• Tidak ada hasil yang ditemukan

Liang

Sistem reproduksi

Cacing tanah bersifat hermafrodit, tetapi fertilisasi tidak dapat terjadi pada diri sendiri. Pada umumnya individu cacing tanah dewasa melakukan reproduksi silang sebelum menghasilkan kokon (Gambar 2a). Beberapa spesies cacing tanah melakukan reproduksi pada permukaan tanah, dan beberapa spesies melakukannya di bawah tanah (Edwards & Lofty 1972).

Metode kopulasi untuk seluruh spesies cacing tanah tidak sama. Pada cacing tanah yang tergolong famili Lumbricidae, ketika akan melakukan perkawinan dua spesies cacing tanah saling berdekatan dengan mendeteksi mukus yang dikeluarkan oleh bagian ventral tubuhnya bersama-sama. Ujung kepala cacing tanah terletak pada arah yang berlawanan. Keduanya saling mendekatkan diri pada daerah pembukaan spermateka dimana daerah klitelum salah satu cacing tanah menyentuh permukaan pembukaan spermateka yang lainnya. Pada saat kopulasi, kedua cacing tanah tidak sensitif dalam merespon rangsangan luar seperti sentuhan dan cahaya. Banyak mukus yang disekresikan sehingga masing-masing cacing tanah diselubungi oleh mukus antara segmen sembilan dan sisi posterior klitelum, mukus-mukus tersebut saling melekat (Edwards & Lofty 1972).

Sebuah celah semen terbentang dari gonofor jantan sampai klitelum dan nampak seperti benang. Tiap-tiap celah semen merupakan bagian dari dinding luar tubuh yang melekuk ke dalam akibat dari terbentuknya rangkaian pori-pori oleh kontraksi otot yang terbentang pada lapisan otot longitudinal. Kontraksi otot membawa cairan sperma dari gonofor jantan menuju daerah klitelum. Cairan sperma berkumpul di daerah klitelum, dan akhirnya memasuki spermateka cacing tanah lawannya (Edwards & Lofty 1972).

Cara pemindahan sel sperma pada seluruh spesies cacing tanah tidak sama. Spesies cacing tanah yang tidak termasuk ke dalam famili Lumbricidae memindahkan sel spermanya secara langsung tanpa membentuk selubung mukus. Tembe dan Dubash (1961) menjelaskan kopulasi Pheretima yang memiliki tiga atau empat pasang spermateka. Gonofor jantan saling bersentuhan dengan sepasang celah spermateka paling belakang dan menyalurkan cairan sperma ke dalamnya. Kemudian masing-masing cacing tanah bergerak ke arah belakang, dan

cairan sperma disalurkan ke dalam sepasang spermateka berikutnya sampai seluruhnya terisi.

Setelah kopulasi berlangsung selama satu jam, cacing tanah terpisah, dan masing-masing klitelum mengeluarkan getah mukus yang akhirnya mengeras di sekeliling permukaan luarnya. Ketika getah mukus mengeras, cacing tanah bergerak ke arah belakang, kemudian membuat selubung di sekeliling kepalanya, dan ketika cacing tanah terpisah sempurna, ujung selubung menutup untuk membentuk kokon (Gambar 2b). Kokon mengandung cairan albumin yang diproduksi oleh kelenjar klitelum, ovum, dan spermatozoa yang disalurkan ke dalamnya ketika melewati pembukaan spermateka. Kokon terus dibentuk sampai cairan sperma yang tersedia habis. Fertilisasi terjadi secara eksternal tubuh cacing tanah, di dalam kokon (Edwards & Lofty 1972).

Produksi kokon dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Keadaan tanah dan jenis cacing tanah yang berbeda menyebabkan perbedaan jumlah kokon yang diproduksi. Cacing tanah memproduksi lebih sedikit kokon pada kondisi tanah yang terlalu kering dan terlalu basah (Gerard 1967). Jenis makanan yang dikonsumsi cacing tanah dewasa juga dapat mempengaruhi produksi kokon. Produksi kokon bergantung pada spesies cacing tanah dan kondisi lingkungan (Evans & Guild 1948). Jumlah kokon yang diproduksi cacing tanah epigeic lebih banyak daripada kokon cacing tanah anecic (Bhattacharjee & Chaudhuri 2002).

Warna kokon berubah sesuai dengan perkembangannya (Gambar 2c). Pada saat terbentuk kokon berwarna keputihan, kemudian berubah menjadi kuning, kehijauan dan kecoklat-coklatan (Edwards & Lofty 1972). Kokon yang berwarna kecoklatan mengindikasikan perkembangan yang matang, dan siap untuk menetas. Penetasan kokon dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Gerard 1967; Bhattacharjee & Chaudhuri 2002). Suhu yang lebih tinggi dari 25 oC menurunkan masa inkubasi rata-rata kokon cacing tanah epigeic (Reinecke et al. 1992). Jumlah ovum yang dibuahi di dalam setiap kokon berkisar 1-20 untuk cacing tanah Lumbricidae, tapi sering kali hanya satu atau dua yang bertahan hidup dan menetas menjadi juvenil (Gambar 2d) (Stephenson 1930).

Sistem pencernaan

Sistem pencernaan cacing tanah terdiri atas rongga mulut, faring, esofagus, tembolok, lambung, dan usus. Cacing tanah memperoleh makanan dari bahan organik berupa organ tumbuhan, protozoa, rotifera, nematoda, bakteri, fungi, dan sisa-sisa pembusukan hewan (Edwards & Lofty 1972).

Bagian tubuh cacing tanah dikelompokkan ke dalam tiga daerah berdasarkan pada segmen tubuhnya (Gansen 1962). Daerah yang pertama adalah daerah penerimaan, yang terdapat pada segmen 1-14. Daerah ini terdiri atas mulut yang peka, esofagus, dan kelenjar faring tak berpembuluh yang mensekresi getah asam yang mengandung enzim amilase.

Daerah yang kedua adalah daerah sekresi, yang terdapat pada segmen 15-44. Daerah ini terdiri atas tembolok, yang menuju ke lambung dan usus. Cacing tanah mensekresi dua enzim protease dan satu enzim amilase terutama dari “sel piala”

b c Juvenil d a Kepala Klitelum Kepala Klitelum Liang jantan Reproduksi cacing tanah Perpindahan sperma Klitelum

Gambar 2 Reproduksi cacing tanah (a), pembentukan kokon (b), perkembangan kokon (c), dan penetasan kokon menjadi juvenil (d).

dinding usus yang mensekresi banyak getah. Beberapa enzim yang berbeda berasal dari daerah ini untuk spesies lain, seperti lipase dan protease (Arthur 1965) serta selulase dan kitinase (Tracey 1951). Makanan yang telah dicerna melintasi aliran darah di sepanjang epithelium usus dan dialirkan ke berbagai bagian tubuh dan jaringan untuk digunakan dalam proses metabolisme dan sebagai cadangan makanan.

Daerah yang ketiga terdapat pada segmen 44 sampai ke anus, disebut daerah absorpsi. Pada daerah ini, bahan-bahan makanan yang tidak tercerna di dalam usus diselubungi oleh membran peritrofik yang melapisi usus. Ketika bahan-bahan makanan diekskresi, membran tersebut akan membungkus casting (sisa pencernaan/kotoran cacing) (Gansen 1962).

Sistem ekskresi

Organ ekskresi yang terpenting pada cacing tanah adalah nefridia. Organ tersebut mengekstraksi bahan-bahan limbah dari cairan selom dan mengeluarkannya ke luar tubuh melalui nefridiofor sebagai urin yang mengandung amonia dan urea. Cairan selom yang mengandung material eksresi melintas melalui nefrostom dan dilanjutkan ke tabung nefridia oleh gerakan silia. (Edwards & Lofty 1972).

Nefridia berperan sebagai penyaring diferensial. Disebut demikian karena terdapat lebih banyak urea dan amonia, tetapi lebih sedikit kreatinin dan protein di dalam urin yang dihasilkan daripada di dalam cairan selom (Ramsay 1949). Nefridia memiliki tiga fungsi pada proses ekskresi, yaitu filtrasi, reabsorbsi, dan transformasi kimiawi (Bahl 1947).

Cacing tanah mengekskresikan zat-zat nitrogen dari dinding tubuh sebagai mukus. Mukus ini berperan sebagai pelumas, mengikat partikel tanah untuk membentuk dinding liang, dan membentuk lapisan pelindung yang melawan bahan-bahan beracun. Sekitar setengah nitrogen total yang diekskresikan per hari terdapat di dalam mukus ini (Edwards & Lofty 1972). Beberapa cacing tanah seperti Pheretima memiliki kelenjar limfa, tempat akumulasi sel-sel ameba. Sel-sel ameba juga terdapat di dalam darah, beberapa Sel-sel ameba tersimpan di dalam

dinding usus, dan selanjutnya masuk ke dalam usus untuk diekskresikan bersama feses (Edwards & Lofty 1972).

Sistem saraf

Sistem saraf cacing tanah terdiri atas sebuah ganglion serebral dorsal, sepasang konektif sirkumentrik dan satu atau lebih tali saraf longitudinal. Ganglion serebral dorsal menyuplai saraf bagian anterior tubuh dan saraf prostomial. Pengontrolan pergerakan tubuh cacing tanah diatur oleh ganglion subenterik. Sedangkan konektif sirkumenterik dan tali saraf longitudinal mengontrol saraf sensoris dan motoris keseluruhan dinding tubuh serta organ di setiap tubuh (Edwards & Lofty 1972).

Organ sensoris cacing tanah terdiri atas dua macam, yaitu organ fotoreseptor dan organ sensoris epitel. Di dalam setiap sel organ fotoreseptor terdapat organel optik yang berbentuk lonjong atau memanjang. Permukaan luar organel ini terdiri atas retina, dan permukaan dalam terdiri atas substansi hialin yang transparan. Organ sensoris epitel merupakan kumpulan dari 35-45 sel-sel yang memanjang dan besar di bagian dasarnya. Ujung distalnya berakhir pada penonjolan rambut-rambut sensori sepanjang daerah kutikula yang tipis. Cacing tanah tidak memiliki mata, tetapi spesies ini memiliki sel-sel sensori yang strukturnya seperti lensa di daerah epidermis dan dermis, terutama pada prostomium. Bagian tengah dan prosterior tubuhnya kurang sensitif terhadap cahaya (Laverack 1963).

Cacing tanah sangat respon terhadap rangsangan cahaya, terutama jika tiba-tiba terpapar cahaya setelah berdiam lama dalam kondisi gelap (Laverack 1963). Cacing tanah Lumbricus bersifat fotopositif terhadap sumber cahaya yang sangat lemah, dan fotonegatif terhadap sumber cahaya yang kuat. Akan tetapi cacing tanah tidak terlalu bereaksi terhadap peningkatan intensitas cahaya yang tiba-tiba jika telah teradaptasi dalam waktu yang lama dalam kondisi cahaya yang kuat. Hal itu disebabkan oleh saturasi reseptor cahaya (Hess 1924). Anggota spesies dari genus Pheretima seluruhnya bersifat fotonegatif terhadap intensitas cahaya (Howell 1939).

Organ sensoris yang bereaksi terhadap rangsangan kimia (kemoreseptor) terdapat pada prostomium (Laverack 1963). Kemoreseptor berperan penting

dalam kehidupan cacing tanah. Kemoreseptor dapat mendeteksi dan mengumpulkan bahan makanan. Kemoreseptor juga dapat digunakan untuk memberi informasi tentang kondisi lingkungan. Disamping itu, kemoreseptor berperan dalam proses perkawinan dengan mendeteksi getah mukus yang dihasilkan oleh cacing tanah yang lain (Smith 1902).

Distribusi Geografi Cacing Tanah

Distribusi cacing tanah sangat luas di seluruh dunia. Akan tetapi pada daerah gurun, kutub, pegunungan, dan daerah dengan sedikit tanah dan vegetasi cacing tanah jarang ditemukan. Beberapa spesies cacing tanah yang terdistribusi secara luas dikenal dengan istilah perigrin (kosmopolitan), sedangkan spesies yang hanya terdapat pada satu daerah tertentu dikenal dengan istilah endemik (Edwards & Lofty 1972).

Spesies perigrin dari famili Lumbricidae menyebar ke beberapa wilayah, terutama di Eropa. Wilayah-wilayah lain yang merupakan daerah penyebaran spesies cacing tanah dari famili ini adalah Chili, Selandia Baru, beberapa daerah di Amerika Serikat, Afrika Barat, India bagian barat laut, dan Australia. Penyebaran Eisenia terdapat di wilayah Eropa, Siberia, Rusia Selatan, Israel, dan Amerika Utara. Sedangkan Lumbricus tersebar ke wilayah Eropa, Siberia, Islandia, dan Amerika Utara. Beberapa spesies perigrin dari genus-genus tersebut terdistribusi di seluruh dunia (Edwards & Lofty 1972; Reynolds 1994).

Cacing tanah Megascolecidae genus Pheretima berasal dari Asia Tenggara. Namun cacing tanah ini juga bermigrasi ke beberapa daerah tropik, subtropik, dan daerah beriklim sedang. Beberapa spesies perigrin dari famili Megascolecidae tersebar di Amerika Selatan dan Amerika Pusat serta Hindia Barat. Genus Pheretima juga terdistribusi di Indo-Malaya, Asia Timur, dan Australia (Edwards & Lofty 1972; Reynolds 1994).

METODE

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap persiapan dan tahap percobaan. Tahap persiapan dilaksanakan dari bulan Maret 2008 sampai bulan Januari 2009. Tahap percobaan dilaksanakan pada bulan Februari-April 2009. Lokasi penelitian terletak di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan Departemen Biologi, FMIPA, Institut Pertanian Bogor.

Tahap Persiapan

Pada tahap ini dilakukan penyiapan populasi cacing tanah, media biak, dan wadah percobaan. Cacing tanah yang digunakan pada penelitian adalah spesies Pheretima sp., E. fetida dan L. rubellus yang telah berklitelum (Gambar 3a-c). Identifikasi spesies cacing tanah dilakukan di Laboratorium Entomologi, Bidang Zoologi Puslit Biologi – LIPI, Cibinong. Spesies Pheretima sp. diperoleh dari dalam kotoran sapi yang berasal dari kandang Fakultas Peternakan IPB, sedangkan E. fetida dan L. rubellus diperoleh dari Bapak Rudi Rochmat pada peternakan “Kelompok Cacing Tanah Mandiri” di Desa Warna Sari, Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung. Ketiga populasi cacing tanah dibudidaya di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan Departemen Biologi IPB selama 10 bulan. Budidaya bertujuan memperbanyak populasi cacing tanah sehingga dapat dijadikan sebagai stok pada tahap percobaan. Cacing tanah yang dibudidaya pada tahap persiapan sebanyak ± 1 kg untuk spesies E. fetida dan L. rubellus, serta ± 1.5 kg untuk spesies Pheretima sp. Budidaya cacing tanah dilakukan dengan sistem windrow, yaitu sistem budidaya cacing tanah dalam barisan yang disusun sejajar (Gambar 4a), dan bin, yaitu sistem budidaya cacing tanah yang menggunakan wadah (Gambar 4b)

Media biak terdiri atas kotoran sapi dan sampah daun dari pohon sonokeling (Dalbergia latifolia). Kotoran sapi diperoleh dari kandang Fakultas Peternakan IPB. Kotoran sapi digunakan sebagai starter untuk menyediakan sumber nitrogen bagi cacing tanah (Muthukumaravel et al. 2008). Sebelum dijadikan sebagai

media biak, kotoran sapi dikering-anginkan dan diaduk secara manual setiap hari selama 15 hari untuk menguapkan gas beracun (Garg et al. 2005).

Daun pohon sonokeling (D. latifolia) diperoleh dari sekitar Kampus IPB. Daun dihancurkan secara manual hingga mencapai ukuran partikel ± 5 mm. Ke dalam media biak ditambahkan tanah untuk membantu proses pencernaan cacing tanah. Tanah diperoleh dari kebun yang terletak di sekitar Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan Departemen Biologi IPB. Selama masa budidaya, media biak diaduk dan disiram dengan air secukupnya untuk mempertahankan suhu (25 oC) dan kelembaban media (65%). Pengadukan dan penyiraman media biak dilakukan dengan selang waktu tiga hari.

Wadah percobaan pada penelitian ini berupa wadah plastik dengan panjang, lebar, dan tinggi 35x31x12.5 cm (Gambar 5a). Seluruh wadah percobaan dilubangi di bagian bawahnya untuk menciptakan aerasi di dalam wadah.

Tahap Percobaan

Seluruh bahan pada media biak dimasukkan ke dalam masing-masing wadah percobaan. Selanjutnya populasi cacing tanah dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi media biak. Kuantitas media biak dan cacing tanah yang digunakan dalam percobaan ini tertera pada Tabel 1. Seluruh wadah percobaan disusun bertingkat di atas rak (Gambar 5b).

Percobaan ini terdiri atas dua perlakuan, yaitu: 1) perlakuan spesies cacing tanah tunggal dan kombinasi, dan 2) perlakuan rasio antara cacing tanah dan sampah daun. Perlakuan spesies cacing tanah tunggal meliputi P, E, dan L, sedangkan spesies cacing tanah kombinasi meliputi P+E, P+L, E+L, dan P+E+L. Perlakuan rasio cacing tanah dan sampah daun terdiri atas 1:1 (selanjutnya disebut rasio R1), dan 2:1 (selanjutnya disebut rasio R2) (Tabel 1).

Pada rasio R1, biomassa awal cacing tanah yang digunakan adalah 30 gr. Biomassa tersebut ekivalen dengan ± 50 individu untuk spesies E. fetida, ± 60 individu untuk spesies L. rubellus, dan ± 80 individu untuk spesies Pheretima sp. Bobot awal sampah daun untuk rasio R1 adalah 210 gr. Pada rasio R2, biomassa awal cacing tanah yang digunakan adalah 30 gr dengan bobot awal sampah daun sebesar 105 gr.

Gambar 5 Wadah percobaan (a), dan penyusunan wadah percobaan di atas rak (b).

a b

Gambar 4 Budidaya cacing tanah dengan sistem windrow (a) dan bin (b).

Bin

b a

Gambar 3 Spesies cacing tanah yang digunakan dalam penelitian: Pheretima sp. (a), E. fetida (b),dan L. rubellus (c).

Tabel 1 Kuantitas media biak dan cacing tanah yang digunakan dalam percobaan

No Perlakuan* Rasio CT : SD* Biomassa Cacing Tanah (gr) Sampah Daun (gr) 1 P 30 210 2 E 30 210 3 L 30 210 4 P+E 15+15 210 5 P+L 15+15 210 6 E+L 15+15 210 7 P+E+L 1:1 (R1) 10+10+10 210 8 P 30 105 9 E 30 105 10 L 30 105 11 P+E 15+15 105 12 P+L 15+15 105 13 E+L 15+15 105 14 P+E+L 2:1 (R2) 10+10+10 105 *Perlakuan; P: Pheretima sp., E: E. fetida, L: L. rubellus. CT : SD: Cacing Tanah:Sampah Daun.

Ke dalam wadah percobaan diletakkan bedding berupa daun pisang untuk mempertahankan kelembaban media. Bedding diletakkan di bagian atas bahan-bahan media biak secara terpisah dengan menggunakan kain jala.

Suhu, kelembaban, dan pH awal media biak disesuaikan menjadi 25 oC, 65% dan 6.8 berturut-turut. Suhu diukur menggunakan thermometer, sedangkan kelembaban dan pH diukur dengan soil tester. Setiap minggu dilakukan pengukuran terhadap parameter biologi penelitian pada seluruh perlakuan.

Pengukuran Parameter Biologi Cacing Tanah

Penelitian ini terdiri atas 3 parameter biologi, yaitu (1) laju konsumsi bahan organik, (2) pertumbuhan cacing tanah, dan (3) produktivitas cacing tanah. Seluruh parameter biologi diamati dan diukur setiap 7 hari selama 4 minggu. Pengukuran parameter biologi diawali dengan memisahkan populasi cacing tanah dari media biak.

0 t

0

B - B

X 100% B

Laju konsumsi bahan organik

Laju konsumsi bahan organik diukur dengan menimbang seluruh bahan makanan yang terdapat pada media biak menggunakan timbangan digital (82ADAM, d=0.001 g). Persentase laju konsumsi dihitung dengan persamaan:

Keterangan: B0 : berat awal bahan makanan

Bt : berat bahan makanan pada waktu pengamatan ke-t

Bahan pada media yang telah ditimbang dimasukkan kembali ke dalam wadah percobaan. Kemudian dilakukan penambahan sampah daun sonokeling setiap minggu ke dalam media biak sebanyak 210 gr untuk rasio R1 dan 105 gr untuk rasio R2. Kuantitas sampah daun yang ditambahkan pada rasio R1 dan R2 diperoleh berdasarkan pengetahuan umum yang menyatakan bahwa cacing tanah dapat mengkonsumsi bahan makanan sebesar bobot tubuhnya dalam waktu 24 jam. Di lain pihak, Haimi dan Huhta (1986) menemukan bahwa cacing tanah dapat mengkonsumsi bahan makanan setengah dari bobot tubuhnya per hari pada kondisi lingkungan yang sesuai. Sampah daun diletakkan secara homogen ke dalam media biak.

Pertumbuhan cacing tanah

Populasi cacing tanah yang telah dipisahkan secara hand sorting ditimbang sebagai biomassa basah untuk mengetahui pertumbuhannya (Suthar & Singh 2008). Pengukuran biomassa cacing tanah dilakukan mengggunakan timbangan digital (82ADAM, d=0.001 g). Kemudian cacing tanah dimasukkan kembali ke dalam wadah percobaan.

Produktivitas cacing tanah

Produktivitas cacing tanah diukur dengan menghitung jumlah kokon yang diproduksi di dalam seluruh wadah percobaan setiap minggu (Suthar 2007a). Kokon yang diproduksi oleh masing-masing spesies cacing tanah dipisahkan dari media biak secara hand sorting dan ditempatkan ke dalam media lain (Banu et al. 2008). Kokon masing-masing spesies ditempatkan ke dalam media lain dengan suhu 25 oC.

Perkembangan kokon diamati setiap hari sampai menetas untuk mengetahui masa inkubasi kokon. Selanjutnya, jumlah juvenil yang keluar dari tiap kokon dihitung (Bhattacharjee & Chaudhuri 2002).

Analisa komposisi kimiawi vermikompos

Pada minggu keempat, bahan-bahan organik yang telah terdekomposisi selama masa percobaan disaring untuk memperoleh hasil akhir vermicomposting berupa vermikompos. Vermikompos yang diproduksi oleh masing-masing spesies cacing tanah pada perlakuan rasio R2 ditimbang seberat 100 gr untuk dianalisa.

Komposisi kimiawi vermikompos yang dianalisa terdiri atas karbon organik, nitrogen total, fosfor dan kalium. Kandungan C organik dan N total dianalisa dengan metode titrasi dan metode Kjeldahl (Walkey & Black 1934). Nilai rasio C:N diperoleh dengan membagi nilai kandungan C organik dengan N total. Kadar P dan K masing-masing dianalisa menggunakan Spektrofotometri dan Flamefotometer (Jackson 1973). Analisa unsur-unsur kimia vermikompos dilakukan di laboratorium tanah SEAMEO BIOTROP, Bogor.

Analisa Data

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (7 x 2) dengan 4 ulangan. Sebagai faktor pertama adalah spesies cacing tanah tunggal dan kombinasi: P, E, L, P+E, P+L, E+L dan P+E+L. Faktor kedua adalah rasio cacing tanah:sampah: 1:1 dan 2:1, sehingga total percobaan adalah 56 unit percobaan.

Data statistik dianalisa menggunakan program SYSTAT 12 for Woindows. Perbedaan diantara beberapa perlakuan dianalisa dengan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey pada tingkat kepercayaan 95%.

HASIL

Laju konsumsi bahan organik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah 1 minggu laju konsumsi tertinggi pada perlakuan spesies tunggal dengan rasio R1 terdapat pada perlakuan E (19.05%), sedangkan laju konsumsi terendah terdapat pada perlakuan P (13.82%). Pada perlakuan spesies kombinasi, laju konsumsi tertinggi terdapat pada perlakuan E+L (19.84%), sedangkan laju konsumsi terendah terdapat pada perlakuan P+L (14.24%) (Gambar 6). Namun, setelah 4 minggu laju konsumsi tertinggi terdapat pada perlakuan spesies kombinasi P+E+L (36.32%), sedangkan laju konsumsi terendah terdapat pada perlakuan spesies tunggal P (31.56%) (Lampiran 1 & 2).

Laju konsumsi dengan rasio R2 menunjukkan pola grafik yang hampir sama dengan rasio R1, akan tetapi persentasenya lebih tinggi. Setelah 1 minggu laju konsumsi tertinggi pada perlakuan spesies tunggal terdapat pada perlakuan E (23.54%), sedangkan laju konsumsi terendah terdapat pada perlakuan P (16.64%). Pada perlakuan spesies kombinasi, laju konsumsi tertinggi terdapat pada perlakuan E+L (28.13%), sedangkan laju konsumsi terendah terdapat pada perlakuan P+L (18.24%) (Gambar 7). Setelah 4 minggu, laju konsumsi tertinggi terdapat pada perlakuan spesies kombinasi E+L (41.08%), sedangkan laju konsumsi terendah terdapat pada perlakuan spesies tunggal P (33.57) (Lampiran 1 & 2).

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa laju konsumsi pada rasio R2 lebih tinggi dibandingkan dengan rasio R1 (P<0.05). Selama percobaan vermicomposting, laju konsumsi rata-rata pada masing-masing perlakuan spesies dengan rasio R1 dari persentase tertinggi sampai persentase terendah adalah: E+L (29.67%/minggu), P+E+L (29.09%/minggu), E (28.90%/minggu), L (27.93%/minggu), P+E (26.05%/minggu), P+L (24.18%/minggu), dan P (23.31%/minggu). Adapun laju konsumsi rata-rata pada masing-masing perlakuan spesies dengan rasio R2 adalah: E+L (35.93%/minggu), P+E+L (34.88%/minggu), E (32.92%/minggu), L (31.16%/minggu), P+E (27.67%/minggu), P+L (26.22%/minggu), dan P (26.05%/minggu).

Waktu (minggu) 1 2 3 4 Laju konsum si (% ) 10 15 20 25 30 35 40 45 50 P E L P + E P + L E + L P + E + L Waktu (minggu) 1 2 3 4 L aju konsum si (% ) 10 15 20 25 30 35 40 45 50 P E L P + E P + L E + L P + E + L

Gambar 6 Laju konsumsi pada perlakuan spesies yang berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan sampah dedaunan 1:1 (R1).

Gambar 7 Laju konsumsi pada perlakuan spesies yang berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan sampah dedaunan 2:1 (R2).

Pertumbuhan Cacing Tanah

Secara umum pertumbuhan cacing tanah pada rasio R1 cenderung menurun (Gambar 8). Setelah 1 minggu pertumbuhan cacing tanah tertinggi pada perlakuan spesies tunggal terdapat pada perlakuan E dengan biomassa rata-rata maksimum 46.8±1.2 gr. Pertumbuhan terendah ditunjukkan pada perlakuan P dengan biomassa rata-rata 29.0±1.1 gr. Pada perlakuan spesies kombinasi, biomassa tertinggi terdapat pada perlakuan E+L (39.7±3.8 gr), sedangkan biomassa terendah terdapat pada perlakuan P+E (33.7±4.8 gr). Gambar 8 menunjukkan biomassa cacing tanah pada seluruh perlakuan bertambah setelah satu minggu, kecuali pada perlakuan spesies tunggal P yang menunjukkan penurunan biomassa (29.0±1.1 gr). Setelah 4 minggu, biomassa tertinggi terdapat pada perlakuan spesies kombinasi E+L (19.6±1.4 gr), sedangkan biomassa terendah terdapat pada perlakuan spesies tunggal P (9.9±0.3 gr) (Lampiran 3 & 4).

Seluruh cacing tanah pada rasio R2 mengalami penurunan biomassa sejak minggu pertama (Gambar 9). Pada perlakuan spesies tunggal, biomassa tertinggi setelah 1 minggu terdapat pada perlakuan E (26.1±1.0 gr), sedangkan biomassa terendah terdapat pada perlakuan P (24.7±1.8 gr). Pada perlakuan spesies kombinasi, biomassa tertinggi terdapat pada perlakuan E+L (27.1±1.5 gr), sedangkan biomassa terendah terdapat pada perlakuan P+E (23.1±2.1 gr). Setelah 4 minggu, biomassa tertinggi terdapat pada perlakuan spesies kombinasi E+L (13.1±0.9 gr), sedangkan biomassa terendah terdapat pada perlakuan spesies tunggal P (5.1±0.5 gr) (Lampiran 3 & 4).

Berdasarkan pada hasil penelitian, laju pertumbuhan cacing tanah pada rasio R1 lebih tinggi dibandingkan dengan rasio R2 (P<0.05). Pada rasio R1, biomassa rata-rata cacing tanah maksimum sebesar 46.8±1.2 gr, sedangkan pada rasio R2 biomassa rata-rata cacing tanah maksimum sebesar 27.1±1.5 gr.

Waktu (minggu) 0 1 2 3 4 B iom as sa ra ta-rata ca cing tana h (gr) 0 10 20 30 40 50 60 P E L P + E P + L E + L P + E + L Waktu (minggu) 0 1 2 3 4 Bi o m assa rata-rata cac in g t an ah ( g r) 0 10 20 30 40 50 60 P E L P + E P + L E + L P + E + L

Gambar 8 Pertumbuhan spesies Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus pada perlakuan yang berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan sampah dedaunan 1:1 (R1).

Gambar 9 Pertumbuhan spesies Pheretima sp., E. fetida, dan L. rubellus pada perlakuan yang berbeda dengan rasio antara cacing tanah dan sampah

Dokumen terkait