• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Enhanced Oil Recovery (EOR)

Minyak mentah (petroleum) adalah campuran yang kompleks, terutama terdiri dari hidrokarbon bersama-sama dengan sejumlah kecil komponen yang mengandung sulfur, oksigen dan nitrogen serta komponen yang mengandung logam dalam jumlah sangat kecil. Menurut Said (1998), senyawa hidrokarbon dapat digolongkan dalam empat jenis, yaitu (a) golongan paraffin (hidrokarbon jenuh), (b) golongan hidrokarbon tak jenuh, (c) golongan naphtena, dan (d) golongan aromatik. Golongan paraffin memiliki ikatan atom C yang tunggal, sehingga membentuk rumus bangun yang mempunyai rantai terbuka, berupa gas, cair ataupun zat padat tergantung dari jumlah atom C dalam satu molekul, dan jika berada dalam ruangan yang mengandung udara atau oksigen dan diberi kalor akan terbakar. Hidrokarbon tak jenuh adalah hidrokarbon yang mempunyai ikatan rangkap ataupun ikatan tiga yang digunakan untuk mengikat dua atom C yang berdekatan. Golongan ini dapat dibedakan menjadi tiga deretan, yaitu deretan olefin, diolefin dan asitilen. Ikatannya sangat reaktif, sehingga jarang terdapat dalam minyak mentah yang terbentuk di alam, tetapi dapat terbentuk dalam jumlah besar pada proses cracking dari minyak mentah. Golongan naphtena termasuk dalam hidrokarbon jenuh tetapi rantai karbonnya merupakan rantai tertutup, bersifat stabil dan hampir sama dengan paraffin. Golongan aromatik terdiri dari benzene dan turunannya, bersifat tidak reaktif dan tidak sestabil golongan paraffin. Pada suhu dan tekanan standar hidrokarbon aromatik berada dalam bentuk cair atau padat.

Batuan reservoir merupakan batuan berpori dimana dalam pori-pori batuan tersebut terdapat akumulasi fluida reservoir seperti minyak, air dan gas. Sekitar 60 % dari reservoir terdiri atas batu pasir dan 30 % terdiri atas batu gamping dan sisanya batuan lain. Secara umum sifat yang dimiliki batuan reservoir adalah yang berhubungan dengan sifat statik (porositas dan saturasi) dan dinamik (permeabilitas). Menurut Lake (1989), porositas didefinisikan sebagai perbandingan antara volume ruang yang kosong (pori-pori) terhadap volume total

(bulk volume) dari suatu batuan. Ruang kosong tersebut dapat merupakan pori- pori yang saling berhubungan satu sama lain, tetapi dapat pula merupakan rongga- rongga yang saling terpisah atau tersekat. Porositas memiliki satuan dalam persen. Klasifikasi porositas reservoir disajikan pada Tabel 5. Permeabilitas adalah ukuran kemampuan suatu batuan berpori untuk mengalirkan fluida. Permeabilitas berpengaruh terhadap besarnya kemampuan produksi (laju alir) pada sumur-sumur penghasilnya. Besaran permeabilitas sangat bergantung dari hubungan antara pori dalam batuan dengan satuan Darcy atau miliDarcy (mD), namun harga permeabilitas tidak ada hubungan langsung dengan porositasnya. Klasifikasi permeabilitas beberapa reservoir disajikan pada Tabel 6.

Tabel 5. Klasifikasi porositas reservoir

Porositas (%) Keterangan

0 – 5 Porositas jelek sekali

5 – 10 Porositas jelek

10 – 15 Porositas sedang

15 – 20 Porositas baik

20 – 25 Porositas baik sekali

Sumber : Koesoemadinata (1978).

Tabel 6. Klasifikasi permeabilitas reservoir

Permeabilitas (mD) Keterangan < 5 Ketat (tight) 5 – 10 Cukup (fair) 10 - 100 Baik (good) 100 – 1000 Baik sekali > 1000 Very good Sumber : Koesoemadinata (1978).

Operasi perolehan minyak secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian yaitu primary recovery, secondary recovery dan tertiary recovery. Pada primary recovery, perolehan minyak diperoleh dengan menggunakan tenaga dorong alamiah yang diberikan oleh reservoir itu sendiri. Secondary dan tertiary recovery dilakukan setelah tahap primary recovery mengalami penurunan produksi. Teknologi ataupun metoda yang digunakan untuk meningkatkan recovery minyak bumi disebut sebagai improved oil recovery (IOR). Salah satu

23

teknik IOR yang melibatkan penginjeksian material untuk meningkatkan recovery minyak bumi disebut sebagai enhanced oil recovery (EOR), yang biasanya menggunakan injeksi gas tercampur, bahan kimia (chemical) ataupun thermal energy untuk mengubah karakteristik dari suatu reservoir agar minyak yang diperoleh lebih besar dibandingkan pada tahap sebelumnya (Lake, 1989).

Peningkatan perolehan minyak merupakan suatu teknologi yang memerlukan biaya dan memiliki resiko yang tinggi. Untuk itu sebelum metode EOR diterapkan di lapangan maka harus dikaji baik secara teknik maupun ekonomi. Menurut Lake (1989), untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam penerapan metode EOR biasanya melalui tiga tahapan penyaringan berikut : (a) Memilih metode EOR yang tepat, yaitu dengan cara membandingkan karakteristik reservoir dengan kriteria penyaringan atau screening criteria yang telah dibuat berdasarkan pengalaman di lapangan dan di laboratorium, (b) Evaluasi reservoir dengan model sederhana yang menjelaskan proses utama dilengkapi dengan perkiraan perolehan minyak dan biaya yang dibutuhkan, dan (c) Evaluasi secara terperinci melalui simulasi reservoir dan percobaan di laboratorium pada contoh batuan reservoir. Pada Tabel 7 disajikan klasifikasi metode EOR berdasarkan mekanisme pendesakan. Pada Tabel 8 disajikan klasifikasi metode EOR berdasarkan jenis fluida yang diinjeksikan.

Tabel 7. Klasifikasi metode EOR berdasarkan mekanisme pendesakan

Current Enhanced Recovery Methods Solvent Extraction and/or Miscible Type Processes

Nitrogen and flue gas

Hydrocarbon-miscible methods CO2 flooding

“Solvent” extraction of mined, oil bearing core

IFT Reduction Processes

Miscellar/polymer flooding (included in miscible type flooding above) ASP flooding

Viscosity Reduction or Viscosity Increase and (or driving fluid) Processes Plus Pressure

Steam flooding Fire flooding Polymer flooding

Enhanced gravity drainage by gas or steam injection

Tabel 8. Klasifikasi metode EOR berdasarkan fluida injeksi

Current and past EOR Methods Gas and Hydrocarbon Solvent Methods

“Inert” gas injection Nitrogen injection Flue-gas injection

Hydrocarbon-gas (and liquid) injection High-pressure gas drive

Enriched-gas drive

Miscible solvent (LPG or propane) flooding

Improved Water Flooding Methods

Alcohol-miscible solvent flooding Micellar/polymer (surfactant) flooding Alkaline flooding

ASP flooding Polymer flooding Gels or water shut off Microbial injection

Thermal Methods

In-situ combustion

Standard forward combustion Wet combustion

O2-enriched combustion

Reverse combustion

Steam and hot water injection Hot-water flooding

Steam stimulation Steam flooding

Surface mining and extraction

Sumber : Taber et al. (1997).

Dalam kegiatan eksploitasi minyak dan gas bumi, selain minyak yang diproduksikan terdapat pula gas, baik yang terperangkap secara terpisah dari minyak maupun gas yang larut di dalam minyak. Selain itu diproduksikan juga air yang dikenal sebagai air formasi atau brine. Air formasi adalah air yang terkumpul bersama minyak dan gas di dalam lapisan reservoir, terletak pada kedalaman lebih dari 1000 meter dan terletak di bawah zona minyak.

Pada awal produksi dari reservoir minyak, volume air formasi yang ikut terproduksi hanya sedikit dibanding dengan volume minyak yang diperoleh. Akan tetapi bertambahnya waktu produksi menyebabkan volume minyak di dalam reservoir tersebut semakin rendah dan volume air formasi menjadi dominan dibanding jumlah minyak itu sendiri. Kondisi ini diikuti pula oleh penurunan

25

tekanan reservoir sehingga produksi minyak pada sumur tersebut perlu dibantu dengan teknologi secondary recovery ataupun tertiary recovery. Senyawa penyusun utama air formasi terdiri dari kation dan anion seperti kalsium, magnesium, besi, barium, natrium, klorida, karbonat dan bikarbonat, serta sulfat. Menurut Lake (1989), reservoir-reservoir minyak bumi berbeda dalam hal kondisi geologis alamnya, kandungan air dalam reservoir, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, metode optimum untuk merekoveri minyak bumi dalam jumlah yang maksimum pada suatu reservoir berbeda terhadap reservoir yang lain.

Metode EOR telah umum diterapkan di negara lain, namun penerapan di Indonesia masih terkendala karena ketidaksesuaian antara air formasi dan batuan formasi dari sumur minyak di Indonesia dengan surfaktan komersial yang berbasis minyak bumi yang bila digunakan menyebabkan terjadinya penggumpalan dan menimbulkan gangguan pada sumur produksi. Hal ini menjadi peluang untuk dikembangkan jenis surfaktan berbasis sawit yang sesuai untuk sumur minyak bumi di Indonesia.