• Tidak ada hasil yang ditemukan

M EMBUKUKAN HADITS - HADITS N ABI

Dalam dokumen Ini Dalilnya Bantahan buku Mana Dalilnya 1 (Halaman 61-64)

Ini pun termasuk maslahah mursalah dharuriyyah karena beberapa hal. Pertama: ia merupakan sarana untuk mengumpulkan dan mengabadikan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Karenanya metode yang digunakan pun berubah-ubah sesuai kebutuhan82). Kedua: belum ada sebab-sebab yang mendorong hal itu di zaman Nabi shallallahu 81 Bandingkan dengan bid’ahnya majelis dzikir jama’ah yang sering terlihat di televisi

umpamanya. Pertama: hal tersebut adalah tujuan hakiki, bukan sekedar sarana; karenanya ia dianggap sebagai ibadah yang berdiri sendiri. Kedua: sebab-sebab untuk mengadakannya sudah ada di zaman Nabi; dan tidak ada yang menghalangi para sahabat untuk melakukannnya.

Ketiga: ia mengandung unsur memberatkan karena sifatnya menambah aktivitas ibadah

seseorang. Keempat: tidak sesuai dengan misi syari’at dan dalil syar’i, diantaranya firman Allah yang maknanya: “Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu dalam hatimu dengan khusyu’ dan rasa takut, serta dengan tidak mengeraskan suara, baik di pagi  maupun petang hari…” (Al A’raf: 205).

82 Ada yang mengumpulkan berdasarkan nama sahabat yang meriwayatkannya (seperti kitab-kitab musnad); ada pula yang berdasarkan topik-topik tertentu dengan hanya memasukkan yang shahih saja (disebut Jaami’, seperti Al Jaami’us Shahih atau Shahih Bukhari dan Shahih Muslim); ada lagi yang khusus berkenaan dengan masalah fiqih (disebut Sunan, seperti Sunan Abu

Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dll), dan seterusnya. Ini menandakan bahwa penyusunnya tidak mempertahankan model tertentu tapi sewaktu-waktu dapat ditinggalkan.

‘alaihi wa sallam. Karena saat itu belum ada pemalsuan hadits, dan periwayatan hadits berada di

tangan orang-orang yang jujur dan terpercaya. Namun ketika terjadi fitnah antara Ali radhiyallahu

‘anhu dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, para pendukung dari masing-masing golongan mulai

berani memalsukan hadits atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan mengunggulkan pemimpin masing-masing, tambah lagi periwayatan hadits pun semakin meluas dan mencakup setiap golongan, baik yang jujur dan kuat hafalannya, maupun yang pendusta dan sering lupa. Karenanya para ulama terdorong untuk membukukan hadits dan menjelaskan derajat hadits tersebut. Ketiga: tujuannya jelas untuk mendekatkan kaum muslimin kepada Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mudah dibaca dan diamalkan.

Lebih-lebih dengan memperhatikan sifat maslahah mursalah yang disyaratkan: harus sesuai

dengan tujuan-tujuan syari’at, jelas sekali bagi kita bahwa meski kesemuanya ini tidak

memiliki dalil khusus yang menetapkan maupun menolaknya, namun semuanya selaras dengan misi syari’at yang antara lain bertujuan menjaga dien.

Demikian pula dengan contoh keempat dan kelima yang disebutkan oleh Novel di atas. Itu semua termasuk maslahah mursalah yang berkisar antara dharuriyyah atau haajiyyah, dan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah kalau kita terapkan penalaran tadi.

Contoh lain dari maslahah mursalah yang sering dianggap bid’ah ialah penggunaan mikrofon dan karpet di masjid-masjid, berangkat haji dengan pesawat terbang, makan dengan sendok dan garpu, cara berpakaian, dan sebagainya. Mereka yang menganggapnya bid’ah hendak menyamakannya dengan tahlilan, shalawatan, peringatan 7 harian, 40 harian, 100 harian, dan bid’ah-bid’ah lainnya. Sehingga kita jadi serba susah kalau ingin membid’ahkan hal-hal semacam ini. Untuk itu mari kita bahas permasalahan ini dengan menerapkan kaidah pembeda antara bid’ah dengan maslahah mursalah.

PENGGUNAAN MIKROFON DI MASJID-MASJID

Hal ini sama sekali bukan bid’ah secara syar’i, mengapa? Pertama: karena  mikrofon hanyalah sarana untuk memperluas jangkauan adzan, ceramah, dan sebagainya; dan alasan ini didukung oleh syari’at. Buktinya ialah disunnahkannya memilih muadzin  yang bersuara lantang. Ini jelas menunjukkan bahwa ia sekedar sarana dan bukan ibadah yang berdiri sendiri. Artinya tidak ada seorang pun yang meyakini bahwa dengan menggunakan mikrofon pahalanya akan bertambah. Begitu pula kalau sekali waktu mikrofon itu ngadat, aktivitas tetap berjalan tanpa kurang suatu apa, karena ia tak lebih dari sekedar alat. Kedua: alat seperti ini belum ada di zaman Rasulullah, karenanya keberadaannya sekarang bukanlah bid’ah secara syar’i. Ketiga: ia bertujuan mempermudah, bukan memberatkan.

BERANGKAT HAJI DENGAN PESAWAT TERBANG

Hal ini juga sering diidentikkan dengan bid’ah83). Tentunya dengan logika yang dangkal pun kita bisa membantahnya… Memang apa sangkut-pautnya antara ibadah haji dan kendaraan yang kita naiki? Adakah seseorang meyakini bahwa dengan naik pesawat hajinya jadi lebih mabrur? 83 Dalam buku Mana Dalilnya hal 31, Novel menggolongkannya dalam bid’ah mubah.

Tentu tidak. Ia tak ubahnya seperti orang yang berangkat shalat jum’at dengan naik mobil, sepeda motor, becak, atau kendaraan lainnya. Sama sekali tak terbetik dalam benaknya bahwa kendaraan yang ia tumpangi memberikan nilai plus terhadap ibadahnya. Apa lagi kalau dilihat dari segi sebabnya, jelas di zaman Nabi belum ada sebab-sebab terwujudnya pesawat terbang. Demikian pula dengan fungsinya yang hanya sebagai sarana transportasi belaka. Juga dari sifatnya yang mengikuti perkembangan teknologi. Kalau dahulu kaum muslimin berangkat haji dengan mengendarai unta atau berjalan kaki, kemudian terus berkembang hingga kira-kira di awal abad 20 mulai digunakan kendaraan bermotor dan kapal laut, maka saat ini mereka menggunakan pesawat terbang. Entah kendaraan apa yang akan digunakan seabad kemudian…

Adapun cara makan, jika dilakukan dengan menyerupai orang kafir, atau berangkat dari

keyakinan tertentu seperti menghindari jenis makanan tertentu yang dihalalkan dengan niat taqarrub kepada Allah Ta’ala, padahal tidak ada anjuran untuk itu; maka ia termasuk bid’ah. Namun jika tidak demikian maka tidak termasuk bid’ah.

Demikian pula dengan cara berpakaian, ia tidak bisa dikategorikan sebagai bid’ah selama tidak menyerupai orang kafir, atau dilakukan cara tertentu yang tidak berdasar kepada dalil tapi diiringi i’tikad bahwa hal tersebut dianjurkan dalam Islam.

Dalam dokumen Ini Dalilnya Bantahan buku Mana Dalilnya 1 (Halaman 61-64)