukum nasional memiliki pengertian yang sama.

Franchisor dan franchisee dalam mengatur hubungannya sering kali

mewujudkannya dalam suatu perjanjian tertentu. Perjanjian dalam hukum Indonesia tunduk pada pengaturan buku III KUH Perdata. Karena itu, franchise

merupakan kerjasama bisnis yang tunduk pada pengaturan buku III KUH Perdata.46 Agar perjanjian atau kontrak dianggap sah oleh hukum haruslah memenuhi beberapa syarat, diantaranya:

1. Syarat sah subjektif dan objektif.

Syarat ini terkandung dalam pasal 1320 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa syarat sah suatu perjanjian harus memenuhi:

a. Kesepakatan bagi mereka yang mengikatkan dirinya. b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian “dapat dibatalkan” oleh salah satu pihak yang berkepentingan. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, dimana jika salah satu dari kedua syarat tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian menjadi tidak sah dan batal demi hukum.

46

Syarat “kesepakatan” maksudnya ialah bahwa suatu perjanjian atau kontrak dianggap sah oleh hukum, jika kedua belah pihak ada kesesuaian pendapat tentang apa yang diatur dalam kontrak tanpa paksaan dan penipuan. Syarat “kecakapan” maksudnya ialah pihak yang melakukan kontrak adalah orang yang oleh hukum mempinyai wewenang untuk membuat kontrak, yaitu:

a. Orang yang sudah dewasa

b. Orang yang tidak ditempatkan dibawah pengampunan

c. Orang yang tidak dilarang oleh Undang-undang untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.

Sedangkan syarat “suatu hal tertentu” maksudnya adalah bahwa suatu konrak haruslah berkenaan dengan hal tertentu dan jelas. Dan syarat “suatu sebab yang halal” maksudnya ialah suatu kontrak harus dibuat dengan alasan yang sesuai dengan hukum yang berlaku, jadi tidak diperbolehkan suatu kontrak dibuat untuk hal-hal yang bertentangan dengan hukum.

2. Syarat sah diluar pasal 1320 KUH Perdata.

Ada beberapa syarat untuk kontrak yang berlaku umum tetapi diatur diluar pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

a. Kontrak harus dilakukan dengan I’tikad baik.

b. Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku. c. Kontrak harus dibuat berdasarkan kepatutan.

Apabila kontrak dilakukan dengan melanggar salah satu dari keempat prinsip tersebut, maka konsekuensi yuridisnya adalah bahwa kontrak yang demikian tidak sah dan batal demi hukum.

Jika syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang telah disebutkan diatas telah terpenuhi, maka perjanjian tersebut telah mempunyai kekuatan yang sama dengan Undang-undang. Kekuatan ini diatur pada pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

BAB IV

MASLAHAH MURSALAH DAN SISTEM WARALABA

A. Urgensi

Bidang Ekonomi tidak diragukan lagi merupakan bidang kehidupan yang sangat urgen, bahkan, sementara orang memandangnya sebagai lokomotif kehidupan, dimana bidang-bidang kehidupan lainnya merupakan rangkaian gerbong-gerbong yang ditarik oleh lokomotif ekonomi.

Dalam tata kehidupan yang mempunyai hubungan sistemik, kesulitan ekonomi niscaya membantu meringankan kesulitan pada bidang kehidupan lainnya. Ini adalah fakta yang dirasakan oleh masyakat Indonesia yang masih berupaya keluar dari himpitan krisis ekonomi melalui sebuah recovery yang hasilnya belum terlihat.

Pendek kata, tidak ada satupun perbuatan atau aktivitas manusia dalam kesehariannya yang berada diluar kerangka atau jangkauan tata aturan (ajaran) Islam dan ini merupakan konsekuensi dari keputusan Islam sebagai “Dinul hayah”, yakni agama atau pedoman hidup (The Giudance of All Life).47

47

Surahman Hidayat, “Aktualisasi Fiqih Muamalah Dalam Ekonomi Islam”, Al-Iqtishadiyah, Jurnal Kajian Ekonomi Islam, Vol I, No. 1, (Januari, 2004), hal. 69

Islam sebagai ajaran yang bersifat rahmatan lil Alamin, semangatnya bertumpu pada kemaslahatan yang hakiki termasuk syariatnya dalam bidang muamalat (bisnis), dimana kaidah fiqih mengatakan bahwa pada prinsipnya hukum muamalah adalah boleh selama tidak ada dalil yang mengharamkannya (al-ashlu fil mu’amalat al-ibahah illa an yadulla dalilun ala tahrimihi).

Dalil yang mengubah hukum muamalah dari boleh (halal) menjadi tidak boleh (haram) mengacu pada disiplin Ushul Fiqih, yaitu dapat berupa dalil eksplisit al-Quran dan al-Hadits Nabi Muhammad SAW, atau dalil lain melalui uji verifikasi tertentu seperti ijma’, qiyas, maslahah mursalah dan sebagainya.

Semua kaidah tersebut sebenarnya terfokus pada prinsip maslahat, yaitu konsep pertimbangan baik-buruk, positif-negatif, dan mudharat-maslahat berdasarkan kaidah umum dan dalil sharih (eksplisit) serta shahih syariat Islam.

Dewasa ini dan lebih-lebih lagi di masa mendatang, permasalahan kehidupan manusia akan semakin cepat berkembang dan semakin kompleks. Permasalahan itu harus dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaian dari segi hukum. Semua persoalan tersebut tidak akan dapat dihadapi kalau hanya semata mengandalkan pendekatan dengan metode konvensional yang digunakan ulama terdahulu.

Kita akan menghadapi kesulitan menemukan dalil nash atau petunjuk syara’ untuk mendudukkan hukum dari kasus (permasalahan) yang muncul. Untuk kasus tertentu kemungkinan kita akan kesulitan untuk menggunakan metode qiyas dalam menetapkan hukumnya, karena tidak dapat ditemukan padanannya dalam nash (al-Quran dan Sunnah) atau ijma’ Ulama, sebab jarak

waktunya sudah begitu jauh. Selain itu, mungkin ada beberapa persyaratan qiyas

yang sulit terpenuhi.

Dalam kondisi demikian, kita akan berhadapan dengan beberapa masalah (kasus) yang secara rasional dapat dinilai baik dan buruknya untuk menetapkan hukumnya tetapi sulit menemukan dukungan hukumnya dari nash. Dalam upaya untuk mencari solusi agar seluruh aktivitas umat Islam dapat ditempatkan dalam tatanan hukum agama, konsep maslahah itu dapat dijadikan salah satu alternatif sebagai dasar dalam ijtihad.

Tujuan utama ketentuan syariah (maqashid syariah) adalah tercermin dalam pemeliharaan pilar-pilar kesejahteraan umat manusia yang mencakup “panca maslahat” dengan memberikan perlindungan terhadap aspek keimanan (hifzh din), kehidupan (hifzh nafs), akal (hifzh aql), keturunan (hifzh nasl), dan harta benda mereka (hifzh maal). Apa saja yang menjamin terlindunginya lima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki syariah.

Sebagai sumber utama agama Islam, al-Quran mengandung berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan al-Quran dalam tiga besar, yaitu aqidah, akhlak dan syariah. Akidah berkaitan dengan dasar-dasar keimanan, akhlak berkaitan dengan etika, sedangkan syariah berkaitan dengan berbagai aspek hukum yang muncul dari perkataan dan perbuatan. Syariah dalam sistematika hukum Islam di bagi dalam dua hal, ibadah (habl min Allah) dan muamalah (habl min an-naas).

Al-Quran tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah. Menurut Harun Nasution, dari 6360 ayat al-Quran, hanya terdapat

368 ayat yang berkaitan dengan aspek-aspek hukum. Hal ini berarti bahwa al- Quran hanya mengandung dasar-dasar atau prinsip-prinsip bagi berbagai masalah dalam Islam. Bertitik tolak dari dasar atau prinsip ini, nabi Muhammad SAW menjelaskan melalui berbagai haditsnya. Kedua sumber inilah (al-Quran dan al- Hadits) yang kemudian dijadikan pijakan Ulama dalam mengembangkan hukum Islam, terutama di bidang muamalah.48

Dilain pihak argumen yang dikemukakan Yusuf Qardhawi bahwa ijtihad kontemporer perlu dilakukan, karena banyak perubahan yang terjadi dalam kehidupan dan adanya perkembangan sosial yang sangat pesat setelah terjadinya Revolusi Industri didunia ini, sehingga muncul kejadian-kejadian baru yang oleh Ulama terdahulu belum pernah disinggung atau perkara lama mungkin sudah jauh berubah sehingga sudah tidak cocok lagi hukum atau fatwa yang telah ditetapkan para Ulama terdahulu. Oleh karena itu, kebutuhan akan ijtihad merupakan kebutuhan abadi selama masih ada kejadian baru yang muncul, kondisi masyarakat yang selalu berubah-ubah dan berkembang, dan selama syariat Islam masih cocok disetiap masa dan tempat serta masih menetapkan setiap hukum perkara manusia.49

Mengingat kebutuhan akan ijtihad kontemporer sangat mendesak karena persoalan baru yang terus menerus bermunculan akibat pesatnya kemajuan ilmu

48

Euis Amalia, M. Ag., Sejarah Pemikiran Ekonomi; Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta, Pustaka Asatruss, 2005), cet I, hal. 208

49

Abd Rahman Ghazaly, Ijtihad Kontemporer Dalam Pandangan Yusuf Qardhawi, Tesis,

pengetahuan dan teknologi modern yang memerlukan penyelesaian hukumnya, dan juga sebagian kejadian-kejadian lama mungkin sudah jauh berubah sehingga hukum (fatwa) yang telah ditetapkan oleh para Ulama terdahulu sudah tidak cocok lagi.

Bekerja dan berusaha, termasuk berwirausaha dapat dikatakan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia karena keberadaannya sebagai khalifah fil ardh dimaksudkan untuk memakmurkan bumi dan membawanya kearah yang lebih baik.

Al-Quran sebagai landasan utama ajaran Islam menempatkan harta benda sebagai salah satu unsur penting bagi kemaslahatan umat. Harta dibutuhkan sebagai sarana perjuangan untuk memajukan umat dan melindungi kepentingan mereka. Ide semacam itu dapat dipahami dari berbagai pernyataan al-Quran yang mengajak orang-orang yang mmpercayainya untuk berjuang di jalan Allah SWT dengan harta benda mereka, misalnya, dalam al-Quran Surat ash-Shaff/ 61: 10-11:

Artinya: “Hai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berijtihad dijalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahiunya”.

Ayat lain yang juga mendukung pernyataan diatas antara lain dalam Quran Surat al-Jumuah/ 62: 10:

...

Artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah...”,

Dan juga didukung oleh salah satu hadits yang artinya “Sungguh seandainya salah seorang diantara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung kemudian memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi maupun tidak”. (HR. Bukhari).

Sebagai agama yang menekankan dengan kuat sekali tentang pentingnya keberdayaan umatnya, maka Islam memandang bahwa berusaha atau berwirausaha merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Dalil diatas memperlihatkan bagaimana kewirausahaan merupakan aktivitas inheren dalam ajaran Islam. Sedemikian strategisnya kedudukan kewirausahaan dan perdagangan dalam Islam, sehingga teologi Islam itu dapat disebut sebagai “Teologi Perdagangan” (commercial theology). Hal tersebut dapat terlihat dalam kenyataan bahwa hubungan timbal balik antara Tuhan dan manusia bersifat perdagangan betul, Allah adalah Saudagar Sempurna. Ia (Allah) memasukkan seluruh alam semesta dalam pembukuan-Nya. Segalanya diperhitungkan, tiap

barang diukur. Ia telah membuat buku perhitungan, neraca-neraca, dan Ia (Allah) telah menjadi contoh untuk bisnis-bisnis yang jujur.50

Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai guna, jika dan hanya jika mengandung kemaslahatan, dengan demikian, seorang muslim termotivasi untuk memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahah tersebut. Hal ini berarti bahwa konsep maslahah merupakan konsep objektif terhadap perilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqashid) syariah, yakni memelihara kemaslahatan manusia di dunia dan di akherat.51

Telah sekian lama umat Islam di Indonesia khususnya, melupakan salah satu sisi warisan tak ternilai dari peninggalan Rasul SAW, yakni dimensi muamalah. Perhatian kita lebih banyak pada masalah ibadah mahdhah dan kurang memberi perhatian yang memadai pada bidang pengembangan ekonomi dan dunia usaha; terutama semangat kewirausahaan dikalangan umat.

Kalau kita menilik kehidupan manusia Nabi Muhammad SAW, dunia bisnis, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses pematangan kepribadian beliau yang dikenal sebagai “al-Amin” (yang terpercaya). Sejarah telah mencatat, bahwa sejak usia 12 tahun, beliau telah mengikuti ekspedisi dagang luar negeri. Begitu juga di usia 21-an hingga 40-an dipadati dengan pengalaman bisnis internasional. Nabi melanglang buana menembus batas ras dan budaya, jiwa nabi dipenuhi sifat “kewirausahaan sejati” dikancah internasional pada zamannya.

50

Giri, Membangun Jaringan Waralaba Wong Solo: Membentuk Entrepreneur Muslim, Puspo Wardoyo, Dari Warung Kaki Lima Menuju Bisnis Global, hal. 8, t. d.

51

Berangkat dari teladan nabi sebagai wirausahawan inilah, seharusnya kita menyiapkan diri dengan mulai membangun kompetensi sumber daya insani dengan dibekali keterampilan berniaga. Mulai dari mencari peluang bisnis, menjalin kemitraan, mengembangkan produk, memahami aturan main, membangun budaya atau sikap mental usahawan, hingga kemahiran bernegosiasi.

Perdagangan bebas sebagai efek dari globalisasi, telah mengubah wacana dan peradaban masyarakat dunia layaknya sebuah “kampus raksasa” tanpa batas negara (borderless world). Konsekuensinya, apa yang terjadi di negara tetangga kitapun mengetahuinya, begitu pula sebaliknya.

Pada tahun 2003, saat Asean Free Trade Area (AFTA) mulai diberlakukan dan batas-batas negara pun menjadi nisbi, maka umat Islam butuh sebuah panduan yang dapat menuntun sekaligus obor bagi umat dalam melangkah dan menjawab tantangan globalisasi tersebut.

Inilah saatnya bagi umat Islam untuk mengubah haluan atau orientasi dalam memerankan diri sebagai “khalifatullah fil ardh” yang membawa misi “rahmatan lil Alamin”. Janganlah umat dibuat letih dan terkuras energinya untuk bermain-main hanya disatu bidang, kancah politik misalnya, tanpa dibarengi dengan upaya perbaikan kualitas pendidikan dan kesejahteraan ekonomi umat.

Salah satu ciri globalisasi yang sangat menonjol adalah sifatnya yang sangat kompetitif, kosmopolit (kesejagadan) dan perubahan yang amat tepat. Untuk mengantisipasi kondisi yang demikian, salah satu upaya yang ditempuh manusia baik perseorangan maupun kelompok dan kelembagaan adalah dengan mengadakan kerjasama atau kemitraan (musyarakah) dalam berbagai bidang

khidupan, termasuk dalam menjalankan perusahaan. Sedemikian pentingnya kerjasama didunia global ini, hingga tidak ada lagi orang atau lembaga atau perusahaan yang berhasil dengan bekerja sendiri, tanpa bekerja sama dengan pihak lain. Namun, perlu disadari bahwa kerjasama baru dapat mendatangkan keuntungan, kemajuan, dan keselamatan bagi kedua belah pihak, bila keduanya menjalankan hak dan kewajibannya dalam kerjasama itu, disamping adanya komitmen yang tinggi dalam memelihara kerjasama yang terjalin.52

Data statistik menunjukkan bahwa kegagalan sistem franchise jauh lebih rendah dibanding sistem lainnya. Hal ini sangat logis karena bisnis dengan sistem franchise mengandalkan sistem atau cara atau operating manual yang sudah teruji melalui penemuan franchisor, serta sudah terbukti sukses dijalankan franchisee

sebelumnya.

Franchisee baru paling tidak memiliki gambaran serta dukungan dari

franchisor, dan hal-hal yang menjadi hak franchisee adalah mendapatkan brand name, sistem dan manual operasional bisnis, operation support, monitor, joint promotion, dan suplai.

Saat ini hampir semua cabang usaha menengah kecil masuk ke franchise, mulai dari usaha jasa kurir (DHL, Fedex, UPS), edukasi (EF, LIA, Primagama, NF), financial service (Ernst & Young), food and beverages, retail dan lain-lain. Berikut ini beberapa keuntungan dari bisnis dengan sistem franchise:

52

1. Dilihat dari Sudut Pandang Efisiensi Perluasan Perusahaan53

Ada tiga alasan mengapa sebuah perusahaan mewaralabakan bisnisnya, yaitu: a. Kekurangan modal untuk ekspansi usaha/ pasar.

b. Kekurangan personel

c. Melakukan perluasan (dan penetrasi) pasar secara cepat

Pertanyaannya, mana lebih efisien membangun cabang perusahaan sendiri atau memperluas pasar melalui sistem waralaba? Kemungkinan besar sistem waralaba lebih efisien, beberapa alasannya adalah: pertama, dalam melakukan perluasan pasar relatif tidak dibutuhkan modal. Justru mendapat dana segar dari pihak yang disebut investor (terwaralaba). Bila membangun usaha sendiri pasti membutuhkan modal. Kedua, struktur manajemen dan kepemilikan perusahaan induk tak perlu dirombak, sebab perusahaan cabang (terwaralaba) adalah milik orang lain. Ketiga, risiko bisnisberalih ke pihak terwaralaba (kalau cabang milik sendiri risiko pada kita). Keempat, bisnis waralaba menempatkan pengusaha yang bermental wira-swasta (bukan pegawai) yang mempunyai motivasi, sikap mental, serta pengabdian yang berbeda dengan manajer kantor cabang yang di gaji.

Kelima, melalui waralab diperoleh pengusaha lokal yang mengenal baik situasi lingkungan (ekonomi/bisnis, sosial dan budaya) diwilayah/daerah beroperasi.

Keenam, waralaba memberikan kesempatan pada pihak lain untuk mencicipi

keuntungan dan kesuksesan kita. Ketujuh, dari aspek keuangan, likuiditas

53

Amir Karamoy, Menjadi Kaya Lewat Waralaba, (Jakarta, Pustaka Bisnis Indonesia, Oktober, 2005), cet I, hal. 25 dan 66

pewaralaba sangat baik karena memperoleh fresh money dari fee dan royalti yang dibayarkan terwaralaba secara rutin.

2. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh US Departement of

Commerce SBA dan beberapa lembaga studi lainnya.54

Mereka menyebutkan bahwa tingkat sukses terwaralaba sebesar 95%, sedangkan pada bisnis biasa (independent) hanya 10%-35%. Tingkat keberhasilan sebagai pewaralaba lebih tinggi, hampir 99%. Bila data diatas dibaca terbalik, tingkat kegagalan terwaralaba 5%, sedangkan pada bisnis biasa mencapai 65%-

Dokumen terkait