• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakterisasi Bahan Baku Olein dan ME Olein

Bahan baku minyak sawit yang digunakan pada penelitian ini adalah fraksi olein sawit. Olein sawit merupakan fraksi cair dari hasil fraksinasi minyak sawit yang telah dimurnikan. Pemilihan olein sawit sebagai bahan baku didasarkan pada pertimbangan komposisi asam lemak penyusun olein sawit yang dominan asam palmitat (C16:0) dan asam oleat (C18:1). Asam lemak C16:0 dan C18:1 memiliki rantai karbon yang lebih panjang dibanding asam lemak lainnya pada minyak sawit. Semakin panjang rantai karbon yang bersifat lipofilik pada struktur molekul surfaktan maka kemungkinan surfaktan tersebut untuk makin larut ke minyak akan semakin besar dan dengan gugus aktif yang diharapkan akan berikatan dengan fraksi air menyebabkan kelarutan surfaktan baik pada minyak maupun air menjadi semakin baik yang ditunjukkan dengan nilai tegangan antarmuka yang rendah.

Sebelum proses konversi olein menjadi metil ester olein dilakukan, terlebih dahulu dilakukan analisis untuk mengetahui sifat fisikokimia bahan baku olein yang digunakan. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar asam lemak bebas, bilangan asam, bilangan iod, bilangan penyabunan, densitas, viskositas, kadar air, fraksi tak tersabunkan, dan komposisi asam lemak. Hasil analisis kadar asam lemak bebas olein sawit menjadi acuan untuk menentukan tahap reaksi esterifikasi/transesterifikasi yang dilakukan untuk mengkonversi olein sawit menjadi metil ester olein. Parameter lainnya menjadi parameter kunci untuk mengetahui keberhasilan proses konversi yang dilakukan. Hasil analisis sifat fisikokimia olein dan metil ester (ME) olein sawit disajikan pada Tabel 9.

Kadar asam lemak bebas merupakan parameter penting dalam menentukan proses yang dibutuhkan untuk mengkonversi minyak dan asam lemak menjadi metil ester. Pada kadar asam lemak bebas di atas 2% minyak terlebih dahulu diesterifikasi dan dilanjutkan dengan tahapan proses transesterifikasi. Proses transesterifikasi secara langsung terhadap minyak dengan kadar asam lemak bebas di atas 2% menyebabkan reaksi konversi menjadi tidak efektif karena terbentuknya sabun dalam jumlah besar akibat reaksi yang terjadi antara katalis

basa dan asam lemak bebas yang tinggi. Sabun yang terbentuk dapat mengganggu proses pemisahan antara produk utama yaitu metil ester dengan produk samping yaitu gliserol, sehingga menyebabkan rendahnya rendemen metil ester yang dihasilkan. Berdasarkan hasil analisis, kadar asam lemak bebas pada bahan baku olein cukup rendah, yaitu 0,19%. Berdasarkan kandungan asam lemak bebas olein sawit yang kurang dari 2%, maka untuk mengkonversi olein sawit menjadi metil ester hanya diterapkan satu tahapan reaksi, yaitu proses transesterifikasi menggunakan metanol dan katalis basa.

Tabel 9. Hasil analisis olein dan ME olein sawit

Analisis Satuan Olein ME Olein

Asam Lemak Bebas % 0,19 0,13

Bilangan Asam mg KOH/g 0,41 0,94

Bilangan Iod mg Iod/g 61,93 61,77

Bilangan Penyabunan mg KOH/g 208,40 207,63

Densitas g/cm3 0,906 0,8718

Viskositas (29 oC) cP 61,5 -

Kadar Air % 0,103 0,13

Fraksi tak tersabunkan % 0,38 0,14

Kadar Gliserol Total %-massa - 0,06

Kadar Ester %-massa - 95,55

Asam lemak :

a. Asam lemak jenuh - Laurat

- Miristat - Palmitat - Stearat

b. Asam lemak tidak jenuh - Oleat - Linoleat - Linolenat % 0,147 0,909 40,207 1,294 43,901 11,897 0,852

Semakin sedikit asam lemak bebas yang terkandung pada bahan baku olein berkorelasi dengan semakin rendahnya bilangan asam. Hal ini karena bilangan asam merupakan jumlah miligram KOH yang dibutuhkan untuk menetralkan asam lemak bebas dari satu gram minyak atau lemak (Ketaren, 1986). Mengingat asam lemak bebas olein cukup rendah, maka jumlah mg KOH untuk menetralkan asam lemak tersebut semakin sedikit, sehingga pada

49

perhitungan dihasilkan nilai bilangan asam yang rendah sebesar 0,41 mg KOH/g sampel dan kadar asam lemak bebasnya sebesar 0,19%.

Bilangan iod menunjukkan derajat ketidakjenuhan minyak, yang dinyatakan sebagai jumlah iod yang dapat diikat oleh minyak. Ketidakjenuhan minyak menandakan keberadaan ikatan rangkap yang menyusun rantai karbon asam lemak. Semakin tinggi tingkat ketidakjenuhan minyak, maka semakin besar kemungkinan ikatan rangkap tersebut dapat mengikat iod sehingga semakin tinggi pula nilai bilangan iod yang dihasilkan. Bilangan iod tidak berpengaruh terhadap proses transesterifikasi namun dapat menentukan karakteristik metil ester yang dihasilkan dan keberhasilan proses konversi yang dilakukan. Metil ester dari minyak tidak jenuh kurang stabil terhadap oksidasi, karena menurut Sanford et al. (2009) stabilitas terhadap oksidasi ditentukan oleh dua aspek yaitu keberadaan atom hidrogen pada ikatan rangkap yang merupakan titik terjadinya oksidasi dan adanya antioksidan alami pada minyak yang dapat mencegah oksidasi pada molekul trigliserida. Proses transesterifikasi hanya berfungsi untuk mengubah - OH menjadi -OCH3 pada gugus karboksil, dan tidak menyebabkan perubahan struktur molekul rantai karbon, sehingga tidak akan terjadi perubahan ikatan rangkap. Bilangan iod bahan baku olein yang dihasilkan 61,93 mg iod/g sampel. Nilai ini mendekati kisaran bilangan iod minyak sawit menurut Hui (1996) yaitu 44 – 54 mg iod/g sampel.

Bilangan penyabunan menunjukkan miligram KOH yang diperlukan untuk menyabunkan satu gram lemak atau minyak (Ketaren, 1986). Panjang rantai karbon dalam asam lemak penyusun trigliserida dan bobot molekul trigliserida akan berpengaruh terhadap jumlah KOH yang diperlukan untuk menyabunkan molekul penyusun trigliserida. Menurut Sanford et al. (2009), semakin tinggi bilangan penyabunan suatu trigliserida menunjukkan rantai karbon asam lemak penyusun trigliserida semakin pendek. Bilangan penyabunan untuk tiap minyak memiliki nilai tertentu yang menunjukkan panjang pendeknya rantai karbon asam lemak penyusunnya, sehingga dapat digunakan sebagai parameter untuk mengidentifikasi minyak dan menunjukkan keberhasilan proses konversi yang dilakukan tidak menyebabkan perubahan struktur molekul rantai karbon. Menurut Hui (1996), bilangan penyabunan olein sawit berkisar 194 – 202 mg KOH/g

sampel, sementara hasil analisis bahan baku yang digunakan menunjukkan 208,40 mg KOH/g sampel.

Kandungan air pada bahan baku olein sawit yang digunakan cukup rendah yaitu 0,103%. Nilai ini jauh lebih rendah dibanding batas toleransi kandungan air dalam bahan baku menurut Gerpen et al. (2004) yaitu maksimal 1%. Perlunya batas toleransi kandungan air dalam bahan baku disebabkan karena air mampu menghidrolisis trigliserida menjadi digliserida, monogliserida dan akhirnya terbentuk asam lemak bebas. Asam lemak bebas akan bereaksi dengan katalis basa membentuk sabun. Air juga dapat bereaksi dengan katalis selama proses esterifikasi/transesterifikasi membentuk sabun dan emulsi. Kehadiran asam lemak bebas, sabun dan emulsi ini dapat mengganggu kesempurnaan proses konversi karena akan terbentuk sabun yang berlebih. Sabun berlebih cenderung berbentuk gel pada suhu ruang yang menyebabkan proses pemisahan metil ester menjadi sulit dilakukan, sebagai akibatnya dihasilkan rendemen yang rendah. Biasanya proses pemanasan dilakukan pada bahan baku sebelum proses konversi dilakukan untuk mengurangi kandungan air pada bahan baku. Mengingat kandungan air pada olein yang lebih rendah dibanding batas toleransi, maka tidak perlu dilakukan proses pemanasan yang bertujuan untuk menghilangkan komponen air dari olein.

Fraksi tak tersabunkan merupakan senyawa yang tidak dikehendaki dalam minyak yang harus diminimalkan keberadaannya. Fraksi tak tersabunkan terdiri dari senyawa organik seperti sterol, alkohol dengan berat molekul tinggi, pigmen, lilin dan hidrokarbon, yang tidak bereaksi dengan basa untuk membentuk sabun, bersifat sangat non polar. Karenanya fraksi tak tersabunkan ini masih mungkin terdapat pada metil ester setelah reaksi transesterifikasi dan pencucian dilakukan yang dapat mengurangi kemurnian metil ester. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai fraksi tak tersabunkan bahan baku olein sebesar 0,38%.

Hasil analisis komposisi asam lemak menunjukkan bahwa olein sawit dominan mengandung asam palmitat (C16:0) sebesar 40,207% dan asam oleat (C18:1) sebesar 43,901%. Bila dibandingkan persentase antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh penyusun trigliserida olein, diketahui bahwa asam lemak tidak jenuh pada olein (57,10%) lebih tinggi dibanding asam lemak

51

jenuhnya (42,90%). Komposisi asam lemak tidak jenuh yang lebih tinggi menunjukkan bahwa jumlah ikatan rangkap yang dimiliki lebih besar sehingga pada kondisi suhu ruang bahan baku olein tetap berbentuk cair.

Metil ester olein sawit yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik jika dilihat dari faktor rendemen, kandungan pengotor dan struktur rantai karbonnya. Berdasarkan rendemen, metil ester olein yang dihasilkan memiliki kadar ester yang cukup tinggi yaitu 95,55 %, sementara kandungan pengotornya cukup rendah yaitu kadar air 0,13%, kadar gliserol total 0,06 % dan fraksi tak tersabunkan 0,14%. Terjadinya peningkatan kadar air dalam jumlah kecil pada ME olein terjadi selama proses transesterifikasi melalui reaksi antara katalis KOH dengan metanol dan juga dari proses pencucian untuk menghilangkan gliserol. Tahapan pengeringan air yang terbentuk dan tersisa pada metil ester dapat berlangsung dengan baik sehingga kadar air ME olein yang dihasilkan sebesar 0,13%.

Jika dilihat dari struktur rantai karbonnya terlihat tidak terjadi perubahan ataupun kerusakan, yang tergambarkan dari nilai bilangan iod dan bilangan penyabunan metil ester olein yang relatif sama dengan olein. Bilangan iod metil ester olein yang relatif sama dengan bilangan iod bahan baku olein yaitu sebesar 61,77 mg iod/g sampel yang menunjukkan bahwa ikatan rangkap pada rantai karbon olein tidak mengalami perubahan, yang mengindikasikan tidak terjadi kerusakan berupa putusnya ikatan rangkap akibat kondisi proses transesterifikasi yang diterapkan. Bilangan penyabunan metil ester olein juga relatif sama dengan bilangan penyabunan olein yaitu 207,63 mg KOH/g sampel, yang menunjukkan bahwa panjang rantai karbon penyusun asam lemak adalah tetap dan tidak mengalami proses pemutusan menjadi rantai lebih pendek. Hal ini menunjukkan bahwa reaktor transesterifikasi yang digunakan untuk mengkonversi olein menjadi metil ester olein mampu memberikan hasil konversi berupa ester yang tinggi dengan kadar gliserol total dan kadar air yang cukup rendah.

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini memiliki kesamaan dengan bahan baku minyak yang digunakan oleh Henkel dan Chengdu Nymph sebagaimana disajikan pada Tabel 4, yaitu metil ester dengan kandungan asam lemak dominan C16:0 dan C18:1, dengan kedekatan nilai pada bilangan penyabunan,

bilangan asam, kadar air, dan fraksi tak tersabunkan. Yang berbeda adalah pada nilai bilangan iod, dimana bilangan iod Henkel dan Chengdu Nymph lebih rendah yaitu 1,9 mg I/g ME karena telah melewati tahap hidrogenasi. Sementara bilangan iod yang digunakan pada penelitian ini berkisar 61,77 mg Iod/g sampel menunjukkan bahwa ME olein bersifat tidak jenuh dan mengandung banyak ikatan rangkap.

4.2. Penentuan Lama Proses Sulfonasi Metil Ester Olein Menggunakan